Friday, 4 January 2013

Blessing in Disguise: Karena Aku Ingin Layak Dihormati

By. Muhammad Nurjihadi
Letih memang. Tapi tak pernah kurasakan bahagia seperti yang kurasakan hari ini. Hari ketika aku dibanjiri pujian, hari ketika aku menjadi bahan perbincangan, hari ketika semua mata seolah memandangku takjub, hari ketika aku membuat setiap orang yang menyayangiku merasa bangga, dan hari ketika aku memaksa mereka yang membenciku takluk tak berdaya. Inilah hari kemenanganku. Rasanya tak ada yang sebahagia aku hari ini.

Ya,, hari ini adalah hari pengumuman kelulusan di sekolahku yang sekaligus dirangkai dengan hari perpisahan. Sekolah kami memang beda, kala itu sekolah kami punya kurikulum dan mekanisme ujian nasional sendiri, tidak ikut dengan ujian nasional seperti sekolah umum lainnya. Sekolah kami ada dibawah departemen pertanaian, bukan departemen pendidikan, jadi soal ujian pun tidak datang dari departemen pendidikan, melainkan dari departemen pertanian.

Sebagai ketua OSIS, aku bertanggungjawab menyiapkan acara ini. Dua bulan persiapan untuk acara setengah hari. Melelahkan, tapi juga menyenangkan. Hari ini aku benar-benar tampil sebagai bintang. Aku diumumkan menjadi lulusan terbaik sekolah, bahkan lulusan terbaik nasional dari sekolah-sekolah yang ada dibawah departemen pertanian. Karenanya aku juga diumumkan mendapatkan beasiswa kuliah di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia. Aku juga tampil dalam pidato perpisahan mewakili teman-teman kelas tiga yang lulus hari ini. aku pun tampil sebagai pelakon utama dalam sebuah drama yang aku sutradarai sendiri. juga tampil menerima penghargaan sebagai siswa penggerak kegiatan ekstrakurikuler. Dan terakhir aku juga tampil untuk menyerahkan jabatan ketua OSIS kepada ketua OSIS baru yang dipilih beberapa hari sebelumnya. Ketika video dokumenter acara ini diputar, wajahku benar-benar menjadi aktor utama didalamnya.

Tak cukup dengan itu, keesokan harinya pun wajahku tampil di sebuah media lokal. Wartawannya menulis soal prestasiku sebagai lulusan terbaik nasional dan soal jaminan beasiswa untukku. Semua kebanggaan datang menghampiriku saat itu. Tak terkecuali keluarga besar dan seluruh orang di kampung halamanku. Aku tenggelam dalam euphoria kebanggaan dan kebahagiaan.

Beberapa pekan setelahnya, semua terang itu seketika berubah gelap. Saat aku menanyakan soal beasiswa kuliah yang dijanjikan kepadaku. Entah bagaimana ceritanya, aku dianggap telat mengurus persyaratan administrasi yang membuatku gagal menerima beasiswa itu. Rasanya aku bagai jatuh dari puncak gunung,terpuruk dalam kesedihan. Bukan karena aku tidak bisa mendapatkan beasiswa itu, tapi karena aku membayangkan betapa kecewanya orang-orang terdekatku yang baru beberapa hari ini memujiku. Satu kampung sudah tau bahwa aku akan kuliah di Jawa dengan beasiswa dari pemerintah, bahwa aku adalah anak pintar yang membanggakan keluarganya, bahwa aku adalah harapan mereka. Apa jadinya jika aku tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
“Ah, aku pasti dikucilkan” pikirku.

Hari itu adalah hari terakhir pendaftaran Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) yang sekarang bernama SNMPTN. Tanpa pikir panjang aku langsung pergi mendaftar, meski dengan dana pinjaman yang dengan susah payah kudapatkan. Jika aku tidak dapat pergi kuliah di kampus favoritku di Jawa, setidaknya aku harus tetap kuliah di kampus negeri, pikirku. Aku lalu mengikuti tes SPMB. Hingga tiba masanya pengumuman hasil, aku kembali harus menelan pil pahit karena daftar nama calon mahasiswa yang lulus sedikitpun tidak memuat namaku. Kali ini bukan hanya sedih dan murung, aku juga harus menanggung malu yang tiada terkira. Bagaimana tidak, aku telah dinobatkan sebagai lulusan terbaik nasional, tapi aku tak mampu lulus tes seleksi mahasiswa. Sementara teman-temanku yang lulus ujian SMA dengan nilai seadanya justeru mendapatkan kehormatan untuk diterima sebagai mahasiswa.

“ini tidak adil” gumamku.

Benar saja, di kampung asalku, kegagalanku dalam tes seleksi itu diperbincangkan hangat. Ada yang prihatin dan ada pula yang memandangku sinis karena menganggap prestasiku dalam kelulusan SMA kemarin hanya kebetulan.

“sabar dik, yang penting kita udah usaha maksimal, ga usah dengerin kata orang” kata Heri, kakak kandungku. Meski aku melihat ia juga tidak bisa menyembunyikan rasa malu dan kecewanya.

“lalu bagaimana? Masak aku ga kuliah ?” tanyaku pada kak Heri dan bapak yang kala itu sedang menghiburku.

“mending cari kerja aja dulu, toh kalau pun kuliah, ujung-ujungnya juga nyari kerja” kata bapak menasehati.

Aku pasrah, marah dan malu. Aku tak berani keluar rumah. Aku tak sanggup jika ada yang menanyakan soal ketidak lulusan ini. Aku malu untuk menampakkan wajah bangga dan ceriaku yang kini berubah murung. Aku terjebak dalam tekanan batin yang tak mampu kuatasi.

Disaat semua tampak gelap dan suram, tiba-tiba salah seorang guruku datang ke rumah. Ia datang untuk menghibur sekaligus mengajakku untuk ikut tes sebuah perguruan tinggi dengan beasiswa ikatan dinas. Tak perlu pikir panjang untuk mengiyakan tawaran itu.

“mungkin inilah jalannya, ternyata Allah menyiapkan yang lebih baik untukku” kataku dengan penuh optimis.

“siapkan diri untuk ikut tes itu nak. Fisik, mental dan otak harus benar-benar disiapkan” kata pak Guru menasehatiku.

Lalu ku ikuti tes itu dengan penuh kesungguhan dan dengan persiapan terbaik. Ada lima rangkaian tes yang harus dilalui. Aku berhasil melewati 4 tahap sebelum akhirnya hasil akhir akan diumumkan beberapa hari setelahnya. Betapa shocknya aku ketika namaku kembali terlupakan dalam daftar peserta tes yang lulus. Entahlah, aku tak mengerti apa yang membuatku tak lulus pada tes tahap ke lima. Aku kembali terpuruk, putus asa dan kehilangan akal sehat. Gunjingan yang kuterima dari tetangga menjadi kian menjadi-jadi. Pamor sebagai anak pintar hilang sudah. Siang terasa pekat dan malam terasa penat. Ingin aku keluar dari kampung ini agar tak ada lagi yang menggunjingku.
*****

“ah,, sudahlah, mungkin ada baiknya aku keluar dari kampung halaman ini. Aku lebih memilih menderita di tempat orang daripada harus mendengar gunjingan orang di rumahku sendiri” kataku pada bapak di suatu malam.

“apa rencanamu ?” tanyanya

“aku ingin pergi ke luar daerah, aku tak akan mengatakan kemana, yang jelas aku mau keluar” jawabku

“nak, kenapa kamu harus pikirkan kata orang,, sudahlah, mending kamu cari kerja dulu disini, ga usah kemana-mana, tahun depan kamu kuliah” pintanya.

Aku diam tak bergeming. “kamu tidak boleh ke luar daerah…!!” sambung bapak lalu pergi meninggalkanku.

Aku berpikir keras malam itu. lalu aku sampai pada tekad kuat untuk tetap pergi. Aku ingin ke Bali. Disana aku punya teman yang sudah siap menerimaku. Tapi aku tidak ingin memberi tahu siapapun ketika aku berangkat nanti, aku pasti dilarang jika harus izin dulu.

Selepas subuh, aku tinggalkan rumah tanpa membawa bekal yang cukup. Hanya beberapa helai pakaian yang ku kemas dalam tas dan uang yang hanya cukup untuk ongkos ke Mataram. Tak ada yang boleh menghentikan tekad ini. Aku pergi tanpa pamit dengan tekad membaja.

Setelah sampai Mataram, aku menginap di sebuah kos teman. Rencananya aku mau tinggal beberapa hari disini untuk bekerja serabutan, mengumpulkan uang untuk ongkos ke Bali. Aku tak ingin pulang ataupun mengabarkan posisiku kepada keluarga sebelum ada kebanggaan yang kubawa.

Setelah lebih dari sepekan bekerja serabutan, menjadi tukang parkir, penjual tanaman hias, tukang kebun dan sebagainya akhirnya aku berhasil mengumpulkan uang yang cukup untuk bekal ke Bali. Ketika hendak membeli tiket bus untuk berangkat ke Bali, aku membaca sebuh poster pengumuman dibukanya pendaftaran penerimaan mahasiswa baru melalui jalur tes mandiri oleh Unram. Hari itu adalah hari terakhir pendaftaran dan esok paginya adalah hari tes. Kutunda rencana pembelian tiket lalu langsung berbalik menuju kampus Unram untuk mendaftar. Aku sampai di kampus itu tepat lima menit sebelum pendaftaran ditutup. Akupun menjadi pendaftar terakhir ketika itu. Uang yang tadinya ingin kugunakan membeli tiket bus kugunakan untuk membayar uang pendaftaran.
Aku tak punya cukup waktu untuk belajar dan menyiapkan diri untuk mengikuti tes besok pagi. Aku hanya pasrah dan berdo’a. Jika lulus tes, aku akan mengurungkan niat untuk hijrah ke Bali, tapi jika tidak lulus lagi, aku akan langsung berangkat. Kali ini aku sudah lebih siap secara mental untuk menerima apapun hasil tes. Ku ikuti tes dengan santai. Meski tanpa belajar, tapi aku menikmati menjawab soal tes kala itu.

Pengumuman hasil tes akan dilakukan seminggu setelah itu. sambil menunggu hasil tes, aku semakin giat bekerja serabutan. Karena semua hasil tabunganku seminggu kemarin telah kugunakan untuk mendaftar, maka aku harus mengumpulkan uang lagi untuk ongkos. Jika hasil tes nanti tidak lulus, maka aku sudah punya uang untuk membeli tiket.
Seminggu kemudian, saat-saat menegangkan itu akhirnya tiba. Semenjak subuh aku sudah nongkrong di perempatan lampu merah tempat biasa para penjual Koran menjajakan korannya. Seperti biasa, pengumuman kelulusan dilakukan melalui Koran. Dengan mengucap bismillah, kubuka Koran yang baru kubeli dan ternyata, namaku tercantum dalam daftar calon mahasiswa yang lulus tes mandiri.

‘alhamdulillah” ucapku lega.

Sesuai rencana, aku harus mengurungkan niatku untuk pergi ke Bali. Aku ingin kuliah, itu saja. Meski harus masuk melalui jalur yang ‘tidak terhormat’, tak mengapa, asal bisa melanjutkan pendidikan. Kini aku dihadapkan pada masalah lain. Karena harus mengejar jadwal akademik, maka pendaftaran ulang harus dilakukan selambat-lambatnya dua hari setelah pengumuman itu. Aku harus punya uang sejumlah lima juta dalam waktu dua hari.

“dari mana dapat uang lima juta” pikirku. Aku tak ingin minta ke bapak, karena aku tahu beliau juga sedang kesulitan keuangan. Lagipula aku sudah berani keluar dari rumah tanpa pamit, aku tidak mau minta ke beliau.

H-1 penutupan pendaftaran ulang, aku bergerak lincah menghubungi setiap orang yang kukenal untuk minjam uang, tapi tak sepeser pun kudapatkan. Entahlah, mungkin karena mereka tak bisa mempercayaiku akan bisa mengembalikan uang pinjaman itu, atau mungkin karena mereka memang tidak punya uang. Ketika tak ada lagi yang bisa diharapkan, saya terpaksa harus pulang ke rumah untuk minta bantuan orangtua.
Seperti dugaanku, bapak tidak punya uang itu.

“nampaknya aku memang harus ke Bali” pikirku.

“nak, datang ke alamat ini, saya sudah hubungi beliau dan beliau bersedia meminjamkan uangnya untuk daftar ulang kuliahmu !!” kata bapak sambil menyodorkan sebuah kertas berisi alamat rumah sahabat lamanya yang kini tinggal di Mataram.

Aku bergegas kembali ke Mataram. Karena aku sampai sudah larut malam, aku berencana untuk datang ke alamat yang dikasi bapak esok paginya di hari terakhir pendaftaran ulang. Mata tak bisa terpejam malam itu. Aku dihantui perasaan harap-harap cemas.

“Siapa yang bisa menjamin aku dapatkan uang itu besok” pikirku.

Keesokan harinya, aku berangkat menuju alamat itu. Setelah berputar-putar, akhirnya alamat itu aku temukan, sebuah rumah yang cukup megah. Ku pencet bel yang menempel di gerbang. Seorang perempuan paruh baya keluar dan membukakan gerbang.

