Thursday 12 December 2013

Indonesia, Budak Negara Maju di WTO ??

Tidak terasa air mata menetes tiba-tiba menyaksikan berita tentang perkembangan perundingan di konfrensi World Trade Organization (WTO) di Bali..

Bagaimana mungkin WTO bisa melarang kita untuk memberikan subsidi pertanian yg besar utk petani2 kita, smentara negara2 maju diizinkan utk mensubsidi sektor pertaniannya secara bebas. Selama ini AS mensubsidi petaninya senilai Rp 1.100 T, UE Rp 1.300 T dan RI hanya Rp 140 T, sedang india sekitar Rp 200-an T.

Selama ini produk pertanian kita gagal bersaing di pasar (baik pasar domestik maupun global) bukan karena kualitasnya yg buruk, tp karena harganya tinggi. Harga produk pertanian kita tinggi karena biaya produksinya tinggi, sebab subsidi pemerintah utk sektor pertanian kecil. Harga produk pertanian negara maju lebih murah karena subsidi pemerintahnya besar.

Perundingan WTO di bali bertujuan utk menciptakan perdagangan global yg berimbang.
Oleh karenanya negara2 berkembang datang ke bali utk mmperjuangkan agar WTO mengizinkan negara berkembang utk menaikkan subsidi pertaniannya menjadi 15%. Tapi negara2 maju menghalangi keinginan negara berkembang itu.
India memimpin negara2 berkembang utk menolak ketidakadilan sistem perdagangan dunia itu.
Anehnya, Indonesia yg negara agraris ini justru mendukung paket kebijakan yg dibawa negara2 maju utk menghalangi niat negara berkembang meningkatkan subsidi pertaniannya.

Sebagai tuan rumah, Indonesia harusnya memanfaatkan posisi itu utk memperjuangkan kepentingan nasional yg juga menjadi kepentingan negara2 berkembang lainnya, bukn justru menjadi pengekor atau bahkan budak bagi negara-negara maju yg ingin mempertahankan hegemoni penindasan ekonominya atas negara2 berkembang.

Sikap indonesia yg mendukung negara2 maju itu sama artinya dgn membunuh petani lokal dan mengancam kedaulatan pangan nasional. Kita benar2 berada dlm jebakan negara maju utk menciptakan krisis pangan di masa depan.

Benarkah ekonomi kita sudah merdeka??

Wednesday 25 September 2013

Agribisnis Tembakau Lombok = Eksploitasi Semu

Oleh: Muhammad Nurjihadi, M.Si

Bagi sebagian masyarakat Pulau Lombok, tembakau tidak sekedar menjadi komoditas ekonomi, tapi juga telah menjelma menjadi tradisi. Tidak peduli untung atau rugi, setiap tahun mereka selalu bergairah mengusahakan tembakau. Ironisnya, beberapa tahun belakangan ini kita lebih sering mendengar keluhan petani yang rugi atau menyisakan hutang di akhir musim tanam tembakau. Komoditas yang selama ini dianggap sebagai pencipta kesejahteraan masyarakat pedesaan Pulau Lombok justeru menjebak para petaninya ke dalam jeratan hutang yang semakin menumpuk dari tahun ke tahun.

Saya ditakdirkan untuk lahir dan besar di lingkungan petani tembakau. Orangtua dan sebagian besar tetangga saya adalah masyarakat pelaku ekonomi tembakau, baik sebagai petani, pengomprong, buruh maupun pemodal. Takdir ini memungkinkan saya untuk memahami dan merasakan segala keluh kesah petani tentang usaha musiman ini. Satu fakta yang sebenarnya tidak masuk akal adalah bahwa petani tembakau selalu mengeluhkan kerugian yang dialaminya pada akhir musim tanam sehingga berujung pada penumpukan hutang. Komoditas tembakau yang merupakan komoditas komersil bernilai tinggi (high value commodity) dan dibangga-banggakan oleh pemerintah daerah NTB sebagai komoditas unggulan ternyata menjebak para petani ke dalam jebakan hutang yang tidak disadarinya.

Rasa penasaran tentang ironi diatas membuat saya melakukan studi khusus untuk mengetahui kenapa komoditas unggulan yang juga dibanggakan masyarakat Lombok ini banyak menjerat petani ke dalam jebakan hutang. Dengan menggunakan 100 orang responden yang tersebar di 10 desa di dua kabupaten, yakni Lombok Timur dan Lombok Tengah, saya menelusuri jawaban untuk pertanyaan penelitian itu. 90% responden menyatakan keluhan yang sama dengan keluhan yang saya dengar di lingkungan tempat tinggal saya, yakni terus menumpuknya hutang produksi dari tahun ke tahun tanpa mampu dibayar. Secara umum saya menemukan setidaknya ada lima faktor yang menyebabkan hal itu terjadi, yakni: (1) Minimnya akses permodalan petani; (2) Kegagalan dalam kontrol pasar; (3) Lemahnya keberpihakan ekonomi politik pemerintah; (4) Maraknya bisnis gelap oknum perusahaan; dan (5) Inefisiensi penggunaan tenaga kerja.

Minimnya akses permodalan membuat petani yang memang miskin dan tidak punya modal itu harus meminjam modal kepada pihak lain dengan bunga tinggi. Modal itu umumnya tidak didapatkan dari lembaga keuangan resmi, melainkan dari pendonor perserorangan. Tidak ada bank yang berkenan meminjamkan modal langsung kepada petani. Akibatnya bunga pinjaman yang harus dibayar petani menjadi sangat tinggi. Sebagian besar responden mengaku meminjam modal dengan bunga hingga 50%. Mereka menyebutnya sebagai “bank 46”, artinya “minjam empat kembali enam” atau dengan kata lain berbunga 50%. Sebagian responden bahkan ada yang menyebut bunga pinjaman mencapai 100% yang mereka sebut sebagai “bank 12” atau “pinjam satu kembali dua”. Bunga pinjaman yang tinggi ini membuat total biaya usahatani menjadi sangat tinggi. Laporan-laporan analisis usahatani tembakau yang dibuat pemerintah maupun perusahaan selama ini mengabaikan fakta ini. Akibatnya menurut perhitungan dalam laporan itu, petani selalu untung dalam usahataninya. Hal inilah yang menyebabkan laporan usahatani itu selalu bertolak belakang dengan realitas sosial ekonomi petani tembakau.

Ekspektasi berlebihan masyarakat Pulau Lombok terhadap usahatani tembakau telah banyak mempengaruhi prilaku sosial ekonomi masyarakat. Setiap tahun semakin banyak masyarakat yang tertarik untuk ikut mengusahakan tembakau. Akibatnya kebutuhan lahan untuk budidaya tembakau semakin meningkat. Pasar merespon peningkatan permintaan lahan ini dengan meningkatnya harga sewa lahan. Peningkatan biaya sewa lahan itu kemudian berakibat pada peningkatan biaya produksi secara keseluruhan. Itu juga berarti penurunan tingkat keuntungan petani. Kegagalan dalam mengontrol pasar juga terjadi pada saat pemasaran hasil (tembakau krosok). Petani sering kali mendapatkan harga yang rendah ketika menjual tembakaunya karena alasan over supply, dan sebagainya. Kondisi itu membuat penerimaan petani menjadi rendah sementara biaya yang dikeluarkan dalam proses produksinya tinggi. Hal itu tentu saja membuat keuntungan petani menjadi rendah.

Secara global, komoditas tembakau merupakan salah satu komoditas penting yang nilai pangsa pasarnya mencapai US$ 378 Milliar. Negara-negara penghasil tembakau terbesar di dunia seperti China, Amerika, Brazil, Jepang, dan lainnya selalu berusaha untuk menguasai pangsa pasar tembakau di negara lain, termasuk di Indonesia. Untuk mewujudkan misi penguasaan pangsa pasar Indonesia itu, maka kekuatan ekonomi tembakau global itu harus mampu melemahkan atau bahkan mematikan produksi lokal. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan menjual produk tembakaunya dengan harga yang lebih rendah daripada harga tembakau lokal. Lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap petani tembakau lokal dalam bentuk pengetatan impor membuat misi asing dalam menguasai pangsa pasar tembakau lokal semakin mudah. Saat ini tembakau virginia yang berasal dari China merupakan pesaing utama tembakau virginia Lombok. Meski tembakau Lombok memiliki kualitas yang jauh lebih baik, namun harga tembakau China yang jauh lebih rendah membuat pasar tembakau virginia Lombok menjadi kian terbatas. Hal ini terbukti dengan semakin berkurangnya kuota pembelian perusahaan dari tahun ke tahun. Penurunan kuota pembelian tanpa pengurangan produksi oleh petani membuat kondisi “over supply” menjadi fenomena tahunan yang seolah mengabadi. Parahnya, setiap klaim over supply itu muncul akan selalu berakibat pada penurunan harga tembakau di level petani.

Tidak cukup dengan itu, petani tembakau sejauh ini banyak mengalami kerugian juga karena adanya praktek bisnis gelap yang dilakukan oleh oknum perusahaan. Oknum yang dimaksud disini adalah petugas perusahaan, baik Penyuluh Lapang (PL), grader, satpam atau bahkan lembaga perusahaan itu sendiri. Bisnis gelap itu dilakukan dengan ‘jual beli kuota’, sogok menyogok dalam aktifitas penjualan tembakau krosok dan atau kecurangan yang dilakukan dalam bentuk kebijakan resmi perusahaan. Semua responden yang bermitra dengan perusahaan mengeluhkan adanya jual beli kuota itu. Kuota penjualan yang mereka dapatkan dari perusahaan dijual ke pihak lain tanpa sepengetahuan mereka. Keluhan petani mitra ini dikuatkan dengan pengakuan petani-petani swadaya yang mengaku harus membayar sejumlah uang tertentu kepada oknum perusahaan jika ingin menjual tembakaunya langsung ke perusahaan. Karena pembelian tembakau dilakukan perusahaan dengan berbasis kuota yang telah disepakati diawal, seharusnya perusahaan hanya membeli tembakau dari petani mitranya dengan batasan kuota yang telah disepakati diawal. Namun penjualan kuota yang dilakukan oknum perusahaan memungkinkan petani swadaya untuk menjual tembakaunya ke perusahaan dengan konsekuensi harus membayar sejumlah uang tertentu kepada oknum perusahaan tempatnya menjual produk tembakaunya.

Terakhir, faktor yang menyebabkan rendahnya keuntungan petani itu adalah inefisiensi dalam penggunaan tenaga kerja. Kebanyakan petani mempekerjakan buruh tidak dengan seperangkat aturan profesional, melainkan dengan mengikuti tradisi atau kebiasaan masyarakat. Akibatnya buruh yang dipekerjakan petani sering kali datang terlambat dan pulang cepat. Selain itu, banyaknya petani juga membuat kebutuhan akan buruh meningkat tajam. Tidak mudah bagi petani untuk bisa mendatangkan buruh karena harus bersaing dengan petani lainnya. Persaingan dalam perebutan buruh ini membuat nilai upah buruh meningkat. Peningkatan nilai upah ini tentu meningkatkan biaya operasional petani.

Semua faktor diatas menunjukkan bahwa petani tembakau lemah (atau bahkan mungkin diperlemah) pada dua aspek sekaligus, yakni aspek produksi dan aspek pemasaran. Minimnya sumber permodalan, tingginya biaya sewa lahan dan upah buruh membuat biaya operasional petani menjadi tinggi. Sementara di sisi lain, gempuran tembakau impor dan adanya bisnis gelap oknum perusahaan membuat harga jual tembakau petani menjadi rendah. Akibatnya keuntungan yang diterima petani menjadi sangat rendah atau bahkan rugi. Hal inilah yang menyebabkan kenapa setiap tahun petani lebih sering menghitung hutang daripada menghitung untung dalam usaha agribisnis tembakaunya.

Pertanyaan lain yang muncul adalah, kenapa petani tetap mengusahakan tembakau jika ternyata setiap tahun mereka mengalami kerugian?. Hal ini disebabkan karena petani telah mengalami ketergantungan terhadap usahatani tembakau ini. Ketergantungan itulah yang membuat usahatani tembakau menjadi tradisi ekonomi bagi sebagian masyarakat Pulau Lombok. ketergantungan itu disebabkan karena tidak adanya alternatif usaha lain yang menjanjikan, adanya setting sosial budaya yang mendorong petani untuk terus mengusahakan tembakau, serta ekspektasi berlebihan masyarakat terhadap usahatani tembakau. Setting sosial budaya yang dimaksud dapat terjadi secara alamiah sebagai respon sosial atas fenomena ekonomi tembakau atau bisa juga terjadi dengan cara disengaja (by design) oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingannya. Ketergantungan inilah yang menyebabkan petani tetap mengusahakan tembakau meskipun mereka tau dengan pasti bahwa setiap tahun mereka lebih sering menghitung hutang daripada menghitung untung. Kondisi ini sama artinya dengan melakukan eksploitasi terhadap diri sendiri (self exploitation) yang bersifat tersembunyi (hidden exploitation). Bahkan jika terbukti bahwa setting sosial budaya yang dijelaskan diatas merupakan setting yang disengaja (by design), maka eksploitasi itu sesungguhnya dilakukan oleh pihak lain terhadap petani tembakau Pulau Lombok.

Wednesday 24 April 2013

MENCARI SOLUSI DITENGAH KONTROVERSI TEMBAKAU: Belajar Dari Perkembangan Agribisnis Tembakau di Pulau Lombok

Oleh: Muhammad Nurjihadi

Tembakau adalah komoditas yang kontroversial. Bagi sebagian masyarakat, terutama di tiga provinsi penghasil utama tembakau, yaitu Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah tembakau merupakan primadona, jalan hidup (way of life), sumber pendapatan utama, dan bahkan sudah menjelma menjadi tradisi ekonomi yang sulit dihentikan. Fakta sosio-ekonomi seperti ini dihadapkan pada fakta lain dimana tembakau merupakan bahan baku utama produk rokok yang berbahaya bagi kesehatan. Tidak hanya itu, beberapa jenis tembakau juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan hidup dalam proses pengolahan dan pengusahaannya. Tembakau jenis Virginia misal, Nusa Tenggara Barat (NTB), khususnya Pulau Lombok merupakan pensuplai rata-rata 80% produk tembakau Virginia nasional setiap tahun. Untuk dapat mensuplai tembakau sebanyak itu dibutuhkan proses pengomprongan atau pengovenan yang memerlukan bahan bakar untuk melakukannya. Dimasa lalu, pemerintah memberikan subsidi minyak khusus kepada petani tembakau untuk keperluan pengomperongan itu. Subsidi itu dicabut sejak tahun 2008 dan sejak saat itu petani beralih menggunakan bahan bakar alternatif seperti batu bara, kayu bakar, dan sebagainya. Akibatnya banyak kawasan hutan yang menjadi gundul di wilayah Provinsi NTB karena ditebang untuk keperluan pengovenan tembakau itu.

Secara global, Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh penghasil utama tembakau. Pada tahun 2007 total produksi tembakau dunia mencapai 6.311.103 ton. Dari jumlah itu, Indonesia menyumbang 164.851 ton (2,6%). Jika diranking, Indonesia berada pada urutan ke 5 sebagai produsen daun tembakau terbesar dunia. Adapun produsen terbesar adalah China dengan 2.397.200 ton (38%), disusul Brasil dengan 919.393 ton (14,6%), India dengan produksi 555.000 ton (8,8%), dan Amerika Serikat yang memproduksi 353.177 ton (5,6%). Sedangkan sisanya tersebar di beberapa negara seperti Pakistan, Italia, Turki, Zimbabwe, Yunani, dan lain-lain (FAO, 2007). Sementara didalam negeri, 90% produksi tembakau disumbang oleh tiga provinsi yaitu Jawa Timur (40%), Nusa Tenggara Barat (30%), dan Jawa Tengah (20%). Sedangkan sisanya menyebar di beberapa provinsi seperti Jawa Barat, Lampung, Bali, dan yang lainnya (Statistik Perkebunan Indonesia, 2010-2012).

Kontribusi ekonomi komoditas tembakau tidak hanya dapat dilihat pada besarnya sumbangan komoditas ini terhadap pendapatan Negara, baik dalam bentuk cukai, pajak maupun retribusi daerah. Kontribusinya juga dapat dirasakan langsung oleh petani tembakau dan masyarakat disekitar mereka. Menurut catatan Dinas Perkebunan Provinsi NTB (2012), di Pulau Lombok, komoditas tembakau dapat menyerap sekitar 124.000 tenaga kerja pedesaan setiap tahun dengan potensi perputaran uang pada musim tembakau mencapai Rp 1,5 Trilliun. Angka ini belum termasuk serapan tenaga kerja tidak langsung karena adanya aktifitas ekonomi tembakau seperti berkembangnya pusat-pusat perdagangan baru, meningkatnya transaksi ekonomi, dan sebagainya. Selain itu, peran tembakau dalam membangun perekonomian daerah di Pulau Lombok juga dapat dilihat dari semakin meningkatnya kemampuan masyarakat petani untuk mengakses pendidikan, pemukiman dan layanan kesehatan yang relatif memadai bagi anggota keluarganya.

Semua fakta diatas membuat masyarakat di Pulau Lombok menjadi kian tergantung pada agribisnis tembakau. Ketergantungan itu bahkan telah menjelma menjadi sebuah tradisi yang sulit dihentikan. Sementara di sisi lain, tekanan dan kampanye anti tembakau terus disampaikan oleh para pegiat kesehatan. Kecenderungan peningkatan jumlah perokok serta peningkatan kasus sakit akibat merokok semakin mendorong para aktivis anti rokok itu untuk lebih giat mengkampanyekan STOP TEMBAKAU.

Memaksa petani tembakau untuk berhenti mengusahakan tembakau dengan alasan apapun adalah sebuah tindakan kriminalisasi dan berpotensi menyebabkan peningkatan poverty rate secara signifikan. Sementara membiarkan petani tembakau terus berproduksi dan mensuplai industri rokok juga berarti pembiaran terhadap candu pada racun yang dapat menyebabkan orang sakit bahkan mati. Disinilah pemerintah terjebak pada dilema berkepanjangan. Menikmati keuntungan ekonomi di satu sisi dan membiarkan orang mati karenanya di sisi lain.

Untuk menentukan solusi terbaik dari dilema diatas, kita harus mendeteksi dulu apa yang menyebabkan ketergantungan pada komoditas tembakau itu terjadi. Studi yang dilakukan Nurjihadi (2011) menjelaskan bahwa ketergantungan itu terjadi karena beberapa hal, yaitu: (1) skill yang terwariskan dari generasi ke generasi; (2) kondisi sosial dan agroklimat yang dianggap hanya cocok untuk tembakau; (3) nilai ekonomi komoditas tembakau jauh lebih besar dari pada komoditas lain; dan (4) jaminan pasar dan stabilitas harga tembakau yang lebih baik.

Berdasarkan kesimpulan Nurjihadi itu, maka kita dapat merumuskan program pemberdayaan petani tembakau untuk membantu mereka lepas dari ketergantungan terhadap agribisnis tembakau. Disinilah penulis akan mengambil peran, memberdayakan masyarakat petani tembakau yang tujuan utamanya adalah mengalihkan perhatian mereka dari agribisnis tembakau dengan cara disibukkan dengan program-program pemberdayaan tersebut. Program persebut tentu harus memiliki nilai lebih sebagaimana yang dimiliki komoditas tembakau berdasarkan kesimpulan Nurjihadi diatas. Dengan demikian, diharapkan dalam jangka panjang dapat membuat petani tembakau secara sadar dan sukarela berhenti mengusahakan tembakau dan memilih untuk mengusahakan yang lain sesuai program pemberdayaan. Pemikiran ini tentu tidak dapat terlaksana tanpa dukungan dan upaya serius pemerintah. Pemerintah dapat menggunakan dana penerimaan cukai tembakau untuk keperluan ini.

Friday 19 April 2013

FUTURE TAIWAN-ASEAN RELATIONSHIP, BLESSING OR DISASTER : THEORETICAL ANALYSIS

By. Muhammad Nurjihadi, S.P
Post Graduate Student of Regional and Rural Development Planning Sciences,
Bogor Agricultural University, Indonesia


Political status of Taiwan was not clear until now. People’s Republic of China claimed that Taiwan is one of those regions. But in the other side, Taiwan claimed that they are an independent country. Because of China’s economic performance, most countries in the world give their support to China about this conflict. Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) are also give their support to China. More than a support, ASEAN and China make a good relationship in economic with China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA). Moreover, ASEAN also make a good relationship with some East Asian countries like Japan and South Korea. They call it ASEAN+3. This relationship make Taiwan become a marginalized country in the region.

More than marginalized, ASEAN bilateral relationship with other countries in the region make Taiwan suffered economic losses because of increasing transaction cost for accessing international market. This condition encourages Taiwan to build good relationship with ASEAN also. But China always obscured Taiwan’s effort. Many people or scientists believe that ASEAN-Taiwan Free Trade Agreement (ATFTA) will be realized in future. If this relationship will become true, how can this relationship influencing political, economic and social condition in both. Is it will be a blessing for both or exactly it will be a disaster.

