Wednesday 29 August 2012

POLITIK EKONOMI TEMBAKAU: PERSELINGKUHAN INDUSTRI ROKOK DAN FARMASI (Mengungkap Kebohongan dan Motif Terselubung Dibalik Kampanye Anti Tembakau Global)

Oleh: Muhammad Nurjihadi, SP*
Sejak berabad-abad yang lalu, tembakau menjadi komoditas strategis dalam memajukan ekonomi suatu negara. Tidak berlebihan jika komoditas ini disebut sebagai “emas hijau”. Pada tahun 2011, pasar tembakau global bernilai sekitar US$ 378 miliar atau setara dengan Rp 3.500 Triliun. Jika dianalogikan sebagai sebuah negara, maka berdasarkan data Bank Dunia tahun 2011 negara tembakau itu akan menjadi negara dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) terbesar ke 29 di dunia. Unggul dari si raja minyak Saudi Arabia. Sejak akhir dekade 1990-an, para pelaku kesehatan gencar mengkampanyekan bahaya merokok terhadap kesehatan. Akibatnya banyak negara mengambil kebijakan pengetatan bisnis rokok dan tembakau. Tapi ironisnya, ditengah semakin menurunnya produksi tembakau global, para pelaku industri rokok justeru mengalami peningkatan pendapatan. Disamping itu, mencuatnya kekhawatiran akan bahaya merokok berhasil mendongkrak popularitas dan pendapatan industri farmasi, terutama yang berkaitan dengan tembakau. Sampai disini, kesimpulan yang saya ambil adalah “it’s just about money”.

Tembakau mulai dikenal manusia sejak abad pertama sebelum masehi. Suku Indian di Amerika diketahui menggunakan tembakau untuk keperluan pengobatan dan religius pada masa itu. Pada abad-abad selanjutnya, tembakau berkembang dan menyebar ke seluruh penjuru dunia dan menjadi salah satu komoditas penting perdagangan global (Herjuno dkk, 2012). Dalam perkembangan selanjutnya, tembakau diolah menjadi rokok yang digemari oleh orang-orang di Eropa dan Asia. Dari sinilah bisnis tembakau untuk keperluan komersil (industri rokok) mulai berkembang.

Indonesia adalah salah satu negara dengan potensi yang luar biasa untuk pengembangan tembakau. Oleh karenanya, pemerintah Kolonial Belanda dalam kebijakan tanam paksanya meminta, atau tepatnya memaksa rakyat Indonesia untuk menanam tembakau guna memenuhi kebutuhan global dan meningkatkan pendapatan negara. Seiring perjalanan waktu, pemaksaan menanam tembakau ini berkembang menjadi kebiasaan yang menyebabkan para petani tembakau yang dipaksa itu tetap menanam tembakau setelah berakhirnya politik tanam paksa. Bahkan ketika pemerintah kolonial melakukan liberalisasi ekonomi secara ekstrem di wilayah Indonesia, agribisnis tembakau tetap berkembang tanpa campur tangan pemerintah kolonial.

Industri rokok mengalami masa kejayaan pada abad ke 20. Kebudayaan merokok pada masa itu menyebar ke seluruh dunia dengan berbagai bentuk. Di Indonesia berkembang rokok tradisional yang dikenal dunia dengan nama “kretek”. Rokok kretek ini merupakan racikan asli orang Indonesia yang membuat rokok dari bahan tembakau yang ditambah dengan cengkeh dan saus sebagai penyedap rasa. Pada tahun 1913, seorang tionghoa Indonesia bernama Liem Seeng Tee untuk pertama kalinya memproduksi rokok kretek untuk keperluan komersial. Setelah mendapat sambutan yang luas dari masyarakat, industri rumah tangga Liem ini terus berkembang dan diteruskan oleh anak-cucunya. Pada tahun 1930, industri rumah tangga ini diresmikan secara resmi dengan nama NVBM Handel Maatschapij Sampoerna yang menjadi cikal bakal H.M. Sampoerna yang kita kenal hari ini. Saat ini PT H.M Sampoerna merupakan penguasa pangsa pasar rokok Indonesia dengan menguasai 25% pasar rokok mengungguli PT Gudang Garam dan PT Djarum tbk yang masing-masing menguasai 21% dan 19% (Bursa Efek Indonesia, 25 Mei 2009).

Indonesia menikmati hasil cukup besar dari industri tembakau. Pada tahun 2005, industri tembakau dengan segala multiplier effect-nya menyumbang sekitar Rp 48 Triliun untuk PDB Indonesia. Jumlah ini terus meningkat setiap tahun seiring meningkatnya penerimaan cukai tembakau. Pada tahun 2011 saja, penerimaan negara dari cukai tembakau menembus angka Rp 60,7 Triliun. Jumlah ini meningkat secara berkala dari tahun-tahun sebelumnya. Sebagai perbandingan, pada tahun 2011 negara menerima pendapatan Rp 12,9 Triliun dari cukai SDA non migas (pertambangan umum, kehutanan, perikanan dan panas bumi). Artinya nilai cukai tembakau lima kali lebih besar dibanding cukai SDA non migas (diolah berdasarkan table I-O 2005-2011 dari BPS).

Pada penghujung abad ke 20 berkembang isu bahaya merokok bagi kesehatan. Munculnya isu ini berbarengan dengan masa kejayaan industri farmasi global (obat-obatan kimia). Setelah berhasil mempengaruhi persepsi publik internasional tentang manfaat pengobatan kimia dan “tidak ilmiahnya” pengobatan tradisional, industri farmasi global menghasilkan keuntungan fantastis dari penjualan obat-obatan kimia. Atas nama “ilmu pengetahuan dan teknologi”, setiap obat yang tidak didasarkan atas penelitian di lembaga-lembaga riset formal dianggap berbahaya dan tidak bermanfaat. Akibatnya praktek-praktek pengobatan tradisional di seluruh dunia mengalami kemunduran, tak terkecuali di Indonesia. Masa kejayaan industri farmasi itu berlanjut dengan kampanye anti tembakau. Tujuannya tidak lain adalah untuk menyadarkan orang bahwa rokok mengandung nikotin yang berbahaya bagi kesehatan. Pada awalnya, isu ini mengagetkan publik dan menampar industri rokok global. Pertentangan antara industri rokok dan industri farmasi tidak dapat dihindarkan. Namun dalam perjalanan waktu, perseteruan kedua jenis industri ini menemui titik temu yang menguntungkan kedua belah pihak. Sejak itulah terjalin hubungan “perselingkuhan” antara industri rokok dan industri farmasi.

Dengan gencarnya kampanye anti tembakau global, industri farmasi meresponnya dengan memproduksi obat-obatan kimia yang bisa mengurangi dampak nikotin tembakau. Lebih dari itu, industri farmasi juga mengembangkan alat dan bahan bernilai tinggi untuk keperluan pengobatan sakit tenggorokan dan paru-paru yang disebabkan oleh aktifitas merokok. Bayangkan jumlah alat dan bahan yang dijual ke seluruh penjuru dunia untuk keperluan itu. Di Indonesia, akhir-akhir ini kita menemukan banyaknya produk baru yang berkaitan dengan aktifitas merokok. Anda tentu mengenal salah satu produk pasta gigi yang dikhususkan untuk para perokok yang sedang gencar diiklankan di media massa (saya tidak mau menyebut merek), lalu berbagai produk makanan lainnya yang diiklankan “sangat baik” untuk mengurangi bahaya merokok.

Selain keuntungan bagi industri farmasi, industri rokok juga mendapat keuntungan yang tidak kalah mengesankan dengan adanya isu anti rokok atau anti tembakau itu. Dengan adanya isu tersebut, banyak negara mengambil kebijakan khusus untuk industri rokok. Kebijakan yang diambil umumnya adalah meningkatkan pajak dan cukai tembakau dan melarang atau membatasi impor tembakau. Tingginya pajak dan cukai tembakau ini menjadi alasan industri rokok untuk membeli tembakau petani dengan harga murah. Sehingga industri rokok bisa mendapatkan bahan baku dengan harga yang murah dan menjualnya dengan harga yang tinggi. Dalam sebuah pertemuan perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak di bidang tembakau se-Asia di Jakarta pada tahun 2011 kemarin, salah seorang CEO dalam pidatonya mengatakan kita bisa memproduksi satu batang rokok dengan biaya 5 sen dan menjualnya dengan harga 1 dolar. Saya kira inilah yang menjadi alasan kenapa industri rokok terus mengalami peningkatan pendapatan ditengah terus menurunnya produksi tembakau.

Relevansi Dengan Perkembangan Tembakau Virginia Lombok
Pada sebagian masyarakat Pulau Lombok, utamanya di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah, tembakau bukan hanya sekedar komoditas. Bagi mereka tembakau adalah budaya, tradisi, cara pandang, cara hidup dan bisnis yang menjanjikan. Saya kira tidak berlebihan jika saya juga menyebut diri sebagai produk dari usahatani tembakau. Artinya tanpa usahatani tembakau, mungkin saya tidak akan mampu mengenyam pendidikan hingga sejauh ini. Meski sejak memasuki dunia mahasiswa saya menjadi salah seorang penganjur utama “Stop Usahatani Tembakau”, tapi saya tetap tidak bisa menutup mata pada fakta bahwa tembakau adalah tradisi dan cara hidup masyarakat di sebagian Pulau Lombok.

Pada masa 1990-an hingga awal 2000-an, tembakau menjadikan masyarakat di Pulau Lombok bertransformasi dari masyarakat miskin menjadi masyarakat kelas menengah. Secara mengesankan, tembakau mengantarkan orang-orang miskin pedalaman itu pada kehidupan baru. Tembakau bahkan disebut sebagai sarana penting untuk menunaikan ibadah Haji. Namun kondisi mulai berubah pada pertengahan dan akhir dekade 2000-an. Banyak petani mengalami kerugian dan menyebabkan terjadinya instabilitas sosial di masyarakat petani tembakau (Nurjihadi, 2011). Petani umumnya memahami fenomena ini sebagai sebuah fenomena biasa dalam berusaha dimana untung dan rugi adalah sesuatu yang wajar. Tapi luput dari pemahaman dan analisis mereka bahwa apa yang mereka alami adalah sebuah bagian dari sekenario ekonomi politik yang berlangsung secara global. Harapan petani untuk kembali menuai keuntungan pada tahun-tahun berikutnya nyatanya tidak terbukti. Mereka tetap rugi dan kian terjebak pada hutang yang tidak pernah mereka nikmati. Sebagian petani memang masih ada yang untung. Tapi sejauh pengamatan saya, keuntungan itu didapatkan karena kedekatan dengan “orang dalam” perusahaan. Dengan kata lain, nepotisme usaha menjadi hal wajib untuk bisa sukses dalam usahatani tembakau di Pulau Lombok. Kita tahu, sebagian besar petani tembakau itu adalah orang awam yang tidak punya jaringan cukup untuk bisa membuat mereka diuntungkan dalam usahatani tembakau.

Pada tanggal 21 April 2011, Harian Suara NTB mengatakan bahwa pemerintah menuntut agar produksi tembakau Virginia di Pulau Lombok terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan industri rokok nasional. Pasalnya sebagian besar kebutuhan bahan baku industri rokok nasional (yang berbahan tembakau Virginia) di impor dari luar. NTB hanya mampu mensuplai 40.000 ton tembakau Virginia setiap tahunnya dari total 180.000 ton kebutuhan nasional. Namun dalam pemberitaan di gomong.com tanggal 20 Agustus 2012 kemarin mengatakan bahwa telah terjadi over produksi tembakau Virginia di Lombok Timur. Dengan adanya isu over produksi ini, perusahaan membeli tembakau petani dengan harga murah (kalau tidak bisa disebut meminta tembakau petani secara Cuma-Cuma). Sungguh ironis, ketika NTB diminta meningkatkan produksinya karena dinilai produksi selama ini terlalu kecil, justeru ditingkat petani tersebar isu bahwa telah terjadi over produksi tembakau Virginia di Pulau Lombok. Sejatinya, tidak ada istilah over produksi. Kalaupun Lombok berhasil memproduksi tembakau lebih dari kebutuhan nasional, lebihnya itu bisa di ekspor ke luar negeri.

Tidak adanya harga dasar atau harga terendah yang ditetapkan oleh perusahaan mitra petani di Pulau Lombok membuat petani kian tersudut dan resah. Mereka harus bersedia menjual tembakau yang mereka produksi dengan tetesan keringat, air mata dan bahkan darah dengan harga yang ditetapkan secara sepihak oleh perusahaan. Sungguh tidak adil. Disaat harga rokok terus meningkat dan pasar tembakau global terus bergeliat, harga tembakau Virginia di Pulau Lombok justeru semakin jatuh. Sebagai putra sasak asli, sungguh saya merasa harga diri dan martabat saya dan masyarakat pulau Lombok telah diinjak-injak dan dihina oleh para perampok berkedok perusahaan itu. Tidak rela rasanya, derasnya keringat dan darah yang keluar untuk memproduksi tembakau dibayar hanya dengan harga seenaknya.

Kesimpulan
Pada dasarnya isu anti tembakau dan anti rokok yang sekarang sedang menggeliat merupakan bagian dari sekenario untuk mengeruk dan menumpuk kekayaan oleh segelintir orang kaya di dunia ini. Melalui perusahaan-perusahaan Multinasional Corporation (MNC), para penjajah ekonomi dunia itu menguasai dan mengeksploitasi sumber daya kita untuk kepentingan mereka. Di Indonesia, PT HM Sampoerna yang merupakan perusahaan rokok terbesar di Indonesia itu telah diakuisisi dan saham mayoritasnya telah dimiliki oleh perusahaan rokok multinasional bernama Philip Morris Internasional. Keuntungan industri rokok di Indonesia akan mereka bawa ke luar negeri untuk keperluan mereka. Dengan demikian, saat ini kita secara terang-terangan (namun kita tidak sadar) telah dijajah oleh mereka. Para petani diminta memproduksi tembakau dengan resiko yang besar, lalu mereka beli dengan harga murah dan dijual kembali dalam bentuk rokok dengan harga yang mahal.

Sampai hari ini RUU Tembakau Indonesia tak kunjung mampu diselesaikan. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan karena besarnya pengaruh lobi-lobi asing untuk membuat UU itu. Para petani dikerahkan untuk berdemonstrasi dengan alasan ekonomi kerakyatan agar membatalkan RUU itu. Pada saat yang sama, para investor atau pengusaha asing yang saya anggap sebagai perampok dan penjahat ekonomi itu tertawa melihat kebodohan kita. Nilai ekonomi tembakau mungkin memang mengesankan bagi petani tembakau. Tapi sebagaimana penjelasan diatas bahwa usahatani tembakau ini sudah tidak lagi menguntungkan secara ekonomi. Kalaupun misal usahatani tembakau masih dianggap menguntungkan, cobalah dihitung dan dianalisa kembali. Keuntungan yang didapat dari usahatani tembakau itu tidak bernilai apa-apa jika dibanding pengeluaran yang kita gunakan untuk menanggulangi dampak dari usahatani tembakau itu. Sebut saja misal secara makro pendapatan negara dari agribisnis tembakau (dengan keterkaitan/linkage ke depan dan ke belakangnya) pada tahun 2005 mencapai Rp 48 Triliun. Nilai itu tidak seberapa dengan pengeluaran untuk mengatasi dampak dari usahatani tembakau itu seperti perbaikan kondisi lingkungan, investasi biaya kesehatan masyarakat melalui Jamkesmas, membeli alat-alat kesehatan canggih nan mahal milik asing untuk mengobati penyakit sebagai dampak merokok, dan lain-lain.

Sungguh adalah sebuah kebodohan dan sebuah mental terjajah ada pada diri orang yang merokok. Dengan merokok, mereka dengan suka rela telah menghabiskan uangnya untuk memperkaya para konglomerat asing yang perampok itu dengan membeli rokok setiap hari. Setelah mereka mengalami dampak negatif dari rokok, mereka juga harus mengeluarkan uang, sekali lagi untuk memperkaya para perampok asing dengan membeli obat yang diproduksi oleh industri farmasi asing. Proses pengobatan di Rumah Sakit pun merupakan proses penyerahan harta secara Cuma-Cuma kepada para investor yang tidak lain adalah penjahat ekonomi itu. Jadi wahai seluruh rakyat Indonesia, saya mohon berhentilah merokok demi tegaknya harga diri dan keselamatan kita.

*penulis adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Desa, Institut Pertanian Bogor, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Contact: 081 805 775 723

5 comments:

bentang web said...

Makasi artikelnya pak.....Petani NTB kena tipu dan di dzolimi

Unknown said...

sama-sama pak, terimakasih sudah bersedia membaca artikel ini.. saya berharap artikel ini juga bisa disebarluaskan sebagai sarana pencerdasan agar petani kita tidak terus ditipu...

opeanbenlawi.com said...

super.....saya kagum dengan analisis antum akhi...semakin matang....bisa jadi tim ahli pak suryadi st...kedepan

Mr. Ibenk said...

judulnya mengungkap Perselingkuhan Industri Rokok dan Farmasi, tapi dibagian akhir anda menyuruh untuk berhenti merokok.
cuma saran : mungkin perlu sedikit diperjelas pengaruh industri farmasinya, agar para reader juga bisa terarah untuk menarik kesimpulan dan garis hubungan yang cantik dari perselingkuhan kedua industri disebut diatas.
JUST KEEP WRITING.

Unknown said...

terimakasih atas sarannya Mr.Ibenk. usulan saya untuk berhenti merokok merujuk pada fakta bahwa industri rokok dan industri farmasi membutuhkan para perokok itu untuk meraup keuntungan sebagaimana penjelasan dalam tulisan diatas. memang sulit untuk mendapatkan dokumen-dokumen tentang perselingkuhan itu,, ya namanya juga perselingkuhan pasti rahasia.. sehingga analisis ini lebih mengandalkan data statistik yang ada beserta perkembangan yang berkaitan dengan isu ini akhir-akhir ini. saya akan terus berusaha untuk mengembangkan tulisan ini,, mencari data dan fakta terbaru untuk memperkuat argumen saya ini. sekali lagi terimakasih Mr.Ibenk