Saturday 12 January 2013

Kapitalisme: Sejarah, Konsep dan Relevansi

Oleh: Muhammad Nurjihadi
Adam smith adalah tokoh paling berjasa dalam melahirkan idiologi kapitalisme. Sebagai seorang ekonom, pilsuf dan sosiolog ia memiliki keyakinan bahwa “hukum alam’ juga terjadi dalam persoalan ekonomi. Ia menganggap setiap orang adalah hakim yang paling tahu akan kepentingannya sendiri. Oleh karenanya setiap orang harus diberikan kebebasan untuk mengejar kepentingannya itu demi keuntungannya sendiri. Dalam proses mengejar kepentingan pribadi itu, setiap orang akan membutuhkan serangkaian barang dan jasa yang kompleks yang akan membuat setiap orang berinteraksi satu sama lain untuk saling melengkapi kebutuhannya. Dalam melakukan ini, setiap orang akan dibimbing oleh suatu “kekuatan tidak terlihat” yang ia sebut sebagai ‘tangan tuhan’. Setiap orang jika dibiarkan bebas akan berusaha memaksimalkan kesejahteraannya sendiri, sehingga ketika semua orang dibiarkan bebas, maka akan tercipta kesejahteraan agregat tanpa ada campur tangan pemerintah (Jhingan, 1999).

Skousen (2006) merekam dengan jelas bagaimana Adam Smith mampu mengidentifikasi tiga unsur pembentuk kemakmuran dan kesejahteraan melalui kapitalisme pasar bebas, yakni: (1) kebebasan (freedom), hak untuk memproduksi dan memasarkan produk tanpa campur tangan pemerintah; (2) kepentingan diri (self interest), pengakuan atas hak individualis seseorang untuk melakukan usaha atau apapun, termasuk dalam menguasai sumber daya; (3) persaingan (competition), hak untuk bersaing dalam produksi dan perdagangan barang dan jasa. Adam Smith meyakini bahwa ketiga unsur diatas akan menghasilkan ‘harmoni alamiah’ dari kepentingan kapitalis (pemilik modal), tuan tanah dan juga buruh yang akhirnya akan menciptakan kesejahteraan agregat.

Adam Smith memberikan dasar yang penting untuk perkembangan kapitalisme di masa setelahnya. Gagasannya tentang kebebasan dan adanya kekuatan ‘tangan tuhan’ menjadi logika dasar yang melatar belakangi gagasan kapitalisme. David Ricardo adalah salah satu pendukung penting pemikiran Smith. Melalui teori the comparative advantage-nya, Ricardo menegaskan pentingnya perdagangan bebas tanpa campur tangan pemerintah (Laissez faire). Bahkan Ricardo memberikan penekanan khusus pada perdagangan bebas antar negara untuk mencapai efisiensi ekonomi dan kesejahteraan maksimum. Ricardo adalah tokoh penting yang membawa ilmu ekonomi pada titik kemapanannya. Ia adalah ekonom pertama yang memperkenalkan ekonomi dengan analisis matematis yang akurat namun syarat dengan asumsi-asumsi yang tidak realistis. Oleh karenanya banyak ekonom menyebut Ricardo sebagai ‘pengkhayal sia-sia yang membawa ilmu ekonomi ke jalur yang keliru dan membingungkan’ (Skousen, 2006).

Meski memberikan dukungan kepada gagasan perdagangan bebas ala Adam Smith, Ricardo memiliki pandangan yang berbeda secara substansial dengan Smith. Jika Smith berupaya membangun gagasan harmoni kepentingan alamiah lewat perdagangan bebas, Ricardo justeru berpandangan bahwa konflik kelas adalah cara efektif untuk mencapai kesejahteraan. Konflik kelas yang dimaksud Ricardo adalah persaingan antar kelas yakni kaum kapitalis, tuan tanah dan buruh. Dimana kue ekonomi didistribusikan atau dibagi-bagi kedalam kelompok-kelompok atau kelas itu dalam bentuk sewa, keuntungan dan upah. Dengan model ini, akan terjadi persaingan antara kapitalis dan buruh, dimana jika upah buruh naik maka keuntungan kapitalis akan menurun dan demikian pula sebaliknya. Sementara tuan tanah dalam model ini menjadi pihak yang paling diuntungkan sebab nilai sewa tanah tetap tanpa bergantung pada tingkat keuntungan maupun upah (Skousen, 2006).

Pemikiran-pemikiran ekonomi mengalami polarisasi pada masa-masa berikutnya. John Stuart Mill adalah salah seorang pendukung utama gagasan David Ricardo. Ia mendukung sepenuhnya azas laissez faire yang dipromosikan adam Smith dan David Ricardo, namun pada saat bersamaan ia juga menyebut diri sebagai seorang sosialis. Karl Marx kemudian hadir dengan kritik tajam terhadap kapitalisme. Kritiknya terhadap kapitalisme justeru dibangun dari kekagumannya pada teori distribusi pendapatan Ricardo yang sebenarnya ikut memapankan kapitalisme Smith. Selanjutnya hadir pemikir-pemikir ekonomi seperti Menger, Bohm-Bawek, Jeavon, Marshall dan sebagainya yang menghidupkan kembali teori ekonomi klasik kapitalisme Adam Smith dan menyempurnakannya dengan teori-teori baru. Lalu ketika dunia dilanda great depretion pada tahun 1930, dunia akademis pun mengalami great debate tentang efektifitas kapitalisme Smith. Gagasan Marxisme kembali hidup dan mewabah di kampus-kampus. Tepat disaat kapitalisme nyaris runtuh seperti itu, seorang ekonom datang sebagai penyelamat kapitalisme dan memaksa Marxisme untuk kembali dilupakan di mimbar intelektual. Dialah John Maynard Keyenes. Dialah orang pertama yang mengingatkan pentingnya integrasi kapitalisme dengan pemerintah. Dalam teori yang dikembangkannya, ia mengharuskan pemerintah untuk ikut campur tangan dalam urusan perekonomian sampai pada tertentu guna menjamin berlangsungnya prinsip-prinsip kapitalisme. Keynes adalah penyelamat kapitalisme sekaligus menjadikan dirinya pemimpin aliran ekonomi baru (Jhingan, 1999; Skousen, 2006).

Sejak dicetuskan oleh Adam Smith, gagasan kapitalisme terus mengalami perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian tanpa menghilangkan substansi pesan kapitalisme yakni kebebasan, individualisme dan persaingan sempurna. Bahkan dalam kurun waktu yang sama, implementasi kapitalisme dapat berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Hal inilah yang membuat kita sulit untuk membangun definisi tunggal tentang kapitalisme (Saidi, 2000). Bahkan praktek kapitalisme modern sering kali mewujud dalam bentuk pertentangan antar unsur pembanggun kapitalisme. Kasus monopoli perdagangan oleh perusahaan swasta misalnya. Dengan dalih kebebasan dan dalam rangka mewujudkan kepentingan pribadi atau individualisme (self interest), maka setiap orang berhak untuk mengakumulasi modal dalam jumlah besar yang pada gilirannya membuatnya memonopoli pasar. Dengan demikian terjadi pertentangan antara unsur kebebasan dan individualisme dengan unsur persaingan. Padahal sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kapitalisme dibangun atas tiga unsur itu.

Secara umum kapitalisme sering dicirikan dengan beberapa hal ini: (1) mendewakan hak-hak pribadi; (2) pemilikan alat-alat produksi di tangan individu; (3) setiap individu bebas memilih pekerjaan/usaha yang dipandang baik bagi dirinya; (4) perekonomian diatur oleh mekanisme pasar; (5) pasar berfungsi sebagai pemberi signal kepada produsen maupun konsumen dalam bentuk harga-harga; (6) campur tangan pemerintah diusahakan berada pada level paling minimum; (7) barang dan jasa dipasarkan di pasar bebas (free market) yang bersifat kompetitif; (8) modal (baik uang ataupun lainnya) diinvestasikan untuk mendapatkan laba (profit). Kapitalisme melegimasi individualisme dan persaingan dalam meraih profit sebagai sesuatu yang alamiah. Hal ini memungkinkan terjadinya motif-motif lain yang tidak wajar dalam praktek ekonomi (Peet and Hartwick, 2009).

Senada dengan itu, Yustika (2011) menyatakan bahwa kapitalisme tegak oleh empat pilar dasar yang melatarinya, yaitu; pertama, kegiatan ekonomi digerakkan dan dikoordinir oleh pasar (bebas) dengan harga sebagai penanda. Kedua; setiap individu memiliki kebebasan untuk mempunyai hak kepemilikan (property rights) untuk menjamin proses transaksi (exchange). Ketiga; kegiatan ekonomi dipisahkan oleh tiga pemilik faktor produksi yakni pemodal (kapitalis), tenaga kerja (labor) dan pemilik lahan (tuan tanah). Pemilik modal memperoleh pendapatan dari keuntungan, pekerja memperoleh pendapatan dari upah dan pemilik lahan memperoleh pendapatan dari biaya sewa lahan (rent). Keempat; tidak ada larangan bagi para pelaku ekonomi untuk keluar – masuk pasar (free entry and exit barriers). Kapitalisme dibangun dengan logika pasar bebas dimana urusan ekonomi diserahkan sepenuhnya ke mekanisme pasar. Oleh karenanya kapitalisme juga sering disebut sebagai ekonomi pasar.

Pada dasarnya, gagasan kapitalisme yang tegak diatas pilar kebebasan, individualisme dan persaingan dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya hak setiap orang untuk hidup sejahtera. Hanya dengan kebebasan seseorang bisa leluasa dalam memperjuangkan kepentingannya guna meraih sejahtera itu. Sementara itu persaingan merupakan suatu penjamin yang dapat membentuk keseimbangan pasar dalam bentuk harga. Tanpa persaingan, mekanisme pembentukan harga akan menjadi tidak adil karena di monopoli oleh pihak-pihak tertentu. Namun dalam praktek kapitalisme dewasa ini, individualisme lebih dikedepankan daripada prinsip kebebasan dan persaingan. Individualisme itu bahkan diperjuangkan dengan argumen-argumen kebebasan dan persaingan itu. Pola persaingan yang terjadi justeru lebih banyak melibatkan persaingan antara kaum kapitalis dan kelas pekerja yang tentu saja sering kali dimenangkan oleh kaum kapitalis mengingat kuatnya pengaruh kapial mereka. Persaingan dalam aktifitas ekonomi dewasa ini juga justeru banyak yang berwujud persaingan antar pekerja dan atau petani kecil. Sementara pada saat yang bersamaan para kaum kapitalis membangun kerjasama-kerjasama bisnis baik dalam bentuk kartel ataupun lainnya untuk membagi-bagi kue ekonomi antar kaum kapitalis.

Perlu diingat bahwa persaingan sempurna hanya akan menghadirkan kesejahteraan jika seluruh pelaku ekonomi berada pada level (pendidikan, struktur sosial dan ekonomi) yang sama. Sebab persaingan yang terjadi ketika seluruh pelaku ekonomi berada pada posisi atau level yang sama akan dipandu oleh sebuah kekuatan tak terlihat yang membentuk keseimbangan melalui harga. Faktanya, pelaku ekonomi selalu terbagi kedalam tiga kelompok atau kelas yang berbeda tingkat pengaruhnya yakni para pemilik modal (kapitalis), tuan tanah dan buruh. Jika persaingan terjadi antara kaum kapitalis yang memiliki posisi tawar lebih baik dengan kaum buruh yang lemah, maka tentu saja persaingan itu akan dimenangkan oleh kaum kapitalis. Kondisi semacam ini akan membuat distribusi pendapatan mejadi tidak adil dimana kaum kapitalis yang kaya menjadi semakin kaya dan kaum buruh yang lemah menjadi bertambah lemah.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, gotong royong dan kebersamaan adalah ciri khas sosiologis yang terbentuk sejak lama. Menyadari hal ini, para pendiri bangsa ini menyusun konsep perekonomian nasional yang menjadikan gotong royong dan kebersamaan sebagai modal utama. Konsep itu tertulis secara tegas dan jelas pada pasal 33 UUD 1945. Dalam aplikasinya, pemerintah membuat kebijakan ekonomi yang dikenal dengan koperasi. Istilah koperasi diambil dari istilah kooprasi yang berarti bekerjasama. Dengan demikian, para pendiri bangsa ini sesungguhnya berharap bahwa perekonomian nasional kita dijalankan atas dasar kerja sama dan kasih sayang, bukan atas dasar persaingan dan keserakahan individualisme yang menjadi ciri khas ekonomi kapitalis.

Kapitalisme memiliki asumsi yang ketat bahwa kesejahteraan agregat akan terbentuk melalui terciptanya kesejahteraan individual yang hanya dapat dicapai dengan kebebasan dan persaingan. Kesejahteraan dalam konteks ini dimaknai sebagai tersedianya segala kebutuhan ekonomi yang bersifat fisik (materialisme) [Skousen, 2006]. Karena dibangun atas dasar falsafah materialisme, kapitalisme sering kali mengabaikan faktor-faktor moral, etika dan hubungan sosial. Sikap individualisme yang didewa-dewakan kapitalisme cenderung akan memandang orang atau pihak lain sebagai pesaing yang harus dikalahkan. Kondisi semacam ini tentu dapat berdampak pada disharmoni sosial, melemahnya struktur kelembagaan sosial dan bahkan rentan menimbulkan konflik sosial.

Ketidaksesuaian kapitalisme dengan kondisi sosial budaya Indonesia sesungguhnya telah diungkap jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka. Boeke dalam Rahardjo (2011) bahkan membangun teori ‘dualisme ekonomi’ dari kondisi dualistis yang dilihatnya di Indonesia pra merdeka. Menurutnya, ekonomi lokal masyarakat Indonesia lebih digerakkan oleh upaya pemenuhan kebutuhan sosial yang berorientasi pada terciptanya kesejahteraan masyarakat secara bersama-sama. Oleh karenanya praktek ekonomi sosial Indonesia sering kali berwujud kerja bersama (gotong royong) untuk membantu aktifitas ekonomi anggota masyarakat tanpa mengharapkan upah. Namun di sisi lain, ekonomi yang dikembangkan pemerintah kolonial Belanda justeru sangat kapitalistik yang menuntut masyarakat lokal untuk berproduksi guna memenuhi kebutuhan pasar luar negeri. Disinilah terjadi apa yang disebut Boeke sebagai ‘dualisme ekonomi’. Lebih jauh Boeke juga menyebut fenomena dualisme ekonomi inilah yang selama ini menghambat tercapainya kesejahteraan masyarakat pribumi.

1 comment:

Unknown said...

pake footnote juga donk.. hehehe..