Oleh: Muhammad Nurjihadi, SP
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perjalanan sejarah Indonesia selalu disertai dengan gerakan sosial yang massif. Chaos / konflik adalah ciri yang selalu menyertai setiap tahap perjalanan sejarah Indonesia. Namun, seperti yang dikatakan Serres dalam Kusmarni (2008) yang menyatakan bahwa chaos harus dipandang sebagai positif chaos, sebab jika itu dipandang sebagai negatif chaos, maka ia tidak akan pernah bisa dilihat sebagai sebuah peluang. Gerakan kemerdekaan dengan segala dinamika dan korbanannya berhasil mengantarkan Indonesia menjadi negara merdeka yang disegani dunia. Tidak cukup sampai disitu, gerakan sosial Indonesia berlanjut pasca kemerdekaan Indonesia. Masa orde lama dihiasi dengan kompetisi idiologi tiga gerakan sekaligus yaitu gerakan Islam, gerakan Komunis dan gerakan Kapitalis. Di usianya yang masih sangat belia, Indonesia kala itu dihadapkan dengan masalah besar ini, pertentangan idiologi. Terutama antara idiologi Islam dan idiologi komunis. Secara umum, pengaruh politik pada masa orde lama lebih didominasi oleh gerakan komunis yang saat itu melembaga sebagai Partai Komunis Indonesia (PKI). Soekarno, proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia ternyata lebih dekat dengan PKI daripada kalangan Islam maupun kapitalis. Akibatnya, pemerintahan Soekarno cenderung bernuansa komunis.
Dimulainya masa orde baru menjadi akhir dari perjalanan sejarah komunis formal di Indonesia sekaligus menjadi awal dari bangkitnya kapitalis Indonesia. Pemerintah menyatakan PKI sebagai partai terlarang di Indonesia dan memerintahkan penangkapan terhadap para kader dan simpatisan PKI. Perang saudara pun tidak bisa dihindarkan antara massa PKI dengan non PKI. Akibatnya, ribuan bahkan jutaan orang (terutama dari pihak PKI) meninggal dunia dalam perang saudara itu. Lebih jauh, Soeharto tampil sebagai rezim yang represif, otoriter dan sadis. Nurfitriani (2011) dalam sebuah makalahnya menjelaskan bahwa pemerintah orde baru melalui SU MPR 1978 mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) dan UU No. 3 tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya, menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Setelah pengaturan mengenai partai politik dan Golkar tersebut, Pemerintah Orde Baru kemudian mengeluarkan UU No. 8 tahun 1985 mengenai pengaturan Pancasila sebagai satu-satunya anggaran dasar organisasi-organisasi kemasyarakatan.
Gerakan reformasi bergulir di akhir tahun 1990-an. Mahasiswa dan rakyat bergerak menuntut reformasi di segala bidang. Selanjutnya, para demonstran pun menyadari bahwa satu-satunya kunci reformasi saat itu adalah “Soeharto harus turun”. Soeharto pun lengser dan digantikan oleh Baharuddi Jussuf Habibie. Reformasi yang diharap memutus mata rantai kapitalisme, ternyata justeru menjadi awal semakin suburnya kapitalisme Indonesia. Pada masa pemerintahan Gusdur, atas alasan ekonommi, Gusdur berupaya untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Sebuah upaya yang membuat rakyat menjadi murka. Lalu pada pemerintahan Megawati, pemerintah mengumumkan akan menghapus subsidi secara perlahan dan menyerahkan harga barang apapun sesuai dengan mekanisme pasar. Sebuah kebijakan kapitalis yang ekstrem. Selanjutnya di masa pemerintahan SBY, selain pengurangan subsidi, pemerintah juga ternyata secara perlahan tapi pasti menjual BUMN kepada pihak swasta. Kebijakan yang ironi ditengah gencarnya tuