Sunday 30 September 2012

Jebakan Psimisme Dalam Teori Jebakan Populasi Malthus

Oleh: Muhammad Nurjihadi

Thomas Robert Malthus (1798) menggegerkan dunia dengan teorinya yang bernama Population trap theory. Teori itu bercerita tentang fakta bahwa pertumbuhan manusia mengikuti deret ukur (geometric progression, dari 2 ke 4, 8, 16,32, dst) sementara pertumbuhan bahan makan mengikuti deret hitung (arithmetic progression, dai 2 ke 4, 6, 8 10, dst). Hal ini berarti jumlah populasi manusia terus meningkat dua kali lipat dalam 30-40 tahun sementara jumlah ketersediaan pangan hanya mampu tumbuh secara aritmatis. Dengan demikian maka pertumbuhan pangan tidak akan mampu mengimbangi pertumbuhan populasi manusia. Oleh karenanya Malthus merekomendasikan agar negara membuka lahan yang seluas-luasnya demi mempercepat pertumbuhan pangan dan melakukan pengendalian pertumbuhan penduduk agar tercapai keseimbangan antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan manusia (Indrayani, 2010).

Teori population trap ini digambarkan Malthus lewat diagram berikut (Chaniago, 2012):
Gambar. Diagram Population Trap Malthus

Sumbu vertikal mewakili pertumbuhan (dalam persen) untuk variabel penduduk (P) dan pendapatan (Y), sedangkan sumbu horizontal mewakili pendapatan perkapita (Y/P).
Kurva P menggambarkan hubungan antara pertumbuhan penduduk dengan pendapatan perkapita. Pada pendapatan perkapita yang sangat rendah (Y0), tingkat pertumbuhan penduduk adalah nol, yang berarti tingkat pertumbuhan penduduk dalam keadaan stabil. Y0 dapat mewakili konsep mengenai “kemiskinan absolut” dimana Angka kelahiran dan kematian berimbang. Ketika pendapatan perkapita meningkat atau lebih tinggi dari Y0 (bergerak ke arah kanan Y0), jumlah penduduk akan meningkat yang disebabkan karena menurunnya angka kematian. Meningkatnya pendapatan akan mengurangi bahaya kelaparan dan penyakit sehingga menurunkan angka kematian. Pada saat bersamaan, angka kelahiran tetap tinggi yang menyebabkan pertumbuhan penduduk juga tinggi.

Pada tingkat pendapatan perkapita sebesar Y2, laju pertumbuhan penduduk mencapai titik pertumbuhan maksimumnya yang diperkirakan sekitar 3,3 %. Diasumsikan laju pertumbuhan penduduk tersebut akan tetap bertahan sampai terjadi perubahan pendapatan perkapita yang lebih tinggi. Selanjutnya, meningkatnya pendapatan perkapita ke tingkat yang lebih tinggi (di sebelah kanan Y5), angka kelahiran akan mulai menurun dan slope atau kemiringan dalam kurva pertumbuhan penduduk menjadi negatif dan kembali mendekati sumbu horizontal.

Sampai hari ini, apa yang dikatakan Malthus tentang “jebakan populasi” tidak terbukti benar. Setidaknya sampai sekarang ummat manusia masih mampu beradaptasi dengan berkurangnya lahan pertanaman karena membengkaknya jumlah populasi. Inovasi dan penemuan teknologi adalah kunci untuk sukses ini. Malthus tidak memasukkan variabel teknologi dalam merumuskan teorinya. Malthus mengasumsikan faktor teknologi cateris paribus (Dyana, 2011). Faktanya pengaruh faktor teknologi dalam kehidupan manusia lebih dominan daripada faktor ketersediaan lahan itu sendiri. Mengurung faktor teknologi dalam sebuah penjara bernama cateris paribus sesungguhnya telah menggambarkan kelemahan dari teori Malthus itu. Meski demikian, pengaruh Malthus dalam dunia akademik masih cukup kuat hingga hari ini.

Penganjur pasar bebas, David Ricardo bahkan juga terpengaruh oleh teori Malthus ini. Ricardo menjelaskan bahwa pada awalnya, jumlah manusia tidak banyak sedangkan kekayaan alam masih berlimpah yang menyebabkan terpenuhinya kebutuhan manusia dengan baik. kekayaan sumber daya yang jauh melampaui jumlah manusia membuat para pelaku ekonomi (terutama pengusaha) memperoleh keuntungan yang besar. Keuntungan yang diperoleh pengusaha itu kemudian diinvestasikan kembali untuk mendapat keuntungan yang lebih besar. Proses akumulasi modal itu berlangsung secara terus menerus dan menyebabkan peningkatan permintaan tenaga kerja. Kondisi seperti ini mendorong pertumbuhan penduduk dengan cepat sementara luas lahan tetap bahkan cenderung berkurang karena terkonversi untuk keperluan pemukiman penduduk. Akibatnya produktifitas per tenaga kerja akan mengalami penurunan sementara biaya-biaya yang meliputi biaya sewa lahan maupun biaya operasional perusahaan semakin besar. Akhirnya keuntungan perusahaan menjadi berkurang dan investasi pun berkurang hingga perekonomian mencapai batas minimal stationary state. Ricardo bahkan mengatakan teknologi tidak mampu menghindari terjadinya stationary state, tapi hanya mampu mengundurkan waktunya saja. Hal ini terjadi karena perkembangan teknologi diikuti pula oleh pertumbuhan penduduk yang besar (Rustiadi, 2011). Selain terpengaruh oleh pemikiran Malthus, pendapat Ricardo diatas juga kental dipengaruhi oleh teori invisible hand Smith. Secara cerdik Ricardo “mengawinkan” dua teori yang berbeda prinsip itu. Prinsip kebebasan ekonomi dan free market mechanism di satu sisi dan prinsip pertambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing return) di sisi lain.

Psimisme Malthus dan Ricardo akan masa depan ummat manusia terus berkembang dan menjadi isu utama dalam pembangunan negara-negara di dunia. Teori itu bahkan masih dianggap relevan dan menjadi dasar pengambilan kebijakan sampai hari ini. Lebih dari itu, dalam perkembangannya teori Malthus bahkan tidak hanya menyebarkan psimisme tentang ancaman krisis pangan tapi juga berkembang menjadi psimisme dalam menyikapi ancaman krisis energi, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. WCED (1987) menerbitkan laporan berjudul “our common future”. Laporan itu berisi tentang tantangan masa depan ummat manusia yang berangkat dari fakta semakin menurunnya produksi pangan, semakin meningkatnya suhu bumi karena efek rumah kaca (pemanasan global), maraknya deforestasi, peningkatan populasi, kelangkaan energi dan sebagainya. Terbitnya laporan ini berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat global. Laporan ini secara tidak langsung menyambung kekhawatiran dan psimisme Malthus yang ia lontarkan hampir dua abad sebelumnya. Meskipun laporan ini bukanlah manifestasi dari psimisme menghadapi masa depan, melainkan merupakan peringatan yang penting untuk mengendalikan laju kerusakan yang mengancam masa depan.

Hayami dan Ruttan (1971) dalam Rustiadi (2011) merumuskan sebuah model yang bertolak belakang dengan teori Malthus dan pengikutnya. Dengan optimis Ruttan dan Hayami memperkenalkan induce innovation model sebagai jawaban dari teori psimis population trap Malthus. Dengan model ini, Hayami dan Ruttan menyatakan bahwa pengembangan wilayah atau negara mau tidak mau harus memanfaatkan sumber daya yang tersedia di alam. Meskipun suatu saat sampai pada titik tertentu ketersediaan alam akan mencapai batas minimalnya, Ruttan dan Hayami meyakini bahwa kondisi itu justeru akan membuat manusia semakin terangsang untuk berinovasi dan menciptakan teknologi baru untuk merespon kondisi itu. Dalam konteks ini, jumlah modal yang sudah terakumulasi akan dimanfaatkan manusia untuk pengembangan teknologi-teknologi alternatif. Secara sederhana, induce innovation model Hayami dan Ruttan digambarkan dalam grafik berikut:


Pada tahap awal, dibutuhkan tingkat produksi sebesar Q untuk memenuhi kebutuhan manusia. Untuk memproduksi sebesar Q maka dibutuhkan sumber daya alam sebanyak X₁₁ dan teknologi sebesar X₂₁. Dalam perkembangannya, jumlah penduduk yang semakin besar dan dengan kompleksitas aktifitas ekonominya, maka sumber daya alam menjadi semakin langka yang menyebabkan harga sumber daya alam semakin mahal. Akibatnya, dengan harga yang sama jumlah sumber daya alam yang dapat digunakan menjadi semakin kecil (digambarkan dengan X₁₂. Bila ingin tingkat produksi tetap berada pada garis Q, maka dibutuhkan teknologi sebesar X₂₂ untuk mensubtitusi sejumlah kelangkaan sumber daya alam tersebut. Kebutuhan akan teknologi sebesar X₂₂ itulah yang akan mendorong manusia untuk menciptakan teknologi sebesar X₂₂.

Teori Hayami dan Ruttan yang optimistik bahwa inovasi dan teknologi bisa mengatasi ancaman population trap Malthus kiranya lebih masuk akal untuk diterima. Jika Malthus mengurung aspek teknologi dan inovasi dalam sebuah penjara bernama cateris paribus, Hayami dan Ruttan justeru menjadikan dua aspek itu sebagai aktor terpenting dalam merumuskan modelnya karena dianggap sebagai instrumen utama pertahanan ummat manusia dari berbagai ancaman dan eksternalitas. Peningkatan jumlah penduduk yang mengikuti deret ukur sebagaimana dikatakan Malthus memang sangat mungkin menyebabkan kelangkaan sumber daya dalam bentuk penurunan produktifitas, kerusakan lingkungan, kelangkaan energi dan sebagainya. Tapi meresponnya secara psimis semisal dengan pembatasan kelahiran adalah sikap yang keliru.

Pembatasan kelahiran akan membuat kelangkaan sumber daya manusia pada masa yang akan datang. Kelangkaan sumber daya manusia ini sesungguhnya adalah ancaman kemanusiaan yang jauh lebih besar. Jika sumber daya manusia terbatas, maka induce innovation model sebagaimana dikatakan Ruttan dan Hayami tidak akan bekerja dengan baik. Akibatnya manusia justeru akan terjebak pada serba keterbatasan. Selain karena keterbatasan sumber daya manusia akibat pembatasan kelahiran, keterbatasan juga terjadi karena penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya akibat aktifitas manusia yang minim sumber daya itu. Bukankah minimnya sumber daya manusia akan membuat manusia memanfaatkan alam secara konvensional dengan tingkat efisiensi yang rendah. Kondisi itulah yang akan membuat proses kelangkaan sumber daya terjadi dengan lebih cepat. Akhirnya sumber daya manusia yang minim itu tidak akan mampu menciptakan teknologi untuk mensubtitusi kelangkaan sumber daya yang pasti terjadi. Dengan demikian psimisme yang disebarkan Malthus dan para pengikutnya melalui population trap theory (teori jebakan populasi) sesungguhnya lebih berbahaya dan menjebak daripada jebakan populasi itu sendiri. Dengan kata lain, jebakan psimisme Malthus jauh lebih berbahaya daripada teori jebakan populasi Malthus itu sendiri.

Wednesday 26 September 2012

The Invisible Hand Theory dan Matinya Ilmu Ekonomi

Oleh: Muhammad Nurjihadi
Bukan karena kedermawanan seorang penjual anggur atau tukang daging memberi anda makan daging atau minum anggur, melainkan karena mereka mementingkan dirinya sendiri.
-Adam Smith-

Prinsip dasar dari teori tangan tak terlihat atau dikenal juga dengan teori “tangan tuhan” (the invisible hand) adalah adanya keyakinan bahwa keseimbangan pasar terbentuk secara natural dengan adanya pertemuan supply (penawaran) dan demand (permintaan). Teori ini menafikkan peran pemerintah dalam aktifitas ekonomi karena dianggap sebagai penghambat perekonomian. Bertemunya suply dan demand secara alamiah merupakan respon dari rasionalitas hidup manusia dimana setiap manusia memiliki kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri dan mendapat keuntungan pribadi yang besar. Kecenderungan itu akan mendorong orang untuk memproduksi barang kebutuhan konsumen. Namun jika produksi itu berlebih, maka pasar akan meresponnya dengan penurunan harga, demikian pula sebaliknya ketika suatu produk langka, maka harganya akan menjadi tinggi (Smith, 1776).

Pemikiran Adam Smith dalam teori the invisible hand ini menjadi dasar lahirnya paham kapitalisme ekonomi. Banyak ilmuwan mengembangkan teori itu untuk memperkuat argumen Smith dan untuk menekan pemerintah agar memberikan kebebasan ekonomi yang seluas-luasnya kepada para pelaku ekonomi tanpa campur tangan pemerintah. Salah satu pengikut Smith yang paling terkenal karyanya adalah Ricardo (1817) yang mencetuskan teori keunggulan komparatif (theory of comparative advantage). Teori ini menyatakan bahwa perdagangan internasional harus didukung oleh pemerintah dengan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada para pelaku ekonomi untuk mengembangkan bisnisnya tanpa ada hambatan regulasi ataupun kebijakan pemerintah. Teori ini juga menyebutkan bahwa perdagangan internasional antar negara hanya akan terjadi jika suatu negara memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh negara lainnya. Dengan demikian, suatu produk yang diproduksi oleh suatu negara dengan lebih efisien akan dijual ke negara lain yang tidak memproduksi barang tersebut. Sebagai contoh misalnya, Indonesia mampu menghasilkan batu bara secara lebih efisien daripada Vietnam, tapi Vietnam mampu menghasilkan beras secara lebih efisien dibanding Indonesia, maka kedua negara akan melakukan perdagangan dimana Vietnam membeli batu bara dari Indonesia dan Indonesia membeli beras dari Vietnam. Sekali lagi, free market adalah syarat untuk pelaksanaan teori ini. Pemerintah tidak boleh melakukan proteksi maupun pembatasan impor, bahkan pemerintah diminta membebaskan biaya bea maupun cukai.

Dalam prakteknya, teori “tangan tuhan” Smith lebih banyak memihak kepada para pemilik modal. Atas nama investasi, para pemilik modal mengeksploitasi sumber daya dunia untuk mendapatkan keuntungan yang besar dan sekaligus mengakumulasi modal. Akibatnya jurang ketimpangan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin kian tinggi. Dengan modal yang terus terakumulasi, para pemilik modal mampu menciptakan teknologi baru untuk mengefisienkan proses produksi yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi dan mengakumulasi modal lagi tanpa batas. Sementara disisi lain, penemuan teknologi baru itu berimplikasi pada berkurangnya peran manusia dalam proses produksi yang membuat banyak tenaga kerja kehilangan pekerjaannya. Dengan demikian, peran modal menjadi kian dominan dalam aktifitas ekonomi. Tanpa memiliki modal yang cukup, seseorang atau suatu kelompok atau bahkan suatu negara tidak akan mampu mengembangkan perekonomiannya sehingga tidak mampu menghasilkan keuntungan. Akibatnya orang-orang yang tidak memiliki modal itu tetap terjebak pada kemiskinan disaat para pemilik modal menikmati hasil dari kekayaan alam disekitar mereka. Dengan kondisi seperti itu, Fukuyama (1992) memprediksi bahwa akhir dari sejarah dunia ini adalah kapitalisme global yang dikuasai oleh segelintir orang pemilik modal yang selama bertahun-tahun mengakumulasi modalnya secara terus menerus tanpa batas. Lebih jauh, Fukuyama juga menyebut segelintir pemilik modal itu akan menjadi the last man (manusia terakhir) di dunia ini.

Berbagai kritik silih berganti mengecam praktek kapitalisme ini. Ketidakadilan dan ketimpangan yang diciptakannya menjadi dasar kritik itu. Secara garis besar ada tiga teori yang lahir sebagai kritik atas praktek kapitalisme yang berangkat dari teori “tangan tuhan” Adam Smith ini, yaitu pertama teori ketergantungan yang lahir di Amerika Latin. Teori ini menganggap bahwa pembangunan model kapitalisme adalah “strategi licik” barat atau negara maju untuk membuat negara-negara berkembang bergantung secara ekonomi kepada mereka. Teori ini lahir dari pengalaman massifnya investasi asing yang masuk di Amerika Latin. Pada awalnya investasi ini disambut baik karena dianggap dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, tapi ternyata kehadirannya justeru menyebabkan seluruh moda produksi asli lokal terpinggirkan sementara para kapitalis pemilik modal itu meraup keuntungan yang besar. Kedua adalah teori sistem dunia. Teori ini merupakan kelanjutan dari teori ketergantungan. Secara ekstrem teori ini menyebut agresifitas ekspansi kapital Trans Nasional Corporation (TNCs) sebagai sebuah imperialisme berkedok investasi. Kapitalisme global menginginkan struktur ekonomi global yang seragam dan mendunia. Penyeragaman struktur ekonomi dunia ini kemudian membentuk hegemoni kapital. Struktur hegemonik terhadap perekonomian lokal ini dianggap sebagai sistem yang tidak adil dan tidak demokratis karena menggerus dan meminggirkan perekonomian lokal. Ketiga, teori pemberdayaan yang meyakini bahwa keterbelakangan, ketertinggalan, kemiskinan dan ketergantungan hanya bisa diputus melalui proses pemberdayaan masyarakat. Hanya dengan pemberdayaan masyarakat akan menjadi mandiri dan tidak terus terpinggirkan (Dharmawan, 2009).

Karl marx (1848) dalam Rahardjo (2011) memberikan pandangan yang berbeda soal kapitalisme. Dalam panflet the communist manifesto (1848) Marx mengatakan bahwa kapitalisme adalah sebuah fenomena sejarah yang tidak dapat dihindari. Semua masyarakat di dunia menurut Marx akan mngalami perkembangan moda produksinya dari komunal primitif ke perbudakan, lalu feodalisme dan kemudian kapitalisme. Baru setelah menunaikan tugas historisnya, masyarakat akan memasuki tahap sosialisme atau komunisme. Pada saat itu hak milik perorangan akan dihapuskan dan kekuasaan negara akan digantikan dengan civil society.

Selain itu, kritik atas praktek kapitalsme dunia juga lahir dari Paul Omerold (1994) yang mengatakan bahwa ilmu ekonomi sudah mati. Omerold menganggap bahwa perekonomian yang berkembang saat ini adalah hasil distorsi dari pemikiran Adam Smith dan David Ricardo. Teori invisible hand misalnya, Omerold menyatakan bahwa pemahaman terhadap teori ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari teori Adam Smith sebelumnya, yaitu the theory of moral sentiment. Sementara dalam prakteknya saat ini, teori invisible hand dianggap berdiri sendiri oleh para ekonom dan pelaku ekonomi yang menyebabkan kerancuan dan ketimpangan ekonomi. Memang benar bahwa dalam teori invisible hand, Smith menginginkan kebebasan tanpa batas dan bahwa setiap manusia punya kecenderungan untuk menumpuk keuntungan dan mengakumulasi modal, namun Smith juga percaya bahwa dengan kapital yang terakumulasi dalam jumlah banyak (dengan keuntungan yang besar) seorang individu bisa mengunakan kekayaannya itu untuk membantu orang miskin. Hanya saja dalam realitasnya para ekonom dan pelaku ekonomi seolah-olah memisahkan dua teori Smith sebagai teori yang berdiri sendiri. Akibatnya teori moral sentimen Smith kian terpinggirkan. Para ekonom dan pelaku ekonomi hanya mengggunakan dan mengagungkan teori kedua Smith, yaitu teori invisible hand. Omerold juga mengkritik sikap ekonom masa kini yang dianggap dengan sengaja mendistorsikan makna dari teori comparative advantage David Ricardo. Menurut Omerold semangat yang terkandung dalam teori keunggulan komparatif itu tidak hanya tentang kebebasan pelaku ekonomi (pasar bebas antar negara), tapi Ricardo menurut Omerold justeru lebih menekankan pada pasar bebas antar wilayah dalam negeri, bukan antar negara. Menurut Ricardo, perdagangan bebas antar negara rentan menimbulkan bubble economic (gelembung ekonomi).

Massifnya modal asing yang masuk dalam perekonomian suatu negara sangat rentan menimbulkan gelembung ekonomi. Investasi asing yang berorientasi jangka pendek menyebabkan proses pembangunan terjadi secara massif, namun setelah profit didapat semua modal yang terakumulasi segera ditarik oleh pemilik modal dan menyebabkan krisis ekonomi di negara tujuan investasi. Krisis ekonomi Indonesia tahun 1998 adalah bukti nyata dari bubble economic sebagai akibat dari sikap mementingkan diri sendiri oleh investor dalam sistem ekonomi pasar bebas. Katakanlah, dibutuhkan waktu hanya 5 menit oleh Warren Buffet ataupun George Soros untuk menarik seluruh modalnya melalui telepon seluler, kemudian dampaknya akan menjadi sistemik dan mengancam eksistensi suatu negara (Supiyanto, 2011).

Kematian ilmu ekonomi sebagaimana dikatakan Omerold mungkin terlalu berlebihan jika dipandang dari sudut pandang aktifitas ekonomi secara umum. Sebagai mahluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam konteks ini, maka interaksi antar manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mutlak terjadi dan tidak mungkin berhenti atau mati. Benar apa yang disampaikan Smith dalam teori invisible hand-nya bahwa manusia punya kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri dan menumpuk kekayaan untuk diri sendiri. Tapi menjadi salah ketika kecenderungan egoisme individu itu ditindaklanjuti Smith dengan merekomendasikan kebebasan ekonomi tanpa campur tangan pemerintah. Mengakumulasi modal dan menumpuk kekayaan tentu melibatkan manusia lainnya baik melalui hubungan patron-klien, majikan-pekerja, dan sebagainya. Jika dibiarkan terjadi secara alamiah, maka para pemodal yang ingin mengakumulasi modal itu tentu mengorbankan hak manusia lainnya dalam interaksi ekonominya. Akibatnya penindasan, eksploitasi dan ketidakadilan tidak dapat dihindari. Disinilah perlunya campur tangan pihak ketiga untuk menjembatani kepentingan pihak pemodal dan pekerja. Pemerintah adalah sarana ideal yang bisa mengambil peran sebagai pihak ketiga. Dengan demikian, kematian ekonomi yang sesungguhnya adalah kematian ekonomi kapitalis dan ekonomi pasar bebas. Sebab konsep ekonomi kapitalis ini sudah terbukti menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi. Dalam konteks bernegara, berbagai krisis di berbagai belahan dunia adalah bukti nyata bobroknya kapitalisme.

Monday 17 September 2012

KAPITALISME DAN KERAKUSAN TANPA BATAS

Oleh: Muhammad Nurjihadi, SP
Kapitalisme bertolak pada teori yang dicetuskan Adam Smith (1776) dalam buku The Wealth Of Nation. Dalam buku itu, Smith mencetuskan teori the invisible hand (tangan tak terlihat atau tangan Tuhan) dalam aktifitas ekonomi. Dimana dia menganggap bahwa keseimbangan pasar akan terbentuk melalui mekanisme pertemuan supply – demand (penawaran – permintaan). Smith mengkritik praktek merkantilisme yang berlangsung di Eropa karena dianggap gagal dalam memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Menurutnya, kesejahteraan hanya dapat diraih dengan adanya kebebasan dalam berbisnis dan investasi tanpa ikut campur pemerintah. Pemerintah hanya perlu menempatkan diri sebagai pengawas dalam aktifitas ekonomi dan tidak boleh mengintervensi atau membatasi aktifitas ekonomi. Konsep ini ia sebut sebagai azas Laissez Faire. Dalam perkembangannya, teori ini banyak diterjemahkan sebagai mekanisme pasar dan menjadi alasan intelektual untuk memaksa masyarakat dunia menerima kapitalisme sebagai sistem ekonomi global.

Perdagangan bebas antar negara juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kapitalisme. Teori keunggulan komparatif (theory of comparative advantage) menjadi dasar pemberlakuan pasar bebas ini. Teori ini dicetuskan oleh David Ricardo (1817) yang terinspirasi dari pemikiran Adam Smith. Menurut teori ini, perdagangan internasional akan terjadi jika suatu negara memiliki produk unggulan komparatif yang di produksi secara lebih efisien untuk dijual ke negara lain. Sebagai salah satu syarat terjadinya perdagangan internasional itu, pemerintah dilarang memberlakukan kebijakan-kebijakan proteksionisme dan pembatasan perdagangan. Dengan demikian, mekanisme pasar akan bekerja secara sempurna untuk menentukan keseimbangan harga. Dengan konsep seperti itu, maka harga produk diyakini akan menjadi rendah dan terjangkau oleh konsumen karena adanya persaingan antar perusahaan yang juga berarti peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Modal menjadi instrument terpenting dalam kapitalisme. Semakin besar modal seseorang atau kelompok, maka semakin besar pula peluang untuk mendapatkan keuntungan dan menumpuk kekayaan. Minimnya peran negara dalam perekonomian kapitalis memungkinkan pemilik modal memiliki kekayaan lebih besar dari total kekayaan negara. Semakin besar kekayaan maka semakin besar pula peluang keuntungan itu diputar kembali sebagai modal untuk mendapat keuntungan yang lebih besar. Akibatnya, seorang atau sekelompok orang yang mampu mengakumulasi modalnya secara terus menerus dapat melakukan monopoli perdagangan dan dalam batas tertentu bisa berubah menjadi diktator ekonomi yang menindas kelas bawah. Terlebih dengan diberlakukannya pasar bebas ala Ricardo, itu memungkinkan perekonomian suatu negara akan sangat bergantung pada seseorang atau sekelompok orang yang berasal dari luar negara tersebut jika sebagian besar modal telah terakumulasi pada sekelompok orang luar itu. Jika itu yang terjadi, maka negara tidak akan memiliki wibawa dan dengan mudah dapat di intervensi oleh konglomerasi pemilik modal asing.

Indonesia adalah salah satu negara penganut sistem ekonomi kapitalis. Pemerintah melakukan berbagai terobosan kebijakan untuk memancing investor asing guna menanamkan modalnya di Indonesia. Pada tahun 2011, realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) Indonesia sebesar Rp 175,3 Triliun, sedangkan realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp 76 Triliun. Berdasarkan sektor usaha, PDMN terbesar ada pada industri tanaman pangan dan perkebunan, disusul oleh industri kertas dan percetakan, listrik dan air, transportasi, gudang dan telekomunikasi serta industri makanan. Sedangkan PMA terbesar ada pada sektor transportasi, gudang dan telekomunikasi, disusul pertambangan, listrik, gas dan air, industri logam, barang logam, mesin dan elektronik, industri kimia dasar serta barang kimia dan farmasi (Investor Daily Indonesia, 19 januari 2012). Data diatas memberikan gambaran bahwa ekonomi Indonesia lebih didominasi oleh modal asing. Lebih dari itu, data diatas juga menunjukkan bahwa modal asing di Indonesia lebih banyak digunakan untuk investasi pada sektor-sektor dengan resiko kerusakan lingkungan yang besar seperti pertambangan, migas, transportasi barang logam dan industri kimia.

Tujuan investor menanamkan modalnya tentu saja untuk mendapatkan keuntungan. Berproduksi dengan biaya sekecil-kecilnya dan mendapatkan output serta outcome yang sebesar-besarnya adalah prinsip penting ekonomi kapitalis. Tidak peduli dampak negatif apa yang disebabkan oleh aktifitas bisnis yang dilakukan. Dalam sektor pertambangan misalnya, bisnis padat modal itu mampu memberikan revenue yang besar terhadap pemilik modal, tapi pada saat bersamaan menyebabkan kerusakan lingkungan dan bahkan instabilitas sosial. Menurut data BPS (2010) mencatat bahwa pada tahun 2010, share sektor pertambangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) adalah 11% dengan nilai US$ 73 miliar atau setara dengan sekitar Rp 620 Triliun. Sementara itu kementerian kehutanan mencatat 70% kerusakan hutan disebabkan oleh aktifitas pertambangan (Republika Online, 8 Agustus 2012).

Dominasi asing di Indonesia tidak hanya pada sektor pertambangan, tapi juga pada sektor telekomunikasi yang menguasai 90% saham nasional, sektor perbankan dikuasai 80%, sektor energi 90%, sektor migas 74% dan bahkan termasuk sektor pertanian. Ekspansi modal asing dalam perekonomian Indonesia terus mengalami peningkatan. Selama bulan januari hingga juni 2012, PMA meningkat tajam hingga 30,3% dari Rp 82,6 Triliun pada semester II tahun 2011 menjadi Rp 107,6 Triliun. Sedangkan PMDN hanya mampu tumbuh 22,7% dari total Rp 33 Triliun pada semester II tahun 2011 menjadi Rp 40,5 Triliun (BKPM, 2012). Pertumbuhan ini diperkirakan akan terus meningkat pada masa-masa yang akan datang.

Ekspansi modal asing selalu diikuti dengan eksploitasi. Eksploitasi selalu dekat dengan kerusakan lingkungan, konflik sosial dan ketimpangan ekonomi. Kinerja makro ekonomi Indonesia yang sangat baik seperti pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,5% setiap tahun, pengendalian inflasi, dan penurunan jumlah pengangguran nampaknya tidak sebanding dengan kerugian yang kita korbankan. Kerusakan lingkungan pada tahun 2011 tercatat meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Selama tahun 2011 tercatat 141 kasus pencemaran lingkungan, meningkat dari 75 kasus pada tahun 2010. Data itu diperkuat dengan meningkatnya volume banjir dari 345 kasus pada tahun 2010 menjadi 378 kasus pada tahun 2011 (Walhi dalam www.beritahukum.com).

Selain harus menanggung biaya perbaikan lingkungan sebagai akibat dari kerakusan tanpa batas dalam ekonomi kapitalis, kita juga harus menanggung korbanan lain dalam bentuk konflik sosial dan ketimpangan ekonomi. Pada tahun 2011, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 163 kasus konflik agraria yang melibatkan 69.975 kepala keluarga dengan korban meninggal sebanyak 22 orang. Jumlah ini meningkat dari tahun 2010 yang jumlah kasus konflik agraria mencapai 106 konflik dengan tiga orang meninggal. Dari 163 kasus konflik pada tahun 2011, sektor yang paling banyak menyebabkan konflik adalah sektor perkebunan sebanyak 97 kasus, sektor kehutanan 36 kasus, sektor infrastruktur 21 kasus, sektor pertambangan 8 kasus dan 1 kaus di wilayah tambak dan pesisir (Kompas, 28 Desember 2011).

Dengan berorientasi pada ekonomi pro capital (capital oriented), Indonesia sukses memperbaiki performance ekonominya. Tidak hanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kemampuan mengendalikan inflasi, Indonesia juga sukses meningkatkan pendapatan perkapita penduduk. Saat ini, pendapatan perkapita Indonesia berada pada kisaran US$ 3.000 atau lebih dari Rp 25 juta per tahun. Namun ironisnya peningkatan pendapatan perkapita itu diikuti dengan peningkatan ketimpangan pendapatan antara orang kaya dan miskin. Ketimpangan itu dapat dilihat dari nilai koefisien gini ratio. Dimana jika gini ratio sama dengan nol, maka suatu negara dinyatakan mengalami pemerataan sempurna, sedangkan jika gini ratio sama dengan satu berarti negara mengalami ketimpangan sempurna. Koefisien gini ratio Indonesia pada tahun 2010 saja mencapai 0,39 (neraca.com, 15 April 2012). Hal ini menunjukkan bahwa agresifnya infiltrasi modal, baik modal asing maupun modal dalam negeri pada ekonomi Indonesia ternyata hanya mampu mensejahterakan pemilik modal dan membiarkan masyarakat miskin kian tertinggal dan terjebak pada kemiskinannya.

Data-data diatas merupakan fakta yang terjadi hanya di Indonesia. Apa yang terjadi pada level global menunjukkan gejala yang sama atau bahkan lebih parah. Terlebih dengan adanya fenomena pemanasan global yang mengancam dunia. Fakta-fakta tak terbantahkan itu kemudian menyadarkan orang bahwa kapitalisme yang rakus tengah mengancam kemanusiaan. Tidak hanya menyebabkan kerugian pada masa kini karena banyaknya konflik sosial dan ketimpangan ekonomi, tapi juga mengancam generasi yang akan datang karena kerusakan lingkungan. Rusaknya lingkungan akan menyebabkan ketidakseimbangan alam sehingga alam tidak mampu menyediakan kebutuhan hidup manusia. Atas dasar kesadaran itu, para pemikir dunia kemudian menawarkan solusi pembangunan berkelanjutan, dimana pembangunan ekonomi diarahkan untuk tidak bersifat eksploitatif yang merusak lingkungan serta ramah pada kehidupan sosial.