Friday 21 October 2011

Neoliberalisme dan Agenda Yahudi, Musuh Keadilan

Oleh : Muhammad Nurjihadi
Saya teringat beberapa tahun lalu ketika mahasiswa di seluruh Indonesia disatukan dalam satu isu besar yaitu skandal Bank Century. Saat itu, hampir setiap hari kita mendengar suara penolakan terhadap paham neoliberalisme yang ditengarai menjadi paham para pengambil kebijakan ekonomi di negeri ini. Teriakan-teriakan anti neolib itu terus dikumandangkan dengan berbagai media dan strategi. Unjuk rasa, diskusi-diskusi, hingga tulisan di dunia maya menghiasi hari-hari kita ketika itu. Tapi apa semua orang yang berbicara tentang neoliberalisme ekonomi itu paham dengan apa itu neoliberalisme..?? saya kira tidak semua mereka yang ikut dalam gelombang penolakan neoliberalisme itu paham dengan apa yang mereka teriakkan. Kalaupun paham, kepahaman mereka hanya sebatas ikut-ikutan, mengulang perkataan orang yang pernah berbicara sebelumnya dengan tema yang sama. Disadari atau tidak, itulah yang menyebabkan ketidakjelasan arah gerakan anti neoliberalisme saat itu.

Istilah neoliberalisme mulai digunakan pada dekade 1990-an bersamaan dengan merebaknya ide globalisasi di barat (edi swasono,2011). Liberalisme yang sudah mulai ditentang dan tidak disenangi di masa itu memaksa para pemikir liberal mencari format dan istilah baru untuk tetap menancapkan pengaruhnya diseluruh dunia. Lalu muncullah istilah neoliberalisme. Neo diartikan dengan istilah “semi”. Dengan demikian neoliberalisme juga diartikan sebagai “semi liberal” atau tidak terlalu liberal atau dengan kata lain, liberalisme tidak radikal atau dengan kata lain leberalisme sosial. Dengan memainkan istilah seperti itu, para pemikir liberal itu berharap ide mereka didukung oleh masyarakat internasional yang diisi oleh beragam cara pandang. Mereka ingin membuat dunia ini memiliki satu pandangan, yaitu liberalisme, meski dengan istilah yang coba diperhalus menjadi neoliberalisme. Inilah salah satu strategi pemikiran barat untuk menjalankan misi “globalisasi” mereka.

Lalu apa itu globalisasi ?. H.Kissinger (1998) menyebut globalisasi adalah nama lain untuk dominasi Amerika. Ahli lain menyebutkan globalisasi dari segi cultural merupakan sebuah upaya perluasan pengaruh amerika atau “amerikanisasi” (Friedman, 2001). Kesimpulan dari dua ekonom itu menjelaskan betapa ide globalisasi sesungguhnya adalah ide penjajahan modern. Amerika yang mengusung ide itu menginginkan dunia ini memiliki ekonomi global tanpa pemerintahan global, memiliki ekonomi global tanpa masyarakat global (yang semuanya itu akan membuat dunia bergantung kepada Amerika). Pencetus ide The Class Of Civilization (Huntington, 1996) memberikan pandangan dalam keadaan dunia yang semakin terglobalisasi akan menyebabkan terjadinya perusakan serius terhadap kesadaran diri pada tingkat peradaban, kemasyarakatan, dan etnis. Apa yang dikatakan Huntington itu benar menurut saya. Karena itulah yang diinginkan Amerika. Membuat masyarakat internasional membuang kesadaran diri mereka pada tingkat peradaban, kemasyarakatan dan etnis agar peradaban itu selamanya hanya milik Amerika.

Neoliberalisme adalah salah satu turunan dari cara pandang globalisasi di bidang ekonomi. Pemikiran neoliberalisme berpandangan bahwa aktifitas ekonomi adalah aktifitas persaingan atau aktifitas kompetisi. Akibatnya, pandangan ini membuat para pelaku ekonomi memandang pelaku ekonomi lainnya sebagai kompetitor, sebagai pesaing bahkan sebagai musuh. Inilah alasan yang menjelaskan kenapa si kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin. Sebab dengan logika kompetisi seperti ini si kaya tentu saja akan semakin baik kemampuan bersaingnya karena didukung oleh kekayaannya yang dengan itu akan membuatnya semakin kaya. Sebaliknya untuk si miskin, semakin kaya si kaya berarti semakin sedikit peluang si miskin untuk menguasai sumber ekonomi karena sudah dikuasai oleh si kaya tadi. Akibatnya kemiskinan terus dan akan terus terjadi selama si kaya tadi terus berusaha menjadi kaya. Inilah logika neoliberalisme yang secara sadar dipahami oleh para pemikirnya. Kompetisi yang akhirnya akan memenangkan segelintir orang dan mengalahkan sebagian besar masyarakat yang sebenarnya lebih berhak menguasai aset ekonomi yang dikuasai segelintir orang itu.

Indonesia sejak awal kemerdekaannya sesungguhnya sudah menolak sistem berfikir yang seperti ini. Sebab para pendiri bangsa ini paham bahwa pola pikir liberal hanya akan menyebabkan masyarakat Indonesia terpinggirkan. Undang-Undang agraria yang dibuat pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1870 membuat tanah-tanah Indonesia ketika itu dikuasai oleh asing dan memaksa rakyat pribumi menjadi kuli di negeri sendiri. Bahkan untuk kondisi saat itu, bukan sekedar menjadi kuli tapi menjadi budak untuk para tuan tanah. Budak karena mereka tidak pernah digaji. Kalaupun mereka mendapat upah, itu jauh dari layak untuk bisa membuat mereka hidup dengan layak. Sehingga agenda perjuangan kemerdekaan saat itu sebenarnya lebih kepada upaya demokratisasi ekonomi, menghilangkan pengaruh modal asing terhadap perekonomian Indonesia.

Setelah kemerdekaan itu kita dapatkan, pemerintah secara konkrit menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat. Tanah-tanah yang dikuasai asing itu diambil lagi oleh rakyat. Meski kita tau bahwa pengambilalihan tanah secara paksa oleh rakyat saat itu akhirnya berujung pada disintegrasi sosial karena konflik agraria. Tapi saya tidak sedang berbicara tentang sejarah perampokan tanah yang dilakukan PKI atas nama pemerintah saat itu. Saya hanya ingin mengatakan bahwa semangat awal berdirinya bangsa ini adalah untuk membebaskan Indonesia dari belenggu modal asing. Lalu ketika Indonesia dipimpin oleh diktator orde baru yang dikelilingi oleh aristokrat liberal hasil didikan Amerika, asset-aset Indonesia kembali banyak dikuasai asing. Itulah alasan kenapa Soeharto menandatangani perjanjian atau kontrak pertambangan selama 25 tahun dengan Newmont di NTB, atau dengan perusahaan-perusahaan lainnya di seluruh Indonesia. Tragisnya, setelah kejatuhan Soeharto karena sikap korup dan disokong para pemikir liberal itu, praktek neoliberalisme justeru semakin menjadi-jadi di negeri ini. Seolah ia adalah idiologi Negara.

Sebelum lebih jauh berbicara Indonesia yang dikuasai kaum neoliberal, ada baiknya kita memahami dulu kenapa globalisasi menjadi pilihan dan arah perjuangan barat, lalu kenapa Amerika yang menjadi aktor utama dalam penegakan globalisasi itu. Semangat globalisasi sesungguhnya juga dimiliki oleh Islam. Kita biasa menyebutnya dengan istilah Khilafah Islamiyah. Tapi ada terlalu banyak perbedaan yang mendasar antara kedua hal tersebut. Jika globalisasi menghendaki perekonomian global tanpa pemerintahan global, maka khilafah menghendaki perekonomian global dengan satu pemerintahan kolektif. Globalisasi bertujuan untuk menggiring asset-aset ekonomi berkumpul pada suatu pihak atau golongan tertentu dan menjadikan pihak lain sebagai “pensuplai” kebutuhan untuk golongan itu. Sementara khilafah menghendaki perekonomian global yang berdasarkan atas asas berkeadilan dan mensejahterakan. Globalisasi menggunakan paham ekonomi neoliberal dengan logika kompetisi untuk menjalankan aktifitas ekonomi, sementara khilafah menggunakan paham ekonomi syari’ah dengan semangat korporasi atau kerjasama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Globalisasi mengedapankan individualisme dan kebebasan tak terbatas untuk mendukung ide mereka, sementara khilafah mengedepankan ukhuwah dan kebebasan yang proporsional. Globalisasi menyatukan dunia dengan cara merekayasa perang mata uang global secara ekstrem (yang menekan Negara-negara berkembang) sedangkan khilafah menyatukan dunia dengan memenuhi kebutuhan real masyarakat untuk hidup sejahtera. Masih banyak lagi perbedaan yang lain secara fundamental antara keduanya. Yang paling menarik bagi saya adalah globalisasi dengan neoliberalismenya berupaya menghimpun aset ekonomi untuk kesejahteraan “golongan tertentu” sementara khilafah dengan ekonomi syari’ahnya menyebarkan aset ekonomi secara merata dan proporsional untuk kesejahteraan ummat manusia.

Lalu siapa “golongan tertentu” yang saya maksud diatas..?. tidak lain dan tidak bukan, mereka adalah “komunitas yahudi internasional”. Dalam doktrin yahudi, ummat lain selain yahudi dianggap sebagai budak dan mereka adalah ummat terbaik yang diselamatkan. Mereka yakin, suatu saat Yehwah (atau entah apa istilahnya) akan turun ke bumi dan membunuh semua orang kecuali orang-orang yahudi. Nah, sebelum itu terjadi, mereka ingin agar dunia ini semuanya menjadi budak mereka. Tentu saja mereka tidak bisa melakukannya secara langsung, oleh karenanya dibutuhkan strategi jitu untuk mewujudkannya. Dengan paham neoliberalisme, mereka memaksa semua orang untuk berkompetisi memperebutkan aset-aset ekonomi. Seperti yang pernah saya jelaskan sebelumnya, kompetisi itu kemudian semakin memperkaya orang kaya dan mempermiskin orang miskin. Akibatnya adalah semakin banyak orang yang miskin dan semakin sedikit orang yang kaya. Nah, orang kaya yang sedikit ini kemudian dibuat bergantung pada yahudi dengan memberikan jaminan keamanan kekayaan mereka. Teknisnya adalah kekayaan itu mereka simpan di suatu bank yang bank itu kemudian menjaminkan uang tersebut kepada bank sentral dalam bentuk Giro Wajib Minimum (GWM). Bank sentral itu lalu bergantung juga pada dana moneter internasional seperti IMF, WTO, dll.

Dalam bentuk lain, uang milik orang kaya itu juga diperjual belikan melalui “jual beli valuta asing” di pasar uang. Termasuk juga jual beli saham di pasar saham. Jadi, semua itu pada akhirnya bermuara pada “segelintir orang komunitas yahudi” itu. Dengan kata lain, sesungguhnya kekayaan yang tersimpan milik orang-orang kaya itu sebenarnya dikuasai oleh komunitas yahudi itu. Sementara, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka seperti makan, pakaian, rumah dan sebagainya, mereka mengeksploitasi tenaga orang miskin untuk mendapatkan bahan bakunya. Para petani mensuplai kebutuhan makanan, para pekebun mensuplai kebutuhan bahan baku pakaian dan perumahan. Untuk memiliki hasil jerih payah petani itu, mereka hanya mengeluarkan sebagian kecil dari harta mereka.

Lalu kenapa Amerika..?. ada beberapa sebab menurut saya. Pertama yahudi yang memiliki Negara berdaulat yaitu Israel tidak bisa diterima di semua negara. Ada banyak negara yang tidak mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel karena sentimen tertentu, baik sentimen keagamaan, sentimen teritorial maupun sentimen-sentimen lainnya. Sementara itu, Amerika adalah negara yang relatif bisa diterima oleh semua kalangan serta memiliki jaringan internasional yang baik. Kedua, Amerika merupakan negara yang punya pengaruh cukup kuat di dunia internasional, baik di PBB, maupun di negara-negara lain. Ketiga, Amerika adalah negara yang paling banyak menerima manfaat dari korporasi yahudi. Dengan demikian, kaum yahudi bisa memanfaatkan rasa berhutang budi Amerika kepada yahudi untuk menjalankan misi internasional mereka, menjadikan ummat lain sebagai budak.

Tapi kenapa dunia begitu mudah menerima ide itu..?. Apakah masyarakat dunia tidak mengetahui misi terselubung yahudi itu..?. Kenapa pula banyak kaum muslimin di Indonesia yang mendukung ide itu?. Kenapa pula idiologi itu begitu subur di Indonesia yang bahkan pemerintahnya sendiri adalah penganut cara berpikir itu. Disinilah kelihaian yahudi yang bekerja berdasarkan skala prioritas. Mereka tahu persis bahwa peradaban dunia itu tidak dimulai dari penguasa. Sebab penguasa cenderung mengikuti arahan akademisi (ilmuwan). Tidak pula dari pengusaha, sebab pengusaha juga banyak bertindak berdasarkan hasil studi para ilmuwan. Nah, disinilah para yahudi itu bermain, mereka melakukan rekayasa pemikiran terhadap para ilmuwan. Jadi, disadari atau tidak, kebanyakan ilmuwan dunia, terutama para ekonom adalah objek rekayasa pemikiran oleh yahudi.

Kita tahu bahwa kaum intelektual atau ilmuwan adalah orang yang sangat di hormati dan berpengaruh besar dalam peradaban ummat manusia. Sejarah peradaban ummat manusia selalu dimulai dari gerakan pemikiran yang dicetuskan para ilmuwan. Itulah yang menyebabkan nama Plato, Aristoteles, Newton, Charles Darwin dan ilmuwan-ilmuwan lain tetap abadi sepanjang masa. Tapi kenapa para ilmuwan (terutama ekonom) sekarang yang notabene adalah kaum intelektual yang seharusnya bisa berpikir rasional bisa terjebak dalam misi yahudi ?. disinilah sekali lagi yahudi itu menggunakan skala prioritas dalam bekerja. Mereka memulai persemaian pemikiran itu melalui kurikulum.

Kalau anda pernah belajar ekonomi, anda tentu ingat apa yang diajarkan kepada anda..? (ini terjadi juga kepada saya). Hal dasar yang diajarkan adalah bagaimana pasar menemukan bentuknya sendiri melalui mekanisme pasar. Disana demand atau permintaan dan supply atau penawaran bertemu untuk membentuk suatu keseimbangan harga. Tidak ada yang salah dengan logika ekonomi itu. Tapi yang tidak bisa saya terima adalah mekanisme itu tidak adil dalam menetapkan harga, sebab ia tidak memperhatikan kemampuan ekonomi (ketersediaan uang) konsumen untuk membayar harga tersebut. Mekanisme pasar seperti itu tidak lain merupakan hukum rimba dimana yang kuat akan menang dan yang lemah akan kalah. Artinya, bagi mereka yang tidak mampu membayar harga yang tercapai pada tingkat “keseimbangan harga” itu idak dapat memiliki barang tersebut, padahal barang tersebut sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan hidupnya, disiniah tidak adilnya asumsi ekonomi Adam Smith itu. Pasar adalah instrument yang tidak cukup mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, bahkan untuk masyarakat yang telah makmur sekalipun, pasar merupakan pelayan yang rajin untuk orang kaya, tetapi tidak memihak kepada yang miskin (Edi Swasono, 2011). Artinya harga yang dibentuk oleh pasar adalah sekadar “keseimbangan pasar” tetapi bukan “keseimbangan masyarakat” untuk menjamin tercapainya “keadila sosial bagi seluruh masyarakat”. Itulah sebabnya, seorang ekonom terkemuka, Lester Thurow (1983) menyebut mekanisme pasar semacam ini sebagai “the dangerous current” atau “arus berbahaya” bagi kesejahteraan masyarakat.
Untuk terus menanamkan pemikiran ekonomi itu, para donatur internasional yang tidak lain adalah pemangku kepentingan (yahudi) mensuplai kebutuhan buku ajar ekonomi ke seluruh dunia melalui lembaga-lembaga internasional yang bisa diterima masyarakat internasional. Nah, sekarang kita bisa simpulkan kalau ternyata selama ini, ilmu ekonomi yang diajarkan kepada kita adalah suatu upaya penjerumusan pola pikir kaum intelektual untuk menunjang kesejahteraan hidup segelintir orang. Disamping itu, pemberian beasiswa untuk belajar ekonomi di Amerika, Kanada dan lain sebagainya adalah program lain untuk memupuk pemikiran liberal itu. Sekarang, hasil didikan ekonomi liberal inilah yang mengisi pos-pos penting di pemerintahan. Dalam sebuah diskusi nasional, Prof. Sri Edi Swasono (Guru Besar FEUI, inspirasi saya menulis tulisan ini) menyebut mereka sebagai “preman berdasi” yang memimpin bangsa. Oleh karenanya kita tidak heran kalau Marie Elka Pangestu beberapa waktu lalu mengimpor kentang meskipun produksi dalam negeri masih cukup untuk memenuhi kebutuhan kentang nasional. Itu pula sebabnya kenapa pemerintah rela memberikan uang rakyat 6,7 Triliun rupiah untuk menyelamatkan Bank Century. Itu pula yang menyebabkan bermunculannya ide “membuka hubungan diplomatik dengan Israel” untuk menjamin perekonomian nasional.
Selain di pemerintahan, hasil didikan Amerika ini juga pulang ke Indonesia dengan berkiprah sebagai akademisi tulen. Mereka lalu menulis buku-buku ekonomi yang tidak lain adalah mengulang atau bahkan mengutip ekonom tempat mereka belajar dengan sedikit penyesuaian dengan kondisi lokal Indonesia. Sebut saja Sadono Soekirno, Herman Rusyidi, Prathama Rahardja, Mandala Manurung, dll. Mereka semua menulis buku ajar ekonomi yang masih bertitik tolak pada paham neoklasikal yang mengajukan competitive economic (ekonomi kompetisi) dan fundamentalisme pasar, meskipun sedikit menyinggung tentang sistem ekonomi Indonesia dan menyebut perkataan “koperasi” didalamnya.

Neoliberalisme tidak akan pernah melahirkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebaliknya neoliberalisme akan terus menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Kalau penyelenggara Negara ini tidak segera beralih haluan dengan meninggalkan neoliberalisme, maka akan terjadi kesenjangan sosial ekonomi yang semakin parah. Akibatnya Indonesia akan sangat mudah terjangkit “disintegrasi sosial”. Untuk apa punya pemerintah kalau tidak bisa mensejahterakan rakyatnya..?. Saat ini, sedang terjadi demonstrasi anti wallstreet di Amerika dan eropa oleh kaum-kaum yang termarginalkan disana. Cepat atau lambat, hal serupa atau mungkin lebih parah juga akan terjadi di Indonesia.

Ekonomi syari’ah yang akhir-akhir ini berkembang semakin pesat diyakini akan mampu membawa perbaikan kesejahteraan. Tapi sejauh ini penerapan ekonomi syari’ah itu hanya sebatas pada bank, belum pada aktifitas ekonomi lainnya. Sudah banyak kampus di Indonesia yang menjadikan ekonomi Islam sebagai bidang studi khusus. Tapi sejujurnya, masih ada kekhawatiran dalam diri saya bahwa kurikulum ekonomi Islam itu akan dimasuki juga oleh korporasi yahudi. Semoga kekhawatiran saya ini tidak terjadi. Saya juga berharap ada upaya mencerdaskan dari orang yang paham agar tidak banyak orang yang menjadi korban rekayasa pemikiran yahudi.

Penulis
Muhammad Nurjihadi (pemerhati ekonomi,
mahasiswa PS Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, IPB).

Tulisan ini merupakan hasil perenungan, kegundahan hati dan pikiran serta hasil diskusi dibidang ekonomi. Kedepan saya akan berusaha menulis masalah-masalah ekonomi secara konsisten dengan tema yang berbeda atau mirip.

No comments: