Tuesday 26 June 2012

MEMBANGUN PAPUA DENGAN PEMBERDAYAAN

(Analisis terhadap pelaksanaan PPK di Kabupaten Jayapura: ditinjau dari tesis Bartazar Kreuta)
Oleh : Muhammad Nurjihadi*
Papua adalah salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Meskipun PDRB/kapita provinsi ini cukup tinggi, tapi itu tidak membuatnya keluar dari status provinsi termiskin di Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa tingginya ketimpangan pendapatan masyarakat di Papua. PDRB yang tinggi terutama disumbangkan oleh sektor pertambangan, Sementara sektor ekonomi kerakyatan tidak banyak berkembang. Itulah yang menyebabkan pemerintah daerah Kabupaten Jayapura mencanangkan Program Pemberdayaan Kampung (PPK). Bartazar Kreuta (2010) dalam tesisnya menganalisis efektifitas pelaksanaan program ini. Atas dasar tulisan Kreuta inilah saya akan menganalisis pelaksanaan PPK itu secara teoritis.

Konsep Dasar
Terdapat banyak teori yang menjelaskan tentang konsep pemberdayaan. Mayo dan Craig (1995) mengutip laporan UNDP (1993) yang menyatakan bahwa cara terbaik untuk membrantas kemiskinan adalah dengan melakukan pemberdayaan melalui penanaman semangat kewirausahaan (entrepreneurship) dan membangun partisipasi masyarakat. Semangat entrepreneur yang baik, menurut UNDP akan mendorong masyarakat untuk berani mengambil resiko, berani bersaing dan mampu berinovasi. Konsep permberdayaan ala UNDP inilah yang akan menjadi landasan teoritis saya dalam menganalisis pelaksanaan PPK di Jayapura dengan mengeliminasi unsur “berani bersaing” sebagai pengecualian. Sebab menurut saya persaingan tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ada persaingan justeru akan melahirkan masalah baru seperti ketimpangan, feodalisme kapitalis dan lenyapnya semangat kebersamaan, kekeluargaan serta gotong royong. Bahkan, pemberdayaan bagi saya harus pula diarahkan untuk memperkuat jalinan kebersamaan, kekeluargaan dan gotong royong itu, bukan malah memupuk kemampuan dan keberanian bersaing.

Sebagaimana pemberdayaan, kemiskinan yang menjadi sasaran pemberdayaan juga memiliki banyak konsep. Sajogyo misalnya, menggunakan konsep garis kemiskinan sebagai indikator kemiskinan dimana standar kemiskinan diukur dengan pemenuhan kebutuhan kalori. Orang yang dikatakan miskin menurut sajogyo adalah orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan kalori minimal 2100 kalori. Persepsi tentang kemiskinan inilah yang akan menentukan strategi pemberdayaan apa yang akan kita gunakan dalam memberdayakan masyarakat. Namun Friedmann (1992) justeru punya pandangan lain, ia mengatakan bahwa kemiskinan mungkin merupakan jalan hidup yang dipilih secara sadar oleh masyarakat. Oleh karenanya, meski seseorang berada dibawah garis kemiskinan, jangan berfikir bahwa mereka miskin. Meski demikian Friedmann tetap menyadari bahwa persepsi negatif tentang kemiskinan yang dicirikan dengan masyarakat yang kotor, kumuh, kriminal, tidak terampil dan tidak bertanggungjawab adalah benar. Orang-orang dengan kondisi ini harus dikontrol, dilembagakan dan dikelola. Dengan persepsi ini, pemberdayaan ditujukan untuk membangun social power. Tujuan ini hanya bisa diraih oleh aktof kolektif, bukan aktor tunggal. Oleh karenanya, pemberdayaan diupayakan untuk membangun aktor kolektif.

Sementara itu, pedesaan dalam tulisan ini merujuk pada konteks teritori atau agroekosistem. Artinya, desa didefinisikan berdasarkan batas-batas agroekosistem yang khas. Berdasarkan definisi ini, ada beberapa jenis desa misalnya desa nelayan, desa pesisir, desa pertanian, desa perkebunan dan desa pedalaman. Dalam tulisan ini, yang akan dibahas adalah proses pemberdayaan di desa perkebunan.

Papua dan Kemiskinan
Papua adalah provinsi dengan otonomi khusus di Indonesia. Otonomi khusus ini diberikan dengan tujuan untuk memperbaiki ketertinggalan dan ketimpangan yang terjadi di Papua. PDRB Papua termasuk cukup bahkan sangat bagus. Pada tahun 2000 saja, BPS mencatat nilai PDRB Papua mencapai Rp 18, 5 T, bahkan pada tahun 2005, PDRB Papua mencapai Rp 22, 2 T. meski nilai PDRBnya tinggi, angka kemiskinan di Papua juga cukup tinggi. Pada tahun 2011, tercatat ada 1.114.125 dari 2.833.381 orang Papua (39,3%) berada dibawah garis kemiskinan (BPS, 2011). Data diatas menunjukkan betapa tingginya ketimpangan wilayah di Papua.

