Sunday 21 August 2011

Part 1.Tangisan Senja Ramadhan

Hai kawan…. Kini aku tulis kisah hidup ini untuk mengenang peristiwa-peristiwa penting dalam hidupku. Setelah belasan tahun aku meniti indah pahitnya hidup, baru kali ini hatiku tergerak untuk menggoreskan kisah-kisah itu dalam tulisan. Ku pikir, orang – orang besar pahlawan kini dan masa depan penting untuk menulis peristiwa-peristiwa hidupnya, karena semua orang suatu saat akan bertanya-tanya tentangnya.

Kisah ini kutulis berdasarkan cerita dari bunda yang kini telah tiada. Ketika itu, di bulan Ramadhan, tepatnya tanggal 10 April Tahun 1990, sepulang dari perantauan, ibuku merasa perih luar biasa pada perutnya. Beliau tak pernah menyangka jika hal itu adalah pertanda bahwa anak yang ada dalam kandungannya akan lahir. Memang secara logika dan dalam ilmu kesehatan, belum saatnya anak itu meronta-ronta memaksa diri keluar. Idealnya seorang bayi lahir setelah berusia Sembilan bulan sepuluh hari, tetapi ketika itu, kandungan ibuku baru saja berusia tujuh bulan. Belum saatnya cabang bayi yang di kandungnya itu keluar. Tapi Tuhan berkehendak lain, mungkin karena Tuhan menginginkan pahlawan ini lahir lebih cepat untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan ummat. Senja itu, ketika semua orang sibuk menikmati santap buka puasa, ibuku harus menahan rasa sakit tiada tertahan karena harus memaksa keluar, sebuah mahluk baru titipan Tuhan. Semua terjadi begitu cepat dan di luar dugaan. Dengan bantuan seorang dukun beranak kampung, ibuku akhirnya melahirkan seorang bayi mungil di gubuk reot di desa terpencil di sebelah timur pulau Lombok ini.

Ya… dialah aku, aku adalah bayi prematur yang di lahirkan ibuku di senja bulan Ramadhan. Tangisan bayi mungil yang hitam, lemas, yang saat itu hanya seberat kurang dari 2 kg dengan ukuran yang bahkan kurang dari 30 cm itu memecah ketenangan dan keheningan suasana berbuka puasa di kampung kecil itu. Rengekan senja itu juga mengundang para tetangga untuk melihat kelahiran sang bayi prematur. Semua tercengang, jarang sekali bibir para tetanga itu merekah tersenyum, malah kening-kening mereka mengkerut, heran dan seolah-olah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bayi itu begitu kecil, jelek, hitam, dan terlihat cacat. Sedikit sekali diantara mereka yang bersedia menggendong bayi mungil yang baru saja di bersihkan tubuhnya dari darah nifas ibunya itu. Menjijikkan, ya, mungkin itulah yang terlintas di benak para tetangga ini. Jangankan mereka, bahkan ibu dan keluarganya pun heran seperti tak terima anaknya terlahir tidak normal seperti ini.

Bayi itu akhirnya menjadi buah bibir para tetangga selama berbulan-bulan. Banyak yang mengatakan bahwa bayi itu tidak akan mampu bertahan hidup lebih lama. Di awal-awal hidupku, aku memang sering terserang penyakit. Jika saja kesabaran dan ketabahan ibuku kurang saat itu, mungkin aku saat ini sudah menghadap kembali sang khalik yang baru saja menitipkanku di keluargaku. Perutku buncit, muka ku hitam seperti hangus, sampai ada yang mengatakan bahwa aku memang terlahir untuk menderita.
Aku tumbuh dan terus tumbuh, meskipun berbagai penyakit anak telah singgah dalam diriku tanpa ada langkah pengobatan yang serius dari pihak keluarga. Tapi ibuku dan keluargaku saat itu tentu bisa sedikit berbangga karena aku ternyata bisa tumbuh dengan baik, sebagaimana anak-anak yang lain, tanpa cacat baik fisik ataupun mental.

Ya… kisah ini memang menyakitkan, jika ku ingat cerita ibuku sebelum menghembuskan nafas terahirnya, ingin rasanya aku menangis. Menangis membayangkan bertapa kejamnya orang-orang di sekitarku yang untuk sekedar menggantikan ibuku menggendongku saja tidak ada yang mau. Bahkan bibik-bibik, paman, kakek dan nenek ku sekali pun seolah tak punya niat untuk menghentikan tangisan bayi yang menjijikan ini saat ibuku tak sempat menggendongku. Terkadang ibuku berpikir dan bertanya pada dirinya, kenapa harus anak yang seperti ini yang di berikan padanya. Tidak adakah cara lain Tuhan untuk mengujinya, namun, seorang ibu tetaplah ibu. Ia akan senantiasa melindungi anaknya dalam keadaan apapun.

Ketika aku memasuki usiaku yang ke 2 tahun, peristiwa penting terjadi dalam hidupku. Bapakku menceraikan ibuku dan menikah lagi dengan wanita lain. Saat itu, aku masih terlalu mungil untuk mengerti apa itu bercerai, atau sekedar tahu untuk apa ibuku mengemas-ngemas barangnya dengan tetesan air mata yang senantiasa mendinginkan pipi indahnya. Yang ku tahu, saat itu sebuah pelukan erat dan penuh emosi serta beberapa kecupan membasahi kening dekilku. Kecupan hangat seorang ibu yang begitu mencintai anaknya. Ya, aku memang anak terahir ketika itu, aku punya tiga orang kakak yang saat itu cukup mengerti tentang perceraian. Ke tiga kakakku juga menangis, kulihat satu persatu mereka di peluk juga sepertiku, meskipun tak seerat ketika ibuku memelukku. Yang pasti air mata ketiga kakakku saat itu kulihat membasahi baju dan pundak ibuku. Aku juga tidak mengerti, kenapa peristiwa itu masih teringat begitu jelas dalam benakku. Padahal saat itu aku baru saja berusia 2 tahun. Singkat cerita, ibuku lalu mengajakku pergi meninggalkan desa kecil itu menuju sebuah tempat lain yang lebih ramai namun jauh dari bapakku. Aku tak tahu persisnya apa yang ku lakukan bersama ibuku disana, memori otakku saat itu tak cukup kuat untuk mengingat peristiwa itu.

Setelah beberapa bulan, kuingat aku di jemput oleh bapakku. Dia meminta agar aku kembali tinggal bersamanya di desa kelahiranku. Ibuku tentu saja menolak, namun watak bapakku yang keras dan kaya akan strategi tak mampu dilawan oleh ibuku. Andai saja saat itu aku sudah mampu untuk menentukan pilihan, aku takkan pernah meninggalkan ibuku dan membiarkan air matanya terurai lagi. Tapi aku masih terlalu dini untuk dapat memahami itu. Akhirnya aku kembali lagi ke desaku. Desa tempat aku di cemooh dulu, namun kini suasananya berbeda. Aku tinggal dengan seorang wanita yang aku diminta untuk memanggilnya ibu. Padahal dia bukanlah ibuku. Dan kakak-kakakku yang saat itu sudah cukup paham mengajariku untuk tidak memanggilnya ibu, karena memang dia bukan ibu kami.

Disinilah, di rumah kecil ini masa kecilku tergadaikan oleh kekacauan-kekacauan rumah tangga yang terus mengguncang keluarga kami. Hari-hari yang ku lewati tidak pernah lepas dari keributan. Rumah kami tak ubahnya adalah sebuah panggung yang selalu ramai dikunjungi para penonoton untuk menyaksikan sebuah pertunjukan drama memilukan. Drama yang dimainkan oleh kakak-kakakku, ibu tiriku, bapakku, dan juga aku. Ketika sedang ribut, orang-orang berkumpul di depan rumah kami, ingin tahu apa lagi penyebab dari kisah drama hari ini. Ternyata, keberadaanku cukup menarik perhatian warga. Karena setiap drama itu selalu dikait-kaitkan denganku. Selalu karena aku keributan itu terjadi.

Aku memang sering di marahi bahkan di pukul oleh ibu tiriku. Terutama ketika kakak-kakakku tidak ada di rumah. Dan ketika mereka tahu bahwa hari ini aku kembali di sakiti, maka seketika itu pula drama akan di mulai. Pernah suatu ketika aku meminta uang pada ibu tiriku. Aku tidak tahu, kenapa hari itu aku begitu berani meminta uang padanya. Saat itu ibu tiriku tidak punya uang, tapi aku ngotot minta uang itu. Ahirnya ibu tiriku marah, lalu ia memukulku dengan sapu lidi yang ia pegang, karena saat itu dia memang sedang nyapu halaman. Aku berteriak sejadi-jadinya karena kesakitan. Bahkan saat itu aku sempat tak sadarkan diri. Aku lemas tergulai dan tak berdaya. Orang-orang kembali kumpul di depan rumah kami, panggung drama. Saat itu kakak-kakakku dan bapakku sedang tidak ada di rumah. Kali ini, warga tidak hanya datang menonton, tetapi mereka ikut terlibat dalam adegan-adegan memilukan itu. Warga mengangkatku yang telah tergulai lemas tak berdaya itu, mereka bilang aku pingsan, tapi sebenarnya aku mengetahui kejadian itu. Tapi aku tak mampu mengeluarkan sedikitpu suara. Aku juga mendengar warga mengejar-ngejar ibu tiriku yang berlari sembunyi ke dalam kamar setelah aku pingsan karena di pukulnya. Aku juga melihat banyak air mata yang terurai dari wajah-wajah kasihan warga kampungku. Sepertinya kali ini mereka tak sanggup lagi melihat penderitaanku. Suasana semakin haru ketika kakak-kakakku datang dan betapa kagetnya mereka ketika melihat aku tergulai lemas tak berdaya. Mereka semakin kesal setelah mendengar cerita bahwa aku di pukul ibu tiri kami. Dina, kakak perempuanku menangis sejadi-jadinya. Di susul tangisan haru bibik-bibikku yang sebenarnya mereka sudah berhenti menangis. Dua kakakku yang laki-laki lalu mencari ibu tiriku dengan sejuta kemarahan dan dendam dalam dirinya. Beruntung saat itu bapakku cepat datang. Ya, bapak adalah orang yang amat kami segani. Sehingga apapun yang dia bilang akan kami turuti. Bapak mendekatiku lalu mendekapku. Sementara itu, bibik-bibik dan nenekku mencoba menasehati bapakku agar ia menceraikan ibu tiriku. Tapi bapak cukup bijak. Ia menanyakan kepadaku apa yang sebenarnya terjadi

“ada apa nak…???” tanyanya lembut, aku diam saja, tapi ia mendekapku semakin erat. Akhirnya aku menjawab

“aku di pukul pake’ sapu lidi Pak..” jawabku memelas

“kenapa kamu di pukul…???” semua keluarga yang ikut kumpul saat itu memintanya untuk tidak bertanya kepadaku. Karena aku memang masih terlalu kecil untuk di introgasi seperti itu. Apalagi aku baru saja sadar dari pingsanku.

Bapak kemudian meninggalkanku dan masuk menemui istrinya. Entalah apa yang di bicarakan di dalam, tak ada yang tahu. Setelah cukup lama di dalam, ia kemudian keluar dan mengatakan

“ini salah paham saja, mari kita selesaikan dengan baik-baik” katanya.
Setelah itu, bapak dan semua keluarga yang ada malam itu berdiskusi. Entah apa yang di diskusikan. Andai saja ibuku tahu tentang kejadian hari itu, tentu ia akan sangat marah. Tapi saat itu belum ada alat yang mampu menghubungkan kami dari jarak jauh. Ibuku tinggal di kota Mataram, sementara aku ada di desa di ujung Pulau Lombok.

No comments: