Friday 22 February 2013

Kekuasaan Dalam Perspektif Ekonomi Politik Kapitalisme

Oleh: Muhammad Nurjihadi

Caporaso dan Levine (2008) menyatakan bahwa salah satu cara untuk memahami ekonomi politik adalah dengan memandang bahwa ekonomi terkait dengan urusan pribadi dan politik terkait dengan urusan publik. Interaksi antara urusan pribadi dan urusan publik inilah yang membentuk logika ekonomi politik. Ketika berbicara soal kepentingan publik, maka kita juga harus berbicara soal kekuasaan. Kekuasaan merupakan bentuk pengungkapan dari ide bahwa untuk mencapai tujuan kita, maka kita harus melakukan sesuatu untuk mempengaruhi dan merubah dunia di sekitar kita. Kekuasaan sangat dekat maknanya dengan kemampuan mempengaruhi dan merubah. Ketika kita melakukan sesuatu untuk mempengaruhi dan merubah dunia di sekitar kita, umumnya kita mendapatkan tantangan atau hambatan (constrain) baik dari alam, orang lain maupun institusi-institusi sosial. Oleh karenanya, Weber (1986) mendefinisikan kekuasaan sebagai kemungkinan seorang pelaku dalam hubungan sosial untuk mampu melaksanakan kehendaknya sendiri meskipun dihadapkan pada banyak hambatan.

Kekuasaan selalu berusaha untuk menyingkirkan atau paling tidak meminimalisir hambatan-hambatan kekuasaan itu, baik hambatan yang bersifat alamiah, hambatan yang datangnya dari orang lain maupun hambatan dari institusi-institusi sosial. Dengan demikian Caporaso dan Levine (2008) membagi kekuasaan itu menjadi tiga tipe, yaitu kekuasaan untuk mencapai tujuan dengan mengalahkan alam, kekuasaan terhadap orang lain dan kekuasaan bersama orang lain (menyangkut institusi-institusi sosial). Seseorang dikatakan memiliki kekuasaan terhadap alam jika orang itu mampu mencapai tujuannya meskipun ada hambatan dari alam seperti misalnya membajak tanah atau melakukan eksploitasi tambang. Pemahaman ini sejalan dengan doktrin Islam yang memandang manusia sebagai pemimpin (khalifah) atau pemegang kekuasaan terhadap alam. Adapun kekuasaan terhadap orang lain dapat diartikan sebagai pengendalian orang lain dengan cara mengendalikan insentifnya.

Karena ekonomi politik banyak berbicara soal pemenuhan kebutuhan publik, maka kekuasaan dalam ekonomi politik tentunya merujuk pada pemegang kekuasaan negara (pemerintah). Sejarah peradaban manusia mencatat bahwa kekuasaan lahir dari ketidakmungkinan individu mengatur diri sendiri akibat banyaknya kepentingan yang saling berbenturan (Hamzah, 2011). Benturan-benturan kepentingan itu menyadarkan manusia untuk mengkonsolidasi diri, membentuk sebuah negara dan memberikan kekuasaan kepada pihak tertentu untuk mengatur kehidupan dirinya dengan harapan pihak yang diberikan kekuasaan untuk mengatur hidupnya itu bisa menjamin kesejahteraan dan keamanan hidupnya.

Dalam konteks kekinian, kekuasaan yang dapat diartikan sebagai ‘kewenangan intervensi pemerintah’ bekerja dengan berbagai tipe. Evans dalam Yustika (2011) mengidentifikasi setidaknya ada empat tipe intervensi pemerintah yang bertujuan untuk mewujudkan peran pragmatis dan etisnya, yaitu custodian, demiurge, midwife, dan husbandry. Peran Custodian merujuk pada fungsi pemerintah dalam mengawasi, melindungi dan mencegah terjadinya prilaku ekonomi tertentu yang dipandang merugikan. Peran demiurge menginginkan negara berperan tidak hanya sebagai pengawas dan pelindung, tapi juga sebagai pelaku ekonomi. Peran ini banyak dimainkan pemerintah negara berkembang dengan menjalankan usaha seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia. Midwife merupakan bentuk peran pemerintah yang memposisikan diri sebagai mitra swasta, terutama terhadap perusahaan-perusahaan pemula agar tidak jatuh karena kekalahan dalam persaingan pada mekanisme pasar. Sedangkan husbandry merupakan merupakan bentuk campur tangan negara untuk menjamin keberlangsungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

Bagi para pembela kapitalisme, kekuasaan tidak ada dan tidak boleh ada dalam pasar. Kemunculan kekuasaan dianggap sebagai musuh yang harus dihambat dan dilawan karena dinilai akan menghambat tercapainya kesejahteraan maksimum. Para kapitalis itu berlindung dibalik argumen tersebut untuk mempertahankan status quonya. Mereka seolah lupa bahwa didalam pasar sesungguhnya ada kekuasaan, bahkan pasar itu sendiri memiliki kekuasaan, namun kekuasaan itu bersifat samar, tembus pandang dan seolah tidak terlihat (Caporaso dan Levine, 2008). Galbraith (1983) dalam Caporaso dan Levine (2008) bahkan juga menyimpulkan bahwa pasar adalah sarana yang memperlancar fungsi dari kekuasaan kapitalisme industrial dan sekaligus menyembunyikan kekuasaan itu. Tidak terlihatnya kekuasaan dalam struktur pasar sesungguhnya bukanlah suatu yang kebetulan, melainkan merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan kondisi yang menguntungkan dan menjadi landasan idiologis dari kapitalisme.

Proses terbentuknya keseimbangan harga dalam mekanisme pasar dapat dijelaskan sebagai berikut. Setiap manusia diyakini memiliki kecenderungan untuk mementingkan diri pribadi. Sehingga segala aktifitas ekonomi setiap orang adalah untuk mendapatkan manfaat maksimum bagi dirinya. Seorang produsen misalnya memiliki kepentingan untuk mendapatkan laba (profit) maksimum, sementara konsumen memiliki kepentingan untuk mendapatkan kepuasan (utility) maksimum. Interaksi antara dua kepentingan untuk mendapatkan laba maksimum dan kepuasan maksimum inilah yang akan membentuk harga. Setiap orang dalam interaksi ini (baik produsen ataupun konsumen) bebas melakukan apa saja untuk memaksimumkan manfaat yang ia terima (Damanhuri, 2012). Karena setiap orang dalam interaksi ekonomi bebas melakukan apa saja untuk mendapatkan manfaat maksimum bagi dirinya, maka itu dapat mendorong setiap orang dalam interaksi ekonomi itu untuk memiliki (mendominasi) pengaruh dalam interaksi itu. Siapa yang berhasil mendominasi pengaruh dalam interaksi ekonomi itu, dialah yang menjadi penguasa dalam pasar itu. Memang kekuasaannya bersifat samar sebagaimana dikatakan Caporaso dan Levine, namun kesamaran kekuasaan itulah yang memungkinkan para penguasa tidak tampak itu untuk mendzalimi pihak lain yang lebih lemah. Jadi teori the invisible hand (tangan tuhan_tangan tak terlihat) juga berarti pembentukan kekuasaan tak terlihat. Dalam konteks ini, dominasi atau penguasaan pasar itu bisa dilakukan oleh pedagang (suplyer) ataupun pembeli (demander).

Dengan demikian, kekuasaan dalam ekonomi politik tidak hanya di monopoli oleh pemerintah di suatu negara, tapi juga oleh struktur pasar yang terbentuk melalui interaksi ekonomi dalam mekanisme pasar. Artinya, penguasa pasar juga merupakan penguasa lain dalam ekonomi politik. Dalam beberapa kasus, penguasa pasar itu bahkan menjadi penguasa tunggal dalam ekonomi politik yang perannya lebih besar dari pada peran negara (pemerintah) sendiri. Todaro dan Smith (2006) menjelaskan bahwa setelah sempat mendapat kritik-kritik tajam secara teoritis, fundamentalisme pasar (market fundamentalism) kembali menguat pada tahun 1980-an dengan lahirnya sebuah paham baru yang merupakan reinkarnasi dari aliran neoklasik yang disebut sebagai kontrarevolusi neoklasik (neoclassical counterrevolution). Aliran ini menghendaki negara-negara berkembang untuk mengembangkan pasar bebas, menanggalkan campur tangan pemerintah dalam perekonomian nasional dan melakukan swastanisasi (privatisasi) perusahaan-perusahaan negara. menurut aliran ini, hanya dengan cara itu negara berkembang bisa mencapai efisiensi serta pertumbuhan ekonomi optimal. Lebih jauh, para penganut paham ini berpendapat bahwa ketertinggalan negara-negara berkembang selama ini bukanlah disebabkan karena sikap predatoris negara-negara maju sebagaimana dikatakan dalam teori ketergantungan. Ketertinggalan negara berkembang menurut paham ini lebih disebabkan karena inefisiensi alokasi sumber daya, korupsi serta pengaturan yang berlebihan dalam bidang ekonomi. Jadi menurut pemikiran ini, satu-satunya solusi untuk mendorong kemajuan suatu negara adalah dengan memastikan bahwa pasar bebas bekerja secara sempurna tanpa ada campur tangan pemerintah di negara tersebut. Dalam bahasa yang lebih lugas, dapat dikatakan bahwa paham neoclassical counterrevolution ini menginginkan agar kekuasaan para penguasa pasar lebih besar daripada kekuasaan negara itu sendiri.

Dalam menjalankan hubungan kemitraan antara petani dan perusahaan mitra pada agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok, kita dapat mengidentifikasi siapa yang menjadi penguasa dalam interaksi ekonomi itu. Susrusa dan Zulkifli (2009) menyatakan bahwasanya kemitraan yang terjalin antara petani tembakau dan perusahaan mitra selama in terkesan menempatkan petani dalam posisi yang sangat lemah dimana petani diharuskan mengusahakan usahataninya berdasarkan analisa dan kepentingan perusahaan. Dalam hal ini, petani terlihat bukan sebagai petani mitra, tapi sebagai buruh tani perusahaan. Buruh tani yang bekerja diatas sawah miliknya sendiri dengan upah rendah. Kondisi ini menggambarkan betapa dalam interaksi ekonomi politik itu, kekuasaan utama berada di tangan perusahaan mitra. Pemerintah yang secara syah memegang kekuasaaan politik bahkan tidak pernah mampu melakukan intervensi agar petani menanam tanaman yang diinginkan pemerintah, tetapi kekuasaan yang terbentuk melalui mekanisme pasar sebagaimana yang terjadi dalam pelaksanaan agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok mampu melakukan itu.

Tuesday 19 February 2013

JAKARTA UNTIDINESS, THE FACE OF INDONESIAN DEVELOPMENT FAILED

By. Muhammad Nurjihadi

Traffic jammed, untidiness, dirty, flood, trash, and criminal are the dark face of Jakarta, capital city of Indonesia. In the other side, Jakarta is the central of civil movement, business office, NGO centre, and home of the richest people in Indonesia, even Jakarta also a religious movement centre. In the simple sentences, we can say that Jakarta is the centre of everything. Centre of government, centre of business, centre of socio culture activity, centre of civil movement, centre of poverty, centre of traffic jammed, centre of flood, trash and criminal.

How Jakarta can be like that? It’s a simple think, because Jakarta has everything that are not owned by the other regions. Jakarta is like a sugar, it can invite many ant to come there. All of owned Jakarta is a sugar that was invited people from outside Jakarta to come and live in there. When people come to Jakarta, there are two possibilities, success or fail. First, if they become success, they will buy some vehicles, build or buy a house, and produce some descent. This condition creates traffic jammed and increase the density of Jakarta. Second, if they become failed, they will get survive by working in informal sector like PKL, ojeg, scavengers (pemulung), etc. Because their incomes are low, they build home traditionally in public land, especially in riverside. This is the cause of untidiness, dirty and flood in Jakarta. Usually, poor people have more children than the rich people. It makes the dirty houses growth faster and occupied more riverside. Who is wrong in this case?, the poor ? the rich ? or Jakarta ?.

Let us talk about development history in Indonesia. In new order era (Soeharto’s regime), the government focus to stabilize Indonesian economics in macro level. Economic growth, inflation control, public infrastructure, and human investment had been development orientation. To get high economic growth, Indonesia must be a capitalist country. Capitalism is the classic economic ideology that was introduced by Adam Smith with his ‘invisible hand theory’. There are four pillars in capitalism ideology, (1) freedom; (2) selfish; (3) competition; and (4) profit oriented. Soeharto invited foreign investors to invest their capital in Indonesia. As a rich resource country, many investors come to Indonesia and build their business here. But Indonesian government must give some guarantee to follow capitalism principle: freedom, selfish, competition and profit oriented.

Freedom mean that Indonesian government forbidden to instructed the investors about what, when, where and how to realize their business. Indonesian government just has an authority to give permission and get tax from the business. Selfish mean that Indonesia must give recognition for private property and protect them from criminal action. Competition mean that all of business activity must be perfect competition, and profit oriented mean that government must be respect to investors aim, that is to get high profit. To get high profit, there are some requirements, (1) high demand (market oriented); (2) cheap but educational labor; (3) good infrastructure; and (4) near from central government to do lobbying. Java Island is a most populated region in Indonesia. Populated region mean that there are a big market, and there are many labor surplus there. So the investors build their business central in Java because there are high demand (big market), and there are many labor surplus (cheap wage of labor). Another reason is because Java has better infrastructure than another Java region and near from central government.

Although manufacturing or production activity do in another Jakarta (but still in java region), but each firm usually open their central office in Jakarta. Not only to do lobby, but also to build business network in national and international level. Another reason is that the investors live in Jakarta. This condition make Jakarta look more luxury and develop Jakarta economic significantly. Statistic show that 25% Indonesian GDP come from Jabodetabek region. It is the fact of regional disparities in Indonesia and it is not good for Indonesian future.

Another impact of luxury Jakarta is rural migration. Many villager come to Jakarta to increasing their life quality. In their mind, Jakarta has everything they need. Like my explanation before that there are two possibilities will be haven at villager who come to Jakarta, be success and make Jakarta more jammed, or be failed and make Jakarta dirty. Both condition increase Jakarta density, and also increase household waste, the cause of Jakarta flood every year. So, the main idea of this article is that regional disparities increase rural migration to Jakarta and make Jakarta denser, jammed, dirty, and flood.

Saturday 2 February 2013

Siapa "Bermain" Dibalik Prahara PKS ??

Oleh: Muhammad Nurjihadi
Dunia bergemuruh, seolah ada planet asing yang menghantam bumi ini. Begitulah gambaran perasaan jutaan kader PKS ketika secara tiba-tiba KPK menetapkan LHI sebagai tersangka kasus impor daging sapi yang kemudian diikuti dengan penangkapan dan penahanan dirinya. Tidak hanya kader, tapi rival politik, media, masyarakat, dan semua orang juga ikut tersentak kaget ketika kabar itu beredar. Sontak saja berita tentang LHI ini menghiasi lebih dari 50% space pemberitaan di media elektronik, menjadi headline nyaris di semua Koran, baik yang nasional maupun lokal. Juga menjadi tranding topic di media sosial facebook maupun twitter.

Ada yang percaya bahwa memang ada skandal besar dalam peristiwa ini yang melibatkan banyak kader dan elit PKS. Namun banyak pula yang menganggap kasus ini penuh “kejanggalan”, tidak rasional dan tentu saja terkesan menyerang PKS. Banyak pakar menyebut kasus LHI ini “tidak wajar” karena beberapa alasan: (1) pemberian status tersangka tanpa pemeriksaan terlebih dulu terhadap LHI; (2) tuduhan suap yang katanya Operasi Tangkap Tangan (OTT), yang tertangkap tangan bukan LHI, tapi AF yang “mengaku” dekat dengan LHI; (3) surat penangkapan dari KPK sudah keluar hanya kurang dari 2 jam pasca penetapan dirinya sebagai tersangka, dan lain-lain. Semua itu memunculkan kesan bahwa kasus ini adalah murni kriminalisasi, konspirasi, dan pembunuhan karakter.

KPK meradang dan menolak disebut melakukan konspirasi. Melalui Johan Budi, KPK menjelaskan kasus ini berkembang sedemikian cepat karena berasal dari “laporan masyarakat” dengan bukti yang cukup meyakinkan dari laporan itu. KPK merasa sudah bekerja on the track, sesuai hukum dan UU yang berlaku. Lalu siapa sebenarnya yang bermain dibalik kasus ini?? Dan apa tujuannya ??

Ada beberapa analisa yang berkembang. Pertama, ada yang menyebut ini sebagai upaya pengalihan isu untuk menutup isu “tunggakan pajak keluarga istana” yang sehari sebelumnya diungkap oleh The Jakarta Post. Kedua, ada yang menyebut kasus ini lahir dari dendam yang terakumulasi dari rival politik, PKS dianggap ancaman di 2014. Ketiga, ada juga yang menganalisis bahwa ini adalah permainan “ekonomi politik global” yang melibatkan “aktor asing” didalamnya. Analisa ini muncul karena beberapa tahun terakhir, fraksi PKS kencang menolak impor daging sapi dari Amerika Serikat karena ditengarai mengandung atau bercampur dengan daging babi yang jelas-jelas haram dalam Islam. Beberapa waktu lalu AS melaporkan pemerintah Indonesia ke World Trade Organization (WTO) karena dianggap melanggar perjanjian kerjasama perdagangan internasional. Sebagai catatan, semenjak ditetapkannya rencana swasembada daging oleh pemerintah melalui kementerian pertanian, banyak negara eksportir yang bergantung pada pasar Indonesia berusaha untuk menggagalkan upaya swasembada itu, seperti Australia dan Amerika Serikat dengan berbagai cara. Keempat, ada juga yang menganalisa kasus ini dengan menyebut kasus ini adalah rekayasa kader internal PKS untuk “mendepak” LHI dari posisi sebagai presiden partai guna memuluskan ambisi kader-kader tertentu untuk berkuasa di partai ini (Anis Matta disebut-sebut sebagai otak dibalik semua ini).

Dari semua analisa itu, analisa terlemah menurut saya adalah analisa keempat. Mudah saja untuk menyangkal analisa “dangkal” ini. Di PKS, orang nomor satu bukanlah presiden partai, melainkan ketua Majlis Syuro’, yakni Hilmi Aminuddin, dimana keputusan-keputusan strategis tidak akan diambil tanpa “lisensi” dari sang ketua Majlis. Presiden partai hanya bertugas untuk menggerakkan roda organisasi secara teknis dan taktis. Selain itu, mekanisme pemilihan presiden partai di PKS tidak seperti partai lain yang harus melalui pemungutan suara, Majlis Syuro’ adalah pengambil keputusan final untuk hal ini. Jadi analisa “dangkal” ini sebaiknya diabaikan dalam tulisan ini.

