Friday 21 October 2011

Neoliberalisme dan Agenda Yahudi, Musuh Keadilan

Oleh : Muhammad Nurjihadi
Saya teringat beberapa tahun lalu ketika mahasiswa di seluruh Indonesia disatukan dalam satu isu besar yaitu skandal Bank Century. Saat itu, hampir setiap hari kita mendengar suara penolakan terhadap paham neoliberalisme yang ditengarai menjadi paham para pengambil kebijakan ekonomi di negeri ini. Teriakan-teriakan anti neolib itu terus dikumandangkan dengan berbagai media dan strategi. Unjuk rasa, diskusi-diskusi, hingga tulisan di dunia maya menghiasi hari-hari kita ketika itu. Tapi apa semua orang yang berbicara tentang neoliberalisme ekonomi itu paham dengan apa itu neoliberalisme..?? saya kira tidak semua mereka yang ikut dalam gelombang penolakan neoliberalisme itu paham dengan apa yang mereka teriakkan. Kalaupun paham, kepahaman mereka hanya sebatas ikut-ikutan, mengulang perkataan orang yang pernah berbicara sebelumnya dengan tema yang sama. Disadari atau tidak, itulah yang menyebabkan ketidakjelasan arah gerakan anti neoliberalisme saat itu.

Istilah neoliberalisme mulai digunakan pada dekade 1990-an bersamaan dengan merebaknya ide globalisasi di barat (edi swasono,2011). Liberalisme yang sudah mulai ditentang dan tidak disenangi di masa itu memaksa para pemikir liberal mencari format dan istilah baru untuk tetap menancapkan pengaruhnya diseluruh dunia. Lalu muncullah istilah neoliberalisme. Neo diartikan dengan istilah “semi”. Dengan demikian neoliberalisme juga diartikan sebagai “semi liberal” atau tidak terlalu liberal atau dengan kata lain, liberalisme tidak radikal atau dengan kata lain leberalisme sosial. Dengan memainkan istilah seperti itu, para pemikir liberal itu berharap ide mereka didukung oleh masyarakat internasional yang diisi oleh beragam cara pandang. Mereka ingin membuat dunia ini memiliki satu pandangan, yaitu liberalisme, meski dengan istilah yang coba diperhalus menjadi neoliberalisme. Inilah salah satu strategi pemikiran barat untuk menjalankan misi “globalisasi” mereka.

Lalu apa itu globalisasi ?. H.Kissinger (1998) menyebut globalisasi adalah nama lain untuk dominasi Amerika. Ahli lain menyebutkan globalisasi dari segi cultural merupakan sebuah upaya perluasan pengaruh amerika atau “amerikanisasi” (Friedman, 2001). Kesimpulan dari dua ekonom itu menjelaskan betapa ide globalisasi sesungguhnya adalah ide penjajahan modern. Amerika yang mengusung ide itu menginginkan dunia ini memiliki ekonomi global tanpa pemerintahan global, memiliki ekonomi global tanpa masyarakat global (yang semuanya itu akan membuat dunia bergantung kepada Amerika). Pencetus ide The Class Of Civilization (Huntington, 1996) memberikan pandangan dalam keadaan dunia yang semakin terglobalisasi akan menyebabkan terjadinya perusakan serius terhadap kesadaran diri pada tingkat peradaban, kemasyarakatan, dan etnis. Apa yang dikatakan Huntington itu benar menurut saya. Karena itulah yang diinginkan Amerika. Membuat masyarakat internasional membuang kesadaran diri mereka pada tingkat peradaban, kemasyarakatan dan etnis agar peradaban itu selamanya hanya milik Amerika.

Neoliberalisme adalah salah satu turunan dari cara pandang globalisasi di bidang ekonomi. Pemikiran neoliberalisme berpandangan bahwa aktifitas ekonomi adalah aktifitas persaingan atau aktifitas kompetisi. Akibatnya, pandangan ini membuat para pelaku ekonomi memandang pelaku ekonomi lainnya sebagai kompetitor, sebagai pesaing bahkan sebagai musuh. Inilah alasan yang menjelaskan kenapa si kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin. Sebab dengan logika kompetisi seperti ini si kaya tentu saja akan semakin baik kemampuan bersaingnya karena didukung oleh kekayaannya yang dengan itu akan membuatnya semakin kaya. Sebaliknya untuk si miskin, semakin kaya si kaya berarti semakin sedikit peluang si miskin untuk menguasai sumber ekonomi karena sudah dikuasai oleh si kaya tadi. Akibatnya kemiskinan terus dan akan terus terjadi selama si kaya tadi terus berusaha menjadi kaya. Inilah logika neoliberalisme yang secara sadar dipahami oleh para pemikirnya. Kompetisi yang akhirnya akan memenangkan segelintir orang dan mengalahkan sebagian besar masyarakat yang sebenarnya lebih berhak menguasai aset ekonomi yang dikuasai segelintir orang itu.

Indonesia sejak awal kemerdekaannya sesungguhnya sudah menolak sistem berfikir yang seperti ini. Sebab para pendiri bangsa ini paham bahwa pola pikir liberal hanya akan menyebabkan masyarakat Indonesia terpinggirkan. Undang-Undang agraria yang dibuat pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1870 membuat tanah-tanah Indonesia ketika itu dikuasai oleh asing dan memaksa rakyat pribumi menjadi kuli di negeri sendiri. Bahkan untuk kondisi saat itu, bukan sekedar menjadi kuli tapi menjadi budak untuk para tuan tanah. Budak karena mereka tidak pernah digaji. Kalaupun mereka mendapat upah, itu jauh dari layak untuk bisa membuat mereka hidup dengan layak. Sehingga agenda perjuangan kemerdekaan saat itu sebenarnya lebih kepada upaya demokratisasi ekonomi, menghilangkan pengaruh modal asing terhadap perekonomian Indonesia.

Setelah kemerdekaan itu kita dapatkan, pemerintah secara konkrit menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat. Tanah-tanah yang dikuasai asing itu diambil lagi oleh rakyat. Meski kita tau bahwa pengambilalihan tanah secara paksa oleh rakyat saat itu akhirnya berujung pada disintegrasi sosial karena konflik agraria. Tapi saya tidak sedang berbicara tentang sejarah perampokan tanah yang dilakukan PKI atas nama pemerintah saat itu. Saya hanya ingin mengatakan bahwa semangat awal berdirinya bangsa ini adalah untuk membebaskan Indonesia dari belenggu modal asing. Lalu ketika Indonesia dipimpin oleh diktator orde baru yang dikelilingi oleh aristokrat liberal hasil didikan Amerika, asset-aset Indonesia kembali banyak dikuasai asing. Itulah alasan kenapa Soeharto menandatangani perjanjian atau kontrak pertambangan selama 25 tahun dengan Newmont di NTB, atau dengan perusahaan-perusahaan lainnya di seluruh Indonesia. Tragisnya, setelah kejatuhan Soeharto karena sikap korup dan disokong para pemikir liberal itu, praktek neoliberalisme justeru semakin menjadi-jadi di negeri ini. Seolah ia adalah idiologi Negara.

Sebelum lebih jauh berbicara Indonesia yang dikuasai kaum neoliberal, ada baiknya kita memahami dulu kenapa globalisasi menjadi pilihan dan arah perjuangan barat, lalu kenapa Amerika yang menjadi aktor utama dalam penegakan globalisasi itu. Semangat globalisasi sesungguhnya juga dimiliki oleh Islam. Kita biasa menyebutnya dengan istilah Khilafah Islamiyah. Tapi ada terlalu banyak perbedaan yang mendasar antara kedua hal tersebut. Jika globalisasi menghendaki perekonomian global tanpa pemerintahan global, maka khilafah menghendaki perekonomian global dengan satu pemerintahan kolektif. Globalisasi bertujuan untuk menggiring asset-aset ekonomi berkumpul pada suatu pihak atau golongan tertentu dan menjadikan pihak lain sebagai “pensuplai” kebutuhan untuk golongan itu. Sementara khilafah menghendaki perekonomian global yang berdasarkan atas asas berkeadilan dan mensejahterakan. Globalisasi menggunakan paham ekonomi neoliberal dengan logika kompetisi untuk menjalankan aktifitas ekonomi, sementara khilafah menggunakan paham ekonomi syari’ah dengan semangat korporasi atau kerjasama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Globalisasi mengedapankan individualisme dan kebebasan tak terbatas untuk mendukung ide mereka, sementara khilafah mengedepankan ukhuwah dan kebebasan yang proporsional. Globalisasi menyatukan dunia dengan cara merekayasa perang mata uang global secara ekstrem (yang menekan Negara-negara berkembang) sedangkan khilafah menyatukan dunia dengan memenuhi kebutuhan real masyarakat untuk hidup sejahtera. Masih banyak lagi perbedaan yang lain secara fundamental antara keduanya. Yang paling menarik bagi saya adalah globalisasi dengan neoliberalismenya berupaya menghimpun aset ekonomi untuk kesejahteraan “golongan tertentu” sementara khilafah dengan ekonomi syari’ahnya menyebarkan aset ekonomi secara merata dan proporsional untuk kesejahteraan ummat manusia.

Lalu siapa “golongan tertentu” yang saya maksud diatas..?. tidak lain dan tidak bukan, mereka adalah “komunitas yahudi internasional”. Dalam doktrin yahudi, ummat lain selain yahudi dianggap sebagai budak dan mereka adalah ummat terbaik yang diselamatkan. Mereka yakin, suatu saat Yehwah (atau entah apa istilahnya) akan turun ke bumi dan membunuh semua orang kecuali orang-orang yahudi. Nah, sebelum itu terjadi, mereka ingin agar dunia ini semuanya menjadi budak mereka. Tentu saja mereka tidak bisa melakukannya secara langsung, oleh karenanya dibutuhkan strategi jitu untuk mewujudkannya. Dengan paham neoliberalisme, mereka memaksa semua orang untuk berkompetisi memperebutkan aset-aset ekonomi. Seperti yang pernah saya jelaskan sebelumnya, kompetisi itu kemudian semakin memperkaya orang kaya dan mempermiskin orang miskin. Akibatnya adalah semakin banyak orang yang miskin dan semakin sedikit orang yang kaya. Nah, orang kaya yang sedikit ini kemudian dibuat bergantung pada yahudi dengan memberikan jaminan keamanan kekayaan mereka. Teknisnya adalah kekayaan itu mereka simpan di suatu bank yang bank itu kemudian menjaminkan uang tersebut kepada bank sentral dalam bentuk Giro Wajib Minimum (GWM). Bank sentral itu lalu bergantung juga pada dana moneter internasional seperti IMF, WTO, dll.

Dalam bentuk lain, uang milik orang kaya itu juga diperjual belikan melalui “jual beli valuta asing” di pasar uang. Termasuk juga jual beli saham di pasar saham. Jadi, semua itu pada akhirnya bermuara pada “segelintir orang komunitas yahudi” itu. Dengan kata lain, sesungguhnya kekayaan yang tersimpan milik orang-orang kaya itu sebenarnya dikuasai oleh komunitas yahudi itu. Sementara, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka seperti makan, pakaian, rumah dan sebagainya, mereka mengeksploitasi tenaga orang miskin untuk mendapatkan bahan bakunya. Para petani mensuplai kebutuhan makanan, para pekebun mensuplai kebutuhan bahan baku pakaian dan perumahan. Untuk memiliki hasil jerih payah petani itu, mereka hanya mengeluarkan sebagian kecil dari harta mereka.

Lalu kenapa Amerika..?. ada beberapa sebab menurut saya. Pertama yahudi yang memiliki Negara berdaulat yaitu Israel tidak bisa diterima di semua negara. Ada banyak negara yang tidak mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel karena sentimen tertentu, baik sentimen keagamaan, sentimen teritorial maupun sentimen-sentimen lainnya. Sementara itu, Amerika adalah negara yang relatif bisa diterima oleh semua kalangan serta memiliki jaringan internasional yang baik. Kedua, Amerika merupakan negara yang punya pengaruh cukup kuat di dunia internasional, baik di PBB, maupun di negara-negara lain. Ketiga, Amerika adalah negara yang paling banyak menerima manfaat dari korporasi yahudi. Dengan demikian, kaum yahudi bisa memanfaatkan rasa berhutang budi Amerika kepada yahudi untuk menjalankan misi internasional mereka, menjadikan ummat lain sebagai budak.