Kondisis kemiskinan pedesaan Papua juga menempati peringkat tertinggi di Indonesia. Pada tahun 2009, tercatat 46,81 % penduduk pedesaan Papua masuk dalam kategori miskin. Angka ini jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional yang hanya 17,35% pada tahun yang sama (keadilansosial.wordpress.com). Corak ekonomi masyarakat Papua yang dicirikan dengan konsumsi kolektif dinilai sebagian orang bertentangan dengan kebijakan ekonomi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Akibatnya kemiskinan pedesaan di Papua terbentuk karena kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan struktur sosiologis dan kewilayahan Papua. Perkebunan kakao adalah salah satu usaha yang berkembang di masyarakat pedesaan Papua, terutama di Kabupaten Jayapura. Meski mampu mengurangi angka kemiskinan dan menggerakkan perekonomian masyarakat di pedesaan, produksi kakao di Kabupaten Jayapura belum dikelola dengan baik oleh para petani sehingga tidak dapat menghasilkan nilai tambah yang optimal.

Efektifitas Program PPK
Program Pemberdayaan Kampung (PPK) dilaksanakan dengan bertumpu pada peran aktif masyarakat. Sementara pemerintah diharapkan hanya akan berperan sebagai pendamping. PPK dilaksanakan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah PPK untuk komoditas kakao. Dengan PPK diharapkan produksi kakao akan meningkat sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani dan sekaligus mempercepat pemerataan pendapatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kreuta (2010) pelaksanaan PPK di Kabupaten Jayapura cukup efektif meningkatkan pendapatan masyarakat yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan kapasitas produksi kakao per rumah tangga, peningkatan luas tanam kakao per rumah tangga dan peningkatan rata-rata kontribusi kakao terhadap pendaptan rumah tangga.

Masih menurut penelitian Kreuta, keberhasilan PPK dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor sosiologis/kewilayahan, yaitu perhatian yang baik terhadap transparansi, akuntabilitas, paritispasi anggota komunitas serta aktifitas pendampingan dan pembinaan dalam pelaksanaan program PPK. Disamping itu, PPK yang dijalankan Pemkab Jayapura didasarkan atas kondisi ekonomi riil masyarakat desa yang bergantung pada usaha perkebunan kakao. Kondisi-kondisi itulah yang mendorong kesuksesan program pemberdayaan itu.

Isu gender tidak banyak berperan dalam pelaksanaan program ini. Disamping karena tidak adanya keterangan tentang hal itu dalam tesis Kreuta, juga didukung oleh fakta kentalnya budaya patriarki masyarakat Papua. PPK kakao juga tidak melibatkan perempuan secara khusus dalam program pemberdayaannya. Yang dilibatkan adalah para petani kakao tanpa peduli jenis kelaminnya, namun tentu saja kebanyakan petani kakao itu adalah laki-laki. Lagi pula, isu gender cenderung kontra produktif jika dimaknai sebagai pelibatan perempuan dalam aktifitas utama perkebunan kakao. Masyarakat lokal sudah memiliki sistem sosial sendiri tentang pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan. Jadi, kita tidak perlu memperpanjang bahasan tentang gender ini.

Menurut saya, pemberdayaan tidak sekedar bermakna pemberian dana, membangun kemandirian dan meningkatkan pendapatan. Lebih dari itu, pemberdayaan juga harus diupayakan untuk merekatkan kembali hubungan sosial masyarakat yang sudah lama hilang karena intervensi praktek ekonomi kapitalis. Dengan demikian, pendekatan pemberdayaan yang ditujukan untuk meningkatkan daya saing masyarakat kurang tepat untuk diterapkan. Kita harus berani menghentikan kata “bersaing” dalam kamus ekonomi kita. Yang perlu kita bangun adalah kebersamaan, kekeluargaan dan gotong royong. Logika kompetisi dalam ekonomi kapitalis (dimana pemberdayaan juga kebanyakan bercirikan kapitalis) tidak relevan dengan struktur nilai sosial masyarakat Indonesia yang khas dengan nilai kebersamaan (kooprasi). Sehingga, pemberdayaan di Indonesia secara teknis harus diarahkan untuk membangun kembali kelembagaan ekonomi koperasi. Koperasi dengan pengertiannya yang asli, bukan pengertiannya yang di politisasi. Koperasi yang asli adalah lembaga ekonomi rakyat yang mengayomi beberapa unit produksi yang saling terkait. Sementara koperasi yang di politisasi adalah koperasi yang dijadikan unit produksi tunggal sehingga memainkan peran layaknya sebuah perusahaan. Akibatnya, koperasi itu tidak bisa menjadi perekat hubungan sosial masyarakat karena dijalankan dengan prinsip kompetisi. Pemberdayaan masyarakat harus diarahkan untuk membangun kelembagaan koperasi yang asli itu. Dengan demikian, pemberdayaan akan mampu meningkatkan semangat kewirausahaan, meningkatkan partisipasi serta kemandirian masyarakat sebagaimana konsep pemberdayaan UNDP dan sekaligus membangun kebersamaan, kekeluargaan dan gotong royong.

*Mahasiswa program magister ilmu perencanaan pembangunan wilayah dan pedesaan, IPB

Sunday 10 June 2012

ECO VILLAGE : SOLUSI PEMERATAAN DAN KEBERLANJUTAN PEMBANGUNAN

Oleh : Muhammad Nurjihadi

Proses pembangunan yang berlangsung sejauh ini tidak hanya menyebabkan ketimpangan antar wilayah, tapi juga mengakibatkan semakin timpangnya desa-kota. Hal ini terjadi karena efek penyedotan ke bawah (backwash effect) yang terjadi karena penggunaan konsep pusat pertumbuhan. Wilayah maju atau kota yang sesungguhnya diharapkan memiliki efek meneteskan kemajuan ke bawah (spread effect) pada kenyataannya melakukan eksploitasi terhadap daerah tidak maju atau desa untuk memenuhi kebutuhan kota. Akibatnya desa semakin tertinggal dan termiskinkan. Pada sisi yang lain, kemiskinan di desa mendorong masyarakat desa untuk bermigrasi ke kota guna memperbaiki kualitas kehidupannya. Migrasi masyarakat desa ke kota ini kemudian pada gilirannya menyebabkan kelumpuhan kota dan terciptanya masyarakat miskin kota akibat tidak mampunya kota menyediakan lapangan kerja untuk masyarakat desa yang bermigrasi ke kota. Dengan demikian, terjadi hubungan yang saling melemahkan antara desa dan kota.

Untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan antara desa dan kota, konsep eco village bisa menjadi solusi. Eco village adalah konsep tata ruang dan wilayah yang memperhatikan kualitas penduduk dan kualitas ekologis secara holistic karena melibatkan semua dimensi kehidupan makhluk hidup. Eco village merupakan pembangunan kawasan perdesaan yang mempertimbangkan pencapaian kualitas individu, keluarga, masyarakat serta kualitas lingkungan alam yang berkelanjutan. Dengan demikian diharapkan masyarakat desa mengalami peningkatan kesejahteraan tanpa harus merusak lingkungan. Selanjutnya diharapkan juga akan terjadi arus balik dari kota ke desa yang dapat mengurangi masalah kependudukan, masalah urbanisasi, masalah energi, serta masalah sosial perkotaan yang semakin kompleks.

Mewujudkan kemandirian masyarakat desa dengan memperhatikan keberlanjutan ketersediaan sumber daya di desa adalah tujuan utama dari pengembangan eco village. Oleh karenanya, pengembangan eco village harus didukung oleh seluruh anggota komunitas masyarakat desa. Dengan demikian, pengembangan eco village akan sangat baik jika diprakarsai oleh swadaya masyarakat desa. Anggota masyarakat eco village disatukan oleh kesamaan secara ekologis, sosial ekonomi, dan nilai spiritual serta budaya. Sebuah kampung yang terkategori eco vilage biasanya diisi oleh orang yang peduli akan kelestarian lingkungan dengan berupaya mengoptimalkan transaksi materi dan energi dengan lingkungannya. Namun demikian, pemerintah tetap memiliki tanggungjawab dan peran terpenting untuk pengembangan eco village. Membangun kesadaran dengan penyuluhan, menyediakan sarana yang memadai untuk pengembangan eco village serta dukungan real dalam bentuk pendampingan dalam mewujudkan eco village sangat diperlukan. Kerjasama yang baik antara masyarakat, pemerintah, swasta dan lembaga penelitian (perguruan tinggi) menjadi kunci sukses pengembangan eco village.

Pengembangan eco village umumnya dicirikan dengan pemanfaatan energi matahari, air dan angin secara efektif. Sinar matahari misalnya, diupayakan untuk menghasilkan energi listrik yang dapat dimanfaatkan masyarakat setidak-tidaknya untuk memenuhi kebutuhan listrik pada sarana prasarana publik. Demikian juga dengan air dan angin, sebisa mungkin dimanfaatkan untuk menghasilkan energi. Lebih dari itu, air tidak hanya dimanfaatkan untuk satu kali keperluan, tapi dimanfaatkan secara berulang. Misalnya saluran irigasi di desain tidak hanya untuk mengairi lahan pertanian, tapi juga untuk menggerakkan kincir dalam menciptakan energi listrik. Selain itu eco village juga dikembangkan dengan meminimumkan input eksternal (pupuk dan pestisida kimia) dengan memanfaatkan penggunaan limbah biomassa sebagai pengganti. Dengan demikian, pengembangan eco village memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.