Analisa pertama hingga ketiga relatif masuk akal bagi saya. Hukum itu hanya persoalan administrasi, tumpukan kertas dengan konten yang bisa diatur. Saya teringat film “the shawsank” yang bercerita tentang seorang narapidana yang berhasil mengelabuhi bank dan seluruh perangkat kependudukan dengan menggunakan identitas palsu. Identitas menurut tokoh utama dalam film itu hanya soal administrasi, jika kita memiliki KTP, akta keluarga, akta lahir, asuransi kesehatan, ijazah, dan sebagainya maka semua orang juga akan percaya kalau identitas palsu kita itu asli. Kira-kira seperti itulah hukum, ia hanya merupakan tumpukan kertas administrasi. Hanya dibutuhkan kelihaian untuk menyusun dokumen-dokumen administratif itu menjadi fakta-fakta hukum sebagaimana kelihaian tokoh utama dalam film “the shawsank” yang memalsukan identitasnya untuk memeras bank dan lembaga asuransi.

Dengan demikian, saya percaya sepenuhnya bahwa KPK dalam hal ini tidak terlibat sama sekali dalam “konspirasi” yang menyerang PKS. Sebagai lembaga penegak hukum yang kredibel, KPK sudah bekerja on the track, berdasarkan UU yang ada. Karena mereka hanya mengolah dan menganalisa dokumen yang katanya “laporan masyarakat”. Saya ingin berfokus pada kata “laporan masyarakat” ini. Tadi malam (Jumat, 1 Pebruari 2013) Johan Budi ketika diwawancarai metro TV menyatakan menerima laporan itu beberapa hari sebelum peristiwa selasa, 29 januari (penetapan tersangka LHI). Ini artinya, dokumen laporan masyarakat itu sudah sangat lengkap dan rapi sehingga membuat KPK yakin untuk memberikan status tersangka dengan cepat. Dengan kata lain, masyarakat yang melapor itu sudah mengumpulkan dokumen-dokumen itu dalam waktu yang lama. Artinya, upaya menjebak PKS ini sudah dipersiapkan dengan matang jauh-jauh hari sebelumnya. Pertanyaannya adalah siapakah “masyarakat yang melapor” itu??.

Bagi saya, dokumen lengkap soal impor tersebar setidaknya di tiga kementerian. Pertama kementerian Pertanian, kedua kementerian perdagangan dan ketiga kementerian perindustrian. Selanjutnya semua dokumen kenegeraan itu tentu saja terkumpul di pimpinan kabinet, sang presiden Susilo Bambang Yodhoyono yang tentu juga dibantu oleh para stafnya, baik sekretaris kabinet, sekretaris negara, maupun penasehat presiden (saya jadi teringat manuver Dipo Alam beberapa bulan terakhir, juga teringat kasus misbakhun yang pelapornya adalah salah seorang penasehat presiden). Selain itu, dokumen itu juga ada di para pelaku usaha, yakni importir dan juga eksportir. Atau bisa saja dokumen itu dimiliki oleh masyarakat umum, lewat NGO misal, namun kemungkinannya kecil menurut saya.

Saya percaya dengan kredibilitas dan integritas LHI, meskipun tentu saja sebagai manusia biasa, ada peluang LHI untuk melakukan tindakan bejat itu. Saya juga percaya dengan profesionalitas dan kredibilitas KPK sebagai lembaga penegak hukum. Saya pun percaya dengan aroma konspirasi dalam kasus ini yang melibatkan pihak ketiga.

Lalu siapakah pihak ketiga itu?? siapakah yang melapor ??. Dengan kata lain siapa yang memainkan perkara ini ??. Yang pasti pelapor pasti adalah orang yang memiliki dokumen lengkap. Tidak bermaksud menuduh, hanya sebuah analisa sederhana.

Wallahua’lam…… semoga semua kebenaran yang sesungguhnya segera terungkap.