Tapi kenapa dunia begitu mudah menerima ide itu..?. Apakah masyarakat dunia tidak mengetahui misi terselubung yahudi itu..?. Kenapa pula banyak kaum muslimin di Indonesia yang mendukung ide itu?. Kenapa pula idiologi itu begitu subur di Indonesia yang bahkan pemerintahnya sendiri adalah penganut cara berpikir itu. Disinilah kelihaian yahudi yang bekerja berdasarkan skala prioritas. Mereka tahu persis bahwa peradaban dunia itu tidak dimulai dari penguasa. Sebab penguasa cenderung mengikuti arahan akademisi (ilmuwan). Tidak pula dari pengusaha, sebab pengusaha juga banyak bertindak berdasarkan hasil studi para ilmuwan. Nah, disinilah para yahudi itu bermain, mereka melakukan rekayasa pemikiran terhadap para ilmuwan. Jadi, disadari atau tidak, kebanyakan ilmuwan dunia, terutama para ekonom adalah objek rekayasa pemikiran oleh yahudi.

Kita tahu bahwa kaum intelektual atau ilmuwan adalah orang yang sangat di hormati dan berpengaruh besar dalam peradaban ummat manusia. Sejarah peradaban ummat manusia selalu dimulai dari gerakan pemikiran yang dicetuskan para ilmuwan. Itulah yang menyebabkan nama Plato, Aristoteles, Newton, Charles Darwin dan ilmuwan-ilmuwan lain tetap abadi sepanjang masa. Tapi kenapa para ilmuwan (terutama ekonom) sekarang yang notabene adalah kaum intelektual yang seharusnya bisa berpikir rasional bisa terjebak dalam misi yahudi ?. disinilah sekali lagi yahudi itu menggunakan skala prioritas dalam bekerja. Mereka memulai persemaian pemikiran itu melalui kurikulum.

Kalau anda pernah belajar ekonomi, anda tentu ingat apa yang diajarkan kepada anda..? (ini terjadi juga kepada saya). Hal dasar yang diajarkan adalah bagaimana pasar menemukan bentuknya sendiri melalui mekanisme pasar. Disana demand atau permintaan dan supply atau penawaran bertemu untuk membentuk suatu keseimbangan harga. Tidak ada yang salah dengan logika ekonomi itu. Tapi yang tidak bisa saya terima adalah mekanisme itu tidak adil dalam menetapkan harga, sebab ia tidak memperhatikan kemampuan ekonomi (ketersediaan uang) konsumen untuk membayar harga tersebut. Mekanisme pasar seperti itu tidak lain merupakan hukum rimba dimana yang kuat akan menang dan yang lemah akan kalah. Artinya, bagi mereka yang tidak mampu membayar harga yang tercapai pada tingkat “keseimbangan harga” itu idak dapat memiliki barang tersebut, padahal barang tersebut sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan hidupnya, disiniah tidak adilnya asumsi ekonomi Adam Smith itu. Pasar adalah instrument yang tidak cukup mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, bahkan untuk masyarakat yang telah makmur sekalipun, pasar merupakan pelayan yang rajin untuk orang kaya, tetapi tidak memihak kepada yang miskin (Edi Swasono, 2011). Artinya harga yang dibentuk oleh pasar adalah sekadar “keseimbangan pasar” tetapi bukan “keseimbangan masyarakat” untuk menjamin tercapainya “keadila sosial bagi seluruh masyarakat”. Itulah sebabnya, seorang ekonom terkemuka, Lester Thurow (1983) menyebut mekanisme pasar semacam ini sebagai “the dangerous current” atau “arus berbahaya” bagi kesejahteraan masyarakat.
Untuk terus menanamkan pemikiran ekonomi itu, para donatur internasional yang tidak lain adalah pemangku kepentingan (yahudi) mensuplai kebutuhan buku ajar ekonomi ke seluruh dunia melalui lembaga-lembaga internasional yang bisa diterima masyarakat internasional. Nah, sekarang kita bisa simpulkan kalau ternyata selama ini, ilmu ekonomi yang diajarkan kepada kita adalah suatu upaya penjerumusan pola pikir kaum intelektual untuk menunjang kesejahteraan hidup segelintir orang. Disamping itu, pemberian beasiswa untuk belajar ekonomi di Amerika, Kanada dan lain sebagainya adalah program lain untuk memupuk pemikiran liberal itu. Sekarang, hasil didikan ekonomi liberal inilah yang mengisi pos-pos penting di pemerintahan. Dalam sebuah diskusi nasional, Prof. Sri Edi Swasono (Guru Besar FEUI, inspirasi saya menulis tulisan ini) menyebut mereka sebagai “preman berdasi” yang memimpin bangsa. Oleh karenanya kita tidak heran kalau Marie Elka Pangestu beberapa waktu lalu mengimpor kentang meskipun produksi dalam negeri masih cukup untuk memenuhi kebutuhan kentang nasional. Itu pula sebabnya kenapa pemerintah rela memberikan uang rakyat 6,7 Triliun rupiah untuk menyelamatkan Bank Century. Itu pula yang menyebabkan bermunculannya ide “membuka hubungan diplomatik dengan Israel” untuk menjamin perekonomian nasional.
Selain di pemerintahan, hasil didikan Amerika ini juga pulang ke Indonesia dengan berkiprah sebagai akademisi tulen. Mereka lalu menulis buku-buku ekonomi yang tidak lain adalah mengulang atau bahkan mengutip ekonom tempat mereka belajar dengan sedikit penyesuaian dengan kondisi lokal Indonesia. Sebut saja Sadono Soekirno, Herman Rusyidi, Prathama Rahardja, Mandala Manurung, dll. Mereka semua menulis buku ajar ekonomi yang masih bertitik tolak pada paham neoklasikal yang mengajukan competitive economic (ekonomi kompetisi) dan fundamentalisme pasar, meskipun sedikit menyinggung tentang sistem ekonomi Indonesia dan menyebut perkataan “koperasi” didalamnya.

Neoliberalisme tidak akan pernah melahirkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebaliknya neoliberalisme akan terus menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Kalau penyelenggara Negara ini tidak segera beralih haluan dengan meninggalkan neoliberalisme, maka akan terjadi kesenjangan sosial ekonomi yang semakin parah. Akibatnya Indonesia akan sangat mudah terjangkit “disintegrasi sosial”. Untuk apa punya pemerintah kalau tidak bisa mensejahterakan rakyatnya..?. Saat ini, sedang terjadi demonstrasi anti wallstreet di Amerika dan eropa oleh kaum-kaum yang termarginalkan disana. Cepat atau lambat, hal serupa atau mungkin lebih parah juga akan terjadi di Indonesia.

Ekonomi syari’ah yang akhir-akhir ini berkembang semakin pesat diyakini akan mampu membawa perbaikan kesejahteraan. Tapi sejauh ini penerapan ekonomi syari’ah itu hanya sebatas pada bank, belum pada aktifitas ekonomi lainnya. Sudah banyak kampus di Indonesia yang menjadikan ekonomi Islam sebagai bidang studi khusus. Tapi sejujurnya, masih ada kekhawatiran dalam diri saya bahwa kurikulum ekonomi Islam itu akan dimasuki juga oleh korporasi yahudi. Semoga kekhawatiran saya ini tidak terjadi. Saya juga berharap ada upaya mencerdaskan dari orang yang paham agar tidak banyak orang yang menjadi korban rekayasa pemikiran yahudi.

Penulis
Muhammad Nurjihadi (pemerhati ekonomi,
mahasiswa PS Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, IPB).

Tulisan ini merupakan hasil perenungan, kegundahan hati dan pikiran serta hasil diskusi dibidang ekonomi. Kedepan saya akan berusaha menulis masalah-masalah ekonomi secara konsisten dengan tema yang berbeda atau mirip.

Sunday 9 October 2011

MELEJITKAN POTENSI DESA UNTUK INDONESIA MAJU DAN SEJAHTERA

(disampaikan sebagai pidato politik dalam temu pelajar-mahasiswa NTB 2010 di Mataram)
Oleh : Muhammad Nurjihadi
Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa dengan jumlah penduduk terbesar di Dunia. Sensus penduduk terakhir mencatat jumlah penduduk Indonesia melampaui angka 200 juta orang. Sungguh, populasi yang besar ini merupakan potensi yang luar biasa untuk melakukan aktifitas pembangunan. Meski demikian, bangsa kita seolah – olah memandang bahwa jumlah penduduk yang begitu besar itu adalah sebuah ancaman. Kekhawatiran ini menjadi dasar pemerintah untuk membatasi jumlah kelahiran anak dalam rumat tangga. Sejak zaman orde baru, pemerintah mencanangkan program KB untuk mendukung upaya itu. Pemerintah berdalih bahwa ketersediaan lapangan pekerjaan, pendidikan, dan penghidupan yang layak tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang begitu besar.

Tuhan telah menitipikan bangsa ini kepada kita beserta seluruh kekayaan yang ada didalamnya, baik yang terwujud secara fisik (material) maupun yang tidak terwujud (immatirial). Gunung – gunung vulkanis menjulang tinggi, menebar kesuburan yang tiada terkira bagi tanah – tanah disekitarnya. Lautan dan samudra terbentang luas, dihuni oleh ikan dan binatang laut lainnya yang tak kunjung habis dimakan sampai tujuh turunan sekalipun. Hutan hujan tropis tersebar luas disetiap pelosok negeri, memberikan keteduhan, menyediakan ruang hidup yang baik bagi berjuta – juta spesies mahluk ciptaan Tuhan. Bukit – bukit hijau menjulang dimana – mana, menyimpan kemegahan emas, perak, tembaga, dan barang – barang mewah lainnya. Ditanah ini, setiap batang yang anda lempar atau tancapkan, akan tumbuh subur tanpa harus repot memeliharanya. Hanya ada disini saudara, di INDONESIA.
Lalu, mengapa kita harus menjadi bangsa yang paranoid, bangsa yang mengecilkan kebesarannya, dan bangsa yang merapuhkan kekuatannya dengan membiarkan sikap psimistis yang mematikan menguasai jiwa – jiwa kita, jiwa para penguasa dan jiwa rakyatnya. Seharusnya kita tidak perlu mengkhawatirkan jumlah masyarakat kita yang besar, karena Tuhan telah menjaminkan kehidupannya dengan memberikan kita kekayaan alam yang melimpah ruah. Tidak sebandingnya jumlah penduduk dengan ketersediaan pekerjaan, pendidikan, dan akses ekonomi sebagaimana yang dikhawatirkan pemerintah bukan karena negeri ini miskin, tapi lebih karena kegagalan pemerintah dalam proses pembangunan yang menggunakan srategi pembangunan yang keliru.
Pada masa orde lama, pemerintah hampir tidak sempat memikirkan kemakmuran rakyatnya dengan melakukan pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena elit – elit politik saat itu sibuk mencari jati diri bangsa, terjebak dalam krisis idiologi yang tak berkesudahan serta konflik idiologis yang mengerikan. Era selanjutnya yang dikenal dengan orde baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto berhasil menstabilkan politik nasional dan berfokus pada pembangunan nasional. Harus diakui bahwa upaya ini sedikit tidak mampu memajukan harkat dan martabat bangsa Indonesia dari segi ekonomi, meskipun pada akhirnya kita tahu bahwa rezim ini menjual negara dan rakyatnya untuk keperluan itu. Rezim orde baru menggunakan pendekatan top-down dalam proses pembangunannya, sehingga memungkinkan rakyat yang lebih dekat dengan pusat pemerintahan lebih sejahtera daripada rakyat yang ada dipelosok – pelosok desa, terutama di kawasan Indonesia Timur. Kebijakan pembangunan digodok dan dibentuk di Jakarta untuk membangun daerah – daerah di Papua, Maluku, NTT, NTB yang notabene memiliki tingkat pengetahuan, keterampilan, dan kebutuhan yang berbeda.


Runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 merupakan antiklimaks dari kekecewaan rakyat terhadap pendekatan pembangunan yang keliru itu. Pembangunan model itu telah menyeret Indonesia pada hutang luar negeri yang nilainya jauh melebihi nilai APBN yang ada saat itu, sementara hasilnya nihil. Masyarakat yang ada di desa – desa tetap miskin, bahkan negara secara nasional akhirnya mengalami krisis ekonomi terparah sepanjang sejarah sebagai akibat dari kesalahan strategi pembangunan nasional.
Sekarang, di era reformasi ini bangsa kita memilih haluan lain, menggunakan metode lain dengan pendekatan teoritis sebagai strategi pembangunan nasional. Strategi top-down peninggalan orde baru ditinggalkan dan berbalik arah dengan menggunakan pendekatan Buttom-up. Rencana pembangunan disusun di desa – desa melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musyrenbangdes), lalu kemudian di generalisasikan ke bentuk yang lebih umum menurut skala prioritas pada Musyrenbangcam untuk kemudian diusulkan pada MusyrenbangKab sebagai acuan dalam Musyrenbangprov dan kemudian digodok dan diputuskan secara nasional pada Musyrenbangnas atau national summit. Secara kasat mata, metode ini seolah – olah memberikan demokratisasi kepada rakyat yang ada di desa – desa untuk merencanakan pembangunannya sendiri. Namun, metode ini tidak lain dan tidak bukan hanya merupakan strategi pemerintah untuk menutup – nutupi kepentingannya dalam proses pembangunan nasional. Sebab kebijakan pembangunan nasional yang diambil pada saat national summit tetap menyamaratakan seluruh daerah dalam tataran aplikasi. Padahal, saya ingin mempertegas sekali lagi bahwa potensi setiap daerah bahkan setiap desa dalam suatu daerah BERBEDA – BEDA. Selain itu, untuk sampai pada national summit, rencana pembangunan yang disusun di desa umumnya telah lenyap karena telah melewati banyak rangkaian, mulai dari kecamatan, kabupaten, dan provinsi yang juga syrat akan kepentingan sekelompok orang. Itulah sebabnya, sepuluh tahun setelah reformasi bergulir, bangsa ini belum keluar dari belenggu kemiskinan yang menyesakkan.

Kini saatnya kita mengembangkan strategi baru dalam pembangunan nasional kita. Wilayah Indonesia yang sebagian besar adalah desa, juga 60% dari lebih dari 200 juta masyarakatnya tinggal di desa harus diberikan hak penuh secara merdeka untuk merencanakan pembangunan desanya serta bertanggungjawab secara penuh atas aplikasinya. Hanya dengan membangun partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan, kita dapat menikmati hasil pembangunan yang mensejahterakan. Partisipasi ini harus dikembangkan dan didorong oleh pemerintah dengan memberikan sejumlah anggaran yang jelas kepada setiap desa sebagai jaminan bahwa rencana yang disusun dapat langsung diimplementasikan oleh rakyat yang merencanakannya itu.
Pendekatan ini saya usulkan, karena selama ini partisipasi masyarakat hanya dilibatkan pada proses perencanaan, tapi sering dilupakan ketika proses pelaksanaan program pembangunan. Ke depan, pemerintah harus berani merealisasikan anggaran “1 desa Rp 1 milyar” dengan dikelola oleh badan khusus (misal: Bappeda atau badan lainnya). Ketika anggaran itu diminta oleh masyarakat desa untuk melaksanakan aktifitas pembangunan sebagaimana yang mereka rencanakan, maka badan yang bertanggungjawab itu harus merealisasikannya dan mengawasi penggunaannya. Dengan begitu, pembangunan yang dilakukan akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa. Jika semua desa sudah berhasil melakukan pembangunan dengan model ini, maka akan tercipta kemandirian masyarakat dan menguatkan ekonomi nasional serta tentu saja mengangkat harkat dan martabat bangsa dan yang paling penting, kita menghapus kemiskinan dari bumi Indonesia.

Hanya ini yang dapat saya sampaikan, saya berharap gagasan ini mendapat dukungan dari banyak pihak, terutama pemerintah. Karena saya masih dalam keyakinan yang kuat bahwa model ini akan mampu membawa Indonesia keluar dari keterpurukan yang seolah tak berujung ini.
Mari kita bangkit dari keterpurukan, kita bunuh sikap paranoid, psimis, dan tidak percaya diri. Karena kita terlahir tidak untuk misikin, tidak untuk menderita, tapi untuk sejahtera.
Merdeka…..!!
Terimakasih dan wassalamualaikumwarahmatullahiwabarakatu

Wednesday 5 October 2011

Part 3. Sepeda Jengki Merah, Ungkapan Cinta Tanpa Romantisme

Baru kemarin sore aku dijemput dari tempat tinggal ibuku di Mataram. Iya, seminggu sebelumnya ibu datang menjemputku untuk tinggal bersamanya seminggu saja. Karena bapak hanya memberikan izin satu minggu untuk ada disana, maka kemarin aku dijemput bapak untuk pulang lagi ke desa. Waktu itu usiaku sudah lima tahun jalan.

Pagi itu, saat aku baru bangun dari tidurku, seperti biasa aku duduk ditangga rumahku untuk menyaksikan lalu lalang aktifitas warga kampungku. Hari ini serasa istimewa bagiku. Saat aku sibuk menyaksikan lalu lalang aktifitas warga desaku, Oji datang menghampiriku bersama Auzin. Mereka berdua adalah misanku. Oji yang begitu dimanja ibunya, dan Auzin yang rumahnya dilempar oleh adiknya sendiri, Rido ketika dia tidak diberikan uang belanja cukup oleh ibunya.

“ayo kita pergi sekolah had…!” ajak mereka. Tentu saja aku kaget. Rasanya aku masih terlalu kecil untuk memulai sekolah sekarang.

“tapi saya kan masih kecil..” jawabku.

“ayo dah, ayo…!!” Oji memaksa

“iya jihad, tidak apa-apa, tuh… kamu udah besar sekarang, udah saatnya kamu sekolah” bapak datang menghampiriku, berkata dengan lembut sambil memegang kepalaku.

Aku sangat senang. Sekolah adalah hal yang paling aku inginkan saat itu. Sebab dengan sekolah, bisa membuat aku terhindar dari ibu tiriku setiap pagi.

“iya,,,iya,,, aku mau” jawabku girang.

“kalau gitu, kamu mandi dulu” kata bapakku. Akupun bergegas ke kamar mandi, bapak memandikanku pagi ini. Setelah itu, aku menggunakan pakaian terbaik yang kumiliki saat itu. Aku, Oji, dan Auzin berangkat bersama untuk pergi mendaftar sekolah. Oji dan Auzin dua tahun lebih tua dariku.

Di desa kami ada banyak pilihan sekolah dasar. Lokasinya juga tidak jauh dari tempat tinggal kami. Setidaknya, ada 5 sekolah dasar yang dapat kupilih menjadi sekolahku saat itu. Tapi yang terbaik menurut warga desa kami dari semua sekolah dasar itu adalah Madrasah Ibtida’iyah Nahdlatul Wathan (MI NW Kabar). Yah,, di desa kami, loyalitas terhadap organisasi keislaman Nahdlatul Wathan memang sangat tinggi. Jika di sekolah lain kami tidak perlu membayar apapun untuk sekolah karena telah di biayai negara, di MI ini kami harus membayar SPP tiap bulannya.tapi backround NWnya membuat sekolah ini lebih diminati dan lebih bergengsi. Bahkan saking banyaknya peminatnya, ia terkadang menolak calon siswa saat itu. Calon siswa yang tertolak itulah yang kemudian menjadi siswa di sekolah lain yang ada di desa kami. Bapak memilihkanku sekolah terbaik itu untuk menempuh pendidikan dasarku.

Begitu sampai di sekolah baruku, betapa kagetnya aku, ternyata di sekolah bergengsi ini hanya menyaratkan satu hal untuk bisa diterima menjadi siswa. Mungkin ada syarat lain, tapi hanya satu syarat ini yang aku ingat, selebihnya tidak aku pahami saat itu. Ya satu-satunya syarat itu adalah aku harus bisa memegang telinga kiriku dengan tangan kanan lewat atas kepala. Jika aku mampu menggapainya, maka itu berarti aku sudah boleh masuk sekolah itu. Aku bersusah payah untuk memegang telinga kiriku dengan tangan kananku. Oji dan Auzin melakukannya dengan mudah. Mereka emang sudah cukup besar, tujuh tahun. Sementara itu, aku berusaha keras untuk bisa memegangnya, Alhamdulillah, setelah berusaha keras, akhirnya tangan kananku mampu juga menggapai telinga kiriku dari atas kepala. Aku lulus ujian masuk sekolah ini.

Satu lagi hal lucu. Petugas penerima siswa baru itu bertanya kepadaku yang didampingi kak Heri saat itu.

“siapa namamu, nak..??” tanyanya lembut

Aku menjawab dengan sigap, “aku punya dua nama pak, satu Muhammad Syahrul Jihadi, satu lagi Muhammad Nurjihadi”.

Saat itu aku memang bingung, karena dua nama itulah yang dikatakan bapak sebagai nama lengkapku. Ibu selalu memanggilku dengan syahrul di usia kecilku, karena memang sebelum kedua orangtuaku bercerai, keluarga telah bulat memberiku nama Muhammad Syahrul Jihadi. Tapi belakangan, atas saran dari Tuan Guru Maulana Syeh Zainudin Abdul Madjid Pancor yang sangat dihormati itu, namaku akhirnya dirubah menjadi Muhammad Nurjihadi. Bapak sebenarnya lebih senang dengan nama yang pertama, Muhammad Syahrul Jihadi.

“tidak bisa begitu nak, namanya harus satu” jawab petugas itu sembari senyum.
Aku bingung, aku menatap wajah kak Heri yang mengantarku waktu itu.

“namanya Muhammad Nurjihadi pak” sahut Kak Heri kemudian.

Jadilah sejak saat itu, namaku tak pernah lagi dirubah hingga kini. Di semua ijazah dan keterangan identitas lainnya, namaku tetap Muhammad Nurjihadi. Sejak saat itu pula aku mulai melupakan nama pertamaku. Tapi tidak dengan ibu, beliau tinggal terlalu jauh dari tempat kami. Beliau hanya tau nama yang beliau sepakati dulu bersama bapak, sehingga selama beberapa tahun beliau tetap memanggilku syahrul, sampai akhirnya beliau mendapat penjelasan dan beralih memanggilku Jihadi.
*****

Tanpa terasa satu tahun sudah aku menjalani hari-hari sebagai seorang siswa di MI NW Kabar. Aku blajar membaca, menulis, menggambar, dan tentu saja bernyanyi. Kini di ujung tahun ajaran, sekolah harus melakukan evaluasi hasil belajar untuk menentukan kenaikan kelas siswanya. Ada 34 orang yang terdaftar sebagai siswa kelas satu saat itu. Kami pun diuji dengan ujian yang layak.

Saat yang dinanti pun akhirnya tiba. Saat itu adalah saat pembagian “rapot” kami menyebutnya. Entah dari mana kata itu datang. Sejauh yang aku tau, itu adalah bahasa inggris “Raport” yang berarti laporan yang kemudian disebut dengan lidah melayu, jadilah ia disebut “rapot”. Melalui rapot ini, perkembangan belajar kami selama setahun dilaporkan ke orangtua, termasuk keputusan naik atau tidaknya kita ke kelas atau jenjang berikutnya. Melalui rapot ini pula, akan disampaikan kita ada di peringkat ke berapa dalam prestasi akademik di kelas.

Satu persatu temanku dipanggil urut berdasarkan urutan absen. Oji dan Auzin dipanggil lebih dulu. Yah, nama mereka emang berawalan huruf yang posisinya lebih dulu dari namaku. Oji bernama asli Fauzi Ahmad Affandi, inisial namanya adalah “F”, dan Auzin bernama asli Ahmad Auzin Afifi, inisial namanya berhuruf “A”. sedangkan aku, inisial namaku adalah huruf “M”. jadi merka punya nomor absen lebih rendah di kelas kami. Auzin yang pertama mengambil rapot membuka rapotnya dan ternyata ia mendapat juara satu (1) alias menjadi yang terbaik di kelas. Ia tersenyum dengan hasilnya. Ia pun mendapat hadiah atas rangking itu. Fauzi pun membuka rapotnya. Dia mendapat rangking tiga (3). Dia juga mendapat penghargaan berupa buku dari prestasi itu. Maka tibalah giliranku dipanggil. Saat rapot itu diserahkan, bu’ guru yang memberi rapot tidak memberikanku hadiah seperti yang diberikan kepada Auzin dan Oji. Aku hanya mendapatkan rapot itu. Aku buka rapot itu yang ternyata disana tertulis dengan sangat jelas bahwa aku berada pada peringkat 34 dari 34 siswa.

Aku berteriak sekeras yang aku bisa. Bukan menangis, tapi tertawa bangga. Aku sangat senang. Aku mengejek Auzin dan Oji yang rangkingnya rendah.

“saya yang paling besar rangkingnya disini, saya paling pintar” teriak saya.

Ibu guru yang melihat dan mendengar omongan saya itu hanya tersenyum, tak berkata apapun, tapi senyumnya begitu lebar, seolah mengiyakan perkataanku. Jadilah aku anak paling senang saat itu. Auzin dan Oji berhasil aku buat gelisah dan merasa sedih karena ulahku. Sepanjang perjalanan pulang dari sekolah ke rumah, aku berteriak kegirangan. Menyapa setiap orang yang kutemui dengan kesenangan luar biasa. Aku meloncat-loncat kegirangan dengan mengangkat rapotku. Memamerkan kepada setiap orang yang ku temui. Aku sangat senang.

Begitu jelas tergambar dalam benakku hingga kini, betapa saat itu aku sangat senang karena ketidak tahuanku. Aku tidak tahu jika bukan angka yang banyak yang bagus jika berbicara tentang rangking. Rangking 34 dari 34 siswa berarti saya adalah yang terbodoh dikelas, tapi paling bahagia di hari itu. Merasa menjadi yang terbaik di hari itu. Semua duka karena konflik keluarga saya lupakan sejenak. Dalam benak saya, bapak pasti akan senang dengan hasil ini. Aku tidak sabar ingin segera sampai rumah dan memperlihatkan hasil ini kepada bapak, juga kakak-kakakku.

“assalamualaikum…” aku mengucap salam dengan suara kencang nan lantang penuh kebanggaan.

“waalaikumsalam, nah… mana rapotnya,,,??” jawab bapak

“ini pak, rangkingku paling besar di kelas pak, aku dapat rangking 34, Auzin sama Oji sedikit rangkingnya, Auzin Cuma rangking 1, dan Oji Cuma rangking 3” jawabku lugu..

Bapak, kakak-kakakku dan semua yang ada disana saat itu menertawakanku.. mereka tertawa terlalu keras, terbahak-bahak, dan tak tertahankan. Bahkan tawa mereka serasa masih kudengar jelas saat tulisan ini aku buat, 15 tahun sejak kejadian itu. Dugaanku ternyata benar, mereka akan senang dengan hasil ini. Buktinya mereka tertawa dengan kencangnya setelah melihat rapot dan mendengar penjelasan lugu dariku. Tapi aku tau, ada yang salah dengan tawa itu. Bukan begitu tawa orang yang senang. Itu adalah tawa ejekan.

Tak lama berselang, bapaknya Oji dan kakaknya Auzin datang ke rumah, bermaksud menanyakan berapa rangkingku sekaligus untuk bercerita bahwa Auzin dan Oji dapat rangking yang bagus. Mendengar penjelasan dari bapak dan kakak-kakakku, mereka juga akhirnya menertawakanku. Akhirnya aku sadar, bahwa aku salah. Rangking yang baik dan membanggakan itu bukanlah rangking yang besar, tapi rangking yang kecil. Aku jadi minder dibuatnya setelah itu. Hari itu sekaligus aku memahami bahwa ternyata aku adalah orang terbodoh di kelasku. Sungguh, anak usia eam tahun itu jadi begitu malu dibuatnya.

Keesokan harinya, giliran teman-teman kelas yang mengejekku. Oji dan Auzin mengejekku terus-terusan. Ejekan itu membuatku menjauh dari mereka dan mengasingkan diri dari pergaulan dari komunitas kecilku. Kami memang sedang libur, tapi apa lah artinya libur di sekolah kami. Bukankah semua siswanya dari desa itu juga..??. jadi setiap hari kami tetap bertemu, tapi bukan di kelas melainkan di area bermain. Tetap saja, aku tetap diolok tentang kejadian itu, meski saat bermain.

Seperti biasa, hari ini aku mendatangi rumah Auzin untuk bermain. Tapi Auzin sedang tidak dirumah, dia juga sedang pergi bermain kata ibunya. Akupun lalu ke rumah Oji, tapi dia ternyata satu rombongan dengan Auzin. Yah, akhirnya aku harus bermain sendiri hari itu. Saat panas mulai terik dan memaksa tubuh mengeluarkan cairan asin, Auzin dan Oji akhirnya pulang. Ternyata mereka baru saja pulang bermain sepeda. Masing-masing mereka menunggang sepeda baru yang dibelikan orangtua mereka sebagai hadiah prestasi kelas mereka. Ya, saat itu sepeda sedang menjadi tren bermain anak seusiaku.

Esok harinya aku juga harus merelakan diri untuk bermain sendiri, sebab Auzin dan Oji sudah punya teman bermain baru, sepeda mereka. Aku sangat ingin memiliki sepeda, tapi apa daya, tidak ada alasan bagiku untuk memiliki sepeda. Meski bapak mungkin mampu membelikannya untukku, tentu saja ibu tiriku tidak mudah untuk mengizinkan, apa lagi dengan menyandang predikat sebagai siswa terbodoh di kelasku. Hari-hari yang kulalui terasa sepi, aku hanya berkawan sepi dan mimpi untuk menunggangi sepeda.

Masa libur sekolah masih panjang, jadi aku harus menghabiskan waktu pagiku setiap harinya untuk memimpikan sepeda. Hari itu aku tidak lagi kuat untuk berkawan sepi dan mimpi di pagi hariku. Lebih-lebih bersama ibu tiriku. Jadi hari itu aku mengikuti Auzin dan Oji untuk pergi bermain sepeda. Mereka menunggangi sepeda mereka, sementara aku hanya berlari mengejar mereka yang melaju kencang dengan sepedanya. Sesekali, salah seorang diantara mereka memboncengku. Bukan hanya Auzin dan Oji, tapi juga teman-teman yang lain. Jika sudah lelah, aku turun lagi dan berlari lagi mengikuti ayunan sepeda mereka. Itulah hari-hari liburku selanjutnya, berlari mengejar sepeda.

Libur sekolah akhirnya habis, kami harus mulai masuk ke sekolah untuk kembali menuntut ilmu. Aku senang karena itu berarti aku punya aktifitas lain selain pergi berlari bersama orang yang mengayuh sepeda. Meski saat pulang sekolah, rutinitas itu aku lakukan lagi. Tapi hari ini aku serasa terasingkan di sekolah. Dihari pertama masuk sekolah, teman-teman mengucilkanku dan menghardikku. Mereka mengatakan aku tidak naik kelas, jadi tidak boleh duduk bersama mereka dibangku kelas dua. Aku tidak mau diperlakukan seperti itu. Dalam raport secara jelas disebutkan bahwa aku “naik ke kelas dua”. Tapi teman-teman tidak percaya. Menjadi pemegang rangkin terakhir di kelas membuat mereka menganggap bahwa aku tidak naik kelas. Sebab ada satu orang teman lain yang rangkingnya lebih baik dari rangkingku justeru tidak naik kelas. Aku tidak mengerti kenapa, yang pasti di rapotku tertulis jelas bahwa aku naik ke kelas dua, sementara teman yang kumaksud tidak naik kelas itu memang dinyatakan tidak naik kelas di kelas kami saat itu.

Aku tertolak dikelas dua. Tidak ada satupun teman yang menerima aku ada dikelas itu, termasuk Auzin dan Oji yang tidak hanya sekedar sahabatku, tapi juga saudaraku. Akhirnya aku terpaksa duduk kembali di kelas satu. Tapi ketika aku belajar dikelas satu, bapak/ibu guru yang melihatku pasti akan menegurku dan memintaku untuk duduk di kelas dua karena mereka menganggap aku kelas dua. Kejadian ini berlangsung selama hampir dua bulan. Jika aku pulang lebih pagi, maka itu berarti hari itu aku duduk di kelas satu. Tapi jika pada hari itu aku pulang lebih telat atau agak siang, maka itu berarti hari itu aku duduk di kelas dua. Setiap hari aku menggilirkan kelasku. Hari ini kelas satu, maka besok aku kelas dua. Begitu seterusnya sampai kurang lebih dua bulan.

Suatu hari, aku pulang pagi yang berarti bahwa hari itu aku duduk di kelas satu. Bapak ada dirumah saat itu.

“loh, kok kamu pagi sekali pulang sekolah nak..??” Tanya bapak

“saya hari ini kelas satu pak…” jawabku santai

Bapak emang sering menanyakan hal yang sama kepadaku. Pada akhirnya beliau menjadi paham bahwa jika aku pulang agak siang itu berarti aku kelas dua, dan demikian pula sebaliknya.

“tu ada hadiah untuk kamu…” kata bapak sambil menunjuk ke arah sepeda yang diparkir dipinggir pintu lengkap dengan bungkus dan segelnya.

“ini punya saya pak..??” aku bertanya balik

“ya iya lah, kalo disitu tempatnya, kamu sudah yang punya” jawab bapak degan gaya hasnya.

“horeeeeeee…” aku berteriak kegirangan.

Ternyata bapak begitu perhatian kepadaku. Aku tidak pernah meminta untuk dibelikan sepeda, karena tentu saja aku tau diri bahwa bapak tidak mungkin membelikannya untukku. Tapi iya adalah bapakku, tentu saja beliau memiliki kepekaan terhadap kondisi anaknya. Mungkin juga karena beliau malu melihat anaknya setiap hari berlari mengejar temannya yang mengayuh sepeda. Betapa senangnya aku. Meski mendapat penolakan dari isterinya, ibu tiriku, bapak tetap membelikan sepeda untukku. Aku menjadi semakin sadar, bahwa bapak selama ini mencintaiku, meski beliau tidak pernah kudengar mengatakan “aku menyayangimu, nak…”.

Sepeda itu tidak biasa. Ya, sepeda jengki berwarna merah. Sepeda jenis itu tidak ada di desaku saat itu. Biasanya hanya orang kota yang menggunakan sepeda melankolis itu. Aku mengetahuinya karena aku sering melihat orang menggunakan sepeda seperti itu saat aku ada di kota, di rumah ibu. Bapak memang sosok yang luar biasa. Beliau tidak pernah ingin diremehkan dan melihat anaknya diremehkan. Beliau memberikan untukku sesuatu yang saat itu mungkin tidak terpikirkan oleh orangtua teman-temanku yang lain. Seolah berhutang, bapak hari ini membayar lunas hutangnya kepadaku. Ya, beliau berhutang karena selama ini membiarkan anaknya berlari dan terus berlari mengejar temannya yang bersepeda. Aku adalah penunggang sepeda jengki pertama di desaku. Dan setelah itu, ada banyak orang yang mengikuti tren sepedaku. Bapak menjadikanku trendsetter saat itu. Sepeda jengki merah itu adalah ungkapan cinta tanpa romantisme. Pemberian itu lebih dari sekedar kata-kata gombal yang dianggap romantis oleh orang. Oohh,,, terimakasih bapak.

Suatu ketika, saat aku duduk dibangku kelas satu, kepala sekolah kami masuk kelas untuk mengajar kami, mengganti guru kelas kami yang kebetulan hari itu tidak masuk sekolah karena sakit. Kepala sekolah yang kami kenal sangat galak sekaligus berwibawa. Jadi apapun yang dikatakannya pasti kami dengar. Saat beliau sedang asyik mengajarkan kami, beliau melihat ke arahku. Sontak saja beliau marah dan bertanya dengan geram,

“kenapa kamu disini,,? Kamu kan kelas dua”

“saya tidak diterima dikelas dua sama teman-teman pak, mereka bilang saya ketinggalan” jawabku.

“ikut saya,,,,” beliau lalu menarik tanganku dan mengantarkanku ke kelas sebelah, kelas dua.

Setelah meminta izin pada guru yang mengajar di kelas dua, bapak kepala sekolah berdiri didepan kelas masih dengan menggandeng tanganku. Dengan tegas beliau menyampaikan kepada semua siswa kelas dua bahwa aku kelas dua, sehingga tidak boleh ada seorang pun yang mengusirku dari kelas. Sejak saat itu, aku duduk di kelas dua dan tidak lagi duduk dikelas satu. Aku kini sekelas dengan permanen bersama Auzin, Oji, dan teman-temanku yang lain. Sampai saat ini aku tidak mengerti kenapa saat itu aku duduk di dua kelas dengan tingkat yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Aku tidak paham kenapa aku dinyatakan naik kelas, padahal ada teman yang rangkingnya lebih baik dariku dinyatakan tidak naik kelas. Entahlah, aku tidak pernah mencari jawaban atas pertanyaan ini.

Sepeda jengki merah yang dibelikan bapak untukku sedikit tidak menumbuhkan kepercayaan diriku. Tampil beda dan akhirnya menjadi trendsetter. Setiap hariku kini tidak lagi harus berlari untuk mengejar teman-teman yang bersepeda. Aku tidak lagi terkucilkan, dengan itu aku menjadi bangga. Bapak mengatakan itu hadiah untukku, tapi aku tidak pernah tau hingga kini dalam rangka apa hadiah itu diberikan. Jika Auzin dan Oji mendapatkan hadiah sepeda, jelas karena saat itu mereka menjadi juara dikelas. Teman-temanku yang lain memiliki sepeda karena mereka merengek kepada orangtuanya untuk dibelikan sepeda. Tapi aku tidak, hadiah itu diberikan bukan karena aku juara, bukan pula karena aku meminta. Itu hanya hadiah untukku, hadiah sebagai bukti cinta bapak untukku. Hadiah yang diberikan untuk mengungkapkan betapa beliau mencintaiku,