Thursday 31 May 2012

INDONESIA ADALAH “PENJAJAHAN JAWA TERHADAP LUAR JAWA”

Oleh : Muhammad Nurjihadi, SP
Ciri utama dari kolonialisme adalah eksploitasi sumber daya daerah jajahan untuk memenuhi kebutuhan penjajah. Selama 350 tahun Indonesia dijadikan sapi perah oleh Belanda untuk memenuhi kebutuhan hidup di Negara mereka yang miskin sumber daya alam. Setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia ternyata masih dicirikan oleh ciri kolonialisme itu. Bahkan hingga saat ini, setelah 67 tahun merdeka, pengelolaan Negara Indonesia masih dicirikan dengan kolonialisme. Entahlah, mungkin karena bangsa ini memang bermental bangsa jajahan.

Dalam interaksi ekonomi global, Indonesia dipaksa untuk menghasilkan bahan baku industri yang akan diolah di luar negeri untuk dijual kembali kepada penduduk pribumi. Sudah rahasia umum bahwa Indonesia adalah produsen sawit ekaligus eksportir sawit terbesar di dunia, namun kita juga adalah salah satu negara dengan konsumsi minyak sawit terbesar di dunia. Siapa yang menyangkal bahwa Indonesia adalah penghasil rotan terbesar di dunia, tapi sentra industri barang rotan terbesar di dunia justeru ada di China yang tidak memiliki hasil bumi rotan. Indonesia juga penghasil karet terbesar di dunia, tapi industri karet justeru terpusat di Yokohama. Serta masih banyak keunggulan komparatif lainnya yang patut kita banggakan sekaligus kita sesalkan karena kita hanya menjadi pengekspor barang mentah untuk dijual murah ke luar negeri, lalu membeli lagi dari luar negeri (impor) dengan harga yang sangat mahal. Dengan fakta ini, apa bedanya Indonesia hasil proklamasi 17 Agustus 1945 dengan Hindia Belanda sebelum proklamasi itu..??

Sesuatu yang lebih ironi dan memiris hati terjadi justeru dalam interaksi ekonomi dalam negeri kita sendiri. Sejak zaman kemerdekaan sampai hari ini, kita belum berhenti berdiskusi tentang disparitas, ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa. Jawa yang luas daratannya hanya 6% dari total daratan Indonesia menampung beban penduduk sebesar 60% dari total penduduk Indonesia. Secara ekonomis, kondisi ini menyebabkan perputaran uang, kekayaan dan hasil produksi terpusat di Jawa. Dampak lainnya adalah tersedianya infrastruktur memadai di Pulau Jawa karena alasan beban jumlah penduduk. Semua hal itu tentu menyebabkan anggaran negara lebih banyak teralokasikan untuk Pulau Jawa.

Sampai pada penjelasan itu, mungkin kita belum menemukan masalah berarti dalam tata kelola ekonomi negara kita. Tapi coba lihat dampak tragis lainnya dari fakta diatas. sistem ekonomi kapitalis liberal yang dianut pemerintah membuat investasi swasta berpusat di daerah Jawa karena alasan ketersediaan sumber daya manusia dan kemudahan akses pasar serta infrastruktur yang memadai. Padahal fakta lain menunjukkan bahwa produksi bahan mentah untuk keperluan industri di Jawa di suplai dari daerah-daerah luar jawa. Kalimantan dan Sulawesi misalnya yang memiliki bahan baku rotan yang melimpah, tapi industri rotan di Indonesia justeru terpusat di Cirebon dan sekitarnya yang bukan merupakan penghasil rotan. Demikian juga dengan industri logam dan pertambangan yang bahan bakunya banyak terdapat di Indonesia bagian timur, tapi sentra industrinya juga terpusat di Jawa. Dengan fakta ini, timbul pertanyaan apa bedanya Jawa dengan belanda yang menjajah Nusantara di masa lalu ?. Dengan fakta itu, salahkah jika saya mengambil kesimpulan bahwa organisasi (Negara) Indonesia bermakna “penjajahan Jawa atas luar Jawa ??”.

Keberpihakan ekonomi politik pemerintah terhadap sistem ekonomi kapitalis adalah akar dari permasalahan ketimpangan dan penjajahan Jawa atas luar Jawa ini. Dalam hitung-hitungan investor asing, yang ada hanyalah bagaimana mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa peduli keadilan dan keberimbangan pembangunan. Oleh sebab itu, Jawa dengan segala keunggulannya (terutama kepadatan penduduk) akan selalu menjadi daya tarik sebagai pusat investasi dengan melakukan eksploitasi kekayaan alam di daerah luar Jawa. Alasannya sederhana dan pragmatis, karena Jawa memiliki sumber daya manusia yang terampil, infrastruktur memadai, dan yang paling penting Jawa merupakan pasar yang paling potensial.

Jika kebijakan ekonomi politik yang seperti itu terus dipertahankan, pertanyaannya kapan daerah luar Jawa akan menjadi mandiri dan memiliki taraf hidup yang sama dengan masyarakat Jawa..?. Kita tidak bisa menyalahkan investor, sebab mereka berinvestasi dengan mengikuti insting bisnisnya. Seharusnya disinilah negara memainkan perannya sebagai pengatur, pengelola dan pengarah dalam kegiatan ekonomi. Kita bisa belajar banyak dari negeri China. Negeri yang dulunya pernah mengalami krisis kelaparan yang parah, kini menjelma menjadi kekuatan ekonomi dunia yang berpengaruh. Apa yang dilakukan Cina adalah membangun industri yang dekat dengan sumber bahan bakunya. Negara membangun infrastruktur yang memadai secara adil dan merata di seluruh negeri, bahkan hingga pelosok. Dengan di fasilitasi negara, Cina juga memberikan pelatihan dan pendidikan keterampilan kepada masyarakat yang disesuaikan dengan keunggulan komparatif daerah tempat tinggal penduduk. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi investor untuk menolak berinvestasi di daerah penghasil bahan baku. Bandingkan dengan Indonesia saat ini. Infrastruktur dibangun mengikuti pertumbuhan industri di suatu daerah, akibatnya infrastruktur itu hanya dibangun di daerah industri yang tidak lain adalah Jawa. Lalu lihat pula pola pendidikan dan pelatihan kerja yang dilakukan di Indonesia. Pelatihan kerja dilakukan tanpa mempertimbangkan keunggulan komparatif daerah. Akibatnya, tenaga-tenaga terampil dan terdidik hasil pelatihan itu harus mencari pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan yang didapatkan dalam pelatihan. Tentu saja lokasinya bukan di daerah tempat tinggalnya, tapi di daerah lain yang membutuhkan keterampilannya itu. Sekali lagi, pada umumnya daerah itu adalah Jawa.

Tanpa bermaksud memupuk sifat sentimental dan emosional terhadap Jawa, tulisan ini hanya ingin menyadarkan kita semua terutama pemerintah agar segera merubah haluan ekonomi politiknya. Era reformasi yang kita harap akan memutus mata rantai kapitalisme ekonomi Indonesia justeru melahirkan pemimpin yang lebih kapitalis dari rezim orde baru. Daerah-daerah miskin di luar Jawa itu tidak membutuhkan belas kasihan pemerintah yang hanya disampaikan lewat pidato politik yang retoris. Daerah-daerah itu hanya butuh keadilan dan keberpihakan, itu saja. Keadilan adalah satu-satunya harapan yang membuat mereka mau bergabung ke dalam NKRI. Jika keadilan itu tidak mereka dapatkan, jangan salahkan jika NKRI ke depan akan terpecah belah seperti Uni Soviet. Stop kolonialisme Jawa atas Luar Jawa yang di fasilitasi oleh pemerintah NKRI.

*Penulis adalah mahasiswa Perencanaan Pembangunan Wilayah IPB; aktifis KAMMI

Monday 14 May 2012

Yahudi: Kaum Pengemis “Kasihan” yang Menjajah Dunia

Oleh: Muhammad Nurjihadi
Sejak ribuan tahun yang lalu, kaum yahudi hidup terlunta-lunta sebagai akibat dari azab yang Allah berikan kepada mereka. Sikap sombong mereka membuat mereka terusir dan hidup berpencar seperti kera yang diburu oleh para pemburu. Mereka tersebar di berbagai Negara di Eropa dan Amerika sebagai tempat berlindung. Sadar dengan kondisi mereka yang terisolir dari pergaulan internasional, dikucilkan oleh masyarakat tempat mereka tinggal serta dianggap sebagai kaum marginal yang tak berharga, mereka kemudian menyatukan diri dengan membentuk organisasi-organisasi yahudi. Salah satunya adalah World Jews Commite (WJC) dan American Jews Commite (AJC) di Amerika. Melalui organisasi ini, mereka merencanakan strategi untuk menguasai dan menjajah dunia.

Kebencian terhadap kaum yahudi terus tumbuh dari masyarakat selain yahudi. Sikap sombong dan meremehkan kaum lain yang menjadi ciri khas yahudi membuat masyarakat kian membenci mereka. Puncak kebencian itu terjadi pada masa Perang Dunia II (PD II) di Jerman. NAZI yang berkuasa di Jerman dibawah pimpinan Hitler pada masa PD II memenjarakan kaum yahudi dalam sebuah camp yang mengerikan yang sering disebut Auschwitz. Didalam camp itu, mereka kemudian dibunuh satu per satu dengan membiarkan mereka kelaparan, diracun dengan gas beracun dan bahkan ada juga yang ditembak. Tidak ada alasan yang jelas dan pasti kenapa Hitler melakukan itu. Tragedi pembantaian kaum yahudi ini dikenal dunia dengan nama Holocaust.

Mengingat gencarnya upaya elit yahudi yang ada di WJC dan AJC untuk menguasai dunia, sementara mereka harus dihadapkan pada fakta kebencian kelompok selain yahudi terhadap mereka membuat saya berkeyakinan bahwa holocaust adalah sebuah tragedi yang dirancang dan direncanakan oleh para elit yahudi untuk mengambil perhatian dunia. Dengan kata lain, para elit yahudi itu mengorbankan masyarakat yahudi kelas rendah untuk kepentingan mereka. Dugaan ini diperkuat dengan tidak adanya tokoh yahudi yang menjadi korban holocaust. Jika benar Hitler sangat membenci golongan Yahudi, seharusnya yang pertama kali dibunuh adalah para tokoh yahudi, para rabi dan pemikir yahudi. Namun faktanya, ketika tragedi holocaust itu terjadi, tidak ada satupun tokoh yahudi yang ditangkap. Harun Yahya dalam karyanya yang fenomenal bahkan mengatakan bahwa NAZI adalah paham bentukan para pemikir yahudi sebagaimana komunisme dan liberalisme. Kesimpulan Harun Yahya ini membantu saya untuk mengatakan bahwa para elit yahudi sengaja menciptakan tragedi holocaust untuk kepentingan mereka.

Kenapa harus membantai kaum sendiri untuk mendapatkan keuntungan…? Mungkin ini yang menjadi pertanyaan kita selanjutnya. Jawabannya tidak lain karena hanya dengan cara itu mereka bisa mendapat perhatian dunia. Dengan adanya tragedi pembantaian itu, dunia yang tadinya membenci kaum yahudi diharapkan akan bersimpati kepada mereka. Dampak dari tragedi ini sungguh luar biasa. Pasca tragedi itu, para elit yahudi dengan media-media internasional yang mereka kuasai setiap hari selama bertahun-tahun mengangkat tragedi holocaust sebagai headline.
Tragedi itu dalam pemberitaannya kian di dramatisir. Mulai dari menyebutkan angka jumlah korban yang mencapai 6 juta orang hingga tuduhan pencurian kekayaan orang yahudi oleh NAZI sebelum menangkap dan membantai mereka. Douglas Reed dalam buku “Behind The Scene And The Controversy Of Zion” menyatakan bahwa total korban perang yang dibunuh oleh tentara NAZI dalam seluruh perangnya selama PD II hanya 850.000 orang. Jika total korban yang dibunuh saja hanya 850.000 orang, bagaimana mungkin korban holocaust bisa mencapai 6 juta orang. Hal mengganjal lainnya adalah, perang sebesar PD II tentu membutuhkan gas yang sangat banyak untuk keperluan perang itu, bagaimana mungkin NAZI akan membuang gas mereka secara sia-sia hanya untuk membunuh orang yahudi yang bukan musuh inti mereka dalam perang. Sekarang saja jumlah total orang yahudi di seluruh dunia hanya 20 juta orang, mustahil enam puluh lima tahun yang lalu jumlah mereka bisa mencapai enam juta orang hanya di Jerman. Jadi publikasi media-media internasional yang mengatakan jumlah korban mencapai 6 juta orang adalah bohong karena tidak didukung oleh data yang ada dan akal sehat.

Gencarnya pemberitaan tentang holocaust membuat holocaust itu sendiri menjadi “agama” di barat. Holocaust bahkan lebih sakral dari Kristen atau Yesus sekalipun. Jika anda mengkritisi ketuhanan Yesus atau menghujat habis-habisan Kristen di media barat, maka anda tidak akan pernah dihukum karena itu dianggap sebagai kebebesan berpendapat. Tapi jika anda mempublikasikan kritik terhadap holocaust, anda harus siap untuk dipenjara, diasingkan atau bahkan diculik dan dibunuh diam-diam. Manfred Rouder, Fred Louchter, Fredrick Toben, dan Bruno Genlish adalah beberapa nama yang pernah mengkritisi holocaust. Mereka lalu sebagian dipenjara, sebagian lagi diasingkan. Bahkan saya meyakini, kematian miserius John F Kennedy, mantan Presiden Amerika Serikat yang kharismatis itu ada kaitannya dengan sikapnya yang tidak terlalu mempercayai holocaust. Masyarakat barat digiring oleh para elit yahudi melalui media-media besar yang mereka kuasai untuk mensakralkan holocaust. Oleh karenanya di seluruh perguruan tinggi di Amerika menjadikan holocaust sebagai bahan ajar wajib, bahkan di beberapa perguruan tinggi ia menjadi program studi khusus.
Keberhasilan yahudi dalam menggiring opini publik barat membawa manfaat yang luar biasa kepada yahudi. Opini publik barat itu membuat masyarakat barat sangat merasa berdosa atas perlakuan diskriminatif mereka selama ini terhadap kaum yahudi. Serta merta pendapat tentang yahudi berubah drastis. Simpati publik ini kemudian dieksploitasi lagi oleh yahudi untuk membenarkan setiap aktifitas yang mereka lakukan, bahkan jika aktifitas itu adalah aktifitas pembantaian, perampokan, penjajahan dan penindasan terhadap kaum yang lain. Langkah pertama yang mereka lakukan adalah dengan merebut tanah Palestina dan mendirikan sebuah Negara yahudi yang bernama Israel. Barat yang sudah merasa bersalah kepada yahudi kemudian segera memberikan dukungannya atas berdirinya Negara Israel meski itu berarti mengusir rakyat Palestina dari rumah dan tanah mereka sendiri dan bahkan membunuh siapa saja yang tidak bersedia untuk diusir dari tanah mereka.

Berdirinya Israel menjadi sebuah Negara di tanah sah milik rakyat Palestina juga menjadi nestapa berkepanjangan dalam sejarah dunia. Beberapa kali tentara Israel melakukan pembantaian sadis dan genosida tak bermoral terhadap kaum muslimin. Setiap kali mereka di kritik karena sikap itu, mereka selalu mengatakan terpaksa melakukan itu untuk melindungi diri dari kebencian orang Islam kepada yahudi. Dengan alasan itu, yahudi “diizinkan” oleh masyarakat barat, bahkan oleh PBB untuk membantai wanita, anak-anak dan orang-orang yang tidak bersalah di Palestina. Para elit yahudi secara cerdik mengeksploitasi rasa kasihan masyarakat dunia kepada mereka atas peristiwa holocaust enam puluh lima tahun lalu itu. Itulah sebabnya, sampai hari ini media barat tidak pernah sekalipun absen berbicara tentang holocaust. Sebab hanya dengan ingatan holocaust itu mereka bisa melakukan apa saja atas nama “pembelaan diri”.

Yahudi adalah kaum yang selalu merasa terancam dalam hidupnya. Itulah sebabnya, mereka tak ubahnya seperti binatang yang tak punya hati dan akal sehat. Mereka terus dan terus membantai serta merampas hak milik kaum muslimin di Palestina. Pembangunan perumahan yahudi di tepi barat yang dilarang oleh PBB pun tetap mereka lakukan. Sekali lagi, alasan mereka karena mereka akan dibantai jika mereka tidak membantai orang Islam, tanah mereka akan direbut jika mereka tidak merebut tanah kaum muslimin. Mereka membangun opini seolah-olah mereka melakukan segala tindakan illegal mereka karena mereka sedang terancam oleh kaum muslimin.

Kembali lagi ke barat, khususnya Amerika Serikat. Saat ini, seseorang tidak akan syah menjadi presiden Amerika jika dia tidak memiliki keberpihakan kepada yahudi. Setiap pemimpin AS harus mendapat “restu” dari AJC terlebih dahulu jika ingin memenangkan Pemilu. Jika tidak, karir mereka bisa berakhir dalam hitungan bulan atau bahkan hari. Kuatnya pengaruh media yang dimiliki yahudi serta besarnya peran yahudi dalam perekonomian AS membuat AS tidak bisa membantah kehendak yahudi. Dengan demikian, AS tak ubahnya adalah jajahan kaum yahudi. Jika sedikit saja melawan, yahudi dapat dengan mudah menghancurkan perekonomian Amerika Serikat. Menghancurkan ekonomi AS berarti menghancurkan AS itu sendiri.

Demikianlah, holocaust menjadi alat utama yahudi untuk mengemis rasa kasihan dunia yang dengan itu mereka dapat melakukan pembantaian, genosida, penjajahan dan perampokan kepada siapapun yang menghalangi mereka. Jika sekarang korban utamanya adalah Palestina, tidak menutup kemungkinan beberapa tahun yang akan datang, Indonesia atau Negara-negara lainnya akan menjadi sasaran langsung mereka (meskipun sekarang pengaruh mereka di Indonesia dan Negara lainnya juga cukup kuat secara tidak langsung).


This note will be continues….

Tuesday 1 May 2012

PEMEKARAN WILAYAH Vs PEMBERDAYAAN MASYARAKAT : Mencari Jalan Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat

"Review Atas Berbagai Studi Tentang Pemekaran Wilayah dan Pemberdayaan Masyarakat"
Oleh: Muhammad Nurjihadi
A. Review Of Theses
Empat tesis tentang otonomi daerah yang menjadi objek review dalam tulisan ini setidaknya berbicara tentang dua isyu utama yaitu pemekaran wilayah dan pemberdayaan masyarakat. Dalam konsep ideal, dua hal ini tentu saja ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemekaran wilayah akhir-akhir ini banyak terjadi di Indonesia. Lahirnya UU Nomor 22 tahun 1999 yang diperbarui menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menjadi alasan beberapa daerah menuntut berpisah dari daerah induk, baik dalam bentuk pemekaran provinsi maupun pemekaran kabupaten. Berbagai argumen disampaikan sebagai alasan untuk melakukan pemekaran wilayah itu. Meningkatkan pelayanan publik serta kesejahteraan masyarakat adalah alasan yang paling umum dikemukakan. Sementara itu, pemberdayaan masyarakat yang menjadi salah satu pilar penting otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat diterjemahkan oleh beberapa pemerintah daerah ke dalam berbagai bentuk program. Salah satu tesis yang di review dalam tulisan ini, Kreuta (2010) menganilisis program pemberdayaan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura yaitu Program Pemberdayaan Kampung (PPK).

Karena secara normatif tujuan dari pemekaran wilayah adalah peningkatan kesejahteraan, maka pemekaran wilayah dapat pula diartikan sebagai sebuah upaya pengembangan masyarakat. Supriadi (2010) dalam tesisnya yang di review dalam tulisan ini mengutip pendapat Anwar dan Rustiadi (2000) yang menyatakan bahwa konsep pengembangan wilayah menekankan pada keterpaduan antara pembangunan sektoral, kewilayahan dan institusional. Meski demikian, hampir semua tesis yang di review dalam tulisan ini memulai tulisannya dengan sebuah psimisme tentang efektifitas pemekaran wilayah. Aulia Farida (2010) misalnya, di bagian awal mengutip beberapa hasil penelitian sebelumnya tentang pemekaran wilayah yang telah menyimpulkan beberapa hal seperti:

1. Pemekaran wilayah hanya alat untuk mendapatkan kekuasaan oleh segelintir elit lokal dalam pemerintahan baru
2. Masyarakat pada umumnya tidak memahami manfaat pemekaran wilayah dan tidak siap dengan pemekaran wilayah
3. Pemekaran wilayah mendatangkan perebutan kekuasaan
4. Pemekaran wilayah menimbulkan fragmentasi elit
5. Pemekaran wilayah melahirkan perebutan relasi kuasa.
6. Ketimpangan pendapatan masyarakat di daerah pemekaran

Selain Farida, Azis Hasyim juga menuliskan psimisme serta keprihatinannya di awal tulisan dengan mendeskripsikan konflik yang terjadi antara Kabupaten Halamahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara di Provinsi Maluku Utara dalam memperebutkan wilayah perbatasan yang terdiri dari enam desa. Konflik itu terjadi setelah kabupaten Maluku Utara di mekarkan menjadi Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat. Warga dari enam desa menolak untuk bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara meskipun secara administratif enam desa itu berada pada kecamaan Malifut di kabupaten Halmahera Utara. Kekayaan sumber daya alam yang ada di enam desa diduga menjadi penyebab berlarut-larutnya konflik antara kedua kabupaten yang baru mekar ini. Konflik ini memperpanjang daftar dampak negatif dari pemekaran wilayah di Indonesia. Konflik kepentingan itu pada akhirnya merugikan masyarakat. Dengan demikian, tujuan menciptakan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diharapkan dalam pemekaran wilayah tidak terwujud.

Berbeda dengan tiga tesis lainnya yang di review dalam tulisan ini, Kreuta tidak mengkaji tentang dampak pemekaran wilayah. Kreuta menganalisis efektifitas pelaksanaan suatu program pemberdayaan yang bernama Program Pemberdayaan Kampung (PPK) di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. Dalam tulisan ini, terlihat bahwa Kreuta sangat tertarik pada pendapat Rahayu (2006) yang menyatakan bahwa pengembangan masyarakat (community development) merupakan suatu proses dimana masyarakat yang tinggal pada lokasi tertentu mengembangkan prakarsa untuk melaksanakan suatu tindakan sosial (dengan atau tanpa intervensi) untuk merubah situasi ekonomi, sosial, kultural dan atau lingkungan mereka. Dalam rumusan ini terlihat kesan bahwa dalam pengembangan masyarakat, intervensi bukanlah hal yang mutlak, justeru yang lebih penting adalah prakarsa dan partisipasi masyarakat dalam proses yang berlangsung.

Untuk isyu pemekaran wilayah, masing-masing penulis menggunakan konsep yang berbeda untuk mendekati masalah. Aulia Farida menggunakan konsep “elit” untuk mendekati masalah. Farida mengutip Lauer (2003) mendefinisikan elit sebagai tokoh, baik sebagai elit politik, legislator, intelektual, seniman, moralis maupun elit agama dimana masing-masing elit memiliki cara sendiri dalam memimpin, elit tersebut dapat menjadi perintang atau pelancar dari proses pembangunan dalam suatu negara. Menurut farida, elit memegang peranan penting dalam memutuskan pemekaran wilayah. Dalam suatu wilayah yang ingin dimekarkan, tidak sepenuhnya ide pemekaran akan didukung oleh semua elit. Kecenderungan berbeda pendapat antar elit tentang perlu tidaknya pemekaran tentu didasarkan atas gagasan dan argumen tertentu. Inilah yang ingin dikaji oleh Farida, bagaimana manuver yang dilakukan oleh masing-masing elit untuk memenangkan gagasannya. Selain itu Farida juga bermaksud untuk mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam pertarungan gagasan itu serta dampak dari pemekaran terhadap masyarakat.

Jika Farida menggunakan perspektif elit untuk mendekati masalah, Azis Hasyim lebih cenderung mendekati masalah dengan menganalisis penyebab terjadinya konflik. Penolakan dari warga enam desa untuk bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara yang berbuntut konflik kedua Kabupaten yang baru mekar menjadi pertanyaan kunci dalam penelitian Azis Hasyim. Selanjutnya Hasyim bermaksud untuk menguraikan dampak dari konflik yang terjadi terhadap kehidupan masyarakat.

Sementara itu, Bambang Supriyadi secara umum menggunakan pendekatan Modernisme-Demokratisme untuk menganalisis efektifitas pemekaran wilayah. Supriadi menggunakan kriteria-kriteria khusus untuk menilai keberhasilan pemekaran wilayah yaitu: 1) daerah cepat maju dan cepat tumbuh, yaitu kabupaten pemekaran yang rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapitanya lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata provinsi, (2) daerah maju tapi tertekan, yaitu kabupaten pemekaran yang memiliki rata-rata pendapatan per kapita lebih tinggi tapi mempunyai rata-rata pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari rata-rata provinsi, (3) daerah berkembang cepat yaitu kabupaten pemekaran yang memiliki rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi tetapi mempunyai rata-rata pendapatan perkapita lebih rendah daripada rata-rata provinsi, (4) daerah relatif tertinggal, yaitu kabupaten pemekaran yang memilki rata-rata tingkat petumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih rendah dari rata-rata provinsi. Berdasarkan kriteria-kriteria itu, Supriadi menganalisis efektifitas pemekaran wilayah.

Konsep yang digunakan dalam mendekati masalah oleh Kreuta menitik beratkan pada upaya untuk mengevaluasi efektifitas pelaksanaan Program Pemberdayaan Kampung (PPK). PPK adalah sebuah program pengembangan masyarakat yang terencana dan relevan dengan persoalan-persoalan lokal yang dihadapi oleh para anggota komunitas yang dilaksanakan secara khas dengan cara-cara yang sesuai dengan kapasitas, norma, nilai, persepsi dan keyakinan anggota komunitas setempat. Melalui PPK diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan kapasitas produksi kakao per rumah tangga. Terdapat dua hal yang menjadi alat analisis dalam tulisan ini, yaitu analisis tata kelola PPK dan analisis dampak terhadap pengembangan wilayah di kabupaten jayapura. Analisis tata kelola PPK menyangkut transparansi, akuntabilitas, partisipasi, pengelolaan dana serta pendampingan dan pembinaan. Sementara itu analisis dampak terhadap wilayah mencakup produksi kakao, luas tanam kakao dan pendapatan petani kakao. Berdasarkan analisis atas tata kelola dan dampak wilayah dari pelaksanaan PPK itu, Kreuta dapat menyimpulkan sejauh mana PPK mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Isyu utama yang ingin dijawab dalam penelitian tentang pemekaran wilayah oleh Aulia Farida adalah bahwa ide pemekaran wilayah hanya merupakan konstruksi elit untuk kepentingan pribadi atau golongan. Selain itu, Farida juga menganggap bahwa pemekaran wilayah tidak memberikan kepuasan pada masyarakat dan menyebabkan terjadinya ketimpangan atau ketidak merataan kebermanfaatan dari pemekaran wilayah itu sendiri. Hasyim Azis melakukan penelitian tentang pemekaran wilayah berangkat dari isyu konflik perbatasan antara Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat yang diduga terjadi karena perebutan manfaat ekonomi mengingat enam desa yang menjadi daerah konflik merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam. Sementara Bambang Supriadi berangkat dari isyu bahwa pemekaran wilayah hanya memberikan manfaat kepada segelintir elit lokal, misalnya pemekaran wilayah akan menyebabkan terbentuknya jabatan-jabatan baru yang akan diduduki oleh para elit lokal tersebut.