Base on theoretical analysis, we make some simulation to show what will be happen if the relationship between ASEAN and Taiwan realized. First simulation is that the relationship will be a good influence for both. Minimization of economic barrier will increase economic interaction between Taiwan and ASEAN. So it will increase investment value from Taiwan in ASEAN and make Taiwan easy to access international market, especially in the region. The second simulation is the relationship will make some problem like political problem (pressuring from china for example, it will increase political tension in the region), economic problem like backwash effect of the relationship, it will make ASEAN suffered economic losses because of Taiwan exploitation in ASEAN resources. So, the relationship between Taiwan and ASEAN in the future is probably create a positive influence (blessing) or probably also create a negative influence (disaster).

Friday 22 February 2013

Kekuasaan Dalam Perspektif Ekonomi Politik Kapitalisme

Oleh: Muhammad Nurjihadi

Caporaso dan Levine (2008) menyatakan bahwa salah satu cara untuk memahami ekonomi politik adalah dengan memandang bahwa ekonomi terkait dengan urusan pribadi dan politik terkait dengan urusan publik. Interaksi antara urusan pribadi dan urusan publik inilah yang membentuk logika ekonomi politik. Ketika berbicara soal kepentingan publik, maka kita juga harus berbicara soal kekuasaan. Kekuasaan merupakan bentuk pengungkapan dari ide bahwa untuk mencapai tujuan kita, maka kita harus melakukan sesuatu untuk mempengaruhi dan merubah dunia di sekitar kita. Kekuasaan sangat dekat maknanya dengan kemampuan mempengaruhi dan merubah. Ketika kita melakukan sesuatu untuk mempengaruhi dan merubah dunia di sekitar kita, umumnya kita mendapatkan tantangan atau hambatan (constrain) baik dari alam, orang lain maupun institusi-institusi sosial. Oleh karenanya, Weber (1986) mendefinisikan kekuasaan sebagai kemungkinan seorang pelaku dalam hubungan sosial untuk mampu melaksanakan kehendaknya sendiri meskipun dihadapkan pada banyak hambatan.

Kekuasaan selalu berusaha untuk menyingkirkan atau paling tidak meminimalisir hambatan-hambatan kekuasaan itu, baik hambatan yang bersifat alamiah, hambatan yang datangnya dari orang lain maupun hambatan dari institusi-institusi sosial. Dengan demikian Caporaso dan Levine (2008) membagi kekuasaan itu menjadi tiga tipe, yaitu kekuasaan untuk mencapai tujuan dengan mengalahkan alam, kekuasaan terhadap orang lain dan kekuasaan bersama orang lain (menyangkut institusi-institusi sosial). Seseorang dikatakan memiliki kekuasaan terhadap alam jika orang itu mampu mencapai tujuannya meskipun ada hambatan dari alam seperti misalnya membajak tanah atau melakukan eksploitasi tambang. Pemahaman ini sejalan dengan doktrin Islam yang memandang manusia sebagai pemimpin (khalifah) atau pemegang kekuasaan terhadap alam. Adapun kekuasaan terhadap orang lain dapat diartikan sebagai pengendalian orang lain dengan cara mengendalikan insentifnya.

Karena ekonomi politik banyak berbicara soal pemenuhan kebutuhan publik, maka kekuasaan dalam ekonomi politik tentunya merujuk pada pemegang kekuasaan negara (pemerintah). Sejarah peradaban manusia mencatat bahwa kekuasaan lahir dari ketidakmungkinan individu mengatur diri sendiri akibat banyaknya kepentingan yang saling berbenturan (Hamzah, 2011). Benturan-benturan kepentingan itu menyadarkan manusia untuk mengkonsolidasi diri, membentuk sebuah negara dan memberikan kekuasaan kepada pihak tertentu untuk mengatur kehidupan dirinya dengan harapan pihak yang diberikan kekuasaan untuk mengatur hidupnya itu bisa menjamin kesejahteraan dan keamanan hidupnya.

Dalam konteks kekinian, kekuasaan yang dapat diartikan sebagai ‘kewenangan intervensi pemerintah’ bekerja dengan berbagai tipe. Evans dalam Yustika (2011) mengidentifikasi setidaknya ada empat tipe intervensi pemerintah yang bertujuan untuk mewujudkan peran pragmatis dan etisnya, yaitu custodian, demiurge, midwife, dan husbandry. Peran Custodian merujuk pada fungsi pemerintah dalam mengawasi, melindungi dan mencegah terjadinya prilaku ekonomi tertentu yang dipandang merugikan. Peran demiurge menginginkan negara berperan tidak hanya sebagai pengawas dan pelindung, tapi juga sebagai pelaku ekonomi. Peran ini banyak dimainkan pemerintah negara berkembang dengan menjalankan usaha seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia. Midwife merupakan bentuk peran pemerintah yang memposisikan diri sebagai mitra swasta, terutama terhadap perusahaan-perusahaan pemula agar tidak jatuh karena kekalahan dalam persaingan pada mekanisme pasar. Sedangkan husbandry merupakan merupakan bentuk campur tangan negara untuk menjamin keberlangsungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

Bagi para pembela kapitalisme, kekuasaan tidak ada dan tidak boleh ada dalam pasar. Kemunculan kekuasaan dianggap sebagai musuh yang harus dihambat dan dilawan karena dinilai akan menghambat tercapainya kesejahteraan maksimum. Para kapitalis itu berlindung dibalik argumen tersebut untuk mempertahankan status quonya. Mereka seolah lupa bahwa didalam pasar sesungguhnya ada kekuasaan, bahkan pasar itu sendiri memiliki kekuasaan, namun kekuasaan itu bersifat samar, tembus pandang dan seolah tidak terlihat (Caporaso dan Levine, 2008). Galbraith (1983) dalam Caporaso dan Levine (2008) bahkan juga menyimpulkan bahwa pasar adalah sarana yang memperlancar fungsi dari kekuasaan kapitalisme industrial dan sekaligus menyembunyikan kekuasaan itu. Tidak terlihatnya kekuasaan dalam struktur pasar sesungguhnya bukanlah suatu yang kebetulan, melainkan merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan kondisi yang menguntungkan dan menjadi landasan idiologis dari kapitalisme.

Proses terbentuknya keseimbangan harga dalam mekanisme pasar dapat dijelaskan sebagai berikut. Setiap manusia diyakini memiliki kecenderungan untuk mementingkan diri pribadi. Sehingga segala aktifitas ekonomi setiap orang adalah untuk mendapatkan manfaat maksimum bagi dirinya. Seorang produsen misalnya memiliki kepentingan untuk mendapatkan laba (profit) maksimum, sementara konsumen memiliki kepentingan untuk mendapatkan kepuasan (utility) maksimum. Interaksi antara dua kepentingan untuk mendapatkan laba maksimum dan kepuasan maksimum inilah yang akan membentuk harga. Setiap orang dalam interaksi ini (baik produsen ataupun konsumen) bebas melakukan apa saja untuk memaksimumkan manfaat yang ia terima (Damanhuri, 2012). Karena setiap orang dalam interaksi ekonomi bebas melakukan apa saja untuk mendapatkan manfaat maksimum bagi dirinya, maka itu dapat mendorong setiap orang dalam interaksi ekonomi itu untuk memiliki (mendominasi) pengaruh dalam interaksi itu. Siapa yang berhasil mendominasi pengaruh dalam interaksi ekonomi itu, dialah yang menjadi penguasa dalam pasar itu. Memang kekuasaannya bersifat samar sebagaimana dikatakan Caporaso dan Levine, namun kesamaran kekuasaan itulah yang memungkinkan para penguasa tidak tampak itu untuk mendzalimi pihak lain yang lebih lemah. Jadi teori the invisible hand (tangan tuhan_tangan tak terlihat) juga berarti pembentukan kekuasaan tak terlihat. Dalam konteks ini, dominasi atau penguasaan pasar itu bisa dilakukan oleh pedagang (suplyer) ataupun pembeli (demander).

Dengan demikian, kekuasaan dalam ekonomi politik tidak hanya di monopoli oleh pemerintah di suatu negara, tapi juga oleh struktur pasar yang terbentuk melalui interaksi ekonomi dalam mekanisme pasar. Artinya, penguasa pasar juga merupakan penguasa lain dalam ekonomi politik. Dalam beberapa kasus, penguasa pasar itu bahkan menjadi penguasa tunggal dalam ekonomi politik yang perannya lebih besar dari pada peran negara (pemerintah) sendiri. Todaro dan Smith (2006) menjelaskan bahwa setelah sempat mendapat kritik-kritik tajam secara teoritis, fundamentalisme pasar (market fundamentalism) kembali menguat pada tahun 1980-an dengan lahirnya sebuah paham baru yang merupakan reinkarnasi dari aliran neoklasik yang disebut sebagai kontrarevolusi neoklasik (neoclassical counterrevolution). Aliran ini menghendaki negara-negara berkembang untuk mengembangkan pasar bebas, menanggalkan campur tangan pemerintah dalam perekonomian nasional dan melakukan swastanisasi (privatisasi) perusahaan-perusahaan negara. menurut aliran ini, hanya dengan cara itu negara berkembang bisa mencapai efisiensi serta pertumbuhan ekonomi optimal. Lebih jauh, para penganut paham ini berpendapat bahwa ketertinggalan negara-negara berkembang selama ini bukanlah disebabkan karena sikap predatoris negara-negara maju sebagaimana dikatakan dalam teori ketergantungan. Ketertinggalan negara berkembang menurut paham ini lebih disebabkan karena inefisiensi alokasi sumber daya, korupsi serta pengaturan yang berlebihan dalam bidang ekonomi. Jadi menurut pemikiran ini, satu-satunya solusi untuk mendorong kemajuan suatu negara adalah dengan memastikan bahwa pasar bebas bekerja secara sempurna tanpa ada campur tangan pemerintah di negara tersebut. Dalam bahasa yang lebih lugas, dapat dikatakan bahwa paham neoclassical counterrevolution ini menginginkan agar kekuasaan para penguasa pasar lebih besar daripada kekuasaan negara itu sendiri.

Dalam menjalankan hubungan kemitraan antara petani dan perusahaan mitra pada agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok, kita dapat mengidentifikasi siapa yang menjadi penguasa dalam interaksi ekonomi itu. Susrusa dan Zulkifli (2009) menyatakan bahwasanya kemitraan yang terjalin antara petani tembakau dan perusahaan mitra selama in terkesan menempatkan petani dalam posisi yang sangat lemah dimana petani diharuskan mengusahakan usahataninya berdasarkan analisa dan kepentingan perusahaan. Dalam hal ini, petani terlihat bukan sebagai petani mitra, tapi sebagai buruh tani perusahaan. Buruh tani yang bekerja diatas sawah miliknya sendiri dengan upah rendah. Kondisi ini menggambarkan betapa dalam interaksi ekonomi politik itu, kekuasaan utama berada di tangan perusahaan mitra. Pemerintah yang secara syah memegang kekuasaaan politik bahkan tidak pernah mampu melakukan intervensi agar petani menanam tanaman yang diinginkan pemerintah, tetapi kekuasaan yang terbentuk melalui mekanisme pasar sebagaimana yang terjadi dalam pelaksanaan agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok mampu melakukan itu.

Tuesday 19 February 2013

JAKARTA UNTIDINESS, THE FACE OF INDONESIAN DEVELOPMENT FAILED

By. Muhammad Nurjihadi

Traffic jammed, untidiness, dirty, flood, trash, and criminal are the dark face of Jakarta, capital city of Indonesia. In the other side, Jakarta is the central of civil movement, business office, NGO centre, and home of the richest people in Indonesia, even Jakarta also a religious movement centre. In the simple sentences, we can say that Jakarta is the centre of everything. Centre of government, centre of business, centre of socio culture activity, centre of civil movement, centre of poverty, centre of traffic jammed, centre of flood, trash and criminal.

How Jakarta can be like that? It’s a simple think, because Jakarta has everything that are not owned by the other regions. Jakarta is like a sugar, it can invite many ant to come there. All of owned Jakarta is a sugar that was invited people from outside Jakarta to come and live in there. When people come to Jakarta, there are two possibilities, success or fail. First, if they become success, they will buy some vehicles, build or buy a house, and produce some descent. This condition creates traffic jammed and increase the density of Jakarta. Second, if they become failed, they will get survive by working in informal sector like PKL, ojeg, scavengers (pemulung), etc. Because their incomes are low, they build home traditionally in public land, especially in riverside. This is the cause of untidiness, dirty and flood in Jakarta. Usually, poor people have more children than the rich people. It makes the dirty houses growth faster and occupied more riverside. Who is wrong in this case?, the poor ? the rich ? or Jakarta ?.

Let us talk about development history in Indonesia. In new order era (Soeharto’s regime), the government focus to stabilize Indonesian economics in macro level. Economic growth, inflation control, public infrastructure, and human investment had been development orientation. To get high economic growth, Indonesia must be a capitalist country. Capitalism is the classic economic ideology that was introduced by Adam Smith with his ‘invisible hand theory’. There are four pillars in capitalism ideology, (1) freedom; (2) selfish; (3) competition; and (4) profit oriented. Soeharto invited foreign investors to invest their capital in Indonesia. As a rich resource country, many investors come to Indonesia and build their business here. But Indonesian government must give some guarantee to follow capitalism principle: freedom, selfish, competition and profit oriented.

Freedom mean that Indonesian government forbidden to instructed the investors about what, when, where and how to realize their business. Indonesian government just has an authority to give permission and get tax from the business. Selfish mean that Indonesia must give recognition for private property and protect them from criminal action. Competition mean that all of business activity must be perfect competition, and profit oriented mean that government must be respect to investors aim, that is to get high profit. To get high profit, there are some requirements, (1) high demand (market oriented); (2) cheap but educational labor; (3) good infrastructure; and (4) near from central government to do lobbying. Java Island is a most populated region in Indonesia. Populated region mean that there are a big market, and there are many labor surplus there. So the investors build their business central in Java because there are high demand (big market), and there are many labor surplus (cheap wage of labor). Another reason is because Java has better infrastructure than another Java region and near from central government.

Although manufacturing or production activity do in another Jakarta (but still in java region), but each firm usually open their central office in Jakarta. Not only to do lobby, but also to build business network in national and international level. Another reason is that the investors live in Jakarta. This condition make Jakarta look more luxury and develop Jakarta economic significantly. Statistic show that 25% Indonesian GDP come from Jabodetabek region. It is the fact of regional disparities in Indonesia and it is not good for Indonesian future.

Another impact of luxury Jakarta is rural migration. Many villager come to Jakarta to increasing their life quality. In their mind, Jakarta has everything they need. Like my explanation before that there are two possibilities will be haven at villager who come to Jakarta, be success and make Jakarta more jammed, or be failed and make Jakarta dirty. Both condition increase Jakarta density, and also increase household waste, the cause of Jakarta flood every year. So, the main idea of this article is that regional disparities increase rural migration to Jakarta and make Jakarta denser, jammed, dirty, and flood.

Saturday 2 February 2013

Siapa "Bermain" Dibalik Prahara PKS ??

Oleh: Muhammad Nurjihadi
Dunia bergemuruh, seolah ada planet asing yang menghantam bumi ini. Begitulah gambaran perasaan jutaan kader PKS ketika secara tiba-tiba KPK menetapkan LHI sebagai tersangka kasus impor daging sapi yang kemudian diikuti dengan penangkapan dan penahanan dirinya. Tidak hanya kader, tapi rival politik, media, masyarakat, dan semua orang juga ikut tersentak kaget ketika kabar itu beredar. Sontak saja berita tentang LHI ini menghiasi lebih dari 50% space pemberitaan di media elektronik, menjadi headline nyaris di semua Koran, baik yang nasional maupun lokal. Juga menjadi tranding topic di media sosial facebook maupun twitter.

Ada yang percaya bahwa memang ada skandal besar dalam peristiwa ini yang melibatkan banyak kader dan elit PKS. Namun banyak pula yang menganggap kasus ini penuh “kejanggalan”, tidak rasional dan tentu saja terkesan menyerang PKS. Banyak pakar menyebut kasus LHI ini “tidak wajar” karena beberapa alasan: (1) pemberian status tersangka tanpa pemeriksaan terlebih dulu terhadap LHI; (2) tuduhan suap yang katanya Operasi Tangkap Tangan (OTT), yang tertangkap tangan bukan LHI, tapi AF yang “mengaku” dekat dengan LHI; (3) surat penangkapan dari KPK sudah keluar hanya kurang dari 2 jam pasca penetapan dirinya sebagai tersangka, dan lain-lain. Semua itu memunculkan kesan bahwa kasus ini adalah murni kriminalisasi, konspirasi, dan pembunuhan karakter.

KPK meradang dan menolak disebut melakukan konspirasi. Melalui Johan Budi, KPK menjelaskan kasus ini berkembang sedemikian cepat karena berasal dari “laporan masyarakat” dengan bukti yang cukup meyakinkan dari laporan itu. KPK merasa sudah bekerja on the track, sesuai hukum dan UU yang berlaku. Lalu siapa sebenarnya yang bermain dibalik kasus ini?? Dan apa tujuannya ??

Ada beberapa analisa yang berkembang. Pertama, ada yang menyebut ini sebagai upaya pengalihan isu untuk menutup isu “tunggakan pajak keluarga istana” yang sehari sebelumnya diungkap oleh The Jakarta Post. Kedua, ada yang menyebut kasus ini lahir dari dendam yang terakumulasi dari rival politik, PKS dianggap ancaman di 2014. Ketiga, ada juga yang menganalisis bahwa ini adalah permainan “ekonomi politik global” yang melibatkan “aktor asing” didalamnya. Analisa ini muncul karena beberapa tahun terakhir, fraksi PKS kencang menolak impor daging sapi dari Amerika Serikat karena ditengarai mengandung atau bercampur dengan daging babi yang jelas-jelas haram dalam Islam. Beberapa waktu lalu AS melaporkan pemerintah Indonesia ke World Trade Organization (WTO) karena dianggap melanggar perjanjian kerjasama perdagangan internasional. Sebagai catatan, semenjak ditetapkannya rencana swasembada daging oleh pemerintah melalui kementerian pertanian, banyak negara eksportir yang bergantung pada pasar Indonesia berusaha untuk menggagalkan upaya swasembada itu, seperti Australia dan Amerika Serikat dengan berbagai cara. Keempat, ada juga yang menganalisa kasus ini dengan menyebut kasus ini adalah rekayasa kader internal PKS untuk “mendepak” LHI dari posisi sebagai presiden partai guna memuluskan ambisi kader-kader tertentu untuk berkuasa di partai ini (Anis Matta disebut-sebut sebagai otak dibalik semua ini).

Dari semua analisa itu, analisa terlemah menurut saya adalah analisa keempat. Mudah saja untuk menyangkal analisa “dangkal” ini. Di PKS, orang nomor satu bukanlah presiden partai, melainkan ketua Majlis Syuro’, yakni Hilmi Aminuddin, dimana keputusan-keputusan strategis tidak akan diambil tanpa “lisensi” dari sang ketua Majlis. Presiden partai hanya bertugas untuk menggerakkan roda organisasi secara teknis dan taktis. Selain itu, mekanisme pemilihan presiden partai di PKS tidak seperti partai lain yang harus melalui pemungutan suara, Majlis Syuro’ adalah pengambil keputusan final untuk hal ini. Jadi analisa “dangkal” ini sebaiknya diabaikan dalam tulisan ini.

Analisa pertama hingga ketiga relatif masuk akal bagi saya. Hukum itu hanya persoalan administrasi, tumpukan kertas dengan konten yang bisa diatur. Saya teringat film “the shawsank” yang bercerita tentang seorang narapidana yang berhasil mengelabuhi bank dan seluruh perangkat kependudukan dengan menggunakan identitas palsu. Identitas menurut tokoh utama dalam film itu hanya soal administrasi, jika kita memiliki KTP, akta keluarga, akta lahir, asuransi kesehatan, ijazah, dan sebagainya maka semua orang juga akan percaya kalau identitas palsu kita itu asli. Kira-kira seperti itulah hukum, ia hanya merupakan tumpukan kertas administrasi. Hanya dibutuhkan kelihaian untuk menyusun dokumen-dokumen administratif itu menjadi fakta-fakta hukum sebagaimana kelihaian tokoh utama dalam film “the shawsank” yang memalsukan identitasnya untuk memeras bank dan lembaga asuransi.

Dengan demikian, saya percaya sepenuhnya bahwa KPK dalam hal ini tidak terlibat sama sekali dalam “konspirasi” yang menyerang PKS. Sebagai lembaga penegak hukum yang kredibel, KPK sudah bekerja on the track, berdasarkan UU yang ada. Karena mereka hanya mengolah dan menganalisa dokumen yang katanya “laporan masyarakat”. Saya ingin berfokus pada kata “laporan masyarakat” ini. Tadi malam (Jumat, 1 Pebruari 2013) Johan Budi ketika diwawancarai metro TV menyatakan menerima laporan itu beberapa hari sebelum peristiwa selasa, 29 januari (penetapan tersangka LHI). Ini artinya, dokumen laporan masyarakat itu sudah sangat lengkap dan rapi sehingga membuat KPK yakin untuk memberikan status tersangka dengan cepat. Dengan kata lain, masyarakat yang melapor itu sudah mengumpulkan dokumen-dokumen itu dalam waktu yang lama. Artinya, upaya menjebak PKS ini sudah dipersiapkan dengan matang jauh-jauh hari sebelumnya. Pertanyaannya adalah siapakah “masyarakat yang melapor” itu??.

Bagi saya, dokumen lengkap soal impor tersebar setidaknya di tiga kementerian. Pertama kementerian Pertanian, kedua kementerian perdagangan dan ketiga kementerian perindustrian. Selanjutnya semua dokumen kenegeraan itu tentu saja terkumpul di pimpinan kabinet, sang presiden Susilo Bambang Yodhoyono yang tentu juga dibantu oleh para stafnya, baik sekretaris kabinet, sekretaris negara, maupun penasehat presiden (saya jadi teringat manuver Dipo Alam beberapa bulan terakhir, juga teringat kasus misbakhun yang pelapornya adalah salah seorang penasehat presiden). Selain itu, dokumen itu juga ada di para pelaku usaha, yakni importir dan juga eksportir. Atau bisa saja dokumen itu dimiliki oleh masyarakat umum, lewat NGO misal, namun kemungkinannya kecil menurut saya.

Saya percaya dengan kredibilitas dan integritas LHI, meskipun tentu saja sebagai manusia biasa, ada peluang LHI untuk melakukan tindakan bejat itu. Saya juga percaya dengan profesionalitas dan kredibilitas KPK sebagai lembaga penegak hukum. Saya pun percaya dengan aroma konspirasi dalam kasus ini yang melibatkan pihak ketiga.

Lalu siapakah pihak ketiga itu?? siapakah yang melapor ??. Dengan kata lain siapa yang memainkan perkara ini ??. Yang pasti pelapor pasti adalah orang yang memiliki dokumen lengkap. Tidak bermaksud menuduh, hanya sebuah analisa sederhana.

Wallahua’lam…… semoga semua kebenaran yang sesungguhnya segera terungkap.

Saturday 12 January 2013

Kapitalisme: Sejarah, Konsep dan Relevansi

Oleh: Muhammad Nurjihadi
Adam smith adalah tokoh paling berjasa dalam melahirkan idiologi kapitalisme. Sebagai seorang ekonom, pilsuf dan sosiolog ia memiliki keyakinan bahwa “hukum alam’ juga terjadi dalam persoalan ekonomi. Ia menganggap setiap orang adalah hakim yang paling tahu akan kepentingannya sendiri. Oleh karenanya setiap orang harus diberikan kebebasan untuk mengejar kepentingannya itu demi keuntungannya sendiri. Dalam proses mengejar kepentingan pribadi itu, setiap orang akan membutuhkan serangkaian barang dan jasa yang kompleks yang akan membuat setiap orang berinteraksi satu sama lain untuk saling melengkapi kebutuhannya. Dalam melakukan ini, setiap orang akan dibimbing oleh suatu “kekuatan tidak terlihat” yang ia sebut sebagai ‘tangan tuhan’. Setiap orang jika dibiarkan bebas akan berusaha memaksimalkan kesejahteraannya sendiri, sehingga ketika semua orang dibiarkan bebas, maka akan tercipta kesejahteraan agregat tanpa ada campur tangan pemerintah (Jhingan, 1999).

Skousen (2006) merekam dengan jelas bagaimana Adam Smith mampu mengidentifikasi tiga unsur pembentuk kemakmuran dan kesejahteraan melalui kapitalisme pasar bebas, yakni: (1) kebebasan (freedom), hak untuk memproduksi dan memasarkan produk tanpa campur tangan pemerintah; (2) kepentingan diri (self interest), pengakuan atas hak individualis seseorang untuk melakukan usaha atau apapun, termasuk dalam menguasai sumber daya; (3) persaingan (competition), hak untuk bersaing dalam produksi dan perdagangan barang dan jasa. Adam Smith meyakini bahwa ketiga unsur diatas akan menghasilkan ‘harmoni alamiah’ dari kepentingan kapitalis (pemilik modal), tuan tanah dan juga buruh yang akhirnya akan menciptakan kesejahteraan agregat.

Adam Smith memberikan dasar yang penting untuk perkembangan kapitalisme di masa setelahnya. Gagasannya tentang kebebasan dan adanya kekuatan ‘tangan tuhan’ menjadi logika dasar yang melatar belakangi gagasan kapitalisme. David Ricardo adalah salah satu pendukung penting pemikiran Smith. Melalui teori the comparative advantage-nya, Ricardo menegaskan pentingnya perdagangan bebas tanpa campur tangan pemerintah (Laissez faire). Bahkan Ricardo memberikan penekanan khusus pada perdagangan bebas antar negara untuk mencapai efisiensi ekonomi dan kesejahteraan maksimum. Ricardo adalah tokoh penting yang membawa ilmu ekonomi pada titik kemapanannya. Ia adalah ekonom pertama yang memperkenalkan ekonomi dengan analisis matematis yang akurat namun syarat dengan asumsi-asumsi yang tidak realistis. Oleh karenanya banyak ekonom menyebut Ricardo sebagai ‘pengkhayal sia-sia yang membawa ilmu ekonomi ke jalur yang keliru dan membingungkan’ (Skousen, 2006).

Meski memberikan dukungan kepada gagasan perdagangan bebas ala Adam Smith, Ricardo memiliki pandangan yang berbeda secara substansial dengan Smith. Jika Smith berupaya membangun gagasan harmoni kepentingan alamiah lewat perdagangan bebas, Ricardo justeru berpandangan bahwa konflik kelas adalah cara efektif untuk mencapai kesejahteraan. Konflik kelas yang dimaksud Ricardo adalah persaingan antar kelas yakni kaum kapitalis, tuan tanah dan buruh. Dimana kue ekonomi didistribusikan atau dibagi-bagi kedalam kelompok-kelompok atau kelas itu dalam bentuk sewa, keuntungan dan upah. Dengan model ini, akan terjadi persaingan antara kapitalis dan buruh, dimana jika upah buruh naik maka keuntungan kapitalis akan menurun dan demikian pula sebaliknya. Sementara tuan tanah dalam model ini menjadi pihak yang paling diuntungkan sebab nilai sewa tanah tetap tanpa bergantung pada tingkat keuntungan maupun upah (Skousen, 2006).

Pemikiran-pemikiran ekonomi mengalami polarisasi pada masa-masa berikutnya. John Stuart Mill adalah salah seorang pendukung utama gagasan David Ricardo. Ia mendukung sepenuhnya azas laissez faire yang dipromosikan adam Smith dan David Ricardo, namun pada saat bersamaan ia juga menyebut diri sebagai seorang sosialis. Karl Marx kemudian hadir dengan kritik tajam terhadap kapitalisme. Kritiknya terhadap kapitalisme justeru dibangun dari kekagumannya pada teori distribusi pendapatan Ricardo yang sebenarnya ikut memapankan kapitalisme Smith. Selanjutnya hadir pemikir-pemikir ekonomi seperti Menger, Bohm-Bawek, Jeavon, Marshall dan sebagainya yang menghidupkan kembali teori ekonomi klasik kapitalisme Adam Smith dan menyempurnakannya dengan teori-teori baru. Lalu ketika dunia dilanda great depretion pada tahun 1930, dunia akademis pun mengalami great debate tentang efektifitas kapitalisme Smith. Gagasan Marxisme kembali hidup dan mewabah di kampus-kampus. Tepat disaat kapitalisme nyaris runtuh seperti itu, seorang ekonom datang sebagai penyelamat kapitalisme dan memaksa Marxisme untuk kembali dilupakan di mimbar intelektual. Dialah John Maynard Keyenes. Dialah orang pertama yang mengingatkan pentingnya integrasi kapitalisme dengan pemerintah. Dalam teori yang dikembangkannya, ia mengharuskan pemerintah untuk ikut campur tangan dalam urusan perekonomian sampai pada tertentu guna menjamin berlangsungnya prinsip-prinsip kapitalisme. Keynes adalah penyelamat kapitalisme sekaligus menjadikan dirinya pemimpin aliran ekonomi baru (Jhingan, 1999; Skousen, 2006).

Sejak dicetuskan oleh Adam Smith, gagasan kapitalisme terus mengalami perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian tanpa menghilangkan substansi pesan kapitalisme yakni kebebasan, individualisme dan persaingan sempurna. Bahkan dalam kurun waktu yang sama, implementasi kapitalisme dapat berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Hal inilah yang membuat kita sulit untuk membangun definisi tunggal tentang kapitalisme (Saidi, 2000). Bahkan praktek kapitalisme modern sering kali mewujud dalam bentuk pertentangan antar unsur pembanggun kapitalisme. Kasus monopoli perdagangan oleh perusahaan swasta misalnya. Dengan dalih kebebasan dan dalam rangka mewujudkan kepentingan pribadi atau individualisme (self interest), maka setiap orang berhak untuk mengakumulasi modal dalam jumlah besar yang pada gilirannya membuatnya memonopoli pasar. Dengan demikian terjadi pertentangan antara unsur kebebasan dan individualisme dengan unsur persaingan. Padahal sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kapitalisme dibangun atas tiga unsur itu.

Secara umum kapitalisme sering dicirikan dengan beberapa hal ini: (1) mendewakan hak-hak pribadi; (2) pemilikan alat-alat produksi di tangan individu; (3) setiap individu bebas memilih pekerjaan/usaha yang dipandang baik bagi dirinya; (4) perekonomian diatur oleh mekanisme pasar; (5) pasar berfungsi sebagai pemberi signal kepada produsen maupun konsumen dalam bentuk harga-harga; (6) campur tangan pemerintah diusahakan berada pada level paling minimum; (7) barang dan jasa dipasarkan di pasar bebas (free market) yang bersifat kompetitif; (8) modal (baik uang ataupun lainnya) diinvestasikan untuk mendapatkan laba (profit). Kapitalisme melegimasi individualisme dan persaingan dalam meraih profit sebagai sesuatu yang alamiah. Hal ini memungkinkan terjadinya motif-motif lain yang tidak wajar dalam praktek ekonomi (Peet and Hartwick, 2009).

Senada dengan itu, Yustika (2011) menyatakan bahwa kapitalisme tegak oleh empat pilar dasar yang melatarinya, yaitu; pertama, kegiatan ekonomi digerakkan dan dikoordinir oleh pasar (bebas) dengan harga sebagai penanda. Kedua; setiap individu memiliki kebebasan untuk mempunyai hak kepemilikan (property rights) untuk menjamin proses transaksi (exchange). Ketiga; kegiatan ekonomi dipisahkan oleh tiga pemilik faktor produksi yakni pemodal (kapitalis), tenaga kerja (labor) dan pemilik lahan (tuan tanah). Pemilik modal memperoleh pendapatan dari keuntungan, pekerja memperoleh pendapatan dari upah dan pemilik lahan memperoleh pendapatan dari biaya sewa lahan (rent). Keempat; tidak ada larangan bagi para pelaku ekonomi untuk keluar – masuk pasar (free entry and exit barriers). Kapitalisme dibangun dengan logika pasar bebas dimana urusan ekonomi diserahkan sepenuhnya ke mekanisme pasar. Oleh karenanya kapitalisme juga sering disebut sebagai ekonomi pasar.

Pada dasarnya, gagasan kapitalisme yang tegak diatas pilar kebebasan, individualisme dan persaingan dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya hak setiap orang untuk hidup sejahtera. Hanya dengan kebebasan seseorang bisa leluasa dalam memperjuangkan kepentingannya guna meraih sejahtera itu. Sementara itu persaingan merupakan suatu penjamin yang dapat membentuk keseimbangan pasar dalam bentuk harga. Tanpa persaingan, mekanisme pembentukan harga akan menjadi tidak adil karena di monopoli oleh pihak-pihak tertentu. Namun dalam praktek kapitalisme dewasa ini, individualisme lebih dikedepankan daripada prinsip kebebasan dan persaingan. Individualisme itu bahkan diperjuangkan dengan argumen-argumen kebebasan dan persaingan itu. Pola persaingan yang terjadi justeru lebih banyak melibatkan persaingan antara kaum kapitalis dan kelas pekerja yang tentu saja sering kali dimenangkan oleh kaum kapitalis mengingat kuatnya pengaruh kapial mereka. Persaingan dalam aktifitas ekonomi dewasa ini juga justeru banyak yang berwujud persaingan antar pekerja dan atau petani kecil. Sementara pada saat yang bersamaan para kaum kapitalis membangun kerjasama-kerjasama bisnis baik dalam bentuk kartel ataupun lainnya untuk membagi-bagi kue ekonomi antar kaum kapitalis.

Perlu diingat bahwa persaingan sempurna hanya akan menghadirkan kesejahteraan jika seluruh pelaku ekonomi berada pada level (pendidikan, struktur sosial dan ekonomi) yang sama. Sebab persaingan yang terjadi ketika seluruh pelaku ekonomi berada pada posisi atau level yang sama akan dipandu oleh sebuah kekuatan tak terlihat yang membentuk keseimbangan melalui harga. Faktanya, pelaku ekonomi selalu terbagi kedalam tiga kelompok atau kelas yang berbeda tingkat pengaruhnya yakni para pemilik modal (kapitalis), tuan tanah dan buruh. Jika persaingan terjadi antara kaum kapitalis yang memiliki posisi tawar lebih baik dengan kaum buruh yang lemah, maka tentu saja persaingan itu akan dimenangkan oleh kaum kapitalis. Kondisi semacam ini akan membuat distribusi pendapatan mejadi tidak adil dimana kaum kapitalis yang kaya menjadi semakin kaya dan kaum buruh yang lemah menjadi bertambah lemah.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, gotong royong dan kebersamaan adalah ciri khas sosiologis yang terbentuk sejak lama. Menyadari hal ini, para pendiri bangsa ini menyusun konsep perekonomian nasional yang menjadikan gotong royong dan kebersamaan sebagai modal utama. Konsep itu tertulis secara tegas dan jelas pada pasal 33 UUD 1945. Dalam aplikasinya, pemerintah membuat kebijakan ekonomi yang dikenal dengan koperasi. Istilah koperasi diambil dari istilah kooprasi yang berarti bekerjasama. Dengan demikian, para pendiri bangsa ini sesungguhnya berharap bahwa perekonomian nasional kita dijalankan atas dasar kerja sama dan kasih sayang, bukan atas dasar persaingan dan keserakahan individualisme yang menjadi ciri khas ekonomi kapitalis.

Kapitalisme memiliki asumsi yang ketat bahwa kesejahteraan agregat akan terbentuk melalui terciptanya kesejahteraan individual yang hanya dapat dicapai dengan kebebasan dan persaingan. Kesejahteraan dalam konteks ini dimaknai sebagai tersedianya segala kebutuhan ekonomi yang bersifat fisik (materialisme) [Skousen, 2006]. Karena dibangun atas dasar falsafah materialisme, kapitalisme sering kali mengabaikan faktor-faktor moral, etika dan hubungan sosial. Sikap individualisme yang didewa-dewakan kapitalisme cenderung akan memandang orang atau pihak lain sebagai pesaing yang harus dikalahkan. Kondisi semacam ini tentu dapat berdampak pada disharmoni sosial, melemahnya struktur kelembagaan sosial dan bahkan rentan menimbulkan konflik sosial.

Ketidaksesuaian kapitalisme dengan kondisi sosial budaya Indonesia sesungguhnya telah diungkap jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka. Boeke dalam Rahardjo (2011) bahkan membangun teori ‘dualisme ekonomi’ dari kondisi dualistis yang dilihatnya di Indonesia pra merdeka. Menurutnya, ekonomi lokal masyarakat Indonesia lebih digerakkan oleh upaya pemenuhan kebutuhan sosial yang berorientasi pada terciptanya kesejahteraan masyarakat secara bersama-sama. Oleh karenanya praktek ekonomi sosial Indonesia sering kali berwujud kerja bersama (gotong royong) untuk membantu aktifitas ekonomi anggota masyarakat tanpa mengharapkan upah. Namun di sisi lain, ekonomi yang dikembangkan pemerintah kolonial Belanda justeru sangat kapitalistik yang menuntut masyarakat lokal untuk berproduksi guna memenuhi kebutuhan pasar luar negeri. Disinilah terjadi apa yang disebut Boeke sebagai ‘dualisme ekonomi’. Lebih jauh Boeke juga menyebut fenomena dualisme ekonomi inilah yang selama ini menghambat tercapainya kesejahteraan masyarakat pribumi.

Friday 4 January 2013

COMMUNITY FOREST MANAGEMENT (CFM) IN LOMBOK ISLAND: KEEP SUSTAINABILITY AND CREATE PROSPERITY

Summary of Paper

By. Muhammad Nurjihadi

This paper told us about relation between poverty and environmental destruction, especially forest damage. As we know that there are positive relations between poverty and forest damage (Todaro, 2006). Local forest communities who life in poor condition will get survive with doing illegal logging. In their mind, all of the trees around them are their mine. So, they can manage the trees with their style, including with cutting the trees illegally. In the other side, this condition will threaten their life and the other societies who live far from the forest area. Floods, landslides, erosion and loss of forest biodiversity are the impact of forest damage. Moreover, this condition will decrease water supply from forest to farm area, household consumption and industrial need. So, there is a dilemma in this case, extreme poverty in forest communities who was live in the forest area for very long time in one hand and sustainability threat in the other hand.

Community Forest Management (CFM) or Hutan Kemasyarakatan (HKm) in bahasa is one of social forestry model that has become a government program. Aim of this program is to make a guarantee for forest ecosystem integration, create social prosperity, social justice and developing democracy (Munggoro et al, 2001). The principle of CFM is giving an authority to local communities to manage forest around them with supervision from government or Non Government Organization (NGO). Implementation of this program made local communities more safety to manage the forest. They can exploit forest resources to increase their life quality without damaging the forest.

Nurjannah (2009) who was get research about the role of social institution in forest area communities in Lombok Island showed us that local institution is the effective instrument to keep sustainability in one side and create local prosperity in the other side, especially in forest area communities. CFM is the program that is a strategy to build effective local institution in forest area community. With supervision from outside stakeholder of the community, forest area communities can build local institution in accordance with CFM principles.

Blessing in Disguise: Karena Aku Ingin Layak Dihormati

By. Muhammad Nurjihadi
Letih memang. Tapi tak pernah kurasakan bahagia seperti yang kurasakan hari ini. Hari ketika aku dibanjiri pujian, hari ketika aku menjadi bahan perbincangan, hari ketika semua mata seolah memandangku takjub, hari ketika aku membuat setiap orang yang menyayangiku merasa bangga, dan hari ketika aku memaksa mereka yang membenciku takluk tak berdaya. Inilah hari kemenanganku. Rasanya tak ada yang sebahagia aku hari ini.

Ya,, hari ini adalah hari pengumuman kelulusan di sekolahku yang sekaligus dirangkai dengan hari perpisahan. Sekolah kami memang beda, kala itu sekolah kami punya kurikulum dan mekanisme ujian nasional sendiri, tidak ikut dengan ujian nasional seperti sekolah umum lainnya. Sekolah kami ada dibawah departemen pertanaian, bukan departemen pendidikan, jadi soal ujian pun tidak datang dari departemen pendidikan, melainkan dari departemen pertanian.

Sebagai ketua OSIS, aku bertanggungjawab menyiapkan acara ini. Dua bulan persiapan untuk acara setengah hari. Melelahkan, tapi juga menyenangkan. Hari ini aku benar-benar tampil sebagai bintang. Aku diumumkan menjadi lulusan terbaik sekolah, bahkan lulusan terbaik nasional dari sekolah-sekolah yang ada dibawah departemen pertanian. Karenanya aku juga diumumkan mendapatkan beasiswa kuliah di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia. Aku juga tampil dalam pidato perpisahan mewakili teman-teman kelas tiga yang lulus hari ini. aku pun tampil sebagai pelakon utama dalam sebuah drama yang aku sutradarai sendiri. juga tampil menerima penghargaan sebagai siswa penggerak kegiatan ekstrakurikuler. Dan terakhir aku juga tampil untuk menyerahkan jabatan ketua OSIS kepada ketua OSIS baru yang dipilih beberapa hari sebelumnya. Ketika video dokumenter acara ini diputar, wajahku benar-benar menjadi aktor utama didalamnya.

Tak cukup dengan itu, keesokan harinya pun wajahku tampil di sebuah media lokal. Wartawannya menulis soal prestasiku sebagai lulusan terbaik nasional dan soal jaminan beasiswa untukku. Semua kebanggaan datang menghampiriku saat itu. Tak terkecuali keluarga besar dan seluruh orang di kampung halamanku. Aku tenggelam dalam euphoria kebanggaan dan kebahagiaan.

Beberapa pekan setelahnya, semua terang itu seketika berubah gelap. Saat aku menanyakan soal beasiswa kuliah yang dijanjikan kepadaku. Entah bagaimana ceritanya, aku dianggap telat mengurus persyaratan administrasi yang membuatku gagal menerima beasiswa itu. Rasanya aku bagai jatuh dari puncak gunung,terpuruk dalam kesedihan. Bukan karena aku tidak bisa mendapatkan beasiswa itu, tapi karena aku membayangkan betapa kecewanya orang-orang terdekatku yang baru beberapa hari ini memujiku. Satu kampung sudah tau bahwa aku akan kuliah di Jawa dengan beasiswa dari pemerintah, bahwa aku adalah anak pintar yang membanggakan keluarganya, bahwa aku adalah harapan mereka. Apa jadinya jika aku tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
“Ah, aku pasti dikucilkan” pikirku.

Hari itu adalah hari terakhir pendaftaran Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) yang sekarang bernama SNMPTN. Tanpa pikir panjang aku langsung pergi mendaftar, meski dengan dana pinjaman yang dengan susah payah kudapatkan. Jika aku tidak dapat pergi kuliah di kampus favoritku di Jawa, setidaknya aku harus tetap kuliah di kampus negeri, pikirku. Aku lalu mengikuti tes SPMB. Hingga tiba masanya pengumuman hasil, aku kembali harus menelan pil pahit karena daftar nama calon mahasiswa yang lulus sedikitpun tidak memuat namaku. Kali ini bukan hanya sedih dan murung, aku juga harus menanggung malu yang tiada terkira. Bagaimana tidak, aku telah dinobatkan sebagai lulusan terbaik nasional, tapi aku tak mampu lulus tes seleksi mahasiswa. Sementara teman-temanku yang lulus ujian SMA dengan nilai seadanya justeru mendapatkan kehormatan untuk diterima sebagai mahasiswa.

“ini tidak adil” gumamku.

Benar saja, di kampung asalku, kegagalanku dalam tes seleksi itu diperbincangkan hangat. Ada yang prihatin dan ada pula yang memandangku sinis karena menganggap prestasiku dalam kelulusan SMA kemarin hanya kebetulan.

“sabar dik, yang penting kita udah usaha maksimal, ga usah dengerin kata orang” kata Heri, kakak kandungku. Meski aku melihat ia juga tidak bisa menyembunyikan rasa malu dan kecewanya.

“lalu bagaimana? Masak aku ga kuliah ?” tanyaku pada kak Heri dan bapak yang kala itu sedang menghiburku.

“mending cari kerja aja dulu, toh kalau pun kuliah, ujung-ujungnya juga nyari kerja” kata bapak menasehati.

Aku pasrah, marah dan malu. Aku tak berani keluar rumah. Aku tak sanggup jika ada yang menanyakan soal ketidak lulusan ini. Aku malu untuk menampakkan wajah bangga dan ceriaku yang kini berubah murung. Aku terjebak dalam tekanan batin yang tak mampu kuatasi.

Disaat semua tampak gelap dan suram, tiba-tiba salah seorang guruku datang ke rumah. Ia datang untuk menghibur sekaligus mengajakku untuk ikut tes sebuah perguruan tinggi dengan beasiswa ikatan dinas. Tak perlu pikir panjang untuk mengiyakan tawaran itu.

“mungkin inilah jalannya, ternyata Allah menyiapkan yang lebih baik untukku” kataku dengan penuh optimis.

“siapkan diri untuk ikut tes itu nak. Fisik, mental dan otak harus benar-benar disiapkan” kata pak Guru menasehatiku.

Lalu ku ikuti tes itu dengan penuh kesungguhan dan dengan persiapan terbaik. Ada lima rangkaian tes yang harus dilalui. Aku berhasil melewati 4 tahap sebelum akhirnya hasil akhir akan diumumkan beberapa hari setelahnya. Betapa shocknya aku ketika namaku kembali terlupakan dalam daftar peserta tes yang lulus. Entahlah, aku tak mengerti apa yang membuatku tak lulus pada tes tahap ke lima. Aku kembali terpuruk, putus asa dan kehilangan akal sehat. Gunjingan yang kuterima dari tetangga menjadi kian menjadi-jadi. Pamor sebagai anak pintar hilang sudah. Siang terasa pekat dan malam terasa penat. Ingin aku keluar dari kampung ini agar tak ada lagi yang menggunjingku.
*****

“ah,, sudahlah, mungkin ada baiknya aku keluar dari kampung halaman ini. Aku lebih memilih menderita di tempat orang daripada harus mendengar gunjingan orang di rumahku sendiri” kataku pada bapak di suatu malam.

“apa rencanamu ?” tanyanya

“aku ingin pergi ke luar daerah, aku tak akan mengatakan kemana, yang jelas aku mau keluar” jawabku

“nak, kenapa kamu harus pikirkan kata orang,, sudahlah, mending kamu cari kerja dulu disini, ga usah kemana-mana, tahun depan kamu kuliah” pintanya.

Aku diam tak bergeming. “kamu tidak boleh ke luar daerah…!!” sambung bapak lalu pergi meninggalkanku.

Aku berpikir keras malam itu. lalu aku sampai pada tekad kuat untuk tetap pergi. Aku ingin ke Bali. Disana aku punya teman yang sudah siap menerimaku. Tapi aku tidak ingin memberi tahu siapapun ketika aku berangkat nanti, aku pasti dilarang jika harus izin dulu.

Selepas subuh, aku tinggalkan rumah tanpa membawa bekal yang cukup. Hanya beberapa helai pakaian yang ku kemas dalam tas dan uang yang hanya cukup untuk ongkos ke Mataram. Tak ada yang boleh menghentikan tekad ini. Aku pergi tanpa pamit dengan tekad membaja.

Setelah sampai Mataram, aku menginap di sebuah kos teman. Rencananya aku mau tinggal beberapa hari disini untuk bekerja serabutan, mengumpulkan uang untuk ongkos ke Bali. Aku tak ingin pulang ataupun mengabarkan posisiku kepada keluarga sebelum ada kebanggaan yang kubawa.

Setelah lebih dari sepekan bekerja serabutan, menjadi tukang parkir, penjual tanaman hias, tukang kebun dan sebagainya akhirnya aku berhasil mengumpulkan uang yang cukup untuk bekal ke Bali. Ketika hendak membeli tiket bus untuk berangkat ke Bali, aku membaca sebuh poster pengumuman dibukanya pendaftaran penerimaan mahasiswa baru melalui jalur tes mandiri oleh Unram. Hari itu adalah hari terakhir pendaftaran dan esok paginya adalah hari tes. Kutunda rencana pembelian tiket lalu langsung berbalik menuju kampus Unram untuk mendaftar. Aku sampai di kampus itu tepat lima menit sebelum pendaftaran ditutup. Akupun menjadi pendaftar terakhir ketika itu. Uang yang tadinya ingin kugunakan membeli tiket bus kugunakan untuk membayar uang pendaftaran.
Aku tak punya cukup waktu untuk belajar dan menyiapkan diri untuk mengikuti tes besok pagi. Aku hanya pasrah dan berdo’a. Jika lulus tes, aku akan mengurungkan niat untuk hijrah ke Bali, tapi jika tidak lulus lagi, aku akan langsung berangkat. Kali ini aku sudah lebih siap secara mental untuk menerima apapun hasil tes. Ku ikuti tes dengan santai. Meski tanpa belajar, tapi aku menikmati menjawab soal tes kala itu.

Pengumuman hasil tes akan dilakukan seminggu setelah itu. sambil menunggu hasil tes, aku semakin giat bekerja serabutan. Karena semua hasil tabunganku seminggu kemarin telah kugunakan untuk mendaftar, maka aku harus mengumpulkan uang lagi untuk ongkos. Jika hasil tes nanti tidak lulus, maka aku sudah punya uang untuk membeli tiket.
Seminggu kemudian, saat-saat menegangkan itu akhirnya tiba. Semenjak subuh aku sudah nongkrong di perempatan lampu merah tempat biasa para penjual Koran menjajakan korannya. Seperti biasa, pengumuman kelulusan dilakukan melalui Koran. Dengan mengucap bismillah, kubuka Koran yang baru kubeli dan ternyata, namaku tercantum dalam daftar calon mahasiswa yang lulus tes mandiri.

‘alhamdulillah” ucapku lega.

Sesuai rencana, aku harus mengurungkan niatku untuk pergi ke Bali. Aku ingin kuliah, itu saja. Meski harus masuk melalui jalur yang ‘tidak terhormat’, tak mengapa, asal bisa melanjutkan pendidikan. Kini aku dihadapkan pada masalah lain. Karena harus mengejar jadwal akademik, maka pendaftaran ulang harus dilakukan selambat-lambatnya dua hari setelah pengumuman itu. Aku harus punya uang sejumlah lima juta dalam waktu dua hari.

“dari mana dapat uang lima juta” pikirku. Aku tak ingin minta ke bapak, karena aku tahu beliau juga sedang kesulitan keuangan. Lagipula aku sudah berani keluar dari rumah tanpa pamit, aku tidak mau minta ke beliau.

H-1 penutupan pendaftaran ulang, aku bergerak lincah menghubungi setiap orang yang kukenal untuk minjam uang, tapi tak sepeser pun kudapatkan. Entahlah, mungkin karena mereka tak bisa mempercayaiku akan bisa mengembalikan uang pinjaman itu, atau mungkin karena mereka memang tidak punya uang. Ketika tak ada lagi yang bisa diharapkan, saya terpaksa harus pulang ke rumah untuk minta bantuan orangtua.
Seperti dugaanku, bapak tidak punya uang itu.

“nampaknya aku memang harus ke Bali” pikirku.

“nak, datang ke alamat ini, saya sudah hubungi beliau dan beliau bersedia meminjamkan uangnya untuk daftar ulang kuliahmu !!” kata bapak sambil menyodorkan sebuah kertas berisi alamat rumah sahabat lamanya yang kini tinggal di Mataram.

Aku bergegas kembali ke Mataram. Karena aku sampai sudah larut malam, aku berencana untuk datang ke alamat yang dikasi bapak esok paginya di hari terakhir pendaftaran ulang. Mata tak bisa terpejam malam itu. Aku dihantui perasaan harap-harap cemas.

“Siapa yang bisa menjamin aku dapatkan uang itu besok” pikirku.

Keesokan harinya, aku berangkat menuju alamat itu. Setelah berputar-putar, akhirnya alamat itu aku temukan, sebuah rumah yang cukup megah. Ku pencet bel yang menempel di gerbang. Seorang perempuan paruh baya keluar dan membukakan gerbang.

“cari siapa mas ?” tanyanya.

“benar ini rumahnya pak Hilal bu ?”

“oya benar, ada apa ya ?”

“saya ada perlu sama beliau, udah janjian kemarin”

“wah,, tapi bapak sedang ngantor mas”

“pulangnya jam berapa buy a?”

“biasanya sih jam tiga atau jam empat mas”

Aku tarik nafas dalam-dalam. Tak mungkin kutunggu dia sampai jam empat. Pendaftaran ulang hari ini akan ditutup jam dua siang.

“dimana kantornya bu?” tanyaku lagi.

“di Unram mas, Fakultas Pertanian” jawabnya

“terimakasih bu, saya susul ke sana aja kalau gitu”

Ternyata sahabat bapakku ini adalah seorang dosen di fakultas tempatku akan kuliah. Segera aku cari beliau di kantornya, di kampus. Setelah sampai kampus, aku harus menunggu lama karena beliau punya jam ngajar yang cukup padat hari itu. Aku menunggu di depan ruangannya bersama beberapa orang yang juga sedang menunggunya untuk konsultasi skripsi. Mataku tak lepas dari jam. Aku sungguh khawatir dan tegang. Hanya ini harapan terakhirku. Jika aku gagal disini, maka pupuslah sudah harapanku untuk bisa kuliah. Tepat jam 12 siang beliau tiba di ruangannya.

“maaf ya, baru selesai ngajar” katanya menyapa kami semua yang menunggu didepan ruang kerjanya lalu langsung masuk ke dalam ruangannya. Tak lama kemudian dia keluar, “saya salat bentar ya” katanya dan pergi meninggalkan kami lagi untuk salat.

Hah,,, saya semakin tegang. Saya pun lalu mengikuti beliau ke Mushalla untuk salat.
Selesai salat, beliau bergegas kembali ke kantornya. Dia terlihat terburu-buru seperti sedang dikejar waktu. Tak enak rasanya menyampaikan maksud kedatanganku ditengah keterburuannya itu. Hushhhhh,,, tegang, takut, khawatir, malu, semua campur jadi satu. Saya ikuti beliau dari belakang.

Tiba di ruangannya, beliau langsung disambut oleh mahasiswa-mahasiswanya yang sudah menunggu dari tadi.

“kapan aku bisa ngomong,, ya Allah bantu hamba” ucapku dalam hati.

Jam sudah menunjuk angka satu. Satu jam lagi loket pendaftaran ulang akan ditutup. Setelah lima belas menit, mahasiswa-mahasiswa tadi keluar dari ruangan bersama beliau. Sambil tergesa-gesa beliau bilang

“aduhh,, saya ada jadwal ngajar lagi nih, yang belum konsultasi tunggu aja sampai jam tiga ya, udah telat saya ini” ucapnya dan langsung pergi berjalan dengan terburu-buru meninggalkan kami.

Seluruh bulu roma saya menegang. Nampaknya habis sudah perkara. Tak ada lagi yang bisa saya harapkan. Bagaimana mungkin saya akan menjegat beliau yang sudah mengaku telat.

“ya Allah,,, bantu hamba” jeritku dalam hati.

Aku lalu beranjak dari dudukku dan kukejar beliau

“maaf pak, sebentar” kataku

“nanti aja ya, saya telat ini” jawabnya

“maaf pak, saya anak dari pak Juli yang kemarin hubungi bapak, batas daftar ulang hari ini jam dua dan sekarang sudah hampir setengah dua, saya sudah nunggu bapak dari pagi, minta tolong pak bantu saya” ucapku tanpa henti dengan nada memelas. Malu sebenarnya, tapi apa mau dikata.

Beliau terdiam sejenak, menoleh kearahku dan menatap mataku dengan tajam. Aku jadi salah tingkah dibuatnya

“maaf pak kalau saya mengganggu, saya benar-benar tidak tau mau gimana lagi”

Beliau melihat jam tangannya lalu membuka isi dompetnya

“uang saya ada di ATM semua, tidak ada cash. Saya tidak mungkin ngasi kamu bawa ATM saya untuk ambil sendiri, sedangkan saya harus ngajar sekarang” katanya

Aku terdiam. Tampaknya aku sudah tidak punya harapan lagi. Ia lalu melangkah pergi meninggalkanku. Beberapa lama kemudian dia berbalik

“tunggu sebentar, jangan pergi dulu, tunggu saya disitu” pintanya. Aku pun mengangguk mengiyakan.

Tak lama kemudian ia keluar. Entah apa yang dikatakannya pada mahasiswanya. Beliau lalu mengajakku untuk pergi ke ATM centre yang ada di Unram. Karena jaraknya cukup jauh, kami menggunakan mobil beliau. Dalam perjalanan kami berbincang tentang banyak hal

“jadi kamu yang katanya lulusan terbaik nasional di sekolah pertanian itu?” tanyanya didalam mobil

“iya pak” jawabku singkat

“kenapa ga jadi dapat beasiswa ?”

“ndak tau lah pak, katanya saya telat ngurus administrasi, padahal sebelumnya pihak sekolah yang katanya akan mengurus semuanya”

“oohh.. terus kok bisa kamu ga lulus SPMB?”

Aku hanya diam, tak mampu menjawab pertanyaan ini.

“memang ya begitu lah, sekolahmu itu kan beda kurikulum, jadi kalaupun kamu terbaik disana, belum tentu kamu lebih baik dengan yang terburuk di sekolah lain” sambungnya.
Sesak dada ini mendengar pernyataan itu. aku tak mau menyahut apapun. Kutahan emosi yang membuncah, kuingat betapa dia sangat penting bagiku kali ini.

“besok kamu akan buktikan disini, kamu akan bersaing dengan siswa-siswa dari sekolah lain, dugaan saya kamu akan susah menyesuaikan diri dengan mereka, mereka pintar-pintar biasanya” lanjutnya.

Aku masih diam, meski dada ini panas dibuatnya.

“kamu harus giat belajar, kegagalanmu kemarin di SPMB membuktikan kalau kamu aja yang lulusan terbaik ga mampu bersaing, apalagi teman-temanmu yang lain dari sekolah itu” katanya lagi

Aku tetap tak bergeming.

“saya sampai ngorbanin waktu ngajar untuk bantu kamu, jangan sampai besok kamu bikin saya malu karena nilaimu jelek apalagi sampai DO” sambungnya..

Ingin kuumpat bapak ini. Tak adakah bahasa yang lebih baik dari itu?. Tapi sudahlah, aku sedang butuh dia.

Kami pun akhirnya tiba di ATM centre. Setelah mengambil uang, beliau mengantarku ke tempat pendaftaran ulang dan kemudian meninggalkanku disana. Aku bergegas ke loket pendaftaran ulang. Suasana sudah sepi, tak ada lagi yang antre seperti yang aku lihat tadi pagi ketika lewat didepan gedung registrasi ini. Ketika sampai didepan loket, para petugas sedang sibuk merapikan kertas-kertas pendaftaran ulang, bersiap untuk pulang. Beruntung mereka masih mau melayaniku. Aku menjadi peserta terakhir yang mendaftar ulang.

“Alhamdulillah, akhirnya… terimakasih ya Allah” ucapku lirih, tak terasa air mata mengalir di pipi. Haru rasanya.
*****

Aku sudah resmi menjadi mahasiswa di Unram. Meski masuk lewat jalur yang ‘tidak terhormat’, tapi aku bertekad untuk keluar dengan cara ‘terhormat’. Aku ingin membuktikan bahwa semua yang disampaikan pak Hilal di mobil ketika memberiku pinjaman uang adalah keliru. Aku ingin menjadi orang yang layak untuk dihormati, orang yang layak untuk dihargai, bukan dikasihani.

Kujalani hari-hariku sebagai mahasiswa dengan normal. Kusibukkan diri dalam berbagai aktifitas organisasi. Sampai akhirnya aku tampil sebagai salah seorang tokoh mahasiswa di kampus. Aku terlibat dalam berbagai organisasi bergengsi dan pada gilirannya menjadikanku sebagai pemimpin utama. Aktifitasku di organisasi ini memberikan pelajaran penting bagiku tentang bagaimana mengelola hidup. Disamping itu, peran-peran utama sebagai pimpinan membuatku punya akses terhadap pejabat-pejabat penting, baik di kampus maupun luar kampus. Secara tidak langsung semua proses situ membentuk karakter dan kepribadianku.

Meski disibukkan dengan urusan organisasi, aku tetap memelihara ambisiku untuk tampil sebagai yang terbaik secara akademis. Oleh karenanya, aku berusaha untuk menyeimbangkan segala aktifitas organisasi itu dengan aktifitas akademik. Bahkan selain sibuk dengan dua urusan itu, aku juga menyempatkan diri untuk melakukan berbagai aktifitas usaha untuk bisa membiayai kuliah sendiri. Do’a dan ikhtiar terus kulakukan. Sampai akhirnya aku tiba pada saat pembuktian.

Dalam perenungan kudapati sebuah hikmah besar dibalik kesulitan-kesulitan yang menderaku ketika hendak masuk menjadi mahasiswa. Kesombongan dan mendahului takdir Allah adalah kesalahan terbesar yang kulakukan kala itu. Andai saat itu beasiswa di kampus favoritku di Jawa itu kudapatkan, mungkin aku masih menyimpan sikap sombong dan angkuh itu. Lebih dari itu, aku mungkin tidak akan bisa mendapati diri pada posisi seperti yang kudapat di Unram.

Setelah empat tahun melanglang buana di kampus, aku akhirnya sampai pada hari ketika aku harus menanggalkan status kemahasiswaan dan menyandang gelar sebagai sarjana. Dengan penuh percaya diri, kugunakan toga wisuda yang berselendangkan tulisan ‘cum laude’. Lebih dari itu, aku mendapat kehormatan untuk duduk di kursi paling depan, memimpin semua mahasiswa yang diwisuda hari itu. Aku diumumkan sebagai wisudawan terbaik periode itu. Aku adalah salah satu wisudawan yang diwisuda langsung oleh Rektor sebagai penghormatan. Aku juga diminta untuk menyampaikan pidato wisuda mewakili seluruh wisudawan. Diluar sana, berbagai spanduk terpasang mengucapkan selamat kepadaku. Hampir semua organisasi yang pernah kupimpin memasang spanduk ucapan selamat, lengkap dengan foto-fotoku. Lalu di kursi keluarga, kusaksikan keluarga besarku datang untuk melihatku diwisuda. Kulihat beberapa diantara mereka mengusap air mata ketika aku berdiri gagah di atas mimbar ketika menyampaikan pidato wisuda. Sayang, diantara mereka tidak kulihat sang bapak, orang yang selama ini paling ingin melihatku berdiri di mimbar ini. Sumber inspirasi dan semangat juangku. Tepat sebulan sebelum acara wisuda ini beliau menghembuskan nafas terakhir. Mengingatnya membuatku meneteskan air mata di mimbar itu.

Setelah prosesi wisuda selesai, aku berbincang sederhana dengan beberapa orang pejabat kampus, termasuk Rektor dan ketua ikatan alumni. Ketika itu, aku mendapat setidaknya tiga tawaran beasiswa studi S2, baik dalam dan luar negeri. Bahkan ada pula yang memberiku bantuan langsung yang ia sebut sebagai beasiswa cash saat itu juga. Tapi aku tidak ingin mengulangi kesalahan empat tahun lalu. Aku tidak ingin lagi mendahului takdir Allah. Biarlah Allah yang memutuskan. Aku hanya berusaha untuk menagih tawaran-tawaran beasiswa itu, selebihnya semua urusan Allah. Sungguh, aku mengakhiri masa studi itu dengan sempurna. Aku lulus sebagai lulusan terbaik dan meninggalkan posisi terakhir sebagai ketua di lembaga paling tertinggi di kampus. Karena aku ingin layak dihormati, maka aku berjuang untuk layak dihormati.