Wednesday 31 October 2012

Pasar dan Persoalan Keadilan, Perspektif Ekonomi Politik

Oleh: Muhammad Nurjihadi
Secara umum pasar didefinisikan sebagai tempat atau locus bertemunya penjual dan pembeli, tempat bertemunya penawaran (supply) dan permintaan (demand). Secara alamiah, mekanisme pasar diyakini akan membentuk harga yang terbangun dari tingkat keseimbangan antara supply dan demand itu. Dengan demikian, mekanisme pasar sesungguhnya tidak berbeda dengan mekanisme lelangan (auction mechanism) yang berarti bahwa orang-orang yang kuat saja yang bisa memenangkan proses lelang itu. Maka pasar merupakan mekanisme yang tidak ramah kepada orang-orang lemah dan miskin. Pasar merupakan pelayan yang rajin bagi yang kaya, tapi tidak memihak kepada yang miskin (Swasono, 2011).

Pengarusutamaan mekanisme pasar untuk memenuhi kebutuhan manusia dimulai sejak lahirnya teori tangan tuhan (the invisible hand theory) yang dicetuskan Adam Smith (1776). Prinsip dasar dari teori ini adalah adanya keyakinan bahwa keseimbangan pasar terbentuk secara natural dengan adanya pertemuan penawaran (supply) dan permintaan (demand). Teori ini menafikkan peran pemerintah dalam aktifitas ekonomi karena dianggap sebagai penghambat tercapainya kesejahteraan maksimum (Clark dalam Yustika, 2011). Bertemunya supply dan demand secara alamiah merupakan respon dari rasionalitas hidup manusia dimana setiap manusia memiliki kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri dan mendapat keuntungan pribadi yang besar. Kecenderungan pemenuhan kebutuhan pribadi ini akan membuat setiap orang (baik penjual ataupun pembeli) bertindak untuk memaksimumkan keuntungan dan kepuasan. Karena setiap orang hendak memaksimalkan keuntungan dan kepuasan, maka harga akan terbentuk dengan sendirinya melalui adanya kekuatan tarik menarik antara penjual dengan instrumen penawaran dan pembeli dengan instrumen permintaan. Jika posisi tawar (bargaining position) permintaan lebih kuat dari pada penawaran (permintaan lebih kecil daripada penawaran) maka harga akan menjadi rendah, dan demikian pula sebaliknya. Mekanisme ini mengabaikan faktor lain diluar dua faktor utama itu. Mekanisme tarik menarik antara kekuatan penawaran dan permintaan inilah yang dimaksud dengan mekanisme pasar.

Dengan pemahaman diatas, maka tidak salah jika Swasono (2011) menyebut bahwa pasar adalah pelayan bagi orang kaya tapi tidak ramah bagi orang miskin. Mengingat hanya orang kaya yang memiliki kemampuan (bargaining position) untuk mengakses dan mempengaruhi pasar. Meski demikian, kita harus memahami bahwa konsep mekanisme pasar sesungguhnya tidak sesederhana tercapainya keseimbangan antara penawaran dan permintaan. Mekanisme pasar memiliki asumsi-asumsi yang harus dipenuhi agar ia mampu mengantarkan manusia kepada kesejahteraan maksimum. Menurut Rahardja & Manurung (1999), asumsi-asumsi yang harus dipenuhi agar pasar dapat menjamin alokasi sumber daya yang efisien dan mampu memaksimumkan kesejahteraan masyarakat adalah antara lain setiap pelaku bersifat rasional, tersedianya informasi pasar dengan sempurna, pasar berbentuk persaingan sempurna (tidak terjadi monopoli), dan kepemilikan barang bersifat pribadi bukan kepemilikan bersama (public/common’s good). Sayangnya, dalam realitas kehidupan sehari-hari, asumsi-asumsi ideal tersebut sulit terpenuhi. Akibatnya terjadilah kegagalan pasar di mana pasar gagal menjadi alat alokasi yang efisien dan gagal memaksimumkan kesejahteraan masyarakat.

Disinilah letak lemahnya logika berfikir Adam Smith ketika menjelaskan bahwa kecenderungan individualisme manusia dapat mengantarkan masyarakat pada kesejahteraan maksimumnya. Sebagai manusia rasional, setiap individu akan berusaha memaksimumkan keuntungan pribadinya dengan berbagai cara, termasuk dengan cara merekayasa pasar seperti memonopoli perdagangan atau pembelian, menciptakan informasi yang tidak sempurna (asymmetric information), dan sebagainya. Dengan demikian, untuk menjamin agar pasar memenuhi asumsi-asumsi kesempurnaannya dibutuhkan peran pihak ketiga untuk mengaturnya, dalam hal ini adalah pemerintah. Sayangnya, mekanisme pasar menghendaki agar pemerintah meminimumkan perannya atau bahkan tidak ikut terlibat sama sekali dalam mengatur atau mengintervensi mekanisme pasar. Mekanisme pasar (market mechanism) sering disinonimkan dengan kapitalisme. Aturan main kapitalisme yang tegak diatas pilar logika pasar sebagai pengontrol kegiatan ekonomi adalah mengeluarkan pemerintah/negara dari aktivitas ekonomi. Seluruh kegiatan ekonomi digerakkan oleh sektor swasta lewat pasar sehingga bisa mendeskripsikan preferensi setiap individu (Grassby, 1999 dalam Yustika, 2011).

Sistem ekonomi kapitalis (kapitalisme) lahir dari mazhab ekonomi klasik/neoklasik yang juga melahirkan sistem mekanisme pasar. Kapitalisme tegak oleh empat pilar dasar yang melatarinya, yaitu; pertama, kegiatan ekonomi digerakkan dan dikoordinir oleh pasar (bebas) dengan harga sebagai penanda. Kedua; setiap individu memiliki kebebasan untuk mempunyai hak kepemilikan (property rights) untuk menjamin proses transaksi (exchange). Ketiga; kegiatan ekonomi dipisahkan oleh tiga pemilik faktor produksi yakni pemodal (capital), tenaga kerja (labor) dan pemilikan lahan (land). Pemilik modal memperoleh pendapata dari keuntungan, pekerja memperoleh pendapatan dari upah dan pemilik lahan memperoleh pendapatan dari biaya sewa lahan (rent). Keempat; tidak ada larangan bagi para pelaku ekonomi untuk keluar – masuk pasar (free entry and exit barriers) [Yustika, 2011].

Dalam prakteknya, sistem ekonomi kapitalis (kapitalisme) lebih banyak memihak kepada para pemilik modal. Atas nama investasi, para pemilik modal mengeksploitasi sumber daya untuk mendapatkan keuntungan yang besar dan sekaligus mengakumulasi modal. Akibatnya jurang ketimpangan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin kian tinggi. Dengan modal yang terus terakumulasi, para pemilik modal mampu menciptakan teknologi baru untuk mengefisienkan proses produksi yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi dan mengakumulasi modal lagi tanpa batas. Sementara disisi lain, penemuan teknologi baru itu berimplikasi pada berkurangnya peran manusia dalam proses produksi yang membuat banyak tenaga kerja kehilangan pekerjaannya. Dengan demikian, peran modal menjadi kian dominan dalam aktifitas ekonomi. Tanpa memiliki modal yang cukup, seseorang atau suatu kelompok atau bahkan suatu negara tidak akan mampu mengembangkan perekonomiannya sehingga tidak mampu menghasilkan keuntungan. Akibatnya orang-orang yang tidak memiliki modal itu tetap terjebak pada kemiskinan disaat para pemilik modal menikmati hasil dari kekayaan alam disekitar mereka. Dengan kondisi seperti itu, Fukuyama (1992) memprediksi bahwa akhir dari sejarah dunia ini adalah kapitalisme global yang dikuasai oleh segelintir orang pemilik modal yang selama bertahun-tahun mengakumulasi modalnya secara terus menerus tanpa batas. Lebih jauh, Fukuyama juga menyebut segelintir pemilik modal itu akan menjadi the last man (manusia terakhir) di dunia ini.

Demikianlah, mekanisme pasar dan kapitalisme melahirkan persoalan ketidakadilan ekonomi. Dengan modal yang terus terakumulasi, para pemilik modal terus meningkatkan kapasitas dirinya yang memungkan dia memiliki kemampuan lebih untuk mengakumulasi modal dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi. Sementara disisi lain kaum papa miskin yang lemah terus terpinggirkan dan membuat mereka semakin tidak berdaya dan kian terjebak dalam kemiskinannya. Pasar dalam banyak kasus ternyata tidak mampu untuk mengatur dirinya sendiri (self regulating market), pasar selalu diatur dan didominasi oleh kelompok-kelompok yang lebih kuat, baik dari pihak penjual maupun dari pihak pembeli. Disinilah ekonomi politik mengambil perannya, ada pihak-pihak tertentu yang berusaha menguasai pasar untuk memaksimalkan keuntungan pribadi. Thurow (1983) dalam Swasono (2011) menyebut mekanisme pasar semacam ini sebagai arus berbahaya (the dangerous current) bagi kesejahteraan masyarakat. Selain itu Heilbroner (1994) dalam Swasono (2011) juga menyatakan bahwa pasar mendorong perubuatan yang tidak bermoral, sehingga mekanisme pasar tidak hanya merupakan suatu kegagalan ekonomi, tapi juga merupakan suatu kegagalan moral.

Tuesday 9 October 2012

Tembakau Virginia Lombok Dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan

Oleh: Muhammad Nurjihadi, SP
Pembangunan berkelanjutan (Sustainable development) merupakan suatu konsep pembangunan yang berprinsip memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang (Rustiadi, 2011). Konsep pembangunan yang seperti ini memiliki implikasi bahwa upaya pemenuhan kebutuhan generasi saat ini tidak boleh merusak sumber-sumber kebutuhan generasi yang akan datang. Serageldin (1996) dalam Rustiadi (2011) mengungkapkan bahwa ada tiga dimensi dalam pembangunan berkelanjutan yang ia sebut sebagai “a triangular framework” yang terdiri dari keberlanjutan ekonomi, sosial dan ekologi.

Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, masyarakat Pulau Lombok sebagian besar bekerja pada sektor pertanian. BPS (2004) mencatat ada 73% masyarakat Pulau Lombok yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Namun demikian, dominasi sektor pertanian dalam struktur ekonomi masyarakat Pulau Lombok ini justeru mengancam keberlanjutan pembangunan. Studi yang dilakukan Parman dan Sunarpi (2011) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan untuk meningkatkan produktifitas hasil pertanian oleh petani di Pulau Lombok sangat berbahaya dan mengancam kehidupan generasi yang akan datang di Pulau Lombok.

Agribisnis tembakau Virginia di Pulau Lombok tidak luput dari permasalahan-permasalahan keberlanjutan. Sebagai tanaman dengan daun sebagai produk utama, tembakau memerlukan unsur nitrogen dalam jumlah yang besar. Sementara ketersediaan unsur itu didalam tanah relatif terbatas. Dengan demikian untuk memenuhi kebutuhan akan nitrogen, petani memberikan pupuk kimia secara intensif untuk mempercepat pertumbuhan vegetatif dan memaksimalkan hasil produksi. Implikasi dari praktek intensifikasi pertanian tembakau ini menyebabkan rusaknya struktur alami tanah yang tentu saja dapat mengancam sumber pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang.

Keterlibatan petani pada agribisnis tembakau Virginia di Pulau Lombok tidak hanya menyangkut aktifitas on farm, tapi juga aktifitas pengomprongan pasca panen (off farm). Untuk mengomprong tembakau dibutuhkan oven yang di desain khusus untuk mengeringkan daun tembakau. Dalam proses pengeringan itu dibutuhkan bahan bakar dalam jumlah yang cukup besar. Bahan bakar yang umumnya digunakan adalah minyak tanah yang disubsidi oleh pemerintah. Namun setelah subsidi minyak tanah untuk omprongan tembakau itu dihentikan, pemerintah membuat program konversi bahan bakar oven tembakau dari minyak tanah ke batu bara. Dalam prakteknya, penggunaan batu bara ini menimbulkan dampak negatif yang luas. Tidak hanya penurunan kualitas hasil omprongan tembakau yang berakibat menurunnya pendapatan petani tapi juga menimbulkan masalah kesehatan terutama penyakit pernapasan. Lokasi oven tembakau yang dekat dengan pemukiman, bahkan sebagian oven dibangun di halaman rumah membuat dampak negatif penggunaan batu bara ini semakin parah. Kondisi ini tidak menghentikan niat petani untuk terus mengembangkan agribisnis tembakau virginia. Sebagai pengganti batu bara, petani akhirnya memilih kayu bakar untuk mengeringkan tembakaunya. Untuk satu kali pengeringan dalam satu oven stidaknya dibutuhkan 2-3 truk kayu gelondongan. Sementara di seluruh Pulau Lombok terdapat sekitar 15.000 oven tembakau. Dalam satu musim tanam tembakau, setiap oven digunakan untuk mengeringkan tembakau sebanyak 5-8 kali (Lombok Post, 3 April 2011). Akibatnya, terjadi aktifitas deforestasi illegal (illegal logging) untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar oven tembakau di Pulau Lombok. Tentu saja hal ini mengancam keberlangsungan hidup generasi yang akan datang.

Selain dampak lingkungan, agribisnis tembakau Virginia di Pulau Lombok juga memiliki dampak sosial yang cukup luas. Dalam studi yang dilakukan Nurjihadi (2011) didapatkan informasi bahwa berkembang pesatnya agribisnis tembakau Virginia di Pulau Lombok sangat berpotensi menimbulkan masalah sosial seperti konflik, kriminalitas dan bahkan bunuh diri. Konflik terjadi karena adanya masalah hutang-piutang antar petani yang sulit dibayar karena anjloknya harga jual omprongan tembakau. Disamping itu, anjloknya pendapatan petani ini juga menimbulkan kriminalitas seperti maraknya pencurian untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dalam beberapa kasus, terjadi pula bunuh diri karena ketidak mampuan petani menanggung beban hutang pada usahatani tembakau Virginia yang mereka usahakan. Dampak sosial lainnya adalah hilangnya tradisi gotong royong. Masyarakat menjadi semakin individualis, materialistis dan hedonis. Meski sikap individualis, materialistis dan hedonis ini tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh agribisnis tembakau, tapi setidaknya perkembangan agribisnis tembakau membantu mempercepat proses transformasi sosial itu. Kondisi sosial seperti ini sungguh berbahaya. Disaat masyarakat mengalami penurunan pendapatan secara ekstrem, mereka tidak punya cukup modal sosial untuk mengurangi beban hidup mereka. Secara perlahan, kondisi semacam ini akan diwariskan ke generasi yang akan datang.

Tidak dapat dipungkiri bahwa agribisnis tembakau Virginia di Pulau Lombok telah berhasil meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat petani secara signifikan. Peningkatan taraf hidup itu terlihat jelas pada peningkatan daya beli, perbaikan kondisi perumahan, perluasan pilihan-pilihan, peningkatan tingkat pendidikan dan perubahan gaya hidup masyarakat (Nurjihadi, 2011). Namun dengan melihat realitas kekinian dimana tanah terus mengalami degradasi unsur hara sebagai akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan, terus berkurangnya stok kayu bakar untuk omprongan tembakau dan terus menurunnya kualitas hasil omprongan tembakau Virginia karena penggunaan bahan bakar yang kurang baik, maka dapat dikatakan agribisnis tembakau Virginia ini juga tidak ramah secara ekonomi terhadap generasi yang akan datang.

Friday 5 October 2012

TEORI-TEORI PERTUMBUHAN EKONOMI: ANALISIS TEORITIS TERHADAP MODEL PERTUMBUHAN HARROD-DOMAR

Oleh: Muhammad Nurjihadi

Teori pertumbuhan pertama di dunia ini digagas oleh Thomas Robert Malthus (1798) melalui teorinya yang terkenal yaitu population trap theory dan David Ricardo dengan teorinya the comparative advantage theory (Snooks dalam Suroyo, 2008). Teori population trap Malthus menjelaskan tentang tidak seimbangnya pertumbuhan populasi dengan pertumbuhan produksi pangan. Malthus menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur (geometric progression, dari 2 ke 4,8,16,32,64, dst) sementara pertumbuhan produksi pangan mengikuti deret ukur (arithmetic progression, dari 2 ke 4,6,8,10,12,14,dst). Oleh karenanya Malthus menilai bahwa pertumbuhan penduduk yang pesat dan tidak diimbangi oleh pertumbuhan produksi pangan itu sebagai sebuah jebakan yang mengancam kehidupan ummat manusia (Indrayani, 2010).

Banyak kritik terhadap teori Malthus itu karena dianggap mengabaikan variabel teknologi dan inovasi. Hayami dan Ruttan (1971) dalam Rustiadi (2011) misalnya, keduanya merumuskan sebuah model sebagai kritik terhadap teori Malthus itu. Dengan optimis Ruttan dan Hayami memperkenalkan induce innovation model sebagai jawaban dari teori psimis population trap Malthus. Dengan model ini, Hayami dan Ruttan menyatakan bahwa pengembangan wilayah atau negara mau tidak mau memang harus memanfaatkan sumber daya yang tersedia di alam. Meskipun suatu saat ketersediaan sumber daya alam akan mencapai batas minimal karena eksploitasi manusia, Ruttan dan Hayami meyakini bahwa kondisi itu justeru akan membuat manusia semakin terangsang untuk berinovasi dan menciptakan teknologi baru untuk merespon kondisi itu. Dalam konteks ini, jumlah modal yang sudah terakumulasi akan dimanfaatkan manusia untuk pengembangan teknologi-teknologi alternatif.

Teori-teori pertumbuhan mengalami perkembangan pesat pada abad ke 20. Pasca terjadinya great depression pada tahun 1930-an, banyak teori-teori pertumbuhan baru yang muncul (Suroyo, 2008). Diantaranya adalah teori yang dikembangkan oleh dua ekonom pasca pasca Keynes yaitu Sir Roy F. Harrod dari Inggris dan Evsey D. Domar dari Amerika Serikat. Domar mengemukan modelnya pertama kali pada tahun 1947 dalam American Economi Review, sedangkan Harrod pada tahun 1939 dalam Economic Journal. Model ini sebenarnya dikembangkan secara terpisah, tetapi karena inti kedua pemikiran mereka sama maka digabungkan menjadi satu yang terkenal dengan Model Harrod-Domar (Assegaf, 2008).

Todaro dan Smith (2006) menjelaskan prinsip model Harrod-Domar ini secara sederhana sebagai berikut:

Tabungan (S) merupakan bagian dalam jumlah tertentu (s) dari pendapatan nasional (Y). dimana s merupakan rasio antara tabungan (S) dan pendapatan nasional (Y). Jika dibuat dalam bentuk persamaan, maka:

s = S/Y .....>> JADI S = sY (pers.1)

Investasi (I) adalah perubahan stok modal (K) atau sama dengan ΔK, sehingga:

I = ΔK (pers.2)

Tapi karena jumlah stok modal K mempunyai hubungan langsung dengan pendapatan nasional Y yang digambarkan dengan rasio modal-output (k), maka:

K/Y = k atau ΔK/ΔY=k....>> JADI ΔK=kΔY (pers.3)

Karena tabungan nasional neto (S) harus sama dengan investasi neto (I), maka:

I = ΔK = kΔY (pers.4)

Jadi, kita dapat menuliskan bahwa tabungan sama dengan investasi:

S = sY = kΔY = ΔK = I ....>> JADI sY=kΔY (pers.5)

Selanjutnya, jika persamaan (pers.5) dibagi dalam dua proses, proses pertama dibagi dengan Y, dan pada proses ke dua dibagi dengan k, maka dihasilkan:

ΔY/Y = s/k (pers.6)

Perhatikan sisi kiri dari persamaan (pers.6), ΔY/Y sesungguhnya merupakan tingkat perubahan GDP atau dengan kata lain tingkat pertumbuhan GDP (persentase pertumbuhan GDP).

Persamaan (pers.6) yang merupakan versi sederhana dari persamaan terkenal dalam teori pertumbuhan Harrod-Domar menggambarkan bahwa tingkat pertumbuhan GDP (ΔY/Y) ditentukan oleh rasio tabungan terhadap pendapatan nasional (s) dan rasio modal terhadap pendapatan nasional (k). Semakin tinggi tabungan yang artinya semakin tinggi pula rasio tabungan terhadap pendapatan nasional, maka semakin tinggi pula pertumbuhan GDP suatu negara. Sementara semakin tinggi rasio modal terhadap output nasional (k) justeru dapat menyebabkan pertumbuhan GDP suatu negara menjadi rendah. Dalam kalimat sederhana dapat dikatakan bahwa prinsip dasar model Harrod-Domar ini adalah “pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada tingkat tabungan (saving)”.

Sebagaimana teori Malthus yang mendapat banyak kritikan, model Harrod-Domar inipun tidak sepi dari kritik. Bahkan kritik itu juga datang dari Todaro (2006) yang menyatakan bahwa tingkat tabungan atau investasi dalam jumlah banyak saja belum mampu memenuhi syarat cukup (sufficient condition) untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Selain tabungan, banyak hal lain yang diperlukan sebagai syarat cukup untuk memacu pertumbuhan ekonomi seperti syarat-syarat struktural, institusional dan sikap-sikap masyarakatnya (misal tersedianya pasar-pasar komoditas dan pasar uang yang sudah terintegrasi dengan baik, tersedianya infrastruktur yang memadai, tenaga kerja yang terdidik dan terlatih dengan baik, motivasi untuk berhasil serta birokrasi pemerintah yang efisien). Kisah sukses projek Marshall Plan di Eropa tidak bisa dijadikan rujukan untuk menerapkan hal serupa di tempat lain. Sebab kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakatnya berbeda. Kiranya inilah yang menjadi alasan gagalnya program bantuan besar-besaran ke philipina pasca perang dunia II.

Pendapat Todaro dan Smith diatas sedikit tidak memiliki kesamaan ide dengan Boeke yang mengembangkan teori dualisme ekonomi. Meski teori Boeke dikembangkan jauh sebelum Todaro, tapi ide dasarnya adalah dualisme ekonomi yang diberlakukan pemerintah kolonial pada daerah jajahannya bertentangan dengan struktur sosial dan budaya masyarakat pribumi sehingga menyebabkan gagalnya pembangunan ekonomi di daerah jajahan. Boeke yang meneliti perekonomian pribumi Hindia Belanda (Indonesia pra merdeka) berhasil membuktikan bahwa motivasi ekonomi masyarakat pribumi Hindia Belanda lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sosial, bukan pemenuhan kebutuhan individu. Namun tidak berarti bahwa penduduk pribumi tidak memiliki kepekaan atau rangsangan terhadap pasar. Buktinya, ketika terjadi great depression pada tahun 1930-an, industri kerajinan masyarakat pribumi justeru mengalami kebangkitan dan tumbuh secara mengesankan. Para sarjana Belanda kala itu menilai bahwa praktek ekonomi masyarakat pribumi itu tradisional dan tidak peka terhadap pasar sehingga perlu di modernisasi dengan penerapan sistem ekonomi kapitalis. Inilah yang disebut Boeke sebagai dualisme ekonomi, pemberlakuan ekonomi kapitalis di satu sisi berbenturan langsung dengan perekonomian pribumi yang lebih moralis dan sosialis yang dituding Boeke sebagai penyebab gagalnya pemerintah kolonial membangun perekonomian pribumi (Rahardjo, 2011).

Kritik lain juga datang dari seorang ekonom bernama L.G.Bustedo yang mengatakan bahwa permintaan konsumen akhir adalah syarat yang tak bisa ditawar bagi produksi. Bustedo menjelaskan bahwa pandangan yang mendukung peningkatan tabungan (saving) untuk memacu pertumbuhan ekonomi adalah “bukan hanya tidak alami tapi juga mustahil”. Menurutnya, memaksimalkan tabungan hanya akan menurunkan daya beli umum untuk keperluan konsumsi yang dapat menyebabkan penurunan permintaan barang dan akhirnya membuat tidak bergairahnya produksi meskipun jumlah tabungan tersedia dalam jumlah banyak. Artinya uang yang ditabung itu tidak akan terpakai. Jadi menurut Bustedo, yang perlu dimaksimalkan adalah jumlah total permintaan akhir dengan memaksimalkan konsumsi, bukan dengan meningkatkan tabungan (Skousen, 2006).

Bustedo sebenarnya ekonom yang lahir jauh sebelum teori Harrod-Domar dipublikasikan. Kritik yang ia sampaikan ini adalah kritik yang ditujukan kepada Eugen Bohm Bawerk (1851-1914) yang juga menjadi penganjur kenaikan tingkat tabungan untuk mencapai tingkat kemakmuran universal dan pertumbuhan ekonomi. Gagasan itu disampaikan Bohm Bawerk pada bukunya yang terbit tahun 1891 berjudul The Positive Theory of Capital (Skousen, 2006). Jadi dapat disimpulkan bahwa teori Harrod-Domar sebenarnya hanya mengulang dan memodifikasi teori Bohm Bawerk.

Terlepas dari semua kritik itu, pemikiran Harrod-Domar layak di apresiasi. Pembangunan ekonomi suatu negara memang tidak akan bisa dilakukan tanpa adanya tabungan untuk investasi. Tapi memang benar apa yang disampaikan Todaro dan Smith (2006) bahwa itu belum memenuhi syarat kecukupan untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Dibutuhkan syarat lain seperti kondisi infrastruktur, Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik serta kondisi sosial budaya yang mendukung. Namun bukan berarti pula memaksakan suatu negara untuk merubah sikap sosial dan budayanya untuk keperluan penerapan teori Harrod-Domar itu. Justeru yang harus dilakukan adalah memodifikasi teori Harrod-Domar agar sesuai dengan kondisi sosial budaya di suatu negara (kearifan lokal). Semisal untuk kasus di Indonesia, meminjam istilah Boeke dalam Rahardjo (2011) yang mengatakan bahwa dalam koperasi terdapat kesejajaran antara prinsip cooperative dengan nilai gotong-royong atau tolong menolong yang menjadi ciri khas masyarakat pribumi Indonesia. Oleh karenanya, konsep Harrod-Domar jika ingin diterapkan di Indonesia hendaknya dikembangkan dengan model koperasi ala Boeke.

Teori pertumbuhan pada abad ke 20 tidak hanya datang dari Harrod-Domar, beberapa teori lain yang berkembang adalah teori pertumbuhan Rostow yang merupakan teori pertumbuhan linier, sama seperti teori Harrod-Domar. Disamping itu ada juga teori pertumbuhan neo klasik yang dikategorikan Todaro sebagai teori strukturalis seperti Dudley Seers, Gunnar Myrdal, Arthur Lewis, Hollis Chenery, Theodonia Dos Santos dan Raoul Prebisch. Namun teori-teori itu tidak dibahas dalam tulisan ini.

Referensi:
Assegaf, Ridho. 2008. Teori-Teori Pembangunan. http://ridhoassegaf.blogspot.com/2008/12/teori-teori-pembangunan.html

Indrayani, Agnes RA.2010.Ketahanan Pangan Nasional dan Teori Population Trap. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Vol I, No. 1

Rahardjo, M Dawam.2011. Nalar Ekonomi Politik Indonesia. IPB Press. Bogor

Rustiadi at al.2011.Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Crespent Press YOI. Jakarta

Skousen, Mark.2006. Sang Maestro Teori-Teori Ekonomi Modern. Prenada Media. Jakarta

Suroyo.2008. Peran Sektor Publik Dalam Akumulasi Human Capital Dan Kapasitas Research & Development (in contect of understanding the source of growth). FEUI

Todaro and Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi Jilid 1 Edisi Ke Sembilan.Erlangga.Jakarta