“cari siapa mas ?” tanyanya.

“benar ini rumahnya pak Hilal bu ?”

“oya benar, ada apa ya ?”

“saya ada perlu sama beliau, udah janjian kemarin”

“wah,, tapi bapak sedang ngantor mas”

“pulangnya jam berapa buy a?”

“biasanya sih jam tiga atau jam empat mas”

Aku tarik nafas dalam-dalam. Tak mungkin kutunggu dia sampai jam empat. Pendaftaran ulang hari ini akan ditutup jam dua siang.

“dimana kantornya bu?” tanyaku lagi.

“di Unram mas, Fakultas Pertanian” jawabnya

“terimakasih bu, saya susul ke sana aja kalau gitu”

Ternyata sahabat bapakku ini adalah seorang dosen di fakultas tempatku akan kuliah. Segera aku cari beliau di kantornya, di kampus. Setelah sampai kampus, aku harus menunggu lama karena beliau punya jam ngajar yang cukup padat hari itu. Aku menunggu di depan ruangannya bersama beberapa orang yang juga sedang menunggunya untuk konsultasi skripsi. Mataku tak lepas dari jam. Aku sungguh khawatir dan tegang. Hanya ini harapan terakhirku. Jika aku gagal disini, maka pupuslah sudah harapanku untuk bisa kuliah. Tepat jam 12 siang beliau tiba di ruangannya.

“maaf ya, baru selesai ngajar” katanya menyapa kami semua yang menunggu didepan ruang kerjanya lalu langsung masuk ke dalam ruangannya. Tak lama kemudian dia keluar, “saya salat bentar ya” katanya dan pergi meninggalkan kami lagi untuk salat.

Hah,,, saya semakin tegang. Saya pun lalu mengikuti beliau ke Mushalla untuk salat.
Selesai salat, beliau bergegas kembali ke kantornya. Dia terlihat terburu-buru seperti sedang dikejar waktu. Tak enak rasanya menyampaikan maksud kedatanganku ditengah keterburuannya itu. Hushhhhh,,, tegang, takut, khawatir, malu, semua campur jadi satu. Saya ikuti beliau dari belakang.

Tiba di ruangannya, beliau langsung disambut oleh mahasiswa-mahasiswanya yang sudah menunggu dari tadi.

“kapan aku bisa ngomong,, ya Allah bantu hamba” ucapku dalam hati.

Jam sudah menunjuk angka satu. Satu jam lagi loket pendaftaran ulang akan ditutup. Setelah lima belas menit, mahasiswa-mahasiswa tadi keluar dari ruangan bersama beliau. Sambil tergesa-gesa beliau bilang

“aduhh,, saya ada jadwal ngajar lagi nih, yang belum konsultasi tunggu aja sampai jam tiga ya, udah telat saya ini” ucapnya dan langsung pergi berjalan dengan terburu-buru meninggalkan kami.

Seluruh bulu roma saya menegang. Nampaknya habis sudah perkara. Tak ada lagi yang bisa saya harapkan. Bagaimana mungkin saya akan menjegat beliau yang sudah mengaku telat.

“ya Allah,,, bantu hamba” jeritku dalam hati.

Aku lalu beranjak dari dudukku dan kukejar beliau

“maaf pak, sebentar” kataku

“nanti aja ya, saya telat ini” jawabnya

“maaf pak, saya anak dari pak Juli yang kemarin hubungi bapak, batas daftar ulang hari ini jam dua dan sekarang sudah hampir setengah dua, saya sudah nunggu bapak dari pagi, minta tolong pak bantu saya” ucapku tanpa henti dengan nada memelas. Malu sebenarnya, tapi apa mau dikata.

Beliau terdiam sejenak, menoleh kearahku dan menatap mataku dengan tajam. Aku jadi salah tingkah dibuatnya

“maaf pak kalau saya mengganggu, saya benar-benar tidak tau mau gimana lagi”

Beliau melihat jam tangannya lalu membuka isi dompetnya

“uang saya ada di ATM semua, tidak ada cash. Saya tidak mungkin ngasi kamu bawa ATM saya untuk ambil sendiri, sedangkan saya harus ngajar sekarang” katanya

Aku terdiam. Tampaknya aku sudah tidak punya harapan lagi. Ia lalu melangkah pergi meninggalkanku. Beberapa lama kemudian dia berbalik

“tunggu sebentar, jangan pergi dulu, tunggu saya disitu” pintanya. Aku pun mengangguk mengiyakan.

Tak lama kemudian ia keluar. Entah apa yang dikatakannya pada mahasiswanya. Beliau lalu mengajakku untuk pergi ke ATM centre yang ada di Unram. Karena jaraknya cukup jauh, kami menggunakan mobil beliau. Dalam perjalanan kami berbincang tentang banyak hal

“jadi kamu yang katanya lulusan terbaik nasional di sekolah pertanian itu?” tanyanya didalam mobil

“iya pak” jawabku singkat

“kenapa ga jadi dapat beasiswa ?”

“ndak tau lah pak, katanya saya telat ngurus administrasi, padahal sebelumnya pihak sekolah yang katanya akan mengurus semuanya”

“oohh.. terus kok bisa kamu ga lulus SPMB?”

Aku hanya diam, tak mampu menjawab pertanyaan ini.

“memang ya begitu lah, sekolahmu itu kan beda kurikulum, jadi kalaupun kamu terbaik disana, belum tentu kamu lebih baik dengan yang terburuk di sekolah lain” sambungnya.
Sesak dada ini mendengar pernyataan itu. aku tak mau menyahut apapun. Kutahan emosi yang membuncah, kuingat betapa dia sangat penting bagiku kali ini.

“besok kamu akan buktikan disini, kamu akan bersaing dengan siswa-siswa dari sekolah lain, dugaan saya kamu akan susah menyesuaikan diri dengan mereka, mereka pintar-pintar biasanya” lanjutnya.

Aku masih diam, meski dada ini panas dibuatnya.

“kamu harus giat belajar, kegagalanmu kemarin di SPMB membuktikan kalau kamu aja yang lulusan terbaik ga mampu bersaing, apalagi teman-temanmu yang lain dari sekolah itu” katanya lagi

Aku tetap tak bergeming.

“saya sampai ngorbanin waktu ngajar untuk bantu kamu, jangan sampai besok kamu bikin saya malu karena nilaimu jelek apalagi sampai DO” sambungnya..

Ingin kuumpat bapak ini. Tak adakah bahasa yang lebih baik dari itu?. Tapi sudahlah, aku sedang butuh dia.

Kami pun akhirnya tiba di ATM centre. Setelah mengambil uang, beliau mengantarku ke tempat pendaftaran ulang dan kemudian meninggalkanku disana. Aku bergegas ke loket pendaftaran ulang. Suasana sudah sepi, tak ada lagi yang antre seperti yang aku lihat tadi pagi ketika lewat didepan gedung registrasi ini. Ketika sampai didepan loket, para petugas sedang sibuk merapikan kertas-kertas pendaftaran ulang, bersiap untuk pulang. Beruntung mereka masih mau melayaniku. Aku menjadi peserta terakhir yang mendaftar ulang.

“Alhamdulillah, akhirnya… terimakasih ya Allah” ucapku lirih, tak terasa air mata mengalir di pipi. Haru rasanya.
*****

Aku sudah resmi menjadi mahasiswa di Unram. Meski masuk lewat jalur yang ‘tidak terhormat’, tapi aku bertekad untuk keluar dengan cara ‘terhormat’. Aku ingin membuktikan bahwa semua yang disampaikan pak Hilal di mobil ketika memberiku pinjaman uang adalah keliru. Aku ingin menjadi orang yang layak untuk dihormati, orang yang layak untuk dihargai, bukan dikasihani.

Kujalani hari-hariku sebagai mahasiswa dengan normal. Kusibukkan diri dalam berbagai aktifitas organisasi. Sampai akhirnya aku tampil sebagai salah seorang tokoh mahasiswa di kampus. Aku terlibat dalam berbagai organisasi bergengsi dan pada gilirannya menjadikanku sebagai pemimpin utama. Aktifitasku di organisasi ini memberikan pelajaran penting bagiku tentang bagaimana mengelola hidup. Disamping itu, peran-peran utama sebagai pimpinan membuatku punya akses terhadap pejabat-pejabat penting, baik di kampus maupun luar kampus. Secara tidak langsung semua proses situ membentuk karakter dan kepribadianku.

Meski disibukkan dengan urusan organisasi, aku tetap memelihara ambisiku untuk tampil sebagai yang terbaik secara akademis. Oleh karenanya, aku berusaha untuk menyeimbangkan segala aktifitas organisasi itu dengan aktifitas akademik. Bahkan selain sibuk dengan dua urusan itu, aku juga menyempatkan diri untuk melakukan berbagai aktifitas usaha untuk bisa membiayai kuliah sendiri. Do’a dan ikhtiar terus kulakukan. Sampai akhirnya aku tiba pada saat pembuktian.

Dalam perenungan kudapati sebuah hikmah besar dibalik kesulitan-kesulitan yang menderaku ketika hendak masuk menjadi mahasiswa. Kesombongan dan mendahului takdir Allah adalah kesalahan terbesar yang kulakukan kala itu. Andai saat itu beasiswa di kampus favoritku di Jawa itu kudapatkan, mungkin aku masih menyimpan sikap sombong dan angkuh itu. Lebih dari itu, aku mungkin tidak akan bisa mendapati diri pada posisi seperti yang kudapat di Unram.

Setelah empat tahun melanglang buana di kampus, aku akhirnya sampai pada hari ketika aku harus menanggalkan status kemahasiswaan dan menyandang gelar sebagai sarjana. Dengan penuh percaya diri, kugunakan toga wisuda yang berselendangkan tulisan ‘cum laude’. Lebih dari itu, aku mendapat kehormatan untuk duduk di kursi paling depan, memimpin semua mahasiswa yang diwisuda hari itu. Aku diumumkan sebagai wisudawan terbaik periode itu. Aku adalah salah satu wisudawan yang diwisuda langsung oleh Rektor sebagai penghormatan. Aku juga diminta untuk menyampaikan pidato wisuda mewakili seluruh wisudawan. Diluar sana, berbagai spanduk terpasang mengucapkan selamat kepadaku. Hampir semua organisasi yang pernah kupimpin memasang spanduk ucapan selamat, lengkap dengan foto-fotoku. Lalu di kursi keluarga, kusaksikan keluarga besarku datang untuk melihatku diwisuda. Kulihat beberapa diantara mereka mengusap air mata ketika aku berdiri gagah di atas mimbar ketika menyampaikan pidato wisuda. Sayang, diantara mereka tidak kulihat sang bapak, orang yang selama ini paling ingin melihatku berdiri di mimbar ini. Sumber inspirasi dan semangat juangku. Tepat sebulan sebelum acara wisuda ini beliau menghembuskan nafas terakhir. Mengingatnya membuatku meneteskan air mata di mimbar itu.

Setelah prosesi wisuda selesai, aku berbincang sederhana dengan beberapa orang pejabat kampus, termasuk Rektor dan ketua ikatan alumni. Ketika itu, aku mendapat setidaknya tiga tawaran beasiswa studi S2, baik dalam dan luar negeri. Bahkan ada pula yang memberiku bantuan langsung yang ia sebut sebagai beasiswa cash saat itu juga. Tapi aku tidak ingin mengulangi kesalahan empat tahun lalu. Aku tidak ingin lagi mendahului takdir Allah. Biarlah Allah yang memutuskan. Aku hanya berusaha untuk menagih tawaran-tawaran beasiswa itu, selebihnya semua urusan Allah. Sungguh, aku mengakhiri masa studi itu dengan sempurna. Aku lulus sebagai lulusan terbaik dan meninggalkan posisi terakhir sebagai ketua di lembaga paling tertinggi di kampus. Karena aku ingin layak dihormati, maka aku berjuang untuk layak dihormati.


2 comments:

Unknown said...

wahhh...super sekali..
hidup memang selalu penuh makna.terkadang kita harus dihadapkan pada satu masalah untuk memahami suatu hal..allah tak akan pernah membiarkan kita berada pada kondisi yang stagnan.tak ada perubahan. dan bersyukur pada allah atas kemauan pikiran untuk mau memikirkan apa yang dituliskan allah.. bukankah lembutnya hati untuk dapat menerima semua pelajaran yang dinaskahkan allah itu karena rahmat allah juga? sungguh luar biasa kasih sayang allah itu..
super dengan tulisannya..
selalulah menulis.untuk memberi inspirasi pada pembaca

Unknown said...

wahhh...super sekali..
hidup memang selalu penuh makna.terkadang kita harus dihadapkan pada satu masalah untuk memahami suatu hal..allah tak akan pernah membiarkan kita berada pada kondisi yang stagnan.tak ada perubahan. dan bersyukur pada allah atas kemauan pikiran untuk mau memikirkan apa yang dituliskan allah.. bukankah lembutnya hati untuk dapat menerima semua pelajaran yang dinaskahkan allah itu karena rahmat allah juga? sungguh luar biasa kasih sayang allah itu..
super dengan tulisannya..
selalulah menulis.untuk memberi inspirasi pada pembaca