Sunday 26 August 2012

MENAKAR MANFAAT DAN MUDHARAT USAHATANI TEMBAKAU VIRGINIA LOMBOK

Oleh: Muhammad Nurjihadi, SP*

Usahatani tembakau di Pulau Lombok, utamanya di kabupaten Lombok Timur telah berubah menjadi tradisi. Pada awal kemuncululannya, usahatani ini membawa berkah dan harapan untuk petani, tapi kini usahatani tembakau Virginia di Pulau Lombok tidak lebih dari sekedar tradisi yang mengancam eksistensi. Bisnis rakyat ini tidak lagi menguntungkan secara ekonomi, sosial maupun lingkungan. Usahatani ini menguuras energi dan mengeksploitasi seluruh sumber daya yang kita punya tanpa hasil yang layak.

Tembakau mulai masuk di Pulau Lombok sejak awal tahun 1960-an. Namun baru menemukan momentum terbaiknya pada awal dekade 1990-an. Menjamurnya perusahaan-perusahaan pengumpul dan distributor hasil tembakau yang kemudian bermitra dengan petani untuk mengembangkan usahatani tembakau Virginia telah mendorong perkembangan usahatani ini dengan pesat. Perkembangannya menjadi semakin massif karena mendapat dukungan dari pemerintah dengan adanya program Intensifikasi Tembakau Virginia pada akhir 1980-an.

Berbagai studi tentang dampak perkembangan usahatani tembakau Virginia di Pulau Lombok menunjukkan bahwa usaha rakyat ini mampu meningkatkan pendapatan masyarakat secara signifikan. Nurjihadi (2011) bahkan menyebutkan berkembangnya usahatani tembakau Virginia di Pulau Lombok, terutama di Kabupaten Lombok Timur telah mampu merubah wajah masyarakat desa yang identik dengan kemiskinan kolektif menjadi masyarakat ekonomi menengah yang oportunis dan individualis. Peningkatan pendapatan ini kemudian berpengaruh positif pada tingkat pendidikan, akses terhadap layanan kesehatan, kepemilikan rumah dan asset lainnya. Lebih jauh, peningkatan pendapatan kolektif masyarakat ini juga mendorong tumbuhnya sektor-sektor ekonomi yang lain mengingat semakin meningkatnya daya beli masyarakat.

Keberhasilan demi keberhasilan yang diperoleh petani tembakau membuat mereka bergantung pada usahatani ini. Keberhasilan itu juga menginspirasi dan mendorong orang lain untuk ikut mengusahakan usahatani tembakau Virginia. Dari tahun ke tahun jumlah petani yang bermitra dengan perusahaan terus meningkat. Luas areal tanam, jumlah oven dan kapasitas produksi pun terus mengalami peningkatan. Data menunjukkan luas areal tanam tembakau di Pulau Lombok mencapai sekitar 25.000 Ha yang diomprong dengan sekitar 15.000 unit oven tembakau. Rata-rata hasil yang diperoleh setiap tahunnya adalah sekitar 40 ribu ton tembakau omprongan.

Pengembangan usahatani tembakau memang selalu menjadi dilema. Pendapatan dan kesejahteraan petani di satu sisi selalu berlawanan dengan dampak kesehatan yang ditimbulkannya pada sisi lain. Khusus untuk kasus pengembangan tembakau Virginia di Pulau Lombok, dilema itu tidak hanya menyangkaut pendapatan petani Vs aspek kesehatan masyarakat, tapi juga antara pendapatan petani Vs keberlangsungan hidup (life sustainability). Keberlanjutan (sustainability) diartikan sebagai upaya untuk menjaga hak-hak generasi yang akan datang untuk bisa hidup dengan layak atas dasar warisan sosial, budaya dan lingkungan yang ditinggalkan generasi saat ini. Secara sosial, usahatani tembakau secara nyata telah menyebabkan runtuhnya nilai-nilai sosial kolektif yang ada di masyarakat. Gotong royong dan semangat kebersamaan yang menjadi ciri khas masyarakat desa (terutama petani) sudah sulit ditemukan pada petani tembakau. Dalam beberapa kasus, usahatani ini justeru melahirkan instabilitas sosial seperti konflik dan kriminalitas. Studi yang saya lakukan menunjukkan bahwa konflik sering disebabkan karena adanya perkara hutang-piutang yang menjadi “tradisi” dalam berusahatani tembakau. Sementara kriminalitas muncul akhir-akhir ini sebagai respon dari kerugian besar yang dialami petani. Konflik dan kriminalitas tentu merupakan ancaman untuk generasi yang akan datang.

Setelah ditelurusuri lebih jauh, penurunan pendapatan petani pada usahatani tembakau Virginia di Pulau Lombok disebabkan karena setidaknya dua hal, pertama meningkatnya biaya produksi omprongan tembakau setelah dicabutnya subsidi minyak tanah dan kedua menurunnya kualitas hasil omprongan karena bahan bakar yang kurang baik ataupun karena cuaca dan kualitas tanah yang sudah tidak begitu baik. Dalam sedikit kasus yang lain, bahkan ada petani yang sampai bunuh diri karena dililit hutang yang terlalu besar pada saat mengusahakan usahatani tembakau. Dengan demikian, dari sudut pandang sosiologis, saya menyimpulkan bahwa usahatani tembakau sudah menjadi ancaman serius bagi masyarakat. Bagaimana tidak, disaat masyarakat sudah tidak memiliki ikatan sosiologis yang cukup kuat seperti dulu, masyarakat harus dihadapkan pula pada fakta kemiskinan dan ketidakramahan harga jual tembakau. Jika dulu kemiskinan direspon masyarakat desa dengan kolektifitas dan gotong royong, maka sekarang kemiskinan itu direspon dengan kriminalitas sebab kebersamaan dan gotong royong mereka sudah dicabik-cabik oleh budaya oportunis dan individualis yang tumbuh subur di masyarakat desa.

Disamping itu, kita juga perlu mentelaah aspek keberlanjutan (sustainability) dari sudut pandang lingkungan. Dulu, pengomprongan tembakau dilakukan dengan bahan bakar minyak yang disubsidi pemerintah. Pada satu sisi kebijakan ini sangat membantu petani karena dengan bahan bakar minyak yang disubsidi, biaya produksi menjadi rendah dan kualitas hasil omprongan menjadi lebih baik. Tapi pada sisi lain, kita dihadapkan pada fakta kelangkaan energi. Dengan alasan itu, pemerintah kemudian mencabut subsidi minyak tanah untuk keperluan omprongan tembakau. Lagipula, bisnis seperti tembakau sesungguhnya “tidak layak” mendapat subsidi pemerintah, bukan hanya karena dampak negatifnya, tapi juga karena sifat komoditas tembakau yang merupakan komoditas komersil (High Value Commodity), bukan komoditas pangan yang menjadi kebutuhan dasar (basic need) masyarakat.

Sebagai alternatif, Pemerintah Daerah NTB kemudian mengintruksikan penggunaan batu bara dan kayu bakar untuk mengomprong tembakau (Pergub NTB No.79 A/tahun 2008). Untuk keperluan ini, pemerintah daerah bahkan bersedia untuk membantu proses konversi dengan memberikan subsidi modifikasi oven. Kebijakan ini bagi saya adalah sebuah kekonyolan. Beban biaya konversi seharusnya ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan mitra, bukan oleh pemerintah, sebab yang mendapat manfaat paling banyak dari program ini adalah perusahaan-perusahaan itu, bukan petani.

Konversi bahan bakar untuk omprongan tembakau dari minyak tanah ke batu bara membawa masalah lain. Pencemaran udara yang berdampak kepada kesehatan masyarakat tidak dapat dihindarkan. Petani pengomprong tentu menjadi pihak yang paling dirugikan dengan kondisi ini. Sebab petani pengomprong adalah orang yang berinteraksi langsung dengan batu bara itu. Sementara itu, perusahaan seolah tidak mau ambil pusing dan hanya ingin mengambil untung. Bukan hanya menimbulkan masalah kesehatan, penggunaan batu bara juga menyebabkan menurunnya kualitas hasil omprongan tembakau, akibatnya perusahaan membeli tembakau omprongan petani dengan harga murah. Disinilah anehnya, ketika petani pengomprong dihadapkan pada resiko yang lebih besar, mereka justeru mendapatkan hasil yang lebih kecil.

Selanjutnya, konversi dilakukan ke kayu bakar. Masalah kesehatan mungkin tidak lagi separah ketika menggunakan batu bara, namun dampak lain dari penggunaan kayu bakar adalah peningkatan aktifitas fisik dan resiko kebakaran. Hasil omprongan masih tetap tidak berpihak pada petani pengomprong. Sekali lagi, ketika resiko semakin besar, penghasilan justeru semakin kecil. Selain itu, data menunjukkan bahwa untuk mengomprong tembakau dengan sekitar 15.ooo oven tembakau yang ada di Pulau Lombok dibutuhkan sekitar 50.500 meter kubik kayu bakar atau sekitar 43.000 pohon untuk satu kali omprongan (Media Indonesia, 8 Agustus 2012). Jika dalam satu musim tanam tembakau pengomprongan dilakukan 4-6 kali, maka dalam satu musim tanam, dibutuhkan 200.000 – 300.000 meter kubik kayu atau 120.000 – 230.000 pohon. Dari mana mendapatkan kayu sebanyak itu ? Dalam 3-5 tahun kedepan, hutan di Lombok akan habis untuk keperluan pengomprongan tembakau. Kita tau apa dampak dari ketiadaan hutan dalam suatu wilayah. Bencana mengintai kita. Itulah masa depan generasi yang akan datang (anak cucu kita) jika kondisi ini tidak segera kita perbaiki.

Kita tidak bisa menyalahkan petani pengomprong. Biar bagaimanapun, mereka sedang berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Bagi saya, perusahaan mitra adalah pihak yang paling bertanggungjawab untuk masalah ini. Tembakau sebagai komoditas komersil (High Value Commodity) seharusnya dihargai secara layak oleh perusahaan. Menurut hemat saya, petani pengomprong sebetulnya masih tetap bisa menggunakan bahan bakar minyak tanah asalkan hasil omprongannya dibeli dengan harga yang layak dan menguntungkan petani oleh perusahaan. Untuk mendapatkan untung, perusahaan dapat menjualnya dengan harga yang lebih tinggi ke produsen rokok dan produsen rokok pun bisa mendapat keuntungan dengan meningkatkan harga jual rokoknya. Dengan demikian, siklus ekonomi dalam usahatani tembakau akan berlangsung secara normal dan wajar serta disisi lain mampu mengurangi resiko kesehatan akibat budaya merokok. Bukankah dengan harga rokok yang tinggi setidaknya akan membuat para perokok berhemat dalam belanja rokok. Namun langkah ini harus diikuti dengan political will yang memihak dari pemerintah pusat maupun daerah. Konsep diatas tidak mungkin terwujud jika harga tembakau Virginia impor lebih rendah daripada harga tembakau Virginia Lombok. Maka untuk keperluan itu perlu diberlakukan kebijakan peningkatan bea masuk tembakau. Dengan demikian, tembakau Virginia Lombok masih dapat bersaing dengan tembakau Virginia impor. Kita harus menyelamatkan masyarakat petani tembakau di Pulau Lombok dari ancaman sosial dan lingkungan. Usahatani tembakau ini menjadi tradisi karena masyarakat menjadi sangat tergantung pada usahatani ini, seolah tidak ada alternatif ekonomi lain yang lebih menguntungkan dari tembakau. Usahatani tembakau menjadi ancaman eksistensi karena telah menunjukkan gejala yang negatif pada aspek sosiologis dan lingkungan yang dapat mengancam generasi yang akan datang.

*penulis adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Desa, Institut Pertanian Bogor, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Contact: 081 805 775 723