Friday, 13 July 2012

JAKARTA BERES DALAM TIGA TAHUN..?? MUSTAHIL

Oleh: Muhammad Nurjihadi, SP

Pemilu Kada Provinsi DKI Jakarta tahun ini berlangsung diluar dugaan. Jika sebelum masa pendaftaran oranng sudah meyakini bahwa Foke akan menang kembali dengan mudah, maka sekarang kita bisa menyaksikan kemustahilan itu. Ada 5 pasang calon lainnya yang siap mengalahkan Foke dalam Pilkada kali ini. Untuk meraih simpati dan dukungan warga Jakarta, para calon selalu hadir dengan tiga isu utama : macet, kumuh, dan banjir. Sebenarnya tidak ada yang baru, lima tahun lalu saat Pilkada, tiga isu utama itu juga menjadi isu utama dalam Pilkada. Sehingga muncullah slogan "Serahkan pada ahlinya" dari cagub Fauzi Bowo kala itu. Tapi hasilnya..?? Setelah 5 tahun, macet semakin gila, banjir tak bisa diusir, perumahan kumuh semakin banyak.

Pada Pilkada kali ini, ada calon yang mengaku siap mundur jika permasalahan utama jakarta itu tidak bisa diselesaikan dalam waktu tiga tahun. Saya tidak tahu, apa yang menjadi dasar dari calon itu berani mengeluarkan pernyataan itu. Mereka mengira bahwa Jakarta hanya merupakan fenomena lokal yang bisa diselesaikan dengan kebijakan provinsi. Saya ingin mengatakan dia salah. Jika janji itu masih dipegang, sebaiknya yang bersangkutan mundur dari pencalonan karena saya pastikan jika dia terpilih, tiga tahun lagi dia gagal.

Macet sebenarnya adalah ciri normal dari kota-kota besar di negara berkembang. penyebabnya adalah karena kota memiliki daya tarik yang tidak dimiliki oleh kota kecil ataupun pedesaan. Daya tarik itu adalah ekspektasi (harapan) kehidupan yang lebih baik, ketersediaan fasilitas publik yang memadai dan status sosial. Semua daya tarik itu mendorong para penduduk yang ada di desa atau kota kecil untuk bermigrasi ke kota besar. Tapi untuk kasus di Jakarta, kita tidak bisa mengatakan ini fenomena normal, sebab yang terjadi di Jakarta adalah over urbanization. Laju kedatangan penduduk ke Jakarta lebih besar dari kapasitas wilayah Jakarta untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Akibatnya banyak kaum urban yang bekerja di sektor informal.

Masalah utama yang dihadapi Jakarta sebenarnya adalah Jakarta dipersepsikan publik Indonesia memiliki segala sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup. Sementara pada saat yang bersamaan, orang-orang di daerah merasa fasilitas Jakarta tidak tersedia di wilayahnya. Persepsi ini yang mendorong urbanisasi besar-besaran ke Jakarta. Ketika seseorang melakukan migrasi dari daerah ke Jakarta, hanya ada dua kemungkinan yang terjadi: (1) jika sukses, kaum urban ini akan menambah jumlah kendaraan di Jakarta yang berdampak pada Jakarta semakin macet; (2) jika gagal, kaum urban ini akan menjadi pengangguran, preman dan penghuni perumahan kumuh. Penduduk padat yang bermental desa ini kemudian memiliki prilaku tidak baik, membuang sampah sembarangan seperti yang sering mereka lakukan di desa. Akibatnya banjir menjadi langganan warga Jakarta. Dengan demikian, maka siapapun Gubernur Jakarta tidak akan mampu menyelesaikan masalah Jakarta itu. Hanya ada satu cara untuk menyelesaikan masalah Jakarta, semua daerah di Indonesia harus maju. atau paling tidak, Indonesia harus memperbanyak wilayah lain yang memiliki fasilitas yang setidaknya mirip dengan Jakarta.

Dengan penjelasan diatas, dapat kita pahami bahwa Jakarta sebenarnya adalah masalah nasional yang hanya bisa diselesaikan dengan kebijakan nasional. Pemerintah pusat harus berani merampingkan peran Jakarta. Jakarta tidak boleh menjadi pusat segala-galanya seperti sekarang. Jakarta harus membagi kue yang dimilikinya ke daerah lain. Saat ini, Jakarta adalah pusat bisnis, pusat pemerintahan, pusat jasa, pusat hiburan, pusat perdagangan, pusat kebudayaan, dan lain-lain. Bangsa ini harus membagi peran wilayah dengan baik jika tidak ingin terpuruk seperti ini.

Khusus soal banjir, kita tidak bisa hanya memandang sampah sebagai penyebab banjir. Ada sebab lain yang jauh lebih besar pengaruhnya. Kita tahu bahwa Gunung Salak merupakan sumber mata air utama di wilayah Jabodetabek. Gunung Salak memiliki ketersediaan air yang cukup besar untuk menghidupa warga Jakarta dan sekitarnya. Tapi sayang, warga Jakarta terlalu manja, sombong dan hanya ingin terima beres. Warga di sekitar gunung salak adalah manusia yang membutuhkan uang untuk bisa hidup. Karena mereka tidak mendapatkan kompensasi yang layak dari warga Jakarta setelah Jakarta menikmati air dari wilayah mereka, maka mereka harus mencari cara untu mendapatkan penghasilan sendiri. Cara yang mereka lakukan untuk survive akhirnya adalah menebang pohon sembarangan untuk dijual. Akibatnya daya resap air di wilayah menjadi berkurang. Kita menyaksikan bahwa kawasan puncak berkembang cukup pesat karena keindahan lingkungannya. Sebagai daerah pariwisata, Puncak kemudian berubah dengan ekstrem dengan munculnya hotel, villa, dan perumahan baru. Konsekuensinya adalah, harus ada konversi lahan di wilayah puncak. Akibatnya jumlah pohon yang tersedia semakin berkurang. Dengan demikian maka setiap musim penghujan, air dari gunung salak akan melimpah ke Jakarta karena tidak mampu diserap oleh kapasitas lingkungan di sepanjang alur sungai yang ada di puncak hingga Jakarta. Jadi kalau mau menyelesaikan persoalan banjir, lingkungan puncak harus diselamatkan. Siapa yang menyelamatkan..? warga puncak tentu tidak mau ambil pusing, karena mereka tidak mendapat dampak apa-apa. Maka yang bertanggungjawab harusnya DKI. Jadi anggaran pemeliharaan lingkungan di puncak itu harus menjadi tanggungjawab DKI, tidak boleh dibebankan hanya kepada pemerintah Jawa Barat.

Dengan semua penjelasan diatas, maka kita bisa memahami bahwa yang dibutuhkan Jakarta sesungguhnya adalah pemimpin yang memiliki kemampuan lobi yang baik. Jakarta tidak membutuhka pemimpin yang “sok merakyat” tapi tidak punya akses dan kemampuan komunikasi yang baik dengan pemerintah pusat maupun pemerintah disekitarnya. Jadi warga Jakarta harus bisa menilai, siapa yang kira-kira mampu mengemban amanah itu. Kuncinya adalah, Jakarta harus membagi kue yang dimilikinya.

No comments: