Monday 27 August 2012

PERBAIKAN IPM, ORIENTASI KERJA YANG KELIRU

Oleh: Muhammad Nurjihadi, SP

Masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi resah ketika tau NTB berada pada urutan 32 dari 33 provinsi di Indonesia dalam hal Human Development Indeks (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Tak pelak, isu IPM kemudian menjadi komoditas politik yang seksi pada Pilkada 2008. Semua calon mengangkat isu ini untuk meraih simpati publik, termasuk sang pemenang Pilkada TGB-Badrul Munir. Seolah terjebak pada janji-janji politiknya, TGB-BM memfokuskan diri pada program perbaikan IPM. Dicetuskannya Adono, Absano dan Akino tidak lain adalah upaya untuk memperbaiki IPM NTB. Dalam prakteknya, Pemda NTB dibawah TGB-BM terjebak pada formalitas untuk memperbaiki angka statistik IPM dan menjauh dari substansi dan semangat yang membentuk IPM itu. Akibatnya, IPM NTB tak kunjung membaik , tapi kebocoran anggaran terjadi dalam jumlah besar yang justeru merugikan daerah.

Human Development Indeks (HDI) yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mulai digunakan sebagai alat ukur kemajuan suatu negara atau wilayah sejak awal tahun 1990-an. IPM dikemukakan oleh ekonom asal India dan Pakistan bernama Amartya Sen dan Mahbub ul Haq. Sebelumnya, alat ukur kemajuan suatu negara atau wilayah menggunakan pendapatan per kapita yang dihitung dengan membagi nilai PDRB/GNP dengan jumlah total populasi di suatu wilayah atau negara. Faktanya, alat ukur pendapatan per kapita itu tidak dapat menggambarkan kondisi real masyarakat di suatu wilayah atau negara. Ketimpangan pendapatan adalah dampak nyata dari penggunaan alat ukur itu. Pendapatan perkapita yang tinggi di suatu wilayah sering kali didapatkan dari nilai kekayaan sekelompok kecil orang yang menguasai sebagian besar nilai ekonomi di wilayah itu.

Munculnya gagasan alat ukur kemajuan dengan IPM menghadirkan paradigma baru dalam proses pembangunan ekonomi suatu negara, yaitu pemerataan dan kebijakan mensejahterakan (welfare policy). Dengan alat ukur kemajuan yang baru ini diharapkan proses pembangunan di suatu negara akan menjadi lebih adil dan mensejahterakan secara substansial. IPM diukur dengan tiga indikator utama yaitu pendidikan (angka buta huruf dan lama sekolah), kesehatan (angka kematian bayi dan ibu saat melahirkan), dan ekonomi (pendapatan perkapita dan daya beli masyarakat). Sejak akhir tahun 1990-an, pengukuran IPM digunakan untuk mengetahui tingkat kemajuan provinsi di Indonesia. Sejak saat itulah orang mengetahui bahwa banyak daerah yang pendapatan perkapitanya tinggi ternyata IPMnya rendah. Papua misalnya, provinsi ini memiliki nilai PDRB yang sangat tinggi dengan jumlah populasi yang kecil sehingga pendapatan per kapitanya sangat tinggi. Tetapi ketika diukur dengan IPM, Papua menempati urutan ke 25 dari 26 provinsi pada tahun 1996. Demikian halnya dengan NTB, meski pendapatan perkapita NTB cukup tinggi, tapi ternyata setelah diukur dengan IPM, NTB menempati urutan ke 26 dari 26 provinsi pada tahun 1996 (sebelum ada pemekaran) dan urutan ke 32 dari 33 provinsi setelah pemekaran. Artinya, NTB hanya lebih baik satu tingkat jika dibanding dengan provinsi Papua.

Keterpurukan IPM NTB tidak mendapat perhatian yang berarti pada awal dekade 2000-an. Baru pada akhir dekade 2000-an, terutama menjelang Pilkada 2008, isu ini menjadi isu utama di masyarakat. Semua calon menjadikan isu IPM NTB ini sebagai alat politik untuk meraih simpati publik. Salah satu calon yang paling banyak mengangkat isu ini adalah pasangan TGB-Badrul Munir. Dalam kampanye - kampanyenya, TGB-BM tidak segan menjanjikan “pendidikan gratis dan kesehatan gratis”. Dengan perhitungan yang dianggap sudah matang, pasangan TGB-BM dengan percaya diri merasa mampu mewujudkan pendidikan dan kesehatan gratis untuk memperbaiki peringkat IPM NTB.

Setelah memenangkan Pilkada, TGB-BM segera menyusun rencana untuk menunaikan janji-janji politiknya. Secara mengesankan TGB-BM mencanangkan program-program prestisius yang bahkan mungkin tidak terpikirkan oleh para pemimpin pendahulunya di NTB. Program Adono, Absano dan Akino adalah sebuah program genius yang mampu menghidupkan harapan masyarakat NTB untuk menjadi lebih baik. Selanjutnya program itu diikuti pula dengan dicanangkannya program-program penting dibidang ekonomi seperti Bumi Sejuta Sapi (BSS), Sapi Jagung dan Rumput Laut (PIJAR), Sarjana Masuk Desa (SMD), Visit Lombok-Sumbawa 2012, dan lain-lain. Semua program itu harus diakui menjadi daya ungkit semangat dan mendorong meningkatnya aktifitas ekonomi masyarakat NTB.

Dalam prakteknya, pemerintahan TGB-BM nampaknya terjebak pada upaya perbaikan IPM dalam waktu singkat. Para birokrat yang membantu kerja pemerintahan TGB-BM dengan percaya diri merasa mampu memperbaiki IPM NTB setidaknya sampai pada urutan ke 21 pada akhir kepemimpinan TGB. Sebagai upaya untuk mewujudkan itu, Pemda NTB mengeluarkan dana secara besar-besaran. Untuk keperluan pemberantasan buta aksara misalnya, pemerintah bahkan bersedia membayar para penyandang buta aksara yang kebanyakan adalah para orang tua yang tidak produktif lagi agar mau belajar membaca. Harapannya, angka buta aksara yang menjadi momok dan penyebab utama keterpurukan IPM NTB dapat dikurangi dan dengan cepat mampu meningkatkan IPM NTB. Dalam perjalanannya, program ini digoyang isu korupsi yang dilakukan petugas di lapangan. Selain itu, untuk mengurangi angka kematian ibu saat melahirkan yang menjadi salah satu alat ukur penting IPM, Pemda juga memcanangkan program biaya persalinan gratis untuk keluarga miskin. Tidak ada yang salah dengan semua program jangka pendek itu. Tetapi berfokus pada program jangka pendek untuk keperluan “formalitas” perbaikan IPM itu dapat melalaikan kita dari program substansial jangka menengah.

Data yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sampai hari ini NTB masih berada pada urutan ke 32 dari 33 Provinsi. NTB hanya menang dari provinsi Papua. Data ini menunjukkan bahwa orientasi kerja pemerintah yang berfokus pada formalitas perbaikan IPM tidak bermanfaat sama sekali. Disamping gagal memperbaiki IPM NTB, program-program formalitas itu menghabiskan dana dalam jumlah besar. Program-program itu terkesan tidak memiliki prioritas yang jelas selain hanya ingin memperbaiki IPM NTB secara formalitas belaka, tidak menyentuh unsur pembentuk IPM secara substansial. Pengentasan buta aksara misalnya yang memakan biaya hingga lebih dari Rp 39 Miliar (Suara NTB, 23 september 2011) dilakukan dengan pendekatan membayar untuk belajar. Seandainya dana sebesar itu digunakan untuk mengentaskan buta aksara dengan pendekatan produktif seperti memfasilitasi pembentukan kelompok usaha mikro yang juga digunakan untuk mengajarkan membaca dan menulis, itu akan memiliki dampak ganda, memperbaiki kesejahteraan dan kemandirian di satu sisi dan memberantas buta aksara di sisi lain.

Pengukuran IPM memang di setting oleh pencetusnya untuk keperluan pembangunan yang adil dan hanya dapat diraih dalam jangka menengah atau panjang. Penggunaan indikator lama sekolah dan angka melek huruf misalnya, tentu hanya bisa diwujudkan dalam waktu yang panjang, tidak dalam waktu dua atau tiga tahun. Sebab pendidikan formal memang hanya bisa ditempuh dalam waktu yang panjang, setidaknya 10-15 tahun. Dengan demikian, kebijakan Pemda untuk memperbaiki IPM NTB seharusnya difokuskan pada upaya untuk mensukseskan program wajib belajar 12 tahun misalnya yang diikuti dengan program pengentasan buta aksara dengan pendekatan produktif.

Mengharap hasil instan dari suatu program adalah kekeliruan. Kita sepakat untuk memperbaiki IPM NTB, tetapi memaksa untuk mewujudkannya dalam waktu pendek dengan berfokus pada program-program jangka pendek bisa menjebak kita pada formalitas yang jauh dari substansi. Program-program jangka pendek adalah penting, tapi berfokus pada program jangka pendek itu dan mengabaikan program jangka menengah dan panjang adalah kontraproduktif dengan tujuan kita untuk mensejahterakan masyarakat. Kita belajar dari pengalaman di NTB, terlalu banyak menghabiskan energi untuk program jangka pendek demi membangun citra positif bahwa sang gubernur berhasil memperbaiki IPM ternyata gagal mewujudkan visi itu. Tapi memang apa yang dilakukan oleh pemerintahan TGB-BM adalah gejala normal dan wajar dimana semua kepala daerah juga akan melakukan hal yang sama demi membangun citra positif pemerintahannya. Tapi sadar atau tidak, kebiasaan kita yang formalitas itu akan menjauhkan kita dari substansi dan semangat pengukuran IPM yaitu peningkatan kesejahteraan yang adil dan merata. Nilai Indeks Pembangunan Manusia yang baik sejatinya merupakan "penghargaan" karena keberhasilan mensejahterakan rakyat. Jadi jangan mengharapkan penghargaan jika belum berhasil mensejahterakan masyarakat. Pemerintah daerah harus berfokus pada kerja peningkatan kesejahteraan ini dengan indikator utama pendidikan, kesehatan dan ekonomi dan menutup mata pada rangking atau peringkat IPM untuk sementara, biarlah peringkat IPM itu menjadi hadiah atau penghargaan atas kemampuan Pemda meningkatkan kesejahteraan rakyat. Jangan terjebak pada formalitas statistik perbaikan IPM, tapi fokuskan kerja pada peningkatan kesejahteraan secara substansial.

*penulis adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Desa, Institut Pertanian Bogor. Contact: 081 805 775 723

No comments: