Wednesday 7 December 2011

Part 4. SEPUCUK SURAT UNTUK IBU

Oleh : Muhammad Nurjihadi

Hari itu aku di ajak oleh kakak misanku untuk pergi ke sawah. Meski hanya untuk sekadar ikut-ikutan dan membantu sebisanya, aku sering ikut dengan Tamam. Dia anak dari bibikku. Ketika itu dia sudah kelas empat SD, satu kelas dengan kakakku, Dina. Dia sosok yang lugu, culun, dan penglihatannya kurang bagus, dia memang rabun. Saat itu, aku di ajaknya untuk mencabut sisa-sisa tanaman mentimun yang sudah habis masa produksinya. Bagiku pekerjaan ini tidak terlalu berat. Meskipun batang tanaman mentimun juga cukup gatal. Kami bekerja dari pagi sampai siang. Hari itu memang hari minggu, kami tidak masuk sekolah. Satu persatu pohon timun yang tua itu kami cabut dan kami kumpulkan lalu kami bakar. Itulah teknis yang di ajarkan kepada kami. Padahal sebenarnya batang timun itu tidak perlu di bakar, tapi di benamkan dalam tanah sebagai pupuk yang dapat menambah kesuburan tanah. Tapi tidak ada yang mengerti tentang itu. Sudah menjadi kebiasaan ketika itu bahwa semua sisa tanaman harus di bakar.

Saat terik mulai memaksa cairan tubuh kami keluar, letih pun menghantui kami yang sedang sibuk di tengah ladang terbuka itu. Tepat ketika sang surya ada di atas kepala, aku di ajak oleh Tamam untuk istirahat. Di masa istirahat ini aku kemudian di ajaknya ke sebuah sungai yang jaraknya sekitar 500 meter dari sawah itu. Sungai ini memang tempat kami biasa istirahat di kala siang saat kami pergi ke sawah, baik hanya untuk main atau untuk banti-bantu. Selain karena suasananya yang sejuk, lokasi ini juga tersedia tempat untuk salat. Tapi aku tak langsung salat. Aku sejenak merenung, mengingat ketika tiga tahun yang lalu ibuku datang jauh dari Mataram untuk menjenguk anak-anaknya. Ya, itulah aku, aku memang terbiasa merenung sejak masa kanak-kanakku. Yang ada dalam benakku ketika itu, tidak bisa kah bapak dan ibu kandungku rujuk kembali. Aku mau hidup bersama dengan mereka. Entah kenapa, air mataku menetes dan membasahi pipi. Aku larut dalam renungan dan terbuai dengan impian sederhana yang memaksa air mataku harus keluar tanpa ku niatkan.

Aku tidak tahu kalau ternyata Tamam memperhatikanku dari tadi. Tapi dia tidak menggangguku. Dia membiarkanku menikmati air mata anugerah ini. Aku pun semakin larut dalam lamunan. Tidak terasa air mata yang keluar semakin deras. Ku usap mataku dengan sarung yang ku kenakan dan tak pernah ku ganti bahkan lebih dari dua bulan. Sarung serba guna itu pun kuyup.
“ buarrrrrrrrrr...” sebuah suara menyadarkanku dari lamunan yang membuahkan air mata itu
“apa itu...??” tanyaku spontan
Tepat di sampingku satu buah mangga jatuh dari pohonnya. Ia langsung terbelah. Merah menyala, ah sepertinya sangat manis bila dimakan. Apa lagi aku dan Tamam belum sarapan dari pagi. Kami kemudian menikmati rezeki nomplok itu. MasyaAllah.... begitu lezat mangga itu. Meski agak kecut, tapi rasanya hampir tak bisa ku gambarkan lewat cerita ini, begitu lezat. Mungkin karena saat itu kami belum makan.
Aku teringat bahwa ternyata aku belum salat. Selesai menikmati buah mangga itu, aku kemudian mengambil air wudlu’ di sungai. Ketika berwudlu’ ku temukan sebuah pulpen di atas batu yang membelah aliran air di sungai itu. Selesai berwudlu’ ku sempatkan diri untuk mengambil pulpen itu.
“ Jihad, aku duluan ya, ibuku nunggu di sawah, Ga’ ada orang disana..” ucap Tamam
“ Iya sudah...” jawabku lemas. Aku tidak rela di tinggal sendiri di sungai itu
“ Kamu cepetan ya...!!” perintahnya sambil berlari meninggalkanku.
Akupun bergegas naik dari sungai menuju sebuah batu besar yang ada di pinggirnya. Batu ini lah yang kumaksud tempat salat yang tersedia disana. Ku rapikan sarung serbagunaku lalu ku angkat kedua tanganku seraya mengucapkan “ALLAHUAKBAR...”.

Dalam salat, pikiranku ku arahkan pada sosok seorang wanita yang pernah menemuiku 3 tahun yang lalu. Sedikit pun tidak ada Tuhan yang ku sembah dalam benakku ketika itu. Aku memang tidak bisa bahkan tidak mengerti bagaimana salat yang khusyu’. Ku tolehkan wajahku ke kanan dan ke kiri sambil mengucap salam, meskipun aku ragu apakah rakaat salatku sudah benar. Aku tidak langsung berdo’a. Tapi lagi-lagi aku merenung. Siswa kelas dua SD yang baru berusia lima tahun sepertiku tak cukup mampu untuk melaksanakan ibadah dengan baik. Ku tatap sebuah pohon besar yang ada di depanku. Di sekelilingnya tumbuh beberapa tanaman yang ukurannya lebih kecil darinya. Di bawahnya, berbagai binatang hidup berkeliaran, bahkan akarnya yang dalam tidak sedikit menyimpan dan menyuplai air untuk sungai yang ada di bawahnya. Yang ku pikirkan betapa beruntungnya binatang-binatang itu bisa berteduh di bawah pohon yang besar itu. Sementara di pucuk sana sang pohon harus menahan panasnya terik matahari siang itu. Bahkan ia harus rela membiarkan daun-daunnya rontok. Aku belum paham bahwa pohon itu juga memang membutuhkan sinar itu.

Entah karena apa, aku jadi berpikir bahwa pohon yang besar itu adalah seorang ibu, dan binatang-binatang yang berteduh di bawahnya adalah anak-anaknya. Aku kembali menangis karena merasa tidak seberuntung binatang itu. Dalam benakku, bahkan binatang jauh lebih beruntung daripada aku. Hatiku galau, gundah tak karuan. Setiap pikiran dan imajinasiku tertuju pada sosok seorang wanita yang penuh wibawa di mataku. Dialah ibuku. Kerinduanku akan sosok sang ibu kembali mencuri energiku untuk memikirkannya. Tak terhitung sudah berapa banyak air mata yang harus ku buang sia-sia hanya untuk merenungkan seorang ibu. Seorang ibu yang bahkan memelukku untuk terakhir kalinya tiga tahun yang lalu.

Aku teringat polpen yang ku temukan tadi, lalu ku ambil sebuah daun kering yang di rontokkan oleh pohon besar di depanku. Di atas daun itu ku tulis sebuah prasasti sebagai untaian kalimat yang datang dari lubuk hati. Niatku tak lain adalah agar ia bisa di baca oleh ibuku di ujung barat sana. Ku pikir sungai-sungai yang ada saling sambung satu sama lain dan bermuara di Mataram. Kebetulan di tempat ibuku tinggal, dekat dengan sungai kecil. Dalam selembar daun kering itu aku menulis
“ Aku merindukanmu ibu...!!
Jihad...”

Dengan penuh harap ku dekati air yang mengalir di depanku, lalu ku hanyutkan selembar daun yang akan membawa isi hatiku itu kepada ibuku. Tidak ku sadari, Tamam ada di belakangku. Ketika daun itu sudah hanyut, ia berlari mengikuti arah aliran air. Dia seperti mengejar sesuatu. Setelah mengejarnya cukup jauh, ia dapatkan benda yang ia cari itu. Itulah goresan hatiku, sebuah lembaran dari daun kering yang rontok.
Ku lihat dari kejauhan, ia menangis. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Aku bahkan tidak tau, kalau benda yang di kejarnya itu adalah surat ku untuk bunda. Ia mendekatiku, lalu menatapku dalam dan mengatakan
“ ibumu sedang merindukanmu...!!”
Aku jadi terharu, ku lempar sebuah senyum has ku untuknya, lalu ia balas dengan memegang pundakku sambil memaksa bibirnya agar terlihat senyum, padahal dia sedang menangis. Ku kira, dia bisa membaca jalan pikiranku. Ternyata dia membawa surat yang ku hanyutkan tadi. Aku kemudian di ajaknya kembali ke sawah, karena di sana makanan sudah siap, iya, bibiku yang membawakannya, ibunya Tamam.

Aku makan dengan lahap, sementara itu, Tamam dan ibunya asyik ngobrol. Tamam menceritakan semua yang ku lakukan tadi kepada ibunya. Tak heran, bibikku itu kemudian ikut terharu dan menangis. Ia mendekatiku, lalu memelukku dengan hangat, ia kemudian berbisik di telingaku dengan lembut
“ sabar nak,,,,!!”
Ku lepas piring yang isinya sudah ku makan habis. Bibikku kemudian meminta Tamam untuk mengajakku pulang, padahal pekerjaan sebenarnya masih banyak. Rasa harunya berkembang menjadi rasa kasihan padaku. Sehingga aku di mintanya harus pulang.
“ini suratmu kan...?” tanya Tamam sembari menyodorkan daun kering yang bertuliskan isi hatiku tadi. Aku kaget,
“kenapa kamu ambil...?” tanyaku lantang
“maaf, aku Cuma mau tau apa yang kamu tulis” jawabnya lucu
“aku tidak terima, kamu harus kembalikan sekarang” pintaku dengan sedikit memaksa
“iya sudah....” jawabnya, ia lalu berbalik dan berlari kencang ke sungai
“tunggu.....!!!” teriakku,” aku ingin ikut...! ” sambungku. Aku berlari dengan kencang menyusul Tamam.
Sesampai di sungai aku kembali melepaskan surat itu di atas air yang sedang mengalir. Ku pandangi ia yang berjalan beriringan dengan aliran air. Aku tersenyum, yang di balik senyum itu tersimpan harapan bahwa surat itu akan sampai pada ibuku.
“kamu jangan cerita ke siapa-siapa lagi...!!!” pintaku ke Tamam
“ OK bos” jawabnya

Setelah itu kami langsung pulang berdua melewati pematang demi pematang di areal persawahan di desa kami. Kami saling kejar dan saling lempar bahkan saling ejek. Lelah tak kami rasakan. Keharuan sirna di bungkus kegembiraan. Biar bagaimanapun, aku hanya lah bocah lima tahun yang duniaku adalah bermain.

Friday 21 October 2011

Neoliberalisme dan Agenda Yahudi, Musuh Keadilan

Oleh : Muhammad Nurjihadi
Saya teringat beberapa tahun lalu ketika mahasiswa di seluruh Indonesia disatukan dalam satu isu besar yaitu skandal Bank Century. Saat itu, hampir setiap hari kita mendengar suara penolakan terhadap paham neoliberalisme yang ditengarai menjadi paham para pengambil kebijakan ekonomi di negeri ini. Teriakan-teriakan anti neolib itu terus dikumandangkan dengan berbagai media dan strategi. Unjuk rasa, diskusi-diskusi, hingga tulisan di dunia maya menghiasi hari-hari kita ketika itu. Tapi apa semua orang yang berbicara tentang neoliberalisme ekonomi itu paham dengan apa itu neoliberalisme..?? saya kira tidak semua mereka yang ikut dalam gelombang penolakan neoliberalisme itu paham dengan apa yang mereka teriakkan. Kalaupun paham, kepahaman mereka hanya sebatas ikut-ikutan, mengulang perkataan orang yang pernah berbicara sebelumnya dengan tema yang sama. Disadari atau tidak, itulah yang menyebabkan ketidakjelasan arah gerakan anti neoliberalisme saat itu.

Istilah neoliberalisme mulai digunakan pada dekade 1990-an bersamaan dengan merebaknya ide globalisasi di barat (edi swasono,2011). Liberalisme yang sudah mulai ditentang dan tidak disenangi di masa itu memaksa para pemikir liberal mencari format dan istilah baru untuk tetap menancapkan pengaruhnya diseluruh dunia. Lalu muncullah istilah neoliberalisme. Neo diartikan dengan istilah “semi”. Dengan demikian neoliberalisme juga diartikan sebagai “semi liberal” atau tidak terlalu liberal atau dengan kata lain, liberalisme tidak radikal atau dengan kata lain leberalisme sosial. Dengan memainkan istilah seperti itu, para pemikir liberal itu berharap ide mereka didukung oleh masyarakat internasional yang diisi oleh beragam cara pandang. Mereka ingin membuat dunia ini memiliki satu pandangan, yaitu liberalisme, meski dengan istilah yang coba diperhalus menjadi neoliberalisme. Inilah salah satu strategi pemikiran barat untuk menjalankan misi “globalisasi” mereka.

Lalu apa itu globalisasi ?. H.Kissinger (1998) menyebut globalisasi adalah nama lain untuk dominasi Amerika. Ahli lain menyebutkan globalisasi dari segi cultural merupakan sebuah upaya perluasan pengaruh amerika atau “amerikanisasi” (Friedman, 2001). Kesimpulan dari dua ekonom itu menjelaskan betapa ide globalisasi sesungguhnya adalah ide penjajahan modern. Amerika yang mengusung ide itu menginginkan dunia ini memiliki ekonomi global tanpa pemerintahan global, memiliki ekonomi global tanpa masyarakat global (yang semuanya itu akan membuat dunia bergantung kepada Amerika). Pencetus ide The Class Of Civilization (Huntington, 1996) memberikan pandangan dalam keadaan dunia yang semakin terglobalisasi akan menyebabkan terjadinya perusakan serius terhadap kesadaran diri pada tingkat peradaban, kemasyarakatan, dan etnis. Apa yang dikatakan Huntington itu benar menurut saya. Karena itulah yang diinginkan Amerika. Membuat masyarakat internasional membuang kesadaran diri mereka pada tingkat peradaban, kemasyarakatan dan etnis agar peradaban itu selamanya hanya milik Amerika.

Neoliberalisme adalah salah satu turunan dari cara pandang globalisasi di bidang ekonomi. Pemikiran neoliberalisme berpandangan bahwa aktifitas ekonomi adalah aktifitas persaingan atau aktifitas kompetisi. Akibatnya, pandangan ini membuat para pelaku ekonomi memandang pelaku ekonomi lainnya sebagai kompetitor, sebagai pesaing bahkan sebagai musuh. Inilah alasan yang menjelaskan kenapa si kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin. Sebab dengan logika kompetisi seperti ini si kaya tentu saja akan semakin baik kemampuan bersaingnya karena didukung oleh kekayaannya yang dengan itu akan membuatnya semakin kaya. Sebaliknya untuk si miskin, semakin kaya si kaya berarti semakin sedikit peluang si miskin untuk menguasai sumber ekonomi karena sudah dikuasai oleh si kaya tadi. Akibatnya kemiskinan terus dan akan terus terjadi selama si kaya tadi terus berusaha menjadi kaya. Inilah logika neoliberalisme yang secara sadar dipahami oleh para pemikirnya. Kompetisi yang akhirnya akan memenangkan segelintir orang dan mengalahkan sebagian besar masyarakat yang sebenarnya lebih berhak menguasai aset ekonomi yang dikuasai segelintir orang itu.

Indonesia sejak awal kemerdekaannya sesungguhnya sudah menolak sistem berfikir yang seperti ini. Sebab para pendiri bangsa ini paham bahwa pola pikir liberal hanya akan menyebabkan masyarakat Indonesia terpinggirkan. Undang-Undang agraria yang dibuat pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1870 membuat tanah-tanah Indonesia ketika itu dikuasai oleh asing dan memaksa rakyat pribumi menjadi kuli di negeri sendiri. Bahkan untuk kondisi saat itu, bukan sekedar menjadi kuli tapi menjadi budak untuk para tuan tanah. Budak karena mereka tidak pernah digaji. Kalaupun mereka mendapat upah, itu jauh dari layak untuk bisa membuat mereka hidup dengan layak. Sehingga agenda perjuangan kemerdekaan saat itu sebenarnya lebih kepada upaya demokratisasi ekonomi, menghilangkan pengaruh modal asing terhadap perekonomian Indonesia.

Setelah kemerdekaan itu kita dapatkan, pemerintah secara konkrit menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat. Tanah-tanah yang dikuasai asing itu diambil lagi oleh rakyat. Meski kita tau bahwa pengambilalihan tanah secara paksa oleh rakyat saat itu akhirnya berujung pada disintegrasi sosial karena konflik agraria. Tapi saya tidak sedang berbicara tentang sejarah perampokan tanah yang dilakukan PKI atas nama pemerintah saat itu. Saya hanya ingin mengatakan bahwa semangat awal berdirinya bangsa ini adalah untuk membebaskan Indonesia dari belenggu modal asing. Lalu ketika Indonesia dipimpin oleh diktator orde baru yang dikelilingi oleh aristokrat liberal hasil didikan Amerika, asset-aset Indonesia kembali banyak dikuasai asing. Itulah alasan kenapa Soeharto menandatangani perjanjian atau kontrak pertambangan selama 25 tahun dengan Newmont di NTB, atau dengan perusahaan-perusahaan lainnya di seluruh Indonesia. Tragisnya, setelah kejatuhan Soeharto karena sikap korup dan disokong para pemikir liberal itu, praktek neoliberalisme justeru semakin menjadi-jadi di negeri ini. Seolah ia adalah idiologi Negara.

Sebelum lebih jauh berbicara Indonesia yang dikuasai kaum neoliberal, ada baiknya kita memahami dulu kenapa globalisasi menjadi pilihan dan arah perjuangan barat, lalu kenapa Amerika yang menjadi aktor utama dalam penegakan globalisasi itu. Semangat globalisasi sesungguhnya juga dimiliki oleh Islam. Kita biasa menyebutnya dengan istilah Khilafah Islamiyah. Tapi ada terlalu banyak perbedaan yang mendasar antara kedua hal tersebut. Jika globalisasi menghendaki perekonomian global tanpa pemerintahan global, maka khilafah menghendaki perekonomian global dengan satu pemerintahan kolektif. Globalisasi bertujuan untuk menggiring asset-aset ekonomi berkumpul pada suatu pihak atau golongan tertentu dan menjadikan pihak lain sebagai “pensuplai” kebutuhan untuk golongan itu. Sementara khilafah menghendaki perekonomian global yang berdasarkan atas asas berkeadilan dan mensejahterakan. Globalisasi menggunakan paham ekonomi neoliberal dengan logika kompetisi untuk menjalankan aktifitas ekonomi, sementara khilafah menggunakan paham ekonomi syari’ah dengan semangat korporasi atau kerjasama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Globalisasi mengedapankan individualisme dan kebebasan tak terbatas untuk mendukung ide mereka, sementara khilafah mengedepankan ukhuwah dan kebebasan yang proporsional. Globalisasi menyatukan dunia dengan cara merekayasa perang mata uang global secara ekstrem (yang menekan Negara-negara berkembang) sedangkan khilafah menyatukan dunia dengan memenuhi kebutuhan real masyarakat untuk hidup sejahtera. Masih banyak lagi perbedaan yang lain secara fundamental antara keduanya. Yang paling menarik bagi saya adalah globalisasi dengan neoliberalismenya berupaya menghimpun aset ekonomi untuk kesejahteraan “golongan tertentu” sementara khilafah dengan ekonomi syari’ahnya menyebarkan aset ekonomi secara merata dan proporsional untuk kesejahteraan ummat manusia.

Lalu siapa “golongan tertentu” yang saya maksud diatas..?. tidak lain dan tidak bukan, mereka adalah “komunitas yahudi internasional”. Dalam doktrin yahudi, ummat lain selain yahudi dianggap sebagai budak dan mereka adalah ummat terbaik yang diselamatkan. Mereka yakin, suatu saat Yehwah (atau entah apa istilahnya) akan turun ke bumi dan membunuh semua orang kecuali orang-orang yahudi. Nah, sebelum itu terjadi, mereka ingin agar dunia ini semuanya menjadi budak mereka. Tentu saja mereka tidak bisa melakukannya secara langsung, oleh karenanya dibutuhkan strategi jitu untuk mewujudkannya. Dengan paham neoliberalisme, mereka memaksa semua orang untuk berkompetisi memperebutkan aset-aset ekonomi. Seperti yang pernah saya jelaskan sebelumnya, kompetisi itu kemudian semakin memperkaya orang kaya dan mempermiskin orang miskin. Akibatnya adalah semakin banyak orang yang miskin dan semakin sedikit orang yang kaya. Nah, orang kaya yang sedikit ini kemudian dibuat bergantung pada yahudi dengan memberikan jaminan keamanan kekayaan mereka. Teknisnya adalah kekayaan itu mereka simpan di suatu bank yang bank itu kemudian menjaminkan uang tersebut kepada bank sentral dalam bentuk Giro Wajib Minimum (GWM). Bank sentral itu lalu bergantung juga pada dana moneter internasional seperti IMF, WTO, dll.

Dalam bentuk lain, uang milik orang kaya itu juga diperjual belikan melalui “jual beli valuta asing” di pasar uang. Termasuk juga jual beli saham di pasar saham. Jadi, semua itu pada akhirnya bermuara pada “segelintir orang komunitas yahudi” itu. Dengan kata lain, sesungguhnya kekayaan yang tersimpan milik orang-orang kaya itu sebenarnya dikuasai oleh komunitas yahudi itu. Sementara, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka seperti makan, pakaian, rumah dan sebagainya, mereka mengeksploitasi tenaga orang miskin untuk mendapatkan bahan bakunya. Para petani mensuplai kebutuhan makanan, para pekebun mensuplai kebutuhan bahan baku pakaian dan perumahan. Untuk memiliki hasil jerih payah petani itu, mereka hanya mengeluarkan sebagian kecil dari harta mereka.

Lalu kenapa Amerika..?. ada beberapa sebab menurut saya. Pertama yahudi yang memiliki Negara berdaulat yaitu Israel tidak bisa diterima di semua negara. Ada banyak negara yang tidak mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel karena sentimen tertentu, baik sentimen keagamaan, sentimen teritorial maupun sentimen-sentimen lainnya. Sementara itu, Amerika adalah negara yang relatif bisa diterima oleh semua kalangan serta memiliki jaringan internasional yang baik. Kedua, Amerika merupakan negara yang punya pengaruh cukup kuat di dunia internasional, baik di PBB, maupun di negara-negara lain. Ketiga, Amerika adalah negara yang paling banyak menerima manfaat dari korporasi yahudi. Dengan demikian, kaum yahudi bisa memanfaatkan rasa berhutang budi Amerika kepada yahudi untuk menjalankan misi internasional mereka, menjadikan ummat lain sebagai budak.

Tapi kenapa dunia begitu mudah menerima ide itu..?. Apakah masyarakat dunia tidak mengetahui misi terselubung yahudi itu..?. Kenapa pula banyak kaum muslimin di Indonesia yang mendukung ide itu?. Kenapa pula idiologi itu begitu subur di Indonesia yang bahkan pemerintahnya sendiri adalah penganut cara berpikir itu. Disinilah kelihaian yahudi yang bekerja berdasarkan skala prioritas. Mereka tahu persis bahwa peradaban dunia itu tidak dimulai dari penguasa. Sebab penguasa cenderung mengikuti arahan akademisi (ilmuwan). Tidak pula dari pengusaha, sebab pengusaha juga banyak bertindak berdasarkan hasil studi para ilmuwan. Nah, disinilah para yahudi itu bermain, mereka melakukan rekayasa pemikiran terhadap para ilmuwan. Jadi, disadari atau tidak, kebanyakan ilmuwan dunia, terutama para ekonom adalah objek rekayasa pemikiran oleh yahudi.

Kita tahu bahwa kaum intelektual atau ilmuwan adalah orang yang sangat di hormati dan berpengaruh besar dalam peradaban ummat manusia. Sejarah peradaban ummat manusia selalu dimulai dari gerakan pemikiran yang dicetuskan para ilmuwan. Itulah yang menyebabkan nama Plato, Aristoteles, Newton, Charles Darwin dan ilmuwan-ilmuwan lain tetap abadi sepanjang masa. Tapi kenapa para ilmuwan (terutama ekonom) sekarang yang notabene adalah kaum intelektual yang seharusnya bisa berpikir rasional bisa terjebak dalam misi yahudi ?. disinilah sekali lagi yahudi itu menggunakan skala prioritas dalam bekerja. Mereka memulai persemaian pemikiran itu melalui kurikulum.

Kalau anda pernah belajar ekonomi, anda tentu ingat apa yang diajarkan kepada anda..? (ini terjadi juga kepada saya). Hal dasar yang diajarkan adalah bagaimana pasar menemukan bentuknya sendiri melalui mekanisme pasar. Disana demand atau permintaan dan supply atau penawaran bertemu untuk membentuk suatu keseimbangan harga. Tidak ada yang salah dengan logika ekonomi itu. Tapi yang tidak bisa saya terima adalah mekanisme itu tidak adil dalam menetapkan harga, sebab ia tidak memperhatikan kemampuan ekonomi (ketersediaan uang) konsumen untuk membayar harga tersebut. Mekanisme pasar seperti itu tidak lain merupakan hukum rimba dimana yang kuat akan menang dan yang lemah akan kalah. Artinya, bagi mereka yang tidak mampu membayar harga yang tercapai pada tingkat “keseimbangan harga” itu idak dapat memiliki barang tersebut, padahal barang tersebut sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan hidupnya, disiniah tidak adilnya asumsi ekonomi Adam Smith itu. Pasar adalah instrument yang tidak cukup mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, bahkan untuk masyarakat yang telah makmur sekalipun, pasar merupakan pelayan yang rajin untuk orang kaya, tetapi tidak memihak kepada yang miskin (Edi Swasono, 2011). Artinya harga yang dibentuk oleh pasar adalah sekadar “keseimbangan pasar” tetapi bukan “keseimbangan masyarakat” untuk menjamin tercapainya “keadila sosial bagi seluruh masyarakat”. Itulah sebabnya, seorang ekonom terkemuka, Lester Thurow (1983) menyebut mekanisme pasar semacam ini sebagai “the dangerous current” atau “arus berbahaya” bagi kesejahteraan masyarakat.
Untuk terus menanamkan pemikiran ekonomi itu, para donatur internasional yang tidak lain adalah pemangku kepentingan (yahudi) mensuplai kebutuhan buku ajar ekonomi ke seluruh dunia melalui lembaga-lembaga internasional yang bisa diterima masyarakat internasional. Nah, sekarang kita bisa simpulkan kalau ternyata selama ini, ilmu ekonomi yang diajarkan kepada kita adalah suatu upaya penjerumusan pola pikir kaum intelektual untuk menunjang kesejahteraan hidup segelintir orang. Disamping itu, pemberian beasiswa untuk belajar ekonomi di Amerika, Kanada dan lain sebagainya adalah program lain untuk memupuk pemikiran liberal itu. Sekarang, hasil didikan ekonomi liberal inilah yang mengisi pos-pos penting di pemerintahan. Dalam sebuah diskusi nasional, Prof. Sri Edi Swasono (Guru Besar FEUI, inspirasi saya menulis tulisan ini) menyebut mereka sebagai “preman berdasi” yang memimpin bangsa. Oleh karenanya kita tidak heran kalau Marie Elka Pangestu beberapa waktu lalu mengimpor kentang meskipun produksi dalam negeri masih cukup untuk memenuhi kebutuhan kentang nasional. Itu pula sebabnya kenapa pemerintah rela memberikan uang rakyat 6,7 Triliun rupiah untuk menyelamatkan Bank Century. Itu pula yang menyebabkan bermunculannya ide “membuka hubungan diplomatik dengan Israel” untuk menjamin perekonomian nasional.
Selain di pemerintahan, hasil didikan Amerika ini juga pulang ke Indonesia dengan berkiprah sebagai akademisi tulen. Mereka lalu menulis buku-buku ekonomi yang tidak lain adalah mengulang atau bahkan mengutip ekonom tempat mereka belajar dengan sedikit penyesuaian dengan kondisi lokal Indonesia. Sebut saja Sadono Soekirno, Herman Rusyidi, Prathama Rahardja, Mandala Manurung, dll. Mereka semua menulis buku ajar ekonomi yang masih bertitik tolak pada paham neoklasikal yang mengajukan competitive economic (ekonomi kompetisi) dan fundamentalisme pasar, meskipun sedikit menyinggung tentang sistem ekonomi Indonesia dan menyebut perkataan “koperasi” didalamnya.

Neoliberalisme tidak akan pernah melahirkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebaliknya neoliberalisme akan terus menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Kalau penyelenggara Negara ini tidak segera beralih haluan dengan meninggalkan neoliberalisme, maka akan terjadi kesenjangan sosial ekonomi yang semakin parah. Akibatnya Indonesia akan sangat mudah terjangkit “disintegrasi sosial”. Untuk apa punya pemerintah kalau tidak bisa mensejahterakan rakyatnya..?. Saat ini, sedang terjadi demonstrasi anti wallstreet di Amerika dan eropa oleh kaum-kaum yang termarginalkan disana. Cepat atau lambat, hal serupa atau mungkin lebih parah juga akan terjadi di Indonesia.

Ekonomi syari’ah yang akhir-akhir ini berkembang semakin pesat diyakini akan mampu membawa perbaikan kesejahteraan. Tapi sejauh ini penerapan ekonomi syari’ah itu hanya sebatas pada bank, belum pada aktifitas ekonomi lainnya. Sudah banyak kampus di Indonesia yang menjadikan ekonomi Islam sebagai bidang studi khusus. Tapi sejujurnya, masih ada kekhawatiran dalam diri saya bahwa kurikulum ekonomi Islam itu akan dimasuki juga oleh korporasi yahudi. Semoga kekhawatiran saya ini tidak terjadi. Saya juga berharap ada upaya mencerdaskan dari orang yang paham agar tidak banyak orang yang menjadi korban rekayasa pemikiran yahudi.

Penulis
Muhammad Nurjihadi (pemerhati ekonomi,
mahasiswa PS Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, IPB).

Tulisan ini merupakan hasil perenungan, kegundahan hati dan pikiran serta hasil diskusi dibidang ekonomi. Kedepan saya akan berusaha menulis masalah-masalah ekonomi secara konsisten dengan tema yang berbeda atau mirip.

Sunday 9 October 2011

MELEJITKAN POTENSI DESA UNTUK INDONESIA MAJU DAN SEJAHTERA

(disampaikan sebagai pidato politik dalam temu pelajar-mahasiswa NTB 2010 di Mataram)
Oleh : Muhammad Nurjihadi
Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa dengan jumlah penduduk terbesar di Dunia. Sensus penduduk terakhir mencatat jumlah penduduk Indonesia melampaui angka 200 juta orang. Sungguh, populasi yang besar ini merupakan potensi yang luar biasa untuk melakukan aktifitas pembangunan. Meski demikian, bangsa kita seolah – olah memandang bahwa jumlah penduduk yang begitu besar itu adalah sebuah ancaman. Kekhawatiran ini menjadi dasar pemerintah untuk membatasi jumlah kelahiran anak dalam rumat tangga. Sejak zaman orde baru, pemerintah mencanangkan program KB untuk mendukung upaya itu. Pemerintah berdalih bahwa ketersediaan lapangan pekerjaan, pendidikan, dan penghidupan yang layak tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang begitu besar.

Tuhan telah menitipikan bangsa ini kepada kita beserta seluruh kekayaan yang ada didalamnya, baik yang terwujud secara fisik (material) maupun yang tidak terwujud (immatirial). Gunung – gunung vulkanis menjulang tinggi, menebar kesuburan yang tiada terkira bagi tanah – tanah disekitarnya. Lautan dan samudra terbentang luas, dihuni oleh ikan dan binatang laut lainnya yang tak kunjung habis dimakan sampai tujuh turunan sekalipun. Hutan hujan tropis tersebar luas disetiap pelosok negeri, memberikan keteduhan, menyediakan ruang hidup yang baik bagi berjuta – juta spesies mahluk ciptaan Tuhan. Bukit – bukit hijau menjulang dimana – mana, menyimpan kemegahan emas, perak, tembaga, dan barang – barang mewah lainnya. Ditanah ini, setiap batang yang anda lempar atau tancapkan, akan tumbuh subur tanpa harus repot memeliharanya. Hanya ada disini saudara, di INDONESIA.
Lalu, mengapa kita harus menjadi bangsa yang paranoid, bangsa yang mengecilkan kebesarannya, dan bangsa yang merapuhkan kekuatannya dengan membiarkan sikap psimistis yang mematikan menguasai jiwa – jiwa kita, jiwa para penguasa dan jiwa rakyatnya. Seharusnya kita tidak perlu mengkhawatirkan jumlah masyarakat kita yang besar, karena Tuhan telah menjaminkan kehidupannya dengan memberikan kita kekayaan alam yang melimpah ruah. Tidak sebandingnya jumlah penduduk dengan ketersediaan pekerjaan, pendidikan, dan akses ekonomi sebagaimana yang dikhawatirkan pemerintah bukan karena negeri ini miskin, tapi lebih karena kegagalan pemerintah dalam proses pembangunan yang menggunakan srategi pembangunan yang keliru.
Pada masa orde lama, pemerintah hampir tidak sempat memikirkan kemakmuran rakyatnya dengan melakukan pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena elit – elit politik saat itu sibuk mencari jati diri bangsa, terjebak dalam krisis idiologi yang tak berkesudahan serta konflik idiologis yang mengerikan. Era selanjutnya yang dikenal dengan orde baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto berhasil menstabilkan politik nasional dan berfokus pada pembangunan nasional. Harus diakui bahwa upaya ini sedikit tidak mampu memajukan harkat dan martabat bangsa Indonesia dari segi ekonomi, meskipun pada akhirnya kita tahu bahwa rezim ini menjual negara dan rakyatnya untuk keperluan itu. Rezim orde baru menggunakan pendekatan top-down dalam proses pembangunannya, sehingga memungkinkan rakyat yang lebih dekat dengan pusat pemerintahan lebih sejahtera daripada rakyat yang ada dipelosok – pelosok desa, terutama di kawasan Indonesia Timur. Kebijakan pembangunan digodok dan dibentuk di Jakarta untuk membangun daerah – daerah di Papua, Maluku, NTT, NTB yang notabene memiliki tingkat pengetahuan, keterampilan, dan kebutuhan yang berbeda.


Runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 merupakan antiklimaks dari kekecewaan rakyat terhadap pendekatan pembangunan yang keliru itu. Pembangunan model itu telah menyeret Indonesia pada hutang luar negeri yang nilainya jauh melebihi nilai APBN yang ada saat itu, sementara hasilnya nihil. Masyarakat yang ada di desa – desa tetap miskin, bahkan negara secara nasional akhirnya mengalami krisis ekonomi terparah sepanjang sejarah sebagai akibat dari kesalahan strategi pembangunan nasional.
Sekarang, di era reformasi ini bangsa kita memilih haluan lain, menggunakan metode lain dengan pendekatan teoritis sebagai strategi pembangunan nasional. Strategi top-down peninggalan orde baru ditinggalkan dan berbalik arah dengan menggunakan pendekatan Buttom-up. Rencana pembangunan disusun di desa – desa melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musyrenbangdes), lalu kemudian di generalisasikan ke bentuk yang lebih umum menurut skala prioritas pada Musyrenbangcam untuk kemudian diusulkan pada MusyrenbangKab sebagai acuan dalam Musyrenbangprov dan kemudian digodok dan diputuskan secara nasional pada Musyrenbangnas atau national summit. Secara kasat mata, metode ini seolah – olah memberikan demokratisasi kepada rakyat yang ada di desa – desa untuk merencanakan pembangunannya sendiri. Namun, metode ini tidak lain dan tidak bukan hanya merupakan strategi pemerintah untuk menutup – nutupi kepentingannya dalam proses pembangunan nasional. Sebab kebijakan pembangunan nasional yang diambil pada saat national summit tetap menyamaratakan seluruh daerah dalam tataran aplikasi. Padahal, saya ingin mempertegas sekali lagi bahwa potensi setiap daerah bahkan setiap desa dalam suatu daerah BERBEDA – BEDA. Selain itu, untuk sampai pada national summit, rencana pembangunan yang disusun di desa umumnya telah lenyap karena telah melewati banyak rangkaian, mulai dari kecamatan, kabupaten, dan provinsi yang juga syrat akan kepentingan sekelompok orang. Itulah sebabnya, sepuluh tahun setelah reformasi bergulir, bangsa ini belum keluar dari belenggu kemiskinan yang menyesakkan.

Kini saatnya kita mengembangkan strategi baru dalam pembangunan nasional kita. Wilayah Indonesia yang sebagian besar adalah desa, juga 60% dari lebih dari 200 juta masyarakatnya tinggal di desa harus diberikan hak penuh secara merdeka untuk merencanakan pembangunan desanya serta bertanggungjawab secara penuh atas aplikasinya. Hanya dengan membangun partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan, kita dapat menikmati hasil pembangunan yang mensejahterakan. Partisipasi ini harus dikembangkan dan didorong oleh pemerintah dengan memberikan sejumlah anggaran yang jelas kepada setiap desa sebagai jaminan bahwa rencana yang disusun dapat langsung diimplementasikan oleh rakyat yang merencanakannya itu.
Pendekatan ini saya usulkan, karena selama ini partisipasi masyarakat hanya dilibatkan pada proses perencanaan, tapi sering dilupakan ketika proses pelaksanaan program pembangunan. Ke depan, pemerintah harus berani merealisasikan anggaran “1 desa Rp 1 milyar” dengan dikelola oleh badan khusus (misal: Bappeda atau badan lainnya). Ketika anggaran itu diminta oleh masyarakat desa untuk melaksanakan aktifitas pembangunan sebagaimana yang mereka rencanakan, maka badan yang bertanggungjawab itu harus merealisasikannya dan mengawasi penggunaannya. Dengan begitu, pembangunan yang dilakukan akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa. Jika semua desa sudah berhasil melakukan pembangunan dengan model ini, maka akan tercipta kemandirian masyarakat dan menguatkan ekonomi nasional serta tentu saja mengangkat harkat dan martabat bangsa dan yang paling penting, kita menghapus kemiskinan dari bumi Indonesia.

Hanya ini yang dapat saya sampaikan, saya berharap gagasan ini mendapat dukungan dari banyak pihak, terutama pemerintah. Karena saya masih dalam keyakinan yang kuat bahwa model ini akan mampu membawa Indonesia keluar dari keterpurukan yang seolah tak berujung ini.
Mari kita bangkit dari keterpurukan, kita bunuh sikap paranoid, psimis, dan tidak percaya diri. Karena kita terlahir tidak untuk misikin, tidak untuk menderita, tapi untuk sejahtera.
Merdeka…..!!
Terimakasih dan wassalamualaikumwarahmatullahiwabarakatu

Wednesday 5 October 2011

Part 3. Sepeda Jengki Merah, Ungkapan Cinta Tanpa Romantisme

Baru kemarin sore aku dijemput dari tempat tinggal ibuku di Mataram. Iya, seminggu sebelumnya ibu datang menjemputku untuk tinggal bersamanya seminggu saja. Karena bapak hanya memberikan izin satu minggu untuk ada disana, maka kemarin aku dijemput bapak untuk pulang lagi ke desa. Waktu itu usiaku sudah lima tahun jalan.

Pagi itu, saat aku baru bangun dari tidurku, seperti biasa aku duduk ditangga rumahku untuk menyaksikan lalu lalang aktifitas warga kampungku. Hari ini serasa istimewa bagiku. Saat aku sibuk menyaksikan lalu lalang aktifitas warga desaku, Oji datang menghampiriku bersama Auzin. Mereka berdua adalah misanku. Oji yang begitu dimanja ibunya, dan Auzin yang rumahnya dilempar oleh adiknya sendiri, Rido ketika dia tidak diberikan uang belanja cukup oleh ibunya.

“ayo kita pergi sekolah had…!” ajak mereka. Tentu saja aku kaget. Rasanya aku masih terlalu kecil untuk memulai sekolah sekarang.

“tapi saya kan masih kecil..” jawabku.

“ayo dah, ayo…!!” Oji memaksa

“iya jihad, tidak apa-apa, tuh… kamu udah besar sekarang, udah saatnya kamu sekolah” bapak datang menghampiriku, berkata dengan lembut sambil memegang kepalaku.

Aku sangat senang. Sekolah adalah hal yang paling aku inginkan saat itu. Sebab dengan sekolah, bisa membuat aku terhindar dari ibu tiriku setiap pagi.

“iya,,,iya,,, aku mau” jawabku girang.

“kalau gitu, kamu mandi dulu” kata bapakku. Akupun bergegas ke kamar mandi, bapak memandikanku pagi ini. Setelah itu, aku menggunakan pakaian terbaik yang kumiliki saat itu. Aku, Oji, dan Auzin berangkat bersama untuk pergi mendaftar sekolah. Oji dan Auzin dua tahun lebih tua dariku.

Di desa kami ada banyak pilihan sekolah dasar. Lokasinya juga tidak jauh dari tempat tinggal kami. Setidaknya, ada 5 sekolah dasar yang dapat kupilih menjadi sekolahku saat itu. Tapi yang terbaik menurut warga desa kami dari semua sekolah dasar itu adalah Madrasah Ibtida’iyah Nahdlatul Wathan (MI NW Kabar). Yah,, di desa kami, loyalitas terhadap organisasi keislaman Nahdlatul Wathan memang sangat tinggi. Jika di sekolah lain kami tidak perlu membayar apapun untuk sekolah karena telah di biayai negara, di MI ini kami harus membayar SPP tiap bulannya.tapi backround NWnya membuat sekolah ini lebih diminati dan lebih bergengsi. Bahkan saking banyaknya peminatnya, ia terkadang menolak calon siswa saat itu. Calon siswa yang tertolak itulah yang kemudian menjadi siswa di sekolah lain yang ada di desa kami. Bapak memilihkanku sekolah terbaik itu untuk menempuh pendidikan dasarku.

Begitu sampai di sekolah baruku, betapa kagetnya aku, ternyata di sekolah bergengsi ini hanya menyaratkan satu hal untuk bisa diterima menjadi siswa. Mungkin ada syarat lain, tapi hanya satu syarat ini yang aku ingat, selebihnya tidak aku pahami saat itu. Ya satu-satunya syarat itu adalah aku harus bisa memegang telinga kiriku dengan tangan kanan lewat atas kepala. Jika aku mampu menggapainya, maka itu berarti aku sudah boleh masuk sekolah itu. Aku bersusah payah untuk memegang telinga kiriku dengan tangan kananku. Oji dan Auzin melakukannya dengan mudah. Mereka emang sudah cukup besar, tujuh tahun. Sementara itu, aku berusaha keras untuk bisa memegangnya, Alhamdulillah, setelah berusaha keras, akhirnya tangan kananku mampu juga menggapai telinga kiriku dari atas kepala. Aku lulus ujian masuk sekolah ini.

Satu lagi hal lucu. Petugas penerima siswa baru itu bertanya kepadaku yang didampingi kak Heri saat itu.

“siapa namamu, nak..??” tanyanya lembut

Aku menjawab dengan sigap, “aku punya dua nama pak, satu Muhammad Syahrul Jihadi, satu lagi Muhammad Nurjihadi”.

Saat itu aku memang bingung, karena dua nama itulah yang dikatakan bapak sebagai nama lengkapku. Ibu selalu memanggilku dengan syahrul di usia kecilku, karena memang sebelum kedua orangtuaku bercerai, keluarga telah bulat memberiku nama Muhammad Syahrul Jihadi. Tapi belakangan, atas saran dari Tuan Guru Maulana Syeh Zainudin Abdul Madjid Pancor yang sangat dihormati itu, namaku akhirnya dirubah menjadi Muhammad Nurjihadi. Bapak sebenarnya lebih senang dengan nama yang pertama, Muhammad Syahrul Jihadi.

“tidak bisa begitu nak, namanya harus satu” jawab petugas itu sembari senyum.
Aku bingung, aku menatap wajah kak Heri yang mengantarku waktu itu.

“namanya Muhammad Nurjihadi pak” sahut Kak Heri kemudian.

Jadilah sejak saat itu, namaku tak pernah lagi dirubah hingga kini. Di semua ijazah dan keterangan identitas lainnya, namaku tetap Muhammad Nurjihadi. Sejak saat itu pula aku mulai melupakan nama pertamaku. Tapi tidak dengan ibu, beliau tinggal terlalu jauh dari tempat kami. Beliau hanya tau nama yang beliau sepakati dulu bersama bapak, sehingga selama beberapa tahun beliau tetap memanggilku syahrul, sampai akhirnya beliau mendapat penjelasan dan beralih memanggilku Jihadi.
*****

Tanpa terasa satu tahun sudah aku menjalani hari-hari sebagai seorang siswa di MI NW Kabar. Aku blajar membaca, menulis, menggambar, dan tentu saja bernyanyi. Kini di ujung tahun ajaran, sekolah harus melakukan evaluasi hasil belajar untuk menentukan kenaikan kelas siswanya. Ada 34 orang yang terdaftar sebagai siswa kelas satu saat itu. Kami pun diuji dengan ujian yang layak.

Saat yang dinanti pun akhirnya tiba. Saat itu adalah saat pembagian “rapot” kami menyebutnya. Entah dari mana kata itu datang. Sejauh yang aku tau, itu adalah bahasa inggris “Raport” yang berarti laporan yang kemudian disebut dengan lidah melayu, jadilah ia disebut “rapot”. Melalui rapot ini, perkembangan belajar kami selama setahun dilaporkan ke orangtua, termasuk keputusan naik atau tidaknya kita ke kelas atau jenjang berikutnya. Melalui rapot ini pula, akan disampaikan kita ada di peringkat ke berapa dalam prestasi akademik di kelas.

Satu persatu temanku dipanggil urut berdasarkan urutan absen. Oji dan Auzin dipanggil lebih dulu. Yah, nama mereka emang berawalan huruf yang posisinya lebih dulu dari namaku. Oji bernama asli Fauzi Ahmad Affandi, inisial namanya adalah “F”, dan Auzin bernama asli Ahmad Auzin Afifi, inisial namanya berhuruf “A”. sedangkan aku, inisial namaku adalah huruf “M”. jadi merka punya nomor absen lebih rendah di kelas kami. Auzin yang pertama mengambil rapot membuka rapotnya dan ternyata ia mendapat juara satu (1) alias menjadi yang terbaik di kelas. Ia tersenyum dengan hasilnya. Ia pun mendapat hadiah atas rangking itu. Fauzi pun membuka rapotnya. Dia mendapat rangking tiga (3). Dia juga mendapat penghargaan berupa buku dari prestasi itu. Maka tibalah giliranku dipanggil. Saat rapot itu diserahkan, bu’ guru yang memberi rapot tidak memberikanku hadiah seperti yang diberikan kepada Auzin dan Oji. Aku hanya mendapatkan rapot itu. Aku buka rapot itu yang ternyata disana tertulis dengan sangat jelas bahwa aku berada pada peringkat 34 dari 34 siswa.

Aku berteriak sekeras yang aku bisa. Bukan menangis, tapi tertawa bangga. Aku sangat senang. Aku mengejek Auzin dan Oji yang rangkingnya rendah.

“saya yang paling besar rangkingnya disini, saya paling pintar” teriak saya.

Ibu guru yang melihat dan mendengar omongan saya itu hanya tersenyum, tak berkata apapun, tapi senyumnya begitu lebar, seolah mengiyakan perkataanku. Jadilah aku anak paling senang saat itu. Auzin dan Oji berhasil aku buat gelisah dan merasa sedih karena ulahku. Sepanjang perjalanan pulang dari sekolah ke rumah, aku berteriak kegirangan. Menyapa setiap orang yang kutemui dengan kesenangan luar biasa. Aku meloncat-loncat kegirangan dengan mengangkat rapotku. Memamerkan kepada setiap orang yang ku temui. Aku sangat senang.

Begitu jelas tergambar dalam benakku hingga kini, betapa saat itu aku sangat senang karena ketidak tahuanku. Aku tidak tahu jika bukan angka yang banyak yang bagus jika berbicara tentang rangking. Rangking 34 dari 34 siswa berarti saya adalah yang terbodoh dikelas, tapi paling bahagia di hari itu. Merasa menjadi yang terbaik di hari itu. Semua duka karena konflik keluarga saya lupakan sejenak. Dalam benak saya, bapak pasti akan senang dengan hasil ini. Aku tidak sabar ingin segera sampai rumah dan memperlihatkan hasil ini kepada bapak, juga kakak-kakakku.

“assalamualaikum…” aku mengucap salam dengan suara kencang nan lantang penuh kebanggaan.

“waalaikumsalam, nah… mana rapotnya,,,??” jawab bapak

“ini pak, rangkingku paling besar di kelas pak, aku dapat rangking 34, Auzin sama Oji sedikit rangkingnya, Auzin Cuma rangking 1, dan Oji Cuma rangking 3” jawabku lugu..

Bapak, kakak-kakakku dan semua yang ada disana saat itu menertawakanku.. mereka tertawa terlalu keras, terbahak-bahak, dan tak tertahankan. Bahkan tawa mereka serasa masih kudengar jelas saat tulisan ini aku buat, 15 tahun sejak kejadian itu. Dugaanku ternyata benar, mereka akan senang dengan hasil ini. Buktinya mereka tertawa dengan kencangnya setelah melihat rapot dan mendengar penjelasan lugu dariku. Tapi aku tau, ada yang salah dengan tawa itu. Bukan begitu tawa orang yang senang. Itu adalah tawa ejekan.

Tak lama berselang, bapaknya Oji dan kakaknya Auzin datang ke rumah, bermaksud menanyakan berapa rangkingku sekaligus untuk bercerita bahwa Auzin dan Oji dapat rangking yang bagus. Mendengar penjelasan dari bapak dan kakak-kakakku, mereka juga akhirnya menertawakanku. Akhirnya aku sadar, bahwa aku salah. Rangking yang baik dan membanggakan itu bukanlah rangking yang besar, tapi rangking yang kecil. Aku jadi minder dibuatnya setelah itu. Hari itu sekaligus aku memahami bahwa ternyata aku adalah orang terbodoh di kelasku. Sungguh, anak usia eam tahun itu jadi begitu malu dibuatnya.

Keesokan harinya, giliran teman-teman kelas yang mengejekku. Oji dan Auzin mengejekku terus-terusan. Ejekan itu membuatku menjauh dari mereka dan mengasingkan diri dari pergaulan dari komunitas kecilku. Kami memang sedang libur, tapi apa lah artinya libur di sekolah kami. Bukankah semua siswanya dari desa itu juga..??. jadi setiap hari kami tetap bertemu, tapi bukan di kelas melainkan di area bermain. Tetap saja, aku tetap diolok tentang kejadian itu, meski saat bermain.

Seperti biasa, hari ini aku mendatangi rumah Auzin untuk bermain. Tapi Auzin sedang tidak dirumah, dia juga sedang pergi bermain kata ibunya. Akupun lalu ke rumah Oji, tapi dia ternyata satu rombongan dengan Auzin. Yah, akhirnya aku harus bermain sendiri hari itu. Saat panas mulai terik dan memaksa tubuh mengeluarkan cairan asin, Auzin dan Oji akhirnya pulang. Ternyata mereka baru saja pulang bermain sepeda. Masing-masing mereka menunggang sepeda baru yang dibelikan orangtua mereka sebagai hadiah prestasi kelas mereka. Ya, saat itu sepeda sedang menjadi tren bermain anak seusiaku.

Esok harinya aku juga harus merelakan diri untuk bermain sendiri, sebab Auzin dan Oji sudah punya teman bermain baru, sepeda mereka. Aku sangat ingin memiliki sepeda, tapi apa daya, tidak ada alasan bagiku untuk memiliki sepeda. Meski bapak mungkin mampu membelikannya untukku, tentu saja ibu tiriku tidak mudah untuk mengizinkan, apa lagi dengan menyandang predikat sebagai siswa terbodoh di kelasku. Hari-hari yang kulalui terasa sepi, aku hanya berkawan sepi dan mimpi untuk menunggangi sepeda.

Masa libur sekolah masih panjang, jadi aku harus menghabiskan waktu pagiku setiap harinya untuk memimpikan sepeda. Hari itu aku tidak lagi kuat untuk berkawan sepi dan mimpi di pagi hariku. Lebih-lebih bersama ibu tiriku. Jadi hari itu aku mengikuti Auzin dan Oji untuk pergi bermain sepeda. Mereka menunggangi sepeda mereka, sementara aku hanya berlari mengejar mereka yang melaju kencang dengan sepedanya. Sesekali, salah seorang diantara mereka memboncengku. Bukan hanya Auzin dan Oji, tapi juga teman-teman yang lain. Jika sudah lelah, aku turun lagi dan berlari lagi mengikuti ayunan sepeda mereka. Itulah hari-hari liburku selanjutnya, berlari mengejar sepeda.

Libur sekolah akhirnya habis, kami harus mulai masuk ke sekolah untuk kembali menuntut ilmu. Aku senang karena itu berarti aku punya aktifitas lain selain pergi berlari bersama orang yang mengayuh sepeda. Meski saat pulang sekolah, rutinitas itu aku lakukan lagi. Tapi hari ini aku serasa terasingkan di sekolah. Dihari pertama masuk sekolah, teman-teman mengucilkanku dan menghardikku. Mereka mengatakan aku tidak naik kelas, jadi tidak boleh duduk bersama mereka dibangku kelas dua. Aku tidak mau diperlakukan seperti itu. Dalam raport secara jelas disebutkan bahwa aku “naik ke kelas dua”. Tapi teman-teman tidak percaya. Menjadi pemegang rangkin terakhir di kelas membuat mereka menganggap bahwa aku tidak naik kelas. Sebab ada satu orang teman lain yang rangkingnya lebih baik dari rangkingku justeru tidak naik kelas. Aku tidak mengerti kenapa, yang pasti di rapotku tertulis jelas bahwa aku naik ke kelas dua, sementara teman yang kumaksud tidak naik kelas itu memang dinyatakan tidak naik kelas di kelas kami saat itu.

Aku tertolak dikelas dua. Tidak ada satupun teman yang menerima aku ada dikelas itu, termasuk Auzin dan Oji yang tidak hanya sekedar sahabatku, tapi juga saudaraku. Akhirnya aku terpaksa duduk kembali di kelas satu. Tapi ketika aku belajar dikelas satu, bapak/ibu guru yang melihatku pasti akan menegurku dan memintaku untuk duduk di kelas dua karena mereka menganggap aku kelas dua. Kejadian ini berlangsung selama hampir dua bulan. Jika aku pulang lebih pagi, maka itu berarti hari itu aku duduk di kelas satu. Tapi jika pada hari itu aku pulang lebih telat atau agak siang, maka itu berarti hari itu aku duduk di kelas dua. Setiap hari aku menggilirkan kelasku. Hari ini kelas satu, maka besok aku kelas dua. Begitu seterusnya sampai kurang lebih dua bulan.

Suatu hari, aku pulang pagi yang berarti bahwa hari itu aku duduk di kelas satu. Bapak ada dirumah saat itu.

“loh, kok kamu pagi sekali pulang sekolah nak..??” Tanya bapak

“saya hari ini kelas satu pak…” jawabku santai

Bapak emang sering menanyakan hal yang sama kepadaku. Pada akhirnya beliau menjadi paham bahwa jika aku pulang agak siang itu berarti aku kelas dua, dan demikian pula sebaliknya.

“tu ada hadiah untuk kamu…” kata bapak sambil menunjuk ke arah sepeda yang diparkir dipinggir pintu lengkap dengan bungkus dan segelnya.

“ini punya saya pak..??” aku bertanya balik

“ya iya lah, kalo disitu tempatnya, kamu sudah yang punya” jawab bapak degan gaya hasnya.

“horeeeeeee…” aku berteriak kegirangan.

Ternyata bapak begitu perhatian kepadaku. Aku tidak pernah meminta untuk dibelikan sepeda, karena tentu saja aku tau diri bahwa bapak tidak mungkin membelikannya untukku. Tapi iya adalah bapakku, tentu saja beliau memiliki kepekaan terhadap kondisi anaknya. Mungkin juga karena beliau malu melihat anaknya setiap hari berlari mengejar temannya yang mengayuh sepeda. Betapa senangnya aku. Meski mendapat penolakan dari isterinya, ibu tiriku, bapak tetap membelikan sepeda untukku. Aku menjadi semakin sadar, bahwa bapak selama ini mencintaiku, meski beliau tidak pernah kudengar mengatakan “aku menyayangimu, nak…”.

Sepeda itu tidak biasa. Ya, sepeda jengki berwarna merah. Sepeda jenis itu tidak ada di desaku saat itu. Biasanya hanya orang kota yang menggunakan sepeda melankolis itu. Aku mengetahuinya karena aku sering melihat orang menggunakan sepeda seperti itu saat aku ada di kota, di rumah ibu. Bapak memang sosok yang luar biasa. Beliau tidak pernah ingin diremehkan dan melihat anaknya diremehkan. Beliau memberikan untukku sesuatu yang saat itu mungkin tidak terpikirkan oleh orangtua teman-temanku yang lain. Seolah berhutang, bapak hari ini membayar lunas hutangnya kepadaku. Ya, beliau berhutang karena selama ini membiarkan anaknya berlari dan terus berlari mengejar temannya yang bersepeda. Aku adalah penunggang sepeda jengki pertama di desaku. Dan setelah itu, ada banyak orang yang mengikuti tren sepedaku. Bapak menjadikanku trendsetter saat itu. Sepeda jengki merah itu adalah ungkapan cinta tanpa romantisme. Pemberian itu lebih dari sekedar kata-kata gombal yang dianggap romantis oleh orang. Oohh,,, terimakasih bapak.

Suatu ketika, saat aku duduk dibangku kelas satu, kepala sekolah kami masuk kelas untuk mengajar kami, mengganti guru kelas kami yang kebetulan hari itu tidak masuk sekolah karena sakit. Kepala sekolah yang kami kenal sangat galak sekaligus berwibawa. Jadi apapun yang dikatakannya pasti kami dengar. Saat beliau sedang asyik mengajarkan kami, beliau melihat ke arahku. Sontak saja beliau marah dan bertanya dengan geram,

“kenapa kamu disini,,? Kamu kan kelas dua”

“saya tidak diterima dikelas dua sama teman-teman pak, mereka bilang saya ketinggalan” jawabku.

“ikut saya,,,,” beliau lalu menarik tanganku dan mengantarkanku ke kelas sebelah, kelas dua.

Setelah meminta izin pada guru yang mengajar di kelas dua, bapak kepala sekolah berdiri didepan kelas masih dengan menggandeng tanganku. Dengan tegas beliau menyampaikan kepada semua siswa kelas dua bahwa aku kelas dua, sehingga tidak boleh ada seorang pun yang mengusirku dari kelas. Sejak saat itu, aku duduk di kelas dua dan tidak lagi duduk dikelas satu. Aku kini sekelas dengan permanen bersama Auzin, Oji, dan teman-temanku yang lain. Sampai saat ini aku tidak mengerti kenapa saat itu aku duduk di dua kelas dengan tingkat yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Aku tidak paham kenapa aku dinyatakan naik kelas, padahal ada teman yang rangkingnya lebih baik dariku dinyatakan tidak naik kelas. Entahlah, aku tidak pernah mencari jawaban atas pertanyaan ini.

Sepeda jengki merah yang dibelikan bapak untukku sedikit tidak menumbuhkan kepercayaan diriku. Tampil beda dan akhirnya menjadi trendsetter. Setiap hariku kini tidak lagi harus berlari untuk mengejar teman-teman yang bersepeda. Aku tidak lagi terkucilkan, dengan itu aku menjadi bangga. Bapak mengatakan itu hadiah untukku, tapi aku tidak pernah tau hingga kini dalam rangka apa hadiah itu diberikan. Jika Auzin dan Oji mendapatkan hadiah sepeda, jelas karena saat itu mereka menjadi juara dikelas. Teman-temanku yang lain memiliki sepeda karena mereka merengek kepada orangtuanya untuk dibelikan sepeda. Tapi aku tidak, hadiah itu diberikan bukan karena aku juara, bukan pula karena aku meminta. Itu hanya hadiah untukku, hadiah sebagai bukti cinta bapak untukku. Hadiah yang diberikan untuk mengungkapkan betapa beliau mencintaiku,

Tuesday 6 September 2011

Part 2.Ku Rindu Belaimu Ibu

Pagi itu begitu indah. Merahnya mentari baru saja menggantikan sinar penuh bulan purnama. Sungguh indah. Di tambah dengan suhu yang cukup dingin, memaksa siapapun yang tersadar untuk melindungi dirinya dengan jaket tebal, bahkan dengan selimut tebal yang saat itu hanya beberapa orang saja yang punya. Ketika itu, aku bangun cukup pagi, setidaknya aku lebih dulu bangun dari bapak dan kakak-kakakku. Ya, mereka memang jarang bangun pagi, sehingga salat subuh pun terkadang mereka lalai. Tapi ilmuku tak cukup banyak untuk menasehati siapapun saat itu, apa lagi orangtuaku sendiri.

Hari beranjak siang. Pelan tapi pasti, mentari pagi lenyap berganti terik matahari yang hangat. Ku lihat lalu lalang kesibukan orang yang mencari rezeki Tuhan yang berserakan di muka bumi. Mulai dari anak kecil hingga orang dewasa, bahkan yang sudah uzur pun sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Anak-anak yang berseragam merah putih, atau putih hijau meramaikan desa kami. Mereka berangkat ke sekolah dengan begitu bersemangat. Mereka berangkat bergerombolan. Ada yang membawa tas kain untuk membawa bukunya, ada pula yang hanya menggunakan tas kresek untuk melindungi alat tulisnya, dan ada pula yang hanya membawa sebuah buku lecek tanpa tas. Tapi kebanyakan mereka tidak menggunakan sepatu. Jika di perhatikan satu persatu, kaki mereka kumal-kumal, dekil, dan sekali saja di garuk, bekasnya akan menimbulkan garis-garis putih di betis. Sehingga betis-betis mungil itu terlihat bagai kulit timun tua yang siap di manfaatkan petani sebagai benih timun pada musim tanam berikutnya. Aku hanya bisa memperhatikan dari tangga rumahku yang terbuat dari tanah yang berada di pinggir jalan tempat lalu lalangnya para generasi gemilang pelosok desa ini. Karena saat itu, usiaku memang belum cukup untuk dapat mengenakan seragam seperti mereka.

Ketika hari semakin siang, bintang-bintang kecil itu tak lagi menghiasi desa kami. Mereka sudah sibuk mendengarkan pelajaran dari guru-guru mereka di sekolah. Kini saatnya jalanan-jalanan desa kami di ramaikan oleh bapak-bapak tani yang menenteng cangkul dan sebuah kain di pundak pergi ke sawah mereka. Namun tidak bapakku. Kami memang tidak punya tanah yang bisa di garap. Setiap harinya bapakku menyibukkan diri dengan aktivitasnya sebagai tukang ojek. Berkali-kali aku melihatnya bolak-balik dengan menggonceng orang yang berbeda-beda. Sementara kakak-kakakku, semuanya pergi sekolah. Tinggallah aku dirumah seorang diri di temani sang ibu tiri. Tapi aku tak berani kalau harus ada di rumah sendiri dengan ibu tiriku. Jadi setiap hari aku pergi ke rumah bibikku untuk sekedar duduk di halaman rumahnya, meskipun rumah itu pun sepi. Tapi hari itu berbeda, rumah bi’ Semah tidak sepi. Disana aku melihat bi’ Semah sedang bermain dengan anaknya yang juga misanku yang sebaya denganku. Ya, aku biasa memanggilnya Oji. Sambil memakan sebuah apel besar yang berwarna merah, Oji di dorong oleh ibunya diatas sebuah sepeda plastik yang saat itu hanya bisa di miliki oleh orang kaya. Orangtua Oji memang kaya, ibunya adalah seorang pedagang yang lihai dan sukses. Sedangkan bapaknya adalah seorang kepala sekolah di desa lain. Ia setiap hari di suguhkan makanan-makanan yang mewah, yang biasanya di konsumsi orang kota.

Aku duduk di halaman rumah yang berupa tanah seperti biasa. Aku memandangi dua orang ibu dan anaknya begitu mesra dan bahagia. Sesekali bibir bi’ semah membasahi pipi Oji. Mereka tertawa dan terus saling menggoda. Kedua tanganku menopang beban wajahku, karena aku duduk bersila dengan ke dua tangan menopang dagu. Memandangi Oji yang begitu di manja ibunya. Terbersit Tanya dalam diriku, kapankah aku bisa merasakan hangatnya kasih sayang seorang Ibu seperti itu. Bi’ Semah beberapa kali melihatku. Tapi entahlah, hari ini sepertinya dia sedang tidak mau menegurku. Biasanya, setiap kali dia melihatku duduk di halaman rumahnya, dia akan memberiku, setidaknya sepotong pisang. Tapi hari ini tidak, bahkan seuntai senyum pun tak ku dapat darinya. Kemarin sore, dia memang ribut sama bapakku. Aku tak tahu persis apa sebabnya. Yang ku ingat, bi’ Semah sering kali menjadikan pemberian-pemberiannya kepadaku sebagai senjata untuk menyerang bapakku. Seolah bertaubat, hari ini bi’ Semah tidak mempedulikanku sama sekali. Bahkan sesekali aku melihat ia sengaja memamer-mamerkan makanan yang di makan Oji. Belum habis yang satu, makanan yang lain di keluarkan lagi dari dalam rumahnya, dan terus begitu, padahal Oji sendiri sudah kelihatan muak dengan makanan-makanan itu.

“ini nak, makan, biar kamu cepat besar dan pinter” kata bi’ Semah pada Oji Sambil menyodorkan sebuah apel merah besar.

“ngga’ bu’, Oji sudah kenyang, kasi Jihat aja ya…”jawab Oji

“ngga’ usah nak, dia kan punya bapak, nanti bapaknya yang kasih. Ia sudah kalo kamu ga’ mau makan, biar ibu buang aja ya”

Oji hanya mengangguk. Ya, dia sama sepertiku. Belum tahu apa-apa. Tapi dia semakin jauh dari tahu karena dia terlalu dimanja. Tidak sepertiku yang ketika itu merasa terhina. Terhina karena bibikku sendiri lebih memilih membuang makanan itu dari pada harus memberikannya padaku. Tapi bukan itu yang membuat aku menangis hari itu. Tapi aku menangis karena tidak bisa sekedar di dekap oleh ibuku. Setiap pagi aku harus pergi dari rumah, menghindar dari masalah. Kapankah di hari pagiku, aku merasakan hangatnya kasih sayang seorang ibu.

Iri. Mungkin kata itu tidak salah ditujukan padaku saat itu. Karena aku tidak seperti Oji yang setiap hari tidak pernah lepas dari dekapan sang bunda. Aku tidak tahu harus menuntut kepada siapa. Jangankan kasih sayang, yang sekedar mengawasiku setiap pagi pun tidak ada. Kakakku sibuk dengan sekolahnya. Dan bapakku sibuk mencari serpihan-serpihan logam untuk makan nanti siang. Sementara, ibu tiriku sibuk dengan dirinya sendiri dan menyiapkan makan siang untuk kami. Kalau pun aku harus diam di rumah, aku hanya akan menjadi sasaran kemarahan ibu tiriku apa bila ada kesalahan yang meskipun bukan aku yang membuat kesalahan itu.

“bu’ capek ah, Oji mau bobo’ …!!” kata Oji dengan nada memanja

“mmm… ia sudah, ayo turun..” kata Bi’ Semah sambil menawarkan kedua tangannya kearah Oji. Oji lalu menyambut tangan manis bundanya dan jadilah dia di gendong sang bunda untuk di tidurkan.

Aku belum beranjak dari tempat dudukku, bahkan posisiku pun tidak berubah sedikitpun. Aku berpikir jauh melebihi kapasitas kemampuan berpikir anak usia tiga tahun sepertiku. Aku tak tahu, apakah ini namanya merenung atau melamun. Yang ada dalam benakku adalah sosok sang bunda yang sedang memanjakanku persis seperti Oji di manja Ibunya. Atau, hanya sekedar menggendongku, lalu sesekali menciumku. Dalam benakku, kejadian dalam renungan ini bukanlah mimpi belaka, tapi adalah sebuah kepastian yang akan terjadi kelak. Meski aku tak tahu, kapan kata “kelak” itu berganti “sekarang”.

Puas melamun, aku berdiri dari tempat dudukku. Sudah cukup banyak air mata yang terurai hanya untuk merenung atau pun melamun di dekap bunda. Aku bangun dan meninggalkan rumah bi’ Semah. Lalu aku ke rumah Bi’ Aminah. Dia juga punya dua orang anak kecil yang sebaya denganku. Pipi, dan Rido. Sebenarnya Bi’ Aminah punya banyak anak, tapi semuanya sedah besar. Dan keadaan ekonomi Bi’ Aminah juga tak begitu baik. Saat aku kesana pagi itu, aku menyaksikan kisah lain yang jauh berbeda dari kisah Oji tadi. Rido sedang ngambek, lalu ia keluar dari dalam rumahnya dan kemudian melempari rumahnya sendiri dengan batu. Sementara ibunya mengomel dari dalam rumah. Aku tak tahu kenapa seperti ini. Ternyata hidup samaan dengan ibu tak selamanya menyenangkan. Buktinya Rido saja sampai melempari rumahnya sendiri, hanya gara-gara ia tidak dikasi uang belanja lebih oleh Ibunya. Aku jadi terpikir jika seandainya aku yang berkelahi dengan ibu. Tapi, cepat-cepat ku tepis pikiran jelek itu, karena ku tahu ibu sangat menyayangiku.

Saat matahari semakin perkasa. Setelah aku melewati pagi tanpa sarapan dan penuh pelajaran. Letih akhirnya menusuk tulang rusukku. Aku lalu memutuskan untuk pulang. Jam-jam siang seperti itu, biasanya ibu tiriku sudah tidur, jadi aku tidak perlu hawatir. Aku membaringkan tubuhku di atas karpet di teras tumahku, tempat biasa aku tidur. Ku usap keringatku dengan sarung yang ku kenakan dari pagi. Sarung yang selalu setia menemaniku. Yang ku gunakan duduk dan tidur di tanah, bahkan juga ku gunakan sebagai tempat membuang ludahku.

“woooooooiiiiiiiiiiiii” sebuah teriakan keras segera membuatku bergerak reflek bangkit dari baringku.

”gini ya, puas ngambar terus enak-enakan tidur” sambungnya masih dengan suara tinggi.

“mmm” aku hanya diam, tak tahu apa yang harus ku katakan

“udah, sekarang kamu masuk, bersihkan tempat tidurmu…!!”

Aku tak permasalahkan perintahnya, tapi yang ku permasalahkan adalah teriakannya. Meski aku belum mampu, bahkan belum ngerti apa itu “membersihkan”, tapi tetap ku jalankan perintahnya. Ku bersihkan tampat tidurku yang juga tempat tidur ke 3 kakakku, tempat tidur kami ber-empat yang hanya beralaskan sebuah karpet biru dan disekat oleh lemari. Ya, satu kamar yang bertembokkan lemari untuk kami ber-empat. Kamar kenangan dan sekaligus kamar perjuangan yang keberadaannya takkan pernah ku lupa sampai kapanpun. Penuh romantika dan luapan emosi. Tempat biasa ku teteskan air mata ketika aku sedang lara, atau ketika aku tak mampu membendung rasa rinduku kepada ibu. Seperti hari ini, air mata berjatuhan bagai Kristal dari mataku sambil membersihkan butir-butir debu yang masih menempel pada karpet dan bantal kami.

“assalamualaikumwarahmatullahiwabarokatuh” sebuah suara merdu menyejukkan sedikit menenangkan hatiku. Aku menanda suara itu. Suara yang sangat sering aku dengar, bahkan ketika aku pertama kali terlahir ke muka bumi ini. Ibuku datang dari kota mencariku, sungguh tak bisa ku gambarkan betapa senangnya hatiku saat itu. Saat hati ini sangat merindukannya. Ia datang karena panggilan jiwa. Jiwa yang selalu menyatukan hati seorang ibu dan anaknya.

Aku berlari menuju bunda, lalu ia menengadahkan kedua tangannya dan menggendongku. Lalu beberapa kali ia mencium pipiku yang kembung kempes dan kumal ini. Tak ku sangka, lamunanku tadi pagi menjadi kenyataan siang ini. Air mata terurai makin deras dari kelopak mataku, juga dari mata ibuku. Ku lihat kerinduan yang begitu dalam telah memerahkan matanya. Tak sedikit pun ku lepas dekapannya. Sudah lama ku rindu dekapan ini, baru kali ini kudapatkan. Ibu tiriku lalu keluar dari dapur dan menyaksikan drama mengharukan itu. Tapi entah karena apa, dia masuk kembali ke dapur dan tidak keluar lagi.

“assalamuaaikum…!!” salam dari kakakku itu membuat aku di turunkan oleh ibuku dari gendongannya

“ibu……….!!!!” Teriak kakakku, Dina. Dia baru saja kelas 2 SD. Ia berlari kencang dan menabrak tubuh ibuku lalu di peluk erat. Ibuku menyambut pelukannya, juga dengan kecupan. Sepertinya air mata haru hari ini tidak mampu lagi kami tahan, ku biarkan dia terurai dengan deras dari mataku, begitu pula dengan kak Dina dan ibuku.

“kamu apa kabar nak…???” Tanya ibu pada Dina

“Alhamdulillah baik bu’…” jawab Dina, mereka masih saling dekap dengan erat.

“assalamualaikum,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ibu.!!!” Kini k’ Heri dan k’ Agus yang teriak. Mereka pulang sekolah samaan, ya mereka sudah SMP saat itu, k’ Agus kelas 2 dan k’ Heri kelas 1. Mereka juga dipeluk, juga dengan backround tangisan haru.

Sudah cukup lama kami tidak bertemu. Pertemuan hari ini benar-benar telah menyejukkan hati kami semua. Setelah puas melepas rindu dengan pelukan dan ciuman, kami lalu mengajak ibu untuk istirahat. Ia datang jauh dari Mataram ke Lombok Timur, tentu perjalanan yang melelahkan. Apa lagi harus menggunakan kendaraan umum yang baunya seperti racun yang siap menelan korban kapan saja. Tapi kami mengajaknya istirahat di rumah nenek yang kebetulan sangat dekat dengan rumah kami, karena di rumah kami yang juga mantan rumahnya itu tak cukup tempat untuk memberikannya layanan istirahat. Satu-satunya kamar yang menjadi kamarnya dulu kini di pake’ oleh ibu tiriku dengan anak-anaknya. Sambil istirahat, ibu menanyakan banyak hal tentangku. Namun aku tidak menceritakan semua dengan apa adanya, karena aku takut akan menjadi beban pikirannya.

“kapan ya, aku bisa kumpul ma ibu, ma bapak, terus ma kak Dina, kak Heri, dan kak Agus, ga’ usah ajak tu istrinya bapak yang sekarang tu…??” Tanyaku lugu.

“nak, percayalah, asal kita sering-sering berdo’a, itu pasti akan di kabulkan oleh Allah….” Kata ibu mencoba menenangkanku.

Sambil makan buah yang di bawa oleh ibu, kami larut dalam percakapan. Saat bapak pulang, ia cukup kaget melihat kedatangan ibuku. Ia lalu menyalaminya dan saling melempar senyum. Seandainya, aku bisa melihat ini setiap hari, pikirku. Bapak memahami kerinduan kami. Tak sedikitpun ia mengganggu pertemuan itu. Biasanya kami akan diminta untuk bekerja di siang hari, terutama kak Agus dan kak Heri. Tapi kali ini tidak, kami di biarkan memuaskan diri untuk bersama dengan ibu.

Sunday 21 August 2011

Part 1.Tangisan Senja Ramadhan

Hai kawan…. Kini aku tulis kisah hidup ini untuk mengenang peristiwa-peristiwa penting dalam hidupku. Setelah belasan tahun aku meniti indah pahitnya hidup, baru kali ini hatiku tergerak untuk menggoreskan kisah-kisah itu dalam tulisan. Ku pikir, orang – orang besar pahlawan kini dan masa depan penting untuk menulis peristiwa-peristiwa hidupnya, karena semua orang suatu saat akan bertanya-tanya tentangnya.

Kisah ini kutulis berdasarkan cerita dari bunda yang kini telah tiada. Ketika itu, di bulan Ramadhan, tepatnya tanggal 10 April Tahun 1990, sepulang dari perantauan, ibuku merasa perih luar biasa pada perutnya. Beliau tak pernah menyangka jika hal itu adalah pertanda bahwa anak yang ada dalam kandungannya akan lahir. Memang secara logika dan dalam ilmu kesehatan, belum saatnya anak itu meronta-ronta memaksa diri keluar. Idealnya seorang bayi lahir setelah berusia Sembilan bulan sepuluh hari, tetapi ketika itu, kandungan ibuku baru saja berusia tujuh bulan. Belum saatnya cabang bayi yang di kandungnya itu keluar. Tapi Tuhan berkehendak lain, mungkin karena Tuhan menginginkan pahlawan ini lahir lebih cepat untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan ummat. Senja itu, ketika semua orang sibuk menikmati santap buka puasa, ibuku harus menahan rasa sakit tiada tertahan karena harus memaksa keluar, sebuah mahluk baru titipan Tuhan. Semua terjadi begitu cepat dan di luar dugaan. Dengan bantuan seorang dukun beranak kampung, ibuku akhirnya melahirkan seorang bayi mungil di gubuk reot di desa terpencil di sebelah timur pulau Lombok ini.

Ya… dialah aku, aku adalah bayi prematur yang di lahirkan ibuku di senja bulan Ramadhan. Tangisan bayi mungil yang hitam, lemas, yang saat itu hanya seberat kurang dari 2 kg dengan ukuran yang bahkan kurang dari 30 cm itu memecah ketenangan dan keheningan suasana berbuka puasa di kampung kecil itu. Rengekan senja itu juga mengundang para tetangga untuk melihat kelahiran sang bayi prematur. Semua tercengang, jarang sekali bibir para tetanga itu merekah tersenyum, malah kening-kening mereka mengkerut, heran dan seolah-olah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bayi itu begitu kecil, jelek, hitam, dan terlihat cacat. Sedikit sekali diantara mereka yang bersedia menggendong bayi mungil yang baru saja di bersihkan tubuhnya dari darah nifas ibunya itu. Menjijikkan, ya, mungkin itulah yang terlintas di benak para tetangga ini. Jangankan mereka, bahkan ibu dan keluarganya pun heran seperti tak terima anaknya terlahir tidak normal seperti ini.

Bayi itu akhirnya menjadi buah bibir para tetangga selama berbulan-bulan. Banyak yang mengatakan bahwa bayi itu tidak akan mampu bertahan hidup lebih lama. Di awal-awal hidupku, aku memang sering terserang penyakit. Jika saja kesabaran dan ketabahan ibuku kurang saat itu, mungkin aku saat ini sudah menghadap kembali sang khalik yang baru saja menitipkanku di keluargaku. Perutku buncit, muka ku hitam seperti hangus, sampai ada yang mengatakan bahwa aku memang terlahir untuk menderita.
Aku tumbuh dan terus tumbuh, meskipun berbagai penyakit anak telah singgah dalam diriku tanpa ada langkah pengobatan yang serius dari pihak keluarga. Tapi ibuku dan keluargaku saat itu tentu bisa sedikit berbangga karena aku ternyata bisa tumbuh dengan baik, sebagaimana anak-anak yang lain, tanpa cacat baik fisik ataupun mental.

Ya… kisah ini memang menyakitkan, jika ku ingat cerita ibuku sebelum menghembuskan nafas terahirnya, ingin rasanya aku menangis. Menangis membayangkan bertapa kejamnya orang-orang di sekitarku yang untuk sekedar menggantikan ibuku menggendongku saja tidak ada yang mau. Bahkan bibik-bibik, paman, kakek dan nenek ku sekali pun seolah tak punya niat untuk menghentikan tangisan bayi yang menjijikan ini saat ibuku tak sempat menggendongku. Terkadang ibuku berpikir dan bertanya pada dirinya, kenapa harus anak yang seperti ini yang di berikan padanya. Tidak adakah cara lain Tuhan untuk mengujinya, namun, seorang ibu tetaplah ibu. Ia akan senantiasa melindungi anaknya dalam keadaan apapun.

Ketika aku memasuki usiaku yang ke 2 tahun, peristiwa penting terjadi dalam hidupku. Bapakku menceraikan ibuku dan menikah lagi dengan wanita lain. Saat itu, aku masih terlalu mungil untuk mengerti apa itu bercerai, atau sekedar tahu untuk apa ibuku mengemas-ngemas barangnya dengan tetesan air mata yang senantiasa mendinginkan pipi indahnya. Yang ku tahu, saat itu sebuah pelukan erat dan penuh emosi serta beberapa kecupan membasahi kening dekilku. Kecupan hangat seorang ibu yang begitu mencintai anaknya. Ya, aku memang anak terahir ketika itu, aku punya tiga orang kakak yang saat itu cukup mengerti tentang perceraian. Ke tiga kakakku juga menangis, kulihat satu persatu mereka di peluk juga sepertiku, meskipun tak seerat ketika ibuku memelukku. Yang pasti air mata ketiga kakakku saat itu kulihat membasahi baju dan pundak ibuku. Aku juga tidak mengerti, kenapa peristiwa itu masih teringat begitu jelas dalam benakku. Padahal saat itu aku baru saja berusia 2 tahun. Singkat cerita, ibuku lalu mengajakku pergi meninggalkan desa kecil itu menuju sebuah tempat lain yang lebih ramai namun jauh dari bapakku. Aku tak tahu persisnya apa yang ku lakukan bersama ibuku disana, memori otakku saat itu tak cukup kuat untuk mengingat peristiwa itu.

Setelah beberapa bulan, kuingat aku di jemput oleh bapakku. Dia meminta agar aku kembali tinggal bersamanya di desa kelahiranku. Ibuku tentu saja menolak, namun watak bapakku yang keras dan kaya akan strategi tak mampu dilawan oleh ibuku. Andai saja saat itu aku sudah mampu untuk menentukan pilihan, aku takkan pernah meninggalkan ibuku dan membiarkan air matanya terurai lagi. Tapi aku masih terlalu dini untuk dapat memahami itu. Akhirnya aku kembali lagi ke desaku. Desa tempat aku di cemooh dulu, namun kini suasananya berbeda. Aku tinggal dengan seorang wanita yang aku diminta untuk memanggilnya ibu. Padahal dia bukanlah ibuku. Dan kakak-kakakku yang saat itu sudah cukup paham mengajariku untuk tidak memanggilnya ibu, karena memang dia bukan ibu kami.

Disinilah, di rumah kecil ini masa kecilku tergadaikan oleh kekacauan-kekacauan rumah tangga yang terus mengguncang keluarga kami. Hari-hari yang ku lewati tidak pernah lepas dari keributan. Rumah kami tak ubahnya adalah sebuah panggung yang selalu ramai dikunjungi para penonoton untuk menyaksikan sebuah pertunjukan drama memilukan. Drama yang dimainkan oleh kakak-kakakku, ibu tiriku, bapakku, dan juga aku. Ketika sedang ribut, orang-orang berkumpul di depan rumah kami, ingin tahu apa lagi penyebab dari kisah drama hari ini. Ternyata, keberadaanku cukup menarik perhatian warga. Karena setiap drama itu selalu dikait-kaitkan denganku. Selalu karena aku keributan itu terjadi.

Aku memang sering di marahi bahkan di pukul oleh ibu tiriku. Terutama ketika kakak-kakakku tidak ada di rumah. Dan ketika mereka tahu bahwa hari ini aku kembali di sakiti, maka seketika itu pula drama akan di mulai. Pernah suatu ketika aku meminta uang pada ibu tiriku. Aku tidak tahu, kenapa hari itu aku begitu berani meminta uang padanya. Saat itu ibu tiriku tidak punya uang, tapi aku ngotot minta uang itu. Ahirnya ibu tiriku marah, lalu ia memukulku dengan sapu lidi yang ia pegang, karena saat itu dia memang sedang nyapu halaman. Aku berteriak sejadi-jadinya karena kesakitan. Bahkan saat itu aku sempat tak sadarkan diri. Aku lemas tergulai dan tak berdaya. Orang-orang kembali kumpul di depan rumah kami, panggung drama. Saat itu kakak-kakakku dan bapakku sedang tidak ada di rumah. Kali ini, warga tidak hanya datang menonton, tetapi mereka ikut terlibat dalam adegan-adegan memilukan itu. Warga mengangkatku yang telah tergulai lemas tak berdaya itu, mereka bilang aku pingsan, tapi sebenarnya aku mengetahui kejadian itu. Tapi aku tak mampu mengeluarkan sedikitpu suara. Aku juga mendengar warga mengejar-ngejar ibu tiriku yang berlari sembunyi ke dalam kamar setelah aku pingsan karena di pukulnya. Aku juga melihat banyak air mata yang terurai dari wajah-wajah kasihan warga kampungku. Sepertinya kali ini mereka tak sanggup lagi melihat penderitaanku. Suasana semakin haru ketika kakak-kakakku datang dan betapa kagetnya mereka ketika melihat aku tergulai lemas tak berdaya. Mereka semakin kesal setelah mendengar cerita bahwa aku di pukul ibu tiri kami. Dina, kakak perempuanku menangis sejadi-jadinya. Di susul tangisan haru bibik-bibikku yang sebenarnya mereka sudah berhenti menangis. Dua kakakku yang laki-laki lalu mencari ibu tiriku dengan sejuta kemarahan dan dendam dalam dirinya. Beruntung saat itu bapakku cepat datang. Ya, bapak adalah orang yang amat kami segani. Sehingga apapun yang dia bilang akan kami turuti. Bapak mendekatiku lalu mendekapku. Sementara itu, bibik-bibik dan nenekku mencoba menasehati bapakku agar ia menceraikan ibu tiriku. Tapi bapak cukup bijak. Ia menanyakan kepadaku apa yang sebenarnya terjadi

“ada apa nak…???” tanyanya lembut, aku diam saja, tapi ia mendekapku semakin erat. Akhirnya aku menjawab

“aku di pukul pake’ sapu lidi Pak..” jawabku memelas

“kenapa kamu di pukul…???” semua keluarga yang ikut kumpul saat itu memintanya untuk tidak bertanya kepadaku. Karena aku memang masih terlalu kecil untuk di introgasi seperti itu. Apalagi aku baru saja sadar dari pingsanku.

Bapak kemudian meninggalkanku dan masuk menemui istrinya. Entalah apa yang di bicarakan di dalam, tak ada yang tahu. Setelah cukup lama di dalam, ia kemudian keluar dan mengatakan

“ini salah paham saja, mari kita selesaikan dengan baik-baik” katanya.
Setelah itu, bapak dan semua keluarga yang ada malam itu berdiskusi. Entah apa yang di diskusikan. Andai saja ibuku tahu tentang kejadian hari itu, tentu ia akan sangat marah. Tapi saat itu belum ada alat yang mampu menghubungkan kami dari jarak jauh. Ibuku tinggal di kota Mataram, sementara aku ada di desa di ujung Pulau Lombok.

Thursday 19 May 2011

Gadis Berjilbab Besar

Oleh: Muhammad Nurjihadi

Azan isya’ sedang berkumandang ketika aku terbaring di karpet hijau tanpa kasur di kamar kosku yang baru kutempati dua hari lalu. Kutatap langit – langit kosku sambil mengingat semua yang kualami hari ini. Tak kupedulikan azan itu. Bukankah itu adalah senandung yang biasa di Pulau Seribu Masjid ini ketika waktu shalat sudah tiba. Hatiku sedikitpun tak tergerak untuk bangkit menunaikan shalat isya’ berjemaah di masjid. Padahal masjid hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari kosku.
“Ayo ke Masjid gi’. shalat..!” Iman mengajakku
“Ntar disini aja dah, badan pegel ni, lagian waktu isya’ kan masih panjang” tolakku
“Hmmm” Iman hanya menggeleng dan berangkat ke Masjid tanpa aku.
Iman adalah sahabatku. Kami selalu bersama sejak SMA dulu. Bahkan aku satu kamar dengannya selama tiga tahun di asrama sekolahku dulu. Sekarang pun kami masih bersama. Satu kos. Masing – masing kami berat kalau harus berpisah.
Aku melanjutkan merenung. Entah, apa ini merenung atau apa. Aku mengingat ketika tadi seharian penuh, dari subuh sampai menjelang magrib mengikuti Karisma. Katanya sih kepanjangannya Keakraban dan Orientasi Mahasiswa Baru. ya semacam Ospek lah. Aku mengingat banyak hal. Teriakan, bentakan, ancaman, keharuan, semangat, teman – taman yang banyak, jilbab besar, wibawa, semuanya kuingat.
“Haiiiiiii,,,,, Nunduk kamu, nunduk…!!!” teriakan itu menjadi terbiasa ditelingaku. seharian tadi telingaku sudah bosan dan muak dengan teriakan itu. lagak sok galak panitia. Yang beraninya teriak kalau lagi rame – rame aja. “Coba diluar, aku tantang koe kelahi…” pikirku.
“Kalian adalah generasi harapan, orang pilihan, dan orang terbaik yang dimiliki oleh negeri ini. Di pundak kalian masa depan negeri ini terbebankan” itu secuil dari begitu banyak kalimat – kalimat indah yang kudengar selama dua hari terakhir saat Karisma.
Kepada para mahasiswa
Yang merindukan kejayaan
Kepada rakyat yang kebingungan
Di persimpangan jalan
Kepada pewaris peradaban
Yang ………………………..
Aku menyenandungkan lagu mars mahasiswa yang selama dua hari terakhir akrab kudengar. Aku memaksakan diri untuk menghafalnya selama dua hari terakhir agar tidak dihukum saat di arena Karisma.
“Assalamualaikum….” suara Iman mengagetkanku, sekaligus memaksaku berhenti bernyanyi sembari tersenyum kecil untuk menyembunyikan rasa malu.
“Udah shalat..?” Tanya Iman “Katanya badannya pegel , kok heboh sekali nyanyinya?” aku belum sempat menjawab, Iman nambah pertanyaan, atau ya komentar lah “Ini ni yang namanya bohongin Allah” ia menggantung peci di paku kecil yang tertancap di jendela kamar kos kami.
“He….” aku nyengir, malu.
Aku lalu pergi ke masjid. Shalat. Aneh ya, orang udah sepi baru aku ke masjid. Padahal apa ruginya coba kalau aku keluar dari tadi. Jadi kan aku bisa shalat berjamaah. Tapi emang dasar ya, pemalas. terus kalau diceramahi kenapa gitu, pasti aku dengan gampang menjawab, “Iya nih, syetannya ganggu terus”. Masak iya, semua kejelekan itu sumbernya dari syetan? padahal udah jelas, akunya yang malas.
“Assalamualaikum ustadz,,” suaraku sedikit meninggi. Salam yang tidak tulus.
Aku emang sering manggil Iman dengan sebutan Ustadz. Orang alim itu kan emang sering di panggil ustadz ya..?.
“Waalaikumsalam,,,” Iman tetap menjawab salamku dengan ikhlas.
“Kamu ngapain Man…?, ngeliat apa??” tanyaku. Iman refleks menyembunyikan selembar kertas yang ia pegang.
“Nggak, Cuma kertas biasa kok” jawabnya. Bahasa tubuhnya memberikan informasi bahwa dia menyembunyikan sesuatu dariku.
“Jadi, udah ga mau saling berbagi lagi nih…” godaku. Iman terdiam untuk sesaat dan akhirnya mengeluarkan kertas yang dia sembunyikan.
“Aku kangen gi” dengan mata sayu ia melanjutkan membaca tulisan tangan yang ada di kertas yang dia pegang. ia menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan. Seolah ada sesuatu yang ia keluarkan dari dalam hatinya bersama nafas itu.
Ku ambil kertas itu dari tangannya. Kertas warna warni yang disetiap pojoknya ada gambar – gambar kartun. Ada juga gambar bunga mawar, juga ada gambar jantung yang berwarna. Manis dah pokoknya.
“Aku tidak mau menjadi penghalang perjuangan kakak, tapi yakinlah, hati ini masih sangat mencintaimu kakak” aku membaca dengan keras bait terakhir dari surat itu. Surat cinta yang ditulis Zubaidah, teman kelasku yang tidak lain adalah pacarnya Iman.
“Jadi Ustad juga bisa kangen sama cewek nih..?” aku menggoda
“Ustad juga manusia gi” belanya.
Aku berbaring disebelah Iman. Ia mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Ternyata Fotonya Zubaidah. Iman betul – betul kangen. Raut wajahnya memaksaku untuk berempati.
“Kamu putus ya dulu…?” tanyaku
“iya gi’, ya alasannya kayak yang kamu baca tadi. Padahal hubungan kita kan nggak ngaruh sama perjuanganku”
“Perjuangan…??” tanyaku
“Lho iya, kita kuliah ini kan berjuang gi” jawabnya
“Ooohh…”
“Pinter – pinter tapi bloon juga kamu ya..” jawabnya. Aku nyengir.
“Eh man, ingat mbak yang tadi gak?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan
“Mbak? yang mana?”
“Itu lho, Panitia Karisma tadi, waduh cantik banget ya. Tapi jilbabnya itu lho, kok besar sekali ya?” aku menjelaskan
“Kamu ini ngomong, kayak yang pake jilbab besar dan cantik Cuma satu orang aja. Lebih jelas yang mana?”
“Itu lho, yang negur kita waktu wudlu’ di tempat cewek pas shalat asar tadi…”
Tadi sore ketika jam shalat, aku sama Iman memang terlambat. Jadi kami mengambil air wudlu’ di tempat yang terdekat. Eh ternyata tempat itu, tempat wudlu’nya cewek. Nah disana tadi kita di tegur sama seorang panitia cewek. Subhanallah,,, cantiknya. Udah gitu cara negurnya sopannnnnnnnnn sekali. Meskipun terlihat malu dan matanya mencoba menghindar dari tatapan kami. Huh, mantap emang tu cewek.
“Oooo yang itu. Iya aku ingat. Emang sih cantik. Tapi kayaknya dia wahabi” Iman mulai mengerti yang kumaksud
“Wahabi? apaan tuh..? prasaan pernah denger” Aku pura – pura tidak tahu
“Itu lho, yang kalo shalat subuh ga kunut, terus pakeannya itu, wuh… kayak mbak tadi tu dah” Iman menjelaskan sederhana
“Kalo begitu kenapa dia jadi panitia Karisma? mbak – mbak yang lain juga, hampir semua jilbab besar, kok malah ikut nyanyi pas nyanyiin mars mahasiswa tu…?” aku bertanya penasaran
“Lho, emang kenapa kalo mereka jadi panitia dan ikut nyanyi?” Iman malah nanya balik
“Ya, biasanya kan cewek – cewek alim tu pemalu. Lagian aku pernah dengar ceramahnya Ustadz Salim waktu di sekolah dulu, katanya orang salaf itu mengharamkan nyanyi. Lah, wahabi itu salaf kan…?” meski aku tidak tahu banyak, tapi aku sok tahu menjelaskan.
“Hmmm…. Entahlah…!!” Iman menggeleng. “Udah ah, capek. Istirahat dulu biar besok bangunnya pas subuh” Iman menarik selimutnya lalu menutup pembicaraan kami.
*****
Hari ini adalah hari pertama aku masuk kampus tanpa menggunakan pakaian dan atribut aneh. Tidak ada yang teriak lagi. Tidak ada jalan tiarap. Juga tidak ada lagu – lagu kotor dan jorok seperti kemarin. Saat kami di Ospek. Dua hari di Karisma Unram, dan empat hari di Fakultas. Ospek di Fakultas emang lebih seru. Tapi jujur, aku ngerasa kehormatan dan harga diri kami sebagai manusia di lecehkan oleh senior – senior kami. Padahal setauku, mahasiswa paling sering berteriak tentang HAM dan Demokrasi. Inikah potrat HAM dan demokrasi itu?.
Hari pertama kami di kampus. Aku belum punya banyak teman. Sukiman beda fakultas denganku. Jadi kami ga’ bisa samaan. Hari ini semua sibuk mengisi Kartu Rencana Studi (KRS). Katanya sih itu syaratnya baru bisa ikut kuliah. Aku bingung. Form yang dikasi ribet dan membingungkan.
“Assalamualaikum….” seseorang mendekatiku
“Waalaikumsalam …” Jawabku sekenanya
“sedang ngisi KRS ya…?”
“Iya nih, tapi saya bingung mas, ga’ ngerti”
Rasanya aku kenal orang ini. Aku sering melihatnya ketika Ospek di fakultas kemarin. Yah, meskipun aku ga’ kenal sama dia. Tapi ga’ susah kok kalau mau ngenal dia. Dia punya ciri khas. Janggut yang tipis, selalu senyum, dan tentu saja, bermarkas di mushalla fakultas.
“Oooo… gini caranya mas….” dia menjelaskan panjang lebar. Aku suka gayanya. Dia tidak menggurui, ramah, dan aku betul – betul merasa di perhatikan olehnya. Kulihat di sekelilingku, Mahasiswa baru kumpul di beberapa titik. Lalu ada seorang senior yang menjelaskan tentang bagaimana ngisi KRS. Uniknya, orang – orang ini memiliki ciri dan gaya yang mirip. Yang cowok dengan janggut tipisnya. Ada juga lho yang tebal. Lalu yang perempuan dengan jilbabnya yang seperti jubah. Ah, jilbab besar. Dia mengingatkanku pada kakak senior yang dulu negur aku waktu wudlu’ di tempat cewek saat Karisma Unram. Cantik, anggun, sopan, betul – betul terlihat elegan. Kupikir, tidak aka nada cowok yang berani mengganggu dia.
Aku mulai paham bagaimana ngurus KRS. kami melanjutkan pembicaraan dengan tema lain. Aku beruntung mendapat tutotial sendiri. Ga’ berdesak – desakan seperti teman – teman lain disekitarku.
“Siapa saya bisa panggil mas…?” kakak itu bertanya sopan
“Egi…..” jawabku
“Aslinya dari mana.? kos ya disini…?”
“Lotim kak, disini saya memang nge kos, oya namanya kakak siapa ya?”
“Oh iya ya, maaf saya lupa. nama saya Ridho” dia menjabat tanganku sekali lagi. menatap mataku dengan dalam sambil tersenyum ikhlas.
Kami melanjutkan pembicaraan. Tidak ada topik khusus. Kami bahas apa saja yang terlintas di pikiran. Tapi dia selalu mengarahkan pembicaraan kami pada agama. Aku merasa begitu akrab dengan orang ini. Nyambung aja ngobrol dengannya. Aku baru saja punya teman baru dihari pertamaku. Olehnya, aku diminta ikut sebuah organisasi keislaman. Ya, semacam kelompok studi keislaman begitu. Aku tertarik juga.
“Egi….!!” Siti memanggilku, berteriak dari jauh. Aku menoleh, berbalik arah
“Eh Siti, kamu udah isi KRS?”
“Udah tak kumpulin malah, tadi dibantuin ma kakak yang itu” Siti menunjuk ke arah kerumanan mahasiswa – mahasiswa baru putri yang sedang diajari cara mengisi KRS oleh seorang gadis. Gadis berjilbab besar.
“Yang pake jilbab besar itu?”
“Persis” aku mengangguk. “Oya, nanti sore kamu diminta ke sekolah sama pak sulistyo, katanya kamu diminta ngelatih adik – adik itu LKBB”
“Insya Allah, aku udah ditelpon tadi sama beliau, kamu juga ikut kan?”
“Iya dong, iya sudah ya, aku mau pulang dulu, mau beres – beres. Kan kos baru…!” Siti tidak melanjutkan pembicaraan, dia langsung pergi meninggalkan kami.
Siti memang teman SMA ku. Kami dulu aktif di paskibraka. Organisasi yang dulu mengantarku menjadi Ketua OSIS di sekolah. Sampai sekarang kami sering diminta untuk ngajar adik – adik kelas kami di SMA. Pak Sulistyo adalah Wakil Kepala Sekolah bidang kesiswaan. Aku sangat akrab dengannya dulu.

“Punya banyak teman cewek ya…?” Ridho bertanya, antusias kali ini
“Teman SMA mas” jawabku
“Oooww, ya sudah. Eh, udah azan, salat yuk” Suara azan jelas terdengar dari mushalla fakultas. Tiap kali waktu salat, suara azan ramai terdengar di kampus kami. Soalnya, semua fakultas punya mushalla. Jadi, azannya bersahut – sahutan satu sama lain. Belum lagi yang dari masjid Unram. Ditambah lagi sama masjid warga di sekitar kampus kami. Ramai deh pokoknya. Kami kemudian pergi ke mushalla dengan niat ikhlas untuk shalat. Ibadah yang membedakan Muslim dengan umat lainnya.
*****
Sore itu, aku sedang berolahraga. Berlari mengitari kampus Unram yang cukup luas. Satu putaran saja seukuran dua kilo meter. Uh, jauh juga ya. Aku hanya bisa berlari setengah putaran, ga sanggup kalau sampai satu putaran. Aku bukanlah orang yang rajin olahraga, tapi entah kenapa hari ini aku pengen lari. Jadi ya ku ajak aja Iman untuk lari bersama.
Terengoh – engoh aku berlari melewati langkah demi langkah. Fiskikku memang tak sekuat Iman, dia biasa berlari hingga dua atau bahkan tiga kilo meter. Tapi aku tidak mampu seperti dia. Nafasku mulai keluar masuk dengan cepat, jantungku berdetak tidak normal. Wajar lah, orang sedang lari. Tepat di gerbang kampus, aku memelankan langkahku. Aku tidak lagi berlari, aku berjalan, tapi berjalan dengan cepat. Ku tundukkan wajahku sambil terus berjalan dengan cepat. Suasana sepi ketika itu, hari minggu disore hari. Hanya ada beberapa orang berseragam satpam.
“Boawrrrrrrrrrr…..” tepat di depanku seseorang yang sedang mengendarai motor skutermatic yang sedang ngetren itu jatuh. Aku melompat kebelakang, reflek menghindari motor yang jatuh.
Iman yang sudah jauh meninggalkanku berbalik arah dan menuju kearahku. Bukan untuk menjemputku, tapi untuk menolong orang yang jatuh itu. Motornya berhempas dengan keras memukul badan jalan. Kaki pengendara itu ditindih oleh tubuh berat motor sktermatic miliknya. Ia tak mampu bergerak. Aku belum bisa memastikan siapa orang ini. Kepalanya terlindungi oleh helm cantik berwarna pink. Tubuhnya juga sangat tertutup. Jlbab yang dikenakannya menjulur menutupi seluruh bagian tubuhnya yang bagian atas. Hanya sedikit saja bajunya yang terlihat. Tubuhnya juga diselimuti oleh jaket berwarna merah saga. Warna semangat yang mengandung berjuta harapan. Jaket yang pada lengannya menempel sebuah lambang. Tangan yang kokoh yang menggenggam dunia diatasnya dengan lima tangkai mawar merah menggelilingi tangan itu. Dibawahnya tertulis dengan jelas dan tebal dengan warna biru. KAMMI, itulah bunyi tulisan dibawah tangan yang kokoh itu.
Aku dan Iman mengangkat motor yang menindih gadis itu. Lalu segera aku dekati gadis korban kecelakaan itu. Kupegang lengannya lalu ku tuntun dia untuk berdiri. Dia merintih kesakitan dengan rintihan “aduh…” ia tetap tak bisa berdiri. Kakinya sakit. Tangan kanannya pun tak bisa digerakkan. Kulepas lengan krinya yang tadi kupegang. Lalu kuambil tangan kanannya yang terlihat kaku. Aku memijatnya. Tangan kiriku menekan dengan keras bagian sikunya. Lalu tangan kananku menggenggam telapak tangannya lalu ku tarik dengan penuh perasaan. Harapanku tangannya bisa digerakkan. Sepi. Saat itu benar – benar sepi. Di depan rektorat kampus Unram. Hanya ada aku, Iman dan gadis itu.
“Aduh…” gadis itu terus merintih. Sementara tanganku terus bekerja. Berusaha mengobati tangan yang keseleo itu. Meskipun aku bukanlah ahli dibidang itu.
Iman sibuk menendang – nendang ban depan motor skutermatic milik gadis itu. Bengkok memang. Benturannya terlalu keras.
“Sudah mas, sudah…!!” gadis itu mulai menggerakkan tangannya sendiri. Aku bersyukur. Setidaknya bisa mengurangi rasa sakit pada gadis itu. Meskipun itu hanya perasaanku saja. Aku berniat membantu gadis itu untuk berdiri. Kudekatkan tubuhku, berniat untuk merangkulnya agar dia bisa berdiri.
“Ma’af mas, saya bisa sendiri” dia menghindar.
“Maaf mbak, saya tidak bermaksud….” Dengan terengah – engah dia berdiri. Aku tak melanjutkan apa yang ingin aku katakan. Betapa kagetnya aku, ketika gadis itu membuka helm pinknya. Aku kenal cukup baik wajah yang ada didepanku sekarang. Dialah seniorku dulu yang menegur aku dan Iman ketika wudlu’ di tempat perempuan pada saat Karisma Unram. Dialah gadis berjilbab besar yang sering kuingat ketika melihat gadis lain dengan busana muslimah sepertinya. Dia melihatku dengan raut yang agak kaget. Sepertinya dia masih mengenaliku. Setidaknya mengenali wajahku. Bukan saja karena dia pernah menegurku ditempat wudlu’, tapi juga karena memang aku adalah orang yang paling sering berkomentar dalam Karisma ketika itu. Jadi, kurasa wajahku tak begitu asing bagi semua panitia.
“Terimakasih,,,,” bibirnya merintih mengaduh seraya memagang lengan kanannya. Reflek aku ingin membantunya lagi. “Jangan…!” dia mencegahku. “lain kali, jangan gampang memegang perempuan” dia melanjutkan.
“Ma’af mbak” aku tahu apa yang dia maksudkan. Aku tak lagi berani mendekatinya. Jilbabnya yang besar mengisyaratkan bahwa dia tidak bisa dipegang oleh laki – laki yang bukan muhrimnya. Jelas aja, aku bukan muhrimnya.
“Boleh saya minta tolong lagi?” tanyanya
“InsyaAllah mbak.” Jawabku. Dia tersenyum.
“Maaf sebelumnya. Saya minta tolong panggilin taksi, saya ga bisa pakai motor, tangan saya sakit”
“Saya bisa ngantar kok mbak, nanti biar saya balik pakai bemo” sahutku semangat
“Nggak, seorang lelaki dan perempuan yang bukan muhrim, haram untuk duduk saling berdekatan, apalagi boncengan pakai motor” ia menjelaskan. Sederhana, tapi sangat mengena dihati. Aku teringat ketika dia menjauh saat aku hendak membantunya berdiri tadi. Lah, boncengan saja haram, apalagi dirangkul seperti yang hendak kulakukan tadi. Serta merta aku merasa bersalah. Karena tadi dengan lancang memagang tangannya. Bahkan aku menggenggamnya sangat erat. Sangat erat. Tangan yang halus itu. Tapi demi Allah, tidak ada niat apapun yang muncul ketika aku melakukannya kecuali niat untuk menolongnya.
“Terus motornya gimana mbak?’ Iman yang sedang berdiri disamping motor gadis itu menyahut
“Nah, itu dia. Saya juga minta tolong. Ntar tolong kalian ikuti taksi yang saya pakai, saya mau pulang. Nanti kalian balik kesini pakai taksi itu, saya yang bayar”
“Iya mbak, tunggu aja disini sebentar. Saya pakai motornya ya buat cari taksi” jawabku. Dia mengangguk, bibirnya dihiasi senyum. MasyaAllah, manis sekali. Kutunggangi motor skutermatic itu. Iman naik dibelakangku. Aku memasang helm pink milik gadis itu. Lucu memang, tapi aku harus pakai helm. Lalu kutancap gas, meninggalkan gadis itu, gadis berjilbab besar. Gadis yang sering kubicarakan sama Iman dikamar kosku. Sebuah kejadian yang betul – betul luar biasa.
Aku kembali dengan taksi biru dibelakangku. Taksi pesanan gadis itu.
“Taksinya dibelakang mbak, bentar lagi nyampe”
“Iya, terimakasih ya!” dia tersenyum tipis, tipis sekali. Aku hanya mengangguk.
Taksi biru itu tiba. Supirnya membuka pintu belakang mobilnya.
“Masnya di taksi aja ya, biar motornya dibawa sama mas yag ini, ga apa – apa kan mas?” dia melihat ke arah Iman. Iman mengangguk, tersenyum.
Ia menunduk, mulai masuk dan mengatur duduknya di kursi belakang taksi itu. Aku hendak mengikutinya, duduk dibelakang.
“Eh, masnya didepan aja” pintanya. Aku mengangguk. Sungguh tak kupahami maksudnya. Kupikir aku dimintanya ikut di taksi untuk jagain dia, atau apalah yang mungkin sewaktu – waktu dia membutuhkanku ketika dalam perjalanan. Tapi kok aku diminta duduk didepan. Kenapa dia nggak sendiri aja pikirku.
“Maaf mas, mahasiswa baru kan? Boleh tau namanya siapa?” dia memecah keheninganku yang dalam kebingungan, duduk disamping supir taksi didepan.
“Eh, iya mbak. Nama saya Egi” jawabku
“Oooo. Sebenarnya saya inget sih wajahnya. Cuma kan ga’ tau namanya, masnya masih nanda saya kan?” dia bertanya lagi
“Iya mbak, sangat. Orang kan mbaknya panitia kemarin” kami tersenyum. Kulihat senyumnya dari sepion yang ada tepat didepnku. Sekali lagi, senyum itu manis sekali. Meskipun aku tidak tau apa ukurannya untuk menilai sebuah senyuman itu manis atau tidak. Yang pasti aku hanya merasa senyum itu menenangkan.
“Gini lho mas Egi,” sepertinya dia ingin menjelaskan sesuatu. “supaya nggak salah paham. Saya meminta mas untuk ikut di taksi ini, karena ya, seperti yang tadi saya katakan” dia mencoba menjelaskan pertanyaanku yang tidak pernah kuungkapkan, pertanyaan yang hanya ada didalam hati dan pikiranku. Tapi aku masih tidak mengerti. Apa maksudnya.
“maaf, yang mana mbak ya?”
“hmmm, gini aja. Ada sebuah hadits yang melarang kita untuk berdua – duaan dengan seorang yang bukan muhrim kita. Sebab yang ketiganyaadalah setan” jelasnya. Aku mulai paham, tentu saja tak sepaham dia.
“ooo gitu. Iya mbak saya paham” aku ingat penjelasannya tadi ketika aku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang dengan motornya. Bahwa dua orang laki – laki dan perempuan yang bukan muhrim, haram untuk berdekatan, apalagi boncengan. Pertanyaanku mulai terjawab.
“Kemana ini mbak?” tanya supir taksi. Sepertinya dia sudah paham bahwa yang dia antar adalah gadis itu. Bukan aku.
“Taman Baru pak ya” jawabnya. Supir itu hanya mengangguk. Aku melihat kearahnya. Kumisnya tebal, ditelinganya ada kembang yang sengaja dia selipkan. Tak sengaja kulihat papan nama yang terpasang tepat diatas sakunya. I Made Budiastra. Aku pastikan bahwa dia bukan muslim. Tapi dia harus mendengar pembicaraan – pembicaraan tentang hadits dan Islam didalam taksinya. Tapi kurasa dia cukup toleran. Setidaknya tak sepatah katapun keluar dari mulutnya untuk mengomentari perbincangan kami. Hanya pertanyaan yang sempat keluar tadi. Pertanyaan tentang tujuan taksi.
“Oya mas Egi, mas Egi kuliah di fakultas apa?” gadis itu kembali bertanya padaku
“Pertanian mbak, jawabku. Kalo mbaknya dari fakultas ekonomi kan?” aku bertanya balik
“Loh kok tau?”
“Kan udah di kenalin kemarin pas Karisma” jawabku. Tapi sungguh, tak terbersit sedikitpun dalam benakku untuk bertanya tentang nama. Sungguh na’if.
“Itu pak yang gerbang ijo” dia menunjuk sebuah rumah sekitar lima puluh meter didepan kami. Rumah megah dengan gerbang warna hijau.
Mobil taksi itu berhenti. Gadis itu menyodorkan sejumlah uang kepada sang supir. Lima puluh ribu. Lalu supir itu mengembalikan uangnya ya sekitar sepuluh ribuan.
“tolong anterin mas ini sampai ke tempat tadi pak ya!” pinta gadis itu
“Iya mbak, udah dikasi tau kok tadi”jawabnya santai. Ia menoleh ke arahku
“Oya mas Egi, ini nomor HP saya. Kapan – kapan kalau butuh sesuatu yang kira – kira bisa saya bantu, silahkan hubungi aja ke nomo itu” gadis itu menyodorkanku sebuah kertas bertuliskan nomor – nomor. “HP saya mati tadi, makanya ga’ bisa nelpon keluarga” lanjutnya. Ia membuka pintu taksi lalu keluar. Tak lupa dia ucapkan Assalamualaikum ketika kakinya melangkah keluar dari mobil.
Iman masuk taksi setelah sebelumnya menyerahkan motornya kepada gadis itu. Aku menoleh kearah gadis yang mulai masuk kedalam rumahnya. Meninggalkan motor skutermatic miliknya diluar rumah. Jilbab besarnya yang berwarna putih bersih tak ternodai debu sedikitpun. Ketika jatuh tadi, tubuhnya dilindungi jaket. Jaket berwarna merah saga. Jadi, jilbabnya terlindungi dari kotor. Sungguh putih jilbab itu. Jilbab yang membuat gadis itu terlihat semakin santun, anggun, dan elegan. Dipunggungnya kulihat sebuah tulisan berwarna biru dengan font Monotype corsiva. Tulisan itu berbuny “Menyongsong Generasi Muslim Negarawan”. Taksi itu kemudian mengantarkan kami pulang. Bukan ketempat gadis itu jatuh tadi. Tapi kami meminta supirnya mengantar kami ke kos.
******
Malam ini aku tidak tenang. Aku memikirkan banyak hal. Tapi semuanya tentang kejadian tadi sore. Kejadian ketika gadis berjilbab besar itu jatuh tepat didepanku. Lalu aku mengantarnya pulang kerumahnya. Banyak ilmu baru yang kudapat darinya. Tentang tidak bolehnya dua orang laki – laki dan perempuan untuk saling berdekatan. Terlebih saling bergoncengan. Aku mengingat juga ketika aku memegang tangannya. Berniat untuk memberikan pertolongan pertama pada tangannya yang keseleo. Aku merasa dia sangat membenci apa yang kulakukan itu. Tapi tentu saja dia juga sadar bahwa jika itu tidak kulakukan, mungkin dia tidak bisa langsung pulang tadi sore, bisa saja kami mengantarnya ke Rumah Sakit. Kuingat betapa malunya aku ketika dia melarangku masuk di kursi belakang taksi, lalu memintaku untuk duduk didepan. Tapi tentu dia paham bahwa aku adalah orang baru yang belum paham apa – apa.
Satu hal yang tidak bisa kupahami darinya. Saat dia bangkit dari jatuhnya, dia melihatku dengan agak tercengang, kaget, dan entah kata apa yang pantas untuk mengatakannya. Sepertinya ada alasan lain yang membuatnya begitu. Tapi aku tidak mau GR menanggapinya. Mungkin saja karena dia mengingat wajahku. Dia kan panitia Karisma kemarin.
“Hmmm, mikirkan apa kamu gi’?” suara Iman memecah lamunanku di kos seukuran tiga kali empat meter itu.
“Hee…” aku nyengir kecil “inget kejadian tadi sore Man” lanjutku. Iman berbaring disampingku, menggoda – godaku kecil.
“Ga’ nyangka ya, bisa ketemu dia seperti tadi. Orang yang paling sering kamu sebut, jodoh kali ya”
“Jodoh? ngaca dong. Orang dia lebih tua begitu, udah gitu dia cantik, alim, lah kamu?” aku menggoda balik
“Bukan aku bodoh, tapi kamu”
“Haaaa, Haaaa, Haaaa” aku tertawa terbahak – bahak. Masak iya, aku yang jelas – jelas jauh rentang usianya dengan dia bisa jodoh sama dia. Lagian ga’ ada tu sedikitpun dalam hati ada menjurus kesana.
“Yah, bisa aja kan?” lanjut Iman
“Amin…!!” jawabku, meski tak ikhlas. Kuperhatikan kertas yang dikasi gadis itu sebelum keluar dari taksi tadi. Kertas yang bertuliskan nomor Hpnya.
“Apaan tuh?” Iman ngerebut kertas itu dari tanganku, aku berusaha merebut balik, tapi ia membalikkan tubuhnya, menyembunyikan kertas itu. Kami masih dalam posisi tidur.
“Balikin Man” pintaku
“Eh kenapa kamu ga’ SMS dia gi’?” Iman membalikkan tubuh dan memandang serius kearahku
“Ga’ berani ah, malu Man!”
“Loh kenapa?”
“Ya…… Malu aja!”
“Eh, gini. Kamu Cuma nanya aja, gimana kondisinya dia, mungkin aja kan dia masih sakit” Iman semakin semangat
“Iya dah” aku ngalah setelah cukup lama mempertimbangkan. Apa salahnya sekedar ngirim SMS. Waktu itu tepat pukul 21.00
“Assalamualaikum, apa kabar mbak? Udah sembuh ya? Oya, maaf, kalau boleh tau namanya mbak siapa ya? Tadi lupa nanya. Maaf mbak bila mengganggu. Egi”
*******
“Assalamualaikum, ada SMS masuk…” HP yang diletakkan diatas meja belajar itu bergetar, nadanya berdering dengan suara manusia seperti diatas. Memecahkan lamunan Zahra, gadis berjilbab besar yang sedang terbaring di springbed kamarnya.
Zahra mengambil handphone miliknya, dia baca SMS yang ternyata dari Egi. Ingin sekali dia membalasnya, bagaimana tidak, SMS itu datang ketika pikiran dan prasaannya tertuju pada sang pengirim SMS itu. Segera dia ngetik SMS, ketika hendak dikirim, dia mengingat sesuatu
“Astagfirlah, kalau aku kirim, nanti malah jadi fitnah” Ia mengurungkan niatnya untuk ngirim SMS itu. Ia letakkan HP itu kembali ditempatnya semula.
Gadis itu kembali membaringkan tubuhnya. Dia ingin istirahat. Tangannya yang tadi keseleo, kini sembuh. Sudah normal kembali. Matanya terpejam, tapi hati dan pikirannya masih bekerja. Mengingat kejadian tadi sore. Sebuah kejadian yang mengingatkannya pada salah satu proses terpenting dalam hidupnya dimasa lalu. Egi bukan saja sekadar adik tingkatnya yang paling aktif ketika karisma. Dia baru tersadar bahwa adik tingkat yang pernah dia tegur ketika salah tempat mengambil wudlu’ itu sangat mirip orang yang sangat dia sayangi dimasa lalu.
Hatinya kembali hidup ketika menyaksikan wajah itu masih ada. Wajah itu terahir dilihatnya setahun yang lalu. Ketika kecelakaan maut merenggut nyawanya saat konvoi perayaan kelulusan SMA. Yah, Egi benar – benar mengingatkannya kepada adiknya. Adik kandung yang sangat dia cintai. Satu – satunya saudara kandung yang dia punya. Karena orangtua mereka lebih memilih hanya memiliki dua orang anak saja. Kini ibunya tidak mungkin lagi bisa melahirkan. Walaupun belum memasuki masa menopause, tapi dia telah mengikuti terapi KB secara rutin.
Matanya masih terpejam. Sedikit demi sedikit, mata itu mulai mengeluarkan air. Tak bisa dia lupakan kejadian tadi sore. Bukan Egi yang dia rindukan, bukan. Tapi adiknya yang kini dalam penantian di alam barzah. Namun Egi menjadi perantaranya. Kalau saja wajah itu tidak mirip dengan wajah adiknya, tentu saja tidak akan ada perenungan yang membuahkan air mata malam ini. Adik yang sangat dia cintai. Meskipun ketika dia hidup, tidak jarang keduanya terlibat pertengkaran. Termasuk dihari nyawa adiknya itu dicabut oleh malaikat pencabut nyawa. Tentu saja dia tidak akan pernah mengizinkan adiknya untuk ikut dalam konvoi yang sama sekali tidak ada manfaatnya itu. Tapi Ryan, adiknya ngotot. Itulah yang memancing perkelahian dahsyat ketika itu. Sampai kalimat terburuk keluar dari mulut Zahra. “silahkan pergi, saya do’akan kamu mati dilindas mobil hari ini”. Ryan tak gentar dengan do’a itu. Dia berangkat bersama teman – temannya dan bergabung dengan ribuan peserta konvoi tanpa tujuan yang jelas.
Seluruh badan jalan dipenuhi oleh kendaraan para peserta konvoi. Tentu saja konvoi ini sangat mengganggu pengguna jalan lain. Puluhan polisi berseragam lengkap mengejar kerumunan konvoi. Para peserta konvoi lari tunggang langgang. Dalam keadaan mabuk Ryan juga menancap gas dengan kencang. Ia tak mampu mengendalikan motornya, motor itu kepeleset ketika ia hendak menghindari lubang kecil didepannya. Kepalanya membentur aspal yang licin karena hujan. Belum sempat ia diselamatkan warga yang ada disekitarnya, sebuah Bus pariwisata melaju dengan kencang dari depan. Tanpa ampun bus pariwisata itu menggilas tubuh Ryan. Tubuhnya hancur, bahkan lengan kanannya terpotong tergilas ban bus pariwisata. Sungguh do’a sang kakak itu terkabulkan. Padahal do’a itu tidak ia panjatkan dengan tulus. Yang pasti ini bukan karena do’a itu. Tapi karena memang Allah SWT menghendaki Ryan untuk kembali dengan cara seperti itu.
Sangat mengenaskan tubuh Ryan ketika di evakuasi. Zahra tak kuasa menahan tangis melihat tubuh adiknya yang hancur. Bahkan dia tidak bisa mengenali lagi adiknya itu. Tapi baju yang dikenakannya sudah cukup untuk membuktikan bahwa dia memang Ryan. Seketika Zahra merasa sebagai orang yang paling bersalah ketika itu. Butuh waktu lama untuk mengobati traumanya. Zahra mengalami tekanan batin yang luar biasa. Namun, dia bersyukur karena Allah menuntunnya untuk mendapatkan hidayah dan bergaul dengan orang – orang yang tidak pernah redam semangatnya, menjadikan Allah sebagai muara segala urusan. Hanya kepada – Nya mereka menyerahkan diri.
Ketika dia mulai melupakan kejadian itu. Menyerahkan segalanya hanya kepada allah dan mempersibuk diri dengan aktivitas – aktivitas dakwah di kampus, Egi hadir membawa wajah Ryan. Inilah satu – satunya alasan kenapa Zahra memandang wajah itu cukup lama ketika dia bangkit saat kecelakaan tadi. Tapi ilmu agama yang dia dapat dari tarbiyahnya selama dua tahun meyakinkan dirinya bahwa yang didepannya bukanlah Ryan, tapi orang lain yang bukan mahramnya. Andai saja dia tidak pernah tersentuh tarbiyah, tentu saja saat itu tubuhnya akan memeluk erat tubuh Egi. Tubuh yang fosturnya persis sama dengan tubuh adik yang pernah dia do’akan kecelakaan untuknya. Tapi tidak, itulah karunia Allah kepada orang – orang yang Dia kehendaki.
*******
“Tirt……Tirt…….” HP Nokia tipe 3315 yang tidak lagi bisa mengeluarkan bunyi itu bergetar. Membuyarkan konsentrasiku yang sedang belajar, membaca ulang materi kuliah yang diberikan pekan lalu, bersiap untuk ke kampus. Kuambil HP kesayangan yang selama ini menemaniku melewati mozaik demi mozaik kehidupanku.
“Waalaikumsalam.wr.wb. Alhamdulillah udah sembuh dek, oya ga’ apa – apa kan kalau saya panggil dek? Masalah nama, tak kirain adk udh tau. Maaf ya, saya sngaja ga’ bls smalem, ga’ baik kita SMS-an malem2”
Kutekan tombol atas pada keypad untuk membalas SMS itu. Ibu jari kananku menari dengan lincah, memilih satu demi satu huruf, merangkai kata membentuk kalimat. Aku lepas buku yang aku baca, berkonsentrasi pada SMS.
“Oww gitu ya kak? Kalo kakak manggil adk, adk juga manggil kakak dong, ya kan? Ga’ tau kak, btul. Waktu itu kan terlalu banyak yg di knalkn, jd ga’ ingt namanya kakak. Ayo, kasi tau dah”
“Boleh, boleh. Bahkan kakak anggp adk sndiri”
Jawaban itu singkat, ia belum menjawab siapa namanya
“ya, tapi namanya kakak siapa? Mask adk sama kakak ga’ saling kenal nama sih?”
“Iya ya, ma’af dek, lupa. Nama kakak Zahra”
“kalo blh tau, kakak smstr brapa ya?”
“Kayak diintrogasi rasanya. Iy dh, ga apa2. Smstr 5 dek! Adk ikut organisasi apa saja di kmpus?”
“blum kak,msh bngung. Trlalu banyak organisasinya. Mnrut mbak yag bgus apa ya?”
“Sbnrnya sih trgantung hobinya adk, tapi ada satu organisasi yg bagus disana. Namanya Kelompok Studi Islam (KSI), adk ga’ mau ikut itu?”
“oooo KSI? Emang udh niat sih, cma btuh myaknkan dri aja, takutnya ntr kta dibilangin bid’ah – bid’ahin gitu”
“Heee… stau kakak, itu bkn organisasi yg gampang membid’ah kan org. gini ja dh, coba aja adk masuk dulu disana. Nah ntr klo udh ga pas, ya kluar aja. Gemana?”
“gitu yach? Klo kakak yg bilang gitu, adk coba dh kak. Oya kak, adk mau kuliah dulu ya, 15 mnt lg msuk”
“Iya dh, slamat kuliah ya dk…”
“makasi kak…”
SMS itu menjadi SMS terakhirku untuknya pagi ini. Terkesan sangat manja rasanya. Aku memanggilnya kakak? Tidak ada yang salah memang, bukankah dia memang kakak tingkatku?. Dia adalah kakak tingkat pertama yang kurasa sangat dekat denganku. Ntah karena apa, aku merasa sangat dekat secara emosional dengannya.
*****
Pagi ini Zahra memang tidak ada kuliah. Jam kuliahnya kosong hari ini. Tapi dia ada jadwal rapat sekitar jam Sembilan nanti. Jadi, dia menikmati paginya dirumah sambil menunggu jam Sembilan. Ia tersenyum sendiri. Merasa menemukan kembali sesuatu yang telah lama hilang dari hidupnya. Tak sungkan ia memanggil Egi sebagai adik. Ungkapan itu bukan ungkapan buatan yang diselimuti syahwat seperti kebanyakan yang dialami para remaja. Tentu kita tau, bahwa begitu banyak hubungan adik kakak yang sebenarnya mereka bukanlah adik kakak. Adik ketemu gede, ya itulah realitanya. Hubungan itu kemudian dijadikan alasan untuk saling memanjakan satu sama lain dan membolehkan apa – apa yang Allah larang. Misalkan saja pegangan tangan, atau bahkan salaman dengan pipi. Tapi tidak dengan Zahra. Ungkapan itu lahir dari hati. Panggilan adik yang sudah lama tidak dia ucapkan. Iya sungguh merasa telah mengucapkan itu pada Ryan, adiknya. Ingin rasanya dia memberikan apa yang belum sempat ia berikan kepada Ryan. Ryan meninggal sebelum sempat dia mengenal agama dengan baik. Dia tidak ingin Egi yang menurutnya adalah fotocopi dari Ryan juga seperti itu. Iya ingin membimbing Egi ke jalan dakwah. Setidaknya sepertinya. Ungkapan adik akan membuat mereka jadi dekat, dengan itu dia berharap bisa memberikan kasih sayang kepada Egi. Kasih sayang yang belum sempat ia tunjukkan kepada Ryan, adik satu – satunya yang dia miliki.
“Zahra….!!” Suara itu menyadarkan Zahra dari lamunannya. Suara mama yang berdiri dipintu kamarnya sambil mengetuk pintu.
“Ya ma, bentar” Zahra bangun, membuka pintu kamarnya
“Zahra ga’ ke kampus sekarang?”
“Ke kampus sih ma, kenapa?”


“Oooo, ya dah kalo’ gitu. Tadi mama pikir ga’ kuliah, jadi bisa nemeni mama ke kantor. Ada acara disana” mama Zahra adalah seorang pejabat. Dia kepala Dinas Pertanian Provinsi NTB. Sementara bapaknya adalah seorang dosen, guru besar dibidang pembangunan masyarakat pedesaan.
Mama pergi meninggalkan kamar Zahra. Berangkat ke kantor bersama supir dinasnya. Zahra sendiri dirumah, ditemani pembantu keluarganya. Bapaknya sedang berada di Jakarta. Ada proyek yang harus diselesaikan disana. Wajar lah, namanya juga professor.
*******

BERSAMBUNG......................