Tuesday 9 October 2012

Tembakau Virginia Lombok Dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan

Oleh: Muhammad Nurjihadi, SP
Pembangunan berkelanjutan (Sustainable development) merupakan suatu konsep pembangunan yang berprinsip memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang (Rustiadi, 2011). Konsep pembangunan yang seperti ini memiliki implikasi bahwa upaya pemenuhan kebutuhan generasi saat ini tidak boleh merusak sumber-sumber kebutuhan generasi yang akan datang. Serageldin (1996) dalam Rustiadi (2011) mengungkapkan bahwa ada tiga dimensi dalam pembangunan berkelanjutan yang ia sebut sebagai “a triangular framework” yang terdiri dari keberlanjutan ekonomi, sosial dan ekologi.

Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, masyarakat Pulau Lombok sebagian besar bekerja pada sektor pertanian. BPS (2004) mencatat ada 73% masyarakat Pulau Lombok yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Namun demikian, dominasi sektor pertanian dalam struktur ekonomi masyarakat Pulau Lombok ini justeru mengancam keberlanjutan pembangunan. Studi yang dilakukan Parman dan Sunarpi (2011) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan untuk meningkatkan produktifitas hasil pertanian oleh petani di Pulau Lombok sangat berbahaya dan mengancam kehidupan generasi yang akan datang di Pulau Lombok.

Agribisnis tembakau Virginia di Pulau Lombok tidak luput dari permasalahan-permasalahan keberlanjutan. Sebagai tanaman dengan daun sebagai produk utama, tembakau memerlukan unsur nitrogen dalam jumlah yang besar. Sementara ketersediaan unsur itu didalam tanah relatif terbatas. Dengan demikian untuk memenuhi kebutuhan akan nitrogen, petani memberikan pupuk kimia secara intensif untuk mempercepat pertumbuhan vegetatif dan memaksimalkan hasil produksi. Implikasi dari praktek intensifikasi pertanian tembakau ini menyebabkan rusaknya struktur alami tanah yang tentu saja dapat mengancam sumber pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang.

Keterlibatan petani pada agribisnis tembakau Virginia di Pulau Lombok tidak hanya menyangkut aktifitas on farm, tapi juga aktifitas pengomprongan pasca panen (off farm). Untuk mengomprong tembakau dibutuhkan oven yang di desain khusus untuk mengeringkan daun tembakau. Dalam proses pengeringan itu dibutuhkan bahan bakar dalam jumlah yang cukup besar. Bahan bakar yang umumnya digunakan adalah minyak tanah yang disubsidi oleh pemerintah. Namun setelah subsidi minyak tanah untuk omprongan tembakau itu dihentikan, pemerintah membuat program konversi bahan bakar oven tembakau dari minyak tanah ke batu bara. Dalam prakteknya, penggunaan batu bara ini menimbulkan dampak negatif yang luas. Tidak hanya penurunan kualitas hasil omprongan tembakau yang berakibat menurunnya pendapatan petani tapi juga menimbulkan masalah kesehatan terutama penyakit pernapasan. Lokasi oven tembakau yang dekat dengan pemukiman, bahkan sebagian oven dibangun di halaman rumah membuat dampak negatif penggunaan batu bara ini semakin parah. Kondisi ini tidak menghentikan niat petani untuk terus mengembangkan agribisnis tembakau virginia. Sebagai pengganti batu bara, petani akhirnya memilih kayu bakar untuk mengeringkan tembakaunya. Untuk satu kali pengeringan dalam satu oven stidaknya dibutuhkan 2-3 truk kayu gelondongan. Sementara di seluruh Pulau Lombok terdapat sekitar 15.000 oven tembakau. Dalam satu musim tanam tembakau, setiap oven digunakan untuk mengeringkan tembakau sebanyak 5-8 kali (Lombok Post, 3 April 2011). Akibatnya, terjadi aktifitas deforestasi illegal (illegal logging) untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar oven tembakau di Pulau Lombok. Tentu saja hal ini mengancam keberlangsungan hidup generasi yang akan datang.

Selain dampak lingkungan, agribisnis tembakau Virginia di Pulau Lombok juga memiliki dampak sosial yang cukup luas. Dalam studi yang dilakukan Nurjihadi (2011) didapatkan informasi bahwa berkembang pesatnya agribisnis tembakau Virginia di Pulau Lombok sangat berpotensi menimbulkan masalah sosial seperti konflik, kriminalitas dan bahkan bunuh diri. Konflik terjadi karena adanya masalah hutang-piutang antar petani yang sulit dibayar karena anjloknya harga jual omprongan tembakau. Disamping itu, anjloknya pendapatan petani ini juga menimbulkan kriminalitas seperti maraknya pencurian untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dalam beberapa kasus, terjadi pula bunuh diri karena ketidak mampuan petani menanggung beban hutang pada usahatani tembakau Virginia yang mereka usahakan. Dampak sosial lainnya adalah hilangnya tradisi gotong royong. Masyarakat menjadi semakin individualis, materialistis dan hedonis. Meski sikap individualis, materialistis dan hedonis ini tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh agribisnis tembakau, tapi setidaknya perkembangan agribisnis tembakau membantu mempercepat proses transformasi sosial itu. Kondisi sosial seperti ini sungguh berbahaya. Disaat masyarakat mengalami penurunan pendapatan secara ekstrem, mereka tidak punya cukup modal sosial untuk mengurangi beban hidup mereka. Secara perlahan, kondisi semacam ini akan diwariskan ke generasi yang akan datang.

Tidak dapat dipungkiri bahwa agribisnis tembakau Virginia di Pulau Lombok telah berhasil meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat petani secara signifikan. Peningkatan taraf hidup itu terlihat jelas pada peningkatan daya beli, perbaikan kondisi perumahan, perluasan pilihan-pilihan, peningkatan tingkat pendidikan dan perubahan gaya hidup masyarakat (Nurjihadi, 2011). Namun dengan melihat realitas kekinian dimana tanah terus mengalami degradasi unsur hara sebagai akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan, terus berkurangnya stok kayu bakar untuk omprongan tembakau dan terus menurunnya kualitas hasil omprongan tembakau Virginia karena penggunaan bahan bakar yang kurang baik, maka dapat dikatakan agribisnis tembakau Virginia ini juga tidak ramah secara ekonomi terhadap generasi yang akan datang.

No comments: