Oleh: Muhammad NurjihadiA. Review Of Theses
Empat tesis tentang otonomi daerah yang menjadi objek review dalam tulisan ini setidaknya berbicara tentang dua isyu utama yaitu pemekaran wilayah dan pemberdayaan masyarakat. Dalam konsep ideal, dua hal ini tentu saja ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemekaran wilayah akhir-akhir ini banyak terjadi di Indonesia. Lahirnya UU Nomor 22 tahun 1999 yang diperbarui menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menjadi alasan beberapa daerah menuntut berpisah dari daerah induk, baik dalam bentuk pemekaran provinsi maupun pemekaran kabupaten. Berbagai argumen disampaikan sebagai alasan untuk melakukan pemekaran wilayah itu. Meningkatkan pelayanan publik serta kesejahteraan masyarakat adalah alasan yang paling umum dikemukakan. Sementara itu, pemberdayaan masyarakat yang menjadi salah satu pilar penting otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat diterjemahkan oleh beberapa pemerintah daerah ke dalam berbagai bentuk program. Salah satu tesis yang di review dalam tulisan ini, Kreuta (2010) menganilisis program pemberdayaan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura yaitu Program Pemberdayaan Kampung (PPK).
Karena secara normatif tujuan dari pemekaran wilayah adalah peningkatan kesejahteraan, maka pemekaran wilayah dapat pula diartikan sebagai sebuah upaya pengembangan masyarakat. Supriadi (2010) dalam tesisnya yang di review dalam tulisan ini mengutip pendapat Anwar dan Rustiadi (2000) yang menyatakan bahwa konsep pengembangan wilayah menekankan pada keterpaduan antara pembangunan sektoral, kewilayahan dan institusional. Meski demikian, hampir semua tesis yang di review dalam tulisan ini memulai tulisannya dengan sebuah psimisme tentang efektifitas pemekaran wilayah. Aulia Farida (2010) misalnya, di bagian awal mengutip beberapa hasil penelitian sebelumnya tentang pemekaran wilayah yang telah menyimpulkan beberapa hal seperti:
1. Pemekaran wilayah hanya alat untuk mendapatkan kekuasaan oleh segelintir elit lokal dalam pemerintahan baru
2. Masyarakat pada umumnya tidak memahami manfaat pemekaran wilayah dan tidak siap dengan pemekaran wilayah
3. Pemekaran wilayah mendatangkan perebutan kekuasaan
4. Pemekaran wilayah menimbulkan fragmentasi elit
5. Pemekaran wilayah melahirkan perebutan relasi kuasa.
6. Ketimpangan pendapatan masyarakat di daerah pemekaran
Selain Farida, Azis Hasyim juga menuliskan psimisme serta keprihatinannya di awal tulisan dengan mendeskripsikan konflik yang terjadi antara Kabupaten Halamahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara di Provinsi Maluku Utara dalam memperebutkan wilayah perbatasan yang terdiri dari enam desa. Konflik itu terjadi setelah kabupaten Maluku Utara di mekarkan menjadi Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat. Warga dari enam desa menolak untuk bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara meskipun secara administratif enam desa itu berada pada kecamaan Malifut di kabupaten Halmahera Utara. Kekayaan sumber daya alam yang ada di enam desa diduga menjadi penyebab berlarut-larutnya konflik antara kedua kabupaten yang baru mekar ini. Konflik ini memperpanjang daftar dampak negatif dari pemekaran wilayah di Indonesia. Konflik kepentingan itu pada akhirnya merugikan masyarakat. Dengan demikian, tujuan menciptakan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diharapkan dalam pemekaran wilayah tidak terwujud.
Berbeda dengan tiga tesis lainnya yang di review dalam tulisan ini, Kreuta tidak mengkaji tentang dampak pemekaran wilayah. Kreuta menganalisis efektifitas pelaksanaan suatu program pemberdayaan yang bernama Program Pemberdayaan Kampung (PPK) di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. Dalam tulisan ini, terlihat bahwa Kreuta sangat tertarik pada pendapat Rahayu (2006) yang menyatakan bahwa pengembangan masyarakat (community development) merupakan suatu proses dimana masyarakat yang tinggal pada lokasi tertentu mengembangkan prakarsa untuk melaksanakan suatu tindakan sosial (dengan atau tanpa intervensi) untuk merubah situasi ekonomi, sosial, kultural dan atau lingkungan mereka. Dalam rumusan ini terlihat kesan bahwa dalam pengembangan masyarakat, intervensi bukanlah hal yang mutlak, justeru yang lebih penting adalah prakarsa dan partisipasi masyarakat dalam proses yang berlangsung.
Untuk isyu pemekaran wilayah, masing-masing penulis menggunakan konsep yang berbeda untuk mendekati masalah. Aulia Farida menggunakan konsep “elit” untuk mendekati masalah. Farida mengutip Lauer (2003) mendefinisikan elit sebagai tokoh, baik sebagai elit politik, legislator, intelektual, seniman, moralis maupun elit agama dimana masing-masing elit memiliki cara sendiri dalam memimpin, elit tersebut dapat menjadi perintang atau pelancar dari proses pembangunan dalam suatu negara. Menurut farida, elit memegang peranan penting dalam memutuskan pemekaran wilayah. Dalam suatu wilayah yang ingin dimekarkan, tidak sepenuhnya ide pemekaran akan didukung oleh semua elit. Kecenderungan berbeda pendapat antar elit tentang perlu tidaknya pemekaran tentu didasarkan atas gagasan dan argumen tertentu. Inilah yang ingin dikaji oleh Farida, bagaimana manuver yang dilakukan oleh masing-masing elit untuk memenangkan gagasannya. Selain itu Farida juga bermaksud untuk mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam pertarungan gagasan itu serta dampak dari pemekaran terhadap masyarakat.
Jika Farida menggunakan perspektif elit untuk mendekati masalah, Azis Hasyim lebih cenderung mendekati masalah dengan menganalisis penyebab terjadinya konflik. Penolakan dari warga enam desa untuk bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara yang berbuntut konflik kedua Kabupaten yang baru mekar menjadi pertanyaan kunci dalam penelitian Azis Hasyim. Selanjutnya Hasyim bermaksud untuk menguraikan dampak dari konflik yang terjadi terhadap kehidupan masyarakat.
Sementara itu, Bambang Supriyadi secara umum menggunakan pendekatan Modernisme-Demokratisme untuk menganalisis efektifitas pemekaran wilayah. Supriadi menggunakan kriteria-kriteria khusus untuk menilai keberhasilan pemekaran wilayah yaitu: 1) daerah cepat maju dan cepat tumbuh, yaitu kabupaten pemekaran yang rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapitanya lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata provinsi, (2) daerah maju tapi tertekan, yaitu kabupaten pemekaran yang memiliki rata-rata pendapatan per kapita lebih tinggi tapi mempunyai rata-rata pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari rata-rata provinsi, (3) daerah berkembang cepat yaitu kabupaten pemekaran yang memiliki rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi tetapi mempunyai rata-rata pendapatan perkapita lebih rendah daripada rata-rata provinsi, (4) daerah relatif tertinggal, yaitu kabupaten pemekaran yang memilki rata-rata tingkat petumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih rendah dari rata-rata provinsi. Berdasarkan kriteria-kriteria itu, Supriadi menganalisis efektifitas pemekaran wilayah.
Konsep yang digunakan dalam mendekati masalah oleh Kreuta menitik beratkan pada upaya untuk mengevaluasi efektifitas pelaksanaan Program Pemberdayaan Kampung (PPK). PPK adalah sebuah program pengembangan masyarakat yang terencana dan relevan dengan persoalan-persoalan lokal yang dihadapi oleh para anggota komunitas yang dilaksanakan secara khas dengan cara-cara yang sesuai dengan kapasitas, norma, nilai, persepsi dan keyakinan anggota komunitas setempat. Melalui PPK diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan kapasitas produksi kakao per rumah tangga. Terdapat dua hal yang menjadi alat analisis dalam tulisan ini, yaitu analisis tata kelola PPK dan analisis dampak terhadap pengembangan wilayah di kabupaten jayapura. Analisis tata kelola PPK menyangkut transparansi, akuntabilitas, partisipasi, pengelolaan dana serta pendampingan dan pembinaan. Sementara itu analisis dampak terhadap wilayah mencakup produksi kakao, luas tanam kakao dan pendapatan petani kakao. Berdasarkan analisis atas tata kelola dan dampak wilayah dari pelaksanaan PPK itu, Kreuta dapat menyimpulkan sejauh mana PPK mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Isyu utama yang ingin dijawab dalam penelitian tentang pemekaran wilayah oleh Aulia Farida adalah bahwa ide pemekaran wilayah hanya merupakan konstruksi elit untuk kepentingan pribadi atau golongan. Selain itu, Farida juga menganggap bahwa pemekaran wilayah tidak memberikan kepuasan pada masyarakat dan menyebabkan terjadinya ketimpangan atau ketidak merataan kebermanfaatan dari pemekaran wilayah itu sendiri. Hasyim Azis melakukan penelitian tentang pemekaran wilayah berangkat dari isyu konflik perbatasan antara Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat yang diduga terjadi karena perebutan manfaat ekonomi mengingat enam desa yang menjadi daerah konflik merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam. Sementara Bambang Supriadi berangkat dari isyu bahwa pemekaran wilayah hanya memberikan manfaat kepada segelintir elit lokal, misalnya pemekaran wilayah akan menyebabkan terbentuknya jabatan-jabatan baru yang akan diduduki oleh para elit lokal tersebut.
Kreuta yang menganalisis program pemberdayaan PPK di Jayapura berangkat dari isyu utama tentang kurang transparannya pelaksanaan PPK meskipun Perbup Jayapura nomor 26 tahun 2009 mengharuskan kepala kampung, BAMUSKAM, dan LPMK untuk menginformasikan segala sesuatu tentang PPK dengan berbagai media di kampung. Pelaksanaan PPK juga dianggap tidak akuntabel mengingat pemerintah kampung sebagai pelaksana PPK tidak pernah mengevaluasi pelaksanaan program PPK setiap akhir kegiatan, tidak adanya laporan pertanggungjawaban serta tidak adanya audit internal terhadap tim pelaksana PPK. Selain itu, partisipasi masyarakat secara nyata dalam proses perencanaan pelaksanaan, pengawasan maupun evaluasi program dianggap rendah. Isyu lainnya adalah kurangnya kegiatan pembinaan, pelatihan maupun penyuluhan dari pemerintah untuk meningkatkan keterampilan pendamping kampung.
Dari studi yang dilakukan, Aulia Farida menyimpulkan bahwa pemekaran wilayah di Kabupaten Tebo dan Kabupaten Bungo tidak siap, tergesa-gesa dan direkayasa oleh segelintir elit sehingga kesejahteraan masyarakat tidak meningkat bahkan cenderung menurun. Selain itu Farida juga menyimpulkan bahwa kegagalan pemekaran wilayah selama sepuluh tahun terakhir disebabkan karena latar belakang pemekaran yang sebenarnya bukan untuk kepentingan rakyat, tapi untuk kepentingan segelintir elit yang menjadi aktor, terutama elit birokrasi dan politik disamping elit cendekiawan, elit agama, elit adat hingga elit LSM. Sedangkan Bambang Supriadi menyimpulkan bahwa dari tiga kabupaten yang diteliti, hanya satu kabupaten (Kabupaten Rote Ndao) yang layak dipertahankan menjadi daerah otonom. Sementara Kabupaten Mamasa diusulkan sebaiknya digabungkan kembali dengan daerah induk mengingat daerah pemekaran baru ini gagal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Sedangkan Kabupaten Rokan Ilir dapat dipertahankan keberadaannya sebagai daerah otonom, tapi masih memerlukan pengawasan dan pendampingan agar dapat berkembang lebih baik.
Studi dari Kreuta menunjukkan hasil bahwa PPK efektif dalam meningkatkan pendapatan masyarakat yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan kapasitas produksi kakao per rumah tangga, peningkatan luas tanam kakao per rumah tangga dan peningkatan rata-rata kontribusi kakao terhadap pendapatan rumah tangga. Selain itu, Kreuta juga menyatakan terdapat hubungan positif antara transparansi, akuntabilitas, paritispasi anggota komunitas serta aktifitas pendampingan dan pembinaan dalam pelaksanaan program PPK dengan peningkatan pendapatan rata-rata rumah tangga yang menerima PPK.
B. Studi Pembanding
Lahirnya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah menyebabkan terjadinya euphoria otonomi daerah. Otonomi daerah dinilai sebagai arus balik kekuasaan dan kewenangan yang selama ini bersifat sentralistis dan hanya mementingkan kepentingan pemerintah pusat. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, sebagian besar kekuasaan dan kewenangan di tingkat daerah diserahkan kepada pemerintah daerah. Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menawarkan berbagai macam paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berbasis pada filosofi “keanekaragaman dalam kesatuan”. Paradigma yang ditawarkan antara lain kedaulatan rakyat, demokratisasi, pemberdayaan masyarakat, pemerataan dan keadilan (Suharti, 2008).
Pemerintah daerah merespon UU Nomor 22 tahun 1999 ini dalam berbagai bentuk. Salah satu bentuk respon itu adalah melakukan pemekaran wilayah. Atas dasar latar belakang historis, demokratisasi, keinginan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik serta pemerataan kesejahteraan, beberapa wilayah mengusulkan terbentuknya daerah otonom baru. Fenomena pemekaran wilayah ini kemudian direspon pemerintah pusat dengan mengeluarkan PP Nomor 129 tahun 2000 tentang kriteria pemekaran, pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. Dirjen Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan RI mengumumkan bahwa sampai tahun 2011 telah terbentuk 205 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 Provinsi, 165 Kabupaten, dan 34 Kota. Sehingga, total daerah otonom pada tahun 2011 mencapai 524 yang terdiri dari 33 Provinsi dan 465 Kabupaten dan Kota. Sementara itu, Provinsi DKI Jakarta terdiri dari 1 Kabupaten administratif dan 5 Kota administratif, karena DKI Jakarta merupakan daerah khusus istimewa (Abdullah, 2011).
Menurut Juanda (2007), tujuan pemekaran wilayah yang memiliki suatu pemerintahan daerah otonom adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta membentuk daerah yang mandiri dan demokratis. Tujuan ideal ini dapat diwujudkan melalui peningkatan profesionalisme birokrasi daerah untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan yang efisien, dapat menciptakan kesempatan lebih luas untuk masyarakat, serta dapat akses langsung pada unit-unit pelayanan publik yang tersebar dan mudah dijangkau oleh masyarakat pedesaan maupun kota. Namun demikian, survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengatakan, otonomi daerah telah gagal memberikan kesejahteraan kepada rakyat (Media Indonesia, 27 Maret 2007).
Hasil penelitian Aulia Farida, Hasyim Azis dan Bambang Supriadi yang di review dalam tulisan ini menunjukkan hasil yang relatif sama. Pemekaran wilayah yang massif terjadi di Indonesia sejak diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tidak banyak memberikan manfaat kepada masyarakat. Abdullah (2011) yang mengkaji dampak pemekaran wilayah di Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Selatan bahkan menyimpulkan bahwa Kabupaten Mamasa tidak layak untuk dimekarkan ditinjau dari aspek kependudukan dan kemampuan ekonomi berdasarkan syarat teknis PP. No. 78 tahun 2007 tentang kriteria pemekaran dan persyaratan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. Studi lain yang dilakukan Laim (2010) yang menganalisis dampak pemekaran wilayah terhadap perkembangan perekonomian wilayah di Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku memang menunjukkan keberhasilan dari pemekaran wilayah itu. Namun keuntungan dari keberhasilan pemekaran wilayah itu hanya memberikan manfaat kepada pemerintah daerah, pengusaha dan segelintir elit lokal, sedangkan masyarakat hanya mendapatkan sedikit manfaat dari pemekaran wilayah itu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masalah pemerataan kesejahteraan yang menjadi alasan untuk memekarkan wilayah ternyata tidak dapat diselesaikan dengan pemekaran wilayah. Penelitian Abdullah dan Laim ini memperkuat hasil penelitian tentang pemekaran wilayah di daerah lain yang dilakukan oleh Aulia Farida, Azis Hasyim maupun Bambang Supriyadi yang menunjukkan gagalnya pemekaran wilayah itu.
Kreuta yang menganalisis efektifitas pelaksanaan Program Pemberdayaan Kampung (PPK) di Kabupaten Jayapura menyimpulkan bahwa PPK efektif dalam meningkatkan pendapatan masyarakat. Sama seperti tiga tesis sebelumnya yang berbicara tentang pemekaran wilayah, Kreuta pada awal tulisannya juga menuliskan psimisme tentang pelaksanaan PPK di Kabupaten Jayapura. Namun yang membedakan tulisan Kreuta dengan yang lainnya adalah hasil penelitian yang menunjukkan keberhasilan PPK dalam meningkatkan pendapatan masyarakat.
Dalam sebuah studi oleh Sipahelut (2010) yang menganalisis dampak program Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kecamatan Tobelo Kabupaten Halmahera Utara menyimpulkan bahwa PEMP memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan nelayan dan mendorong terjadinya mobilitas vertikal nelayan dari status buruh menjadi nelayan pemilik unit penangkapan (pengusaha). Studi lain oleh Andit (2005) tentang efektifitas Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) menyimpulkan bahwa PPMK cukup berhasil mengatasi permasalahan sosial di Jakarta meskipun masih terdapat banyak ketidaksesuaian hasil dengan harapan mengingat tingginya arus urbanisasi masyarakat ke Jakarta.
Beberapa hasil studi diatas menggambarkan dengan jelas kepada kita bahwa pendekatan pemberdayaan dengan berbagai bentuknya cukup efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Political will dari pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sangat diperlukan dalam melakukan pemberdayaan masyarakat. Namun demikian, bukan berarti pemerintah menempatkan diri sebagai subjek sepenuhnya dalam proses pemberdayaan itu. Peran pemerintah sebagai pengambil/penentu kebijakan dalam pemberdayaan masyarakat lebih bersifat sebagai regulator, modernisator, katalisator/fasilitator, dinamisator, stabilisator dan pelopor/stimulator dalam rangka meningkatkan kompetensi dan kapasitas masyarakat guna optimalisasi keterlibatannya dalam proses pembangunan; mempercepat proses pemerataan pembangunan; melibatkan partisipasi masyarakat/kelompok masyarakat secara nyata dalam setiap pelaksanaan pembangunan; meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap produk‐produk pembangunan sehingga terjaga pemeliharaannya; serta memberikan peluang seluas‐luasnya kepada masyarakat untuk mengembangkan kreativitas sesuai dengan budaya, karakter maupun potensi masyarakat setempat (Halim, 2005).
Pemberdayaan Masyarakat hendaknya mengacu pada prinsip-prinsip dasar pendampingan masyarakat, yaitu: belajar dari masyarakat, pendamping sebagai fasilitator dan dapat tercipta saling belajar dan berbagi pengalaman (Karsidi, 2007). Konsep pemberdayaan masyarakat harus lebih menekankan pada upaya memandirikan, karena itu dalam pemberdayaan masyarakat diperlukan adanya peran aktif masyarakat itu sendiri. Hal ini berarti partisipasi, inisiatif dan kreatifitas dalam pengembangan masyarakat harus lebih banyak datang dari masyarakat itu sendiri (Halim, 2005).
Shardlaw dalam Andit (2005) menyimpulkan bahwa pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Pemberdayaan masyarakat tidak sekedar bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tapi juga untuk menciptakan pemerataan pendapatan sehingga terbentuk masyarakat yang adil dan sejahtera. Namun pemerataan pendapatan seperti itu sangat sulit didapatkan jika program pemberdayaan dilakukan dengan pendekatan kapitalis. Pendekatan kapitalis yang sering dianggap sebagai tradisi modern memfokuskan pada upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi yang sebesar-besarnya yang sering kali menciptakan inequality atau ketidak merataan pendapatan (Peet & Hartwick, 2009). Agar program permberdayaan berhasil, Anwar dalam Andit (2005) mengidentifikasi beberapa elemen penting yang harus ada dalam suatu program pemberdayaan (berdasarkan pengalaman) yaitu: keterbukaan akses terhadap informasi; keterlibatan dan partisipasi masyarakat; akuntabilitas; serta kapasitas organisasi lokal.
Tesis yang ditulis Kreuta telah menyimpulkan bahwa PPK berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat. Selain itu, Kreuta juga menyimpulkan bahwa ada korelasi positif antara transparansi, akuntabilitas, partisipasi masyarakat serta pendampingan terhadap keberhasilan PPK. Hasil kajian Kreuta ini memperkuat pendapat Anwar dalam Andit (2005) diatas tentang beberapa elemen penting untuk mensukseskan program pemberdayaan. Keberhasilan PPK dalam meningkatkan pendapatan masyarakat menunjukkan bahwa pemberdayaan menjanjikan hasil yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat jika dibanding dengan upaya pemekaran wilayah. Opini ini diperkuat pula oleh hasil studi yang dilakukan Sipahelut (2010) dan Andit (2005) tentang keberhasilan program pemberdayaan serta beberapa studi tentang kegagalan pemekaran wilayah sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat tidak dapat diperoleh dengan jalan pemekaran wilayah. Berbagai studi menunjukkan bahwa pemekaran wilayah telah gagal mensejahterakan masyarakat. Jalan terbaik untuk mensejahterakan masyarakat adalah dengan melakukan pemberdayaan masyarakat yang tujuannya untuk memandirikan masyarakat itu sehingga dengan kemandiriannya, masyarakat dapat mewujudkan kesejahteraannya sendiri.
D. Referensi
Abdullah, Muhammad A.2011. Kajian Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap
Pembangunan Daerah (studi kasus: kabupaten mamasa, provinsi sulawesi barat). Tesis mahasiswa S2 Institut Pertanian Bogor: Bogor
Andit, Abdul R.2005. Kajian Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan
(PPMK) Sebagai Alternatif Pilihan Program Pemberdayaan Masyarakat Miskin di DKI Jakarta. Tesis mahasiswa S2 Institut pertanian Bogor: Bogor
Farida, Aulia.2010. Pertarungan Gagasan dan Kekuasaan Dalam Pemekaran Wilayah
(Studi Kasus: Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo di Provinsi jambi). Tesis mahasiswa S2 Institut pertanian Bogor: Bogor
Halim, Neddy R.2005. Peran Pengambil Kebijakan Dalam Pengembangan Masyarakat.
Paper Ilmiah Kementerian Koperasi dan UKM: Jakarta
Hasyim, Azis.2010. Analisis Konflik Perebutan Wilayah di Provinsi Maluku Utara (Studi
Kasus :Konflik Perebutan Wilayah Antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara Tentang Enam Desa). Tesis mahasiswa S2 Institut pertanian Bogor: Bogor
Juanda, B. 2007. Dampak Pemekaran Daerah Terhadap APBN, Perkembangan Kinerja
Daerah Otonom Baru dan Strategi Pendanaannya. Workshop Kebijakan Pendanaan Daerah Otonom Baru Departemen Keuangan RI: Bandar Lampung
Karsidi, Ravik.2007. Pemberdayaan Masyarakat Untuk Usaha Kecil dan Mikro. Jurnal
Penyuluhan September 2007 Vol.3 NO.2
Kreuta, Barthazar.2010. Analisis Efektifitas Tata Kelola Program Pemberdayaan Kampung
(PPK) Serta Dampaknya Terhadap Pengembangan Wilayah Pedesaan di Kabupaten Jayapura Provisi Papua. Tesis mahasiswa S2 Institut pertanian Bogor: Bogor
Laim, David J.2010. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perkembangan
Perekonomian Wilayah Kabupaten Kepulauan Aru Provinsi Maluku. Tesis mahasiswa S2 Institut pertanian Bogor: Bogor
Media Indonesia. 2000. Tuntutan Perut Sulit Berkompromi. 27 Maret 2007
Peet, R & Hartwick E.2009. Theories Of Development; Contention, Argument,Alternatives.
The Guilford Press: London
Sipahelut, Michel.2010. Analisis Pemberdayaan Masyarakat Nelayan di Kecamatan Tobelo
Kabupaten Halmahera Utara. Tesis mahasiswa S2 Institut pertanian Bogor: Bogor
Suharti.2008. Implementasi undang - undang nomor 22 tahun 1999 dan Undang – Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Dalam Pelaksanaan Otonomi Desa. Tesis mahasiswa S2 Universitas Diponegoro: Semarang
Supriadi, Bambang.2010.Pengembangan Wilayah di Daerah Otonom Baru (Studi Kasus
Tiga Kabupaten pemekaran Indonesia). Tesis mahasiswa S2 Institut pertanian Bogor: Bogor
No comments:
Post a Comment