Kreuta yang menganalisis program pemberdayaan PPK di Jayapura berangkat dari isyu utama tentang kurang transparannya pelaksanaan PPK meskipun Perbup Jayapura nomor 26 tahun 2009 mengharuskan kepala kampung, BAMUSKAM, dan LPMK untuk menginformasikan segala sesuatu tentang PPK dengan berbagai media di kampung. Pelaksanaan PPK juga dianggap tidak akuntabel mengingat pemerintah kampung sebagai pelaksana PPK tidak pernah mengevaluasi pelaksanaan program PPK setiap akhir kegiatan, tidak adanya laporan pertanggungjawaban serta tidak adanya audit internal terhadap tim pelaksana PPK. Selain itu, partisipasi masyarakat secara nyata dalam proses perencanaan pelaksanaan, pengawasan maupun evaluasi program dianggap rendah. Isyu lainnya adalah kurangnya kegiatan pembinaan, pelatihan maupun penyuluhan dari pemerintah untuk meningkatkan keterampilan pendamping kampung.

Dari studi yang dilakukan, Aulia Farida menyimpulkan bahwa pemekaran wilayah di Kabupaten Tebo dan Kabupaten Bungo tidak siap, tergesa-gesa dan direkayasa oleh segelintir elit sehingga kesejahteraan masyarakat tidak meningkat bahkan cenderung menurun. Selain itu Farida juga menyimpulkan bahwa kegagalan pemekaran wilayah selama sepuluh tahun terakhir disebabkan karena latar belakang pemekaran yang sebenarnya bukan untuk kepentingan rakyat, tapi untuk kepentingan segelintir elit yang menjadi aktor, terutama elit birokrasi dan politik disamping elit cendekiawan, elit agama, elit adat hingga elit LSM. Sedangkan Bambang Supriadi menyimpulkan bahwa dari tiga kabupaten yang diteliti, hanya satu kabupaten (Kabupaten Rote Ndao) yang layak dipertahankan menjadi daerah otonom. Sementara Kabupaten Mamasa diusulkan sebaiknya digabungkan kembali dengan daerah induk mengingat daerah pemekaran baru ini gagal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Sedangkan Kabupaten Rokan Ilir dapat dipertahankan keberadaannya sebagai daerah otonom, tapi masih memerlukan pengawasan dan pendampingan agar dapat berkembang lebih baik.

Studi dari Kreuta menunjukkan hasil bahwa PPK efektif dalam meningkatkan pendapatan masyarakat yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan kapasitas produksi kakao per rumah tangga, peningkatan luas tanam kakao per rumah tangga dan peningkatan rata-rata kontribusi kakao terhadap pendapatan rumah tangga. Selain itu, Kreuta juga menyatakan terdapat hubungan positif antara transparansi, akuntabilitas, paritispasi anggota komunitas serta aktifitas pendampingan dan pembinaan dalam pelaksanaan program PPK dengan peningkatan pendapatan rata-rata rumah tangga yang menerima PPK.

B. Studi Pembanding
Lahirnya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah menyebabkan terjadinya euphoria otonomi daerah. Otonomi daerah dinilai sebagai arus balik kekuasaan dan kewenangan yang selama ini bersifat sentralistis dan hanya mementingkan kepentingan pemerintah pusat. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, sebagian besar kekuasaan dan kewenangan di tingkat daerah diserahkan kepada pemerintah daerah. Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menawarkan berbagai macam paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berbasis pada filosofi “keanekaragaman dalam kesatuan”. Paradigma yang ditawarkan antara lain kedaulatan rakyat, demokratisasi, pemberdayaan masyarakat, pemerataan dan keadilan (Suharti, 2008).

Pemerintah daerah merespon UU Nomor 22 tahun 1999 ini dalam berbagai bentuk. Salah satu bentuk respon itu adalah melakukan pemekaran wilayah. Atas dasar latar belakang historis, demokratisasi, keinginan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik serta pemerataan kesejahteraan, beberapa wilayah mengusulkan terbentuknya daerah otonom baru. Fenomena pemekaran wilayah ini kemudian direspon pemerintah pusat dengan mengeluarkan PP Nomor 129 tahun 2000 tentang kriteria pemekaran, pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. Dirjen Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan RI mengumumkan bahwa sampai tahun 2011 telah terbentuk 205 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 Provinsi, 165 Kabupaten, dan 34 Kota. Sehingga, total daerah otonom pada tahun 2011 mencapai 524 yang terdiri dari 33 Provinsi dan 465 Kabupaten dan Kota. Sementara itu, Provinsi DKI Jakarta terdiri dari 1 Kabupaten administratif dan 5 Kota administratif, karena DKI Jakarta merupakan daerah khusus istimewa (Abdullah, 2011).

Menurut Juanda (2007), tujuan pemekaran wilayah yang memiliki suatu pemerintahan daerah otonom adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta membentuk daerah yang mandiri dan demokratis. Tujuan ideal ini dapat diwujudkan melalui peningkatan profesionalisme birokrasi daerah untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan yang efisien, dapat menciptakan kesempatan lebih luas untuk masyarakat, serta dapat akses langsung pada unit-unit pelayanan publik yang tersebar dan mudah dijangkau oleh masyarakat pedesaan maupun kota. Namun demikian, survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengatakan, otonomi daerah telah gagal memberikan kesejahteraan kepada rakyat (Media Indonesia, 27 Maret 2007).

Hasil penelitian Aulia Farida, Hasyim Azis dan Bambang Supriadi yang di review dalam tulisan ini menunjukkan hasil yang relatif sama. Pemekaran wilayah yang massif terjadi di Indonesia sejak diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tidak banyak memberikan manfaat kepada masyarakat. Abdullah (2011) yang mengkaji dampak pemekaran wilayah di Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Selatan bahkan menyimpulkan bahwa Kabupaten Mamasa tidak layak untuk dimekarkan ditinjau dari aspek kependudukan dan kemampuan ekonomi berdasarkan syarat teknis PP. No. 78 tahun 2007 tentang kriteria pemekaran dan persyaratan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. Studi lain yang dilakukan Laim (2010) yang menganalisis dampak pemekaran wilayah terhadap perkembangan perekonomian wilayah di Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku memang menunjukkan keberhasilan dari pemekaran wilayah itu. Namun keuntungan dari keberhasilan pemekaran wilayah itu hanya memberikan manfaat kepada pemerintah daerah, pengusaha dan segelintir elit lokal, sedangkan masyarakat hanya mendapatkan sedikit manfaat dari pemekaran wilayah itu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masalah pemerataan kesejahteraan yang menjadi alasan untuk memekarkan wilayah ternyata tidak dapat diselesaikan dengan pemekaran wilayah. Penelitian Abdullah dan Laim ini memperkuat hasil penelitian tentang pemekaran wilayah di daerah lain yang dilakukan oleh Aulia Farida, Azis Hasyim maupun Bambang Supriyadi yang menunjukkan gagalnya pemekaran wilayah itu.

Kreuta yang menganalisis efektifitas pelaksanaan Program Pemberdayaan Kampung (PPK) di Kabupaten Jayapura menyimpulkan bahwa PPK efektif dalam meningkatkan pendapatan masyarakat. Sama seperti tiga tesis sebelumnya yang berbicara tentang pemekaran wilayah, Kreuta pada awal tulisannya juga menuliskan psimisme tentang pelaksanaan PPK di Kabupaten Jayapura. Namun yang membedakan tulisan Kreuta dengan yang lainnya adalah hasil penelitian yang menunjukkan keberhasilan PPK dalam meningkatkan pendapatan masyarakat.

Dalam sebuah studi oleh Sipahelut (2010) yang menganalisis dampak program Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kecamatan Tobelo Kabupaten Halmahera Utara menyimpulkan bahwa PEMP memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan nelayan dan mendorong terjadinya mobilitas vertikal nelayan dari status buruh menjadi nelayan pemilik unit penangkapan (pengusaha). Studi lain oleh Andit (2005) tentang efektifitas Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) menyimpulkan bahwa PPMK cukup berhasil mengatasi permasalahan sosial di Jakarta meskipun masih terdapat banyak ketidaksesuaian hasil dengan harapan mengingat tingginya arus urbanisasi masyarakat ke Jakarta.

Beberapa hasil studi diatas menggambarkan dengan jelas kepada kita bahwa pendekatan pemberdayaan dengan berbagai bentuknya cukup efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Political will dari pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sangat diperlukan dalam melakukan pemberdayaan masyarakat. Namun demikian, bukan berarti pemerintah menempatkan diri sebagai subjek sepenuhnya dalam proses pemberdayaan itu. Peran pemerintah sebagai pengambil/penentu kebijakan dalam pemberdayaan masyarakat lebih bersifat sebagai regulator, modernisator, katalisator/fasilitator, dinamisator, stabilisator dan pelopor/stimulator dalam rangka meningkatkan kompetensi dan kapasitas masyarakat guna optimalisasi keterlibatannya dalam proses pembangunan; mempercepat proses pemerataan pembangunan; melibatkan partisipasi masyarakat/kelompok masyarakat secara nyata dalam setiap pelaksanaan pembangunan; meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap produk‐produk pembangunan sehingga terjaga pemeliharaannya; serta memberikan peluang seluas‐luasnya kepada masyarakat untuk mengembangkan kreativitas sesuai dengan budaya, karakter maupun potensi masyarakat setempat (Halim, 2005).

Pemberdayaan Masyarakat hendaknya mengacu pada prinsip-prinsip dasar pendampingan masyarakat, yaitu: belajar dari masyarakat, pendamping sebagai fasilitator dan dapat tercipta saling belajar dan berbagi pengalaman (Karsidi, 2007). Konsep pemberdayaan masyarakat harus lebih menekankan pada upaya memandirikan, karena itu dalam pemberdayaan masyarakat diperlukan adanya peran aktif masyarakat itu sendiri. Hal ini berarti partisipasi, inisiatif dan kreatifitas dalam pengembangan masyarakat harus lebih banyak datang dari masyarakat itu sendiri (Halim, 2005).

Shardlaw dalam Andit (2005) menyimpulkan bahwa pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Pemberdayaan masyarakat tidak sekedar bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tapi juga untuk menciptakan pemerataan pendapatan sehingga terbentuk masyarakat yang adil dan sejahtera. Namun pemerataan pendapatan seperti itu sangat sulit didapatkan jika program pemberdayaan dilakukan dengan pendekatan kapitalis. Pendekatan kapitalis yang sering dianggap sebagai tradisi modern memfokuskan pada upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi yang sebesar-besarnya yang sering kali menciptakan inequality atau ketidak merataan pendapatan (Peet & Hartwick, 2009). Agar program permberdayaan berhasil, Anwar dalam Andit (2005) mengidentifikasi beberapa elemen penting yang harus ada dalam suatu program pemberdayaan (berdasarkan pengalaman) yaitu: keterbukaan akses terhadap informasi; keterlibatan dan partisipasi masyarakat; akuntabilitas; serta kapasitas organisasi lokal.

Tesis yang ditulis Kreuta telah menyimpulkan bahwa PPK berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat. Selain itu, Kreuta juga menyimpulkan bahwa ada korelasi positif antara transparansi, akuntabilitas, partisipasi masyarakat serta pendampingan terhadap keberhasilan PPK. Hasil kajian Kreuta ini memperkuat pendapat Anwar dalam Andit (2005) diatas tentang beberapa elemen penting untuk mensukseskan program pemberdayaan. Keberhasilan PPK dalam meningkatkan pendapatan masyarakat menunjukkan bahwa pemberdayaan menjanjikan hasil yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat jika dibanding dengan upaya pemekaran wilayah. Opini ini diperkuat pula oleh hasil studi yang dilakukan Sipahelut (2010) dan Andit (2005) tentang keberhasilan program pemberdayaan serta beberapa studi tentang kegagalan pemekaran wilayah sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat tidak dapat diperoleh dengan jalan pemekaran wilayah. Berbagai studi menunjukkan bahwa pemekaran wilayah telah gagal mensejahterakan masyarakat. Jalan terbaik untuk mensejahterakan masyarakat adalah dengan melakukan pemberdayaan masyarakat yang tujuannya untuk memandirikan masyarakat itu sehingga dengan kemandiriannya, masyarakat dapat mewujudkan kesejahteraannya sendiri.

D. Referensi
Abdullah, Muhammad A.2011. Kajian Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap
Pembangunan Daerah (studi kasus: kabupaten mamasa, provinsi sulawesi barat). Tesis mahasiswa S2 Institut Pertanian Bogor: Bogor

Andit, Abdul R.2005. Kajian Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan
(PPMK) Sebagai Alternatif Pilihan Program Pemberdayaan Masyarakat Miskin di DKI Jakarta. Tesis mahasiswa S2 Institut pertanian Bogor: Bogor

Farida, Aulia.2010. Pertarungan Gagasan dan Kekuasaan Dalam Pemekaran Wilayah
(Studi Kasus: Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo di Provinsi jambi). Tesis mahasiswa S2 Institut pertanian Bogor: Bogor

Halim, Neddy R.2005. Peran Pengambil Kebijakan Dalam Pengembangan Masyarakat.
Paper Ilmiah Kementerian Koperasi dan UKM: Jakarta

Hasyim, Azis.2010. Analisis Konflik Perebutan Wilayah di Provinsi Maluku Utara (Studi
Kasus :Konflik Perebutan Wilayah Antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara Tentang Enam Desa). Tesis mahasiswa S2 Institut pertanian Bogor: Bogor

Juanda, B. 2007. Dampak Pemekaran Daerah Terhadap APBN, Perkembangan Kinerja
Daerah Otonom Baru dan Strategi Pendanaannya. Workshop Kebijakan Pendanaan Daerah Otonom Baru Departemen Keuangan RI: Bandar Lampung

Karsidi, Ravik.2007. Pemberdayaan Masyarakat Untuk Usaha Kecil dan Mikro. Jurnal
Penyuluhan September 2007 Vol.3 NO.2

Kreuta, Barthazar.2010. Analisis Efektifitas Tata Kelola Program Pemberdayaan Kampung
(PPK) Serta Dampaknya Terhadap Pengembangan Wilayah Pedesaan di Kabupaten Jayapura Provisi Papua. Tesis mahasiswa S2 Institut pertanian Bogor: Bogor

Laim, David J.2010. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perkembangan
Perekonomian Wilayah Kabupaten Kepulauan Aru Provinsi Maluku. Tesis mahasiswa S2 Institut pertanian Bogor: Bogor

Media Indonesia. 2000. Tuntutan Perut Sulit Berkompromi. 27 Maret 2007

Peet, R & Hartwick E.2009. Theories Of Development; Contention, Argument,Alternatives.
The Guilford Press: London

Sipahelut, Michel.2010. Analisis Pemberdayaan Masyarakat Nelayan di Kecamatan Tobelo
Kabupaten Halmahera Utara. Tesis mahasiswa S2 Institut pertanian Bogor: Bogor

Suharti.2008. Implementasi undang - undang nomor 22 tahun 1999 dan Undang – Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Dalam Pelaksanaan Otonomi Desa. Tesis mahasiswa S2 Universitas Diponegoro: Semarang

Supriadi, Bambang.2010.Pengembangan Wilayah di Daerah Otonom Baru (Studi Kasus
Tiga Kabupaten pemekaran Indonesia). Tesis mahasiswa S2 Institut pertanian Bogor: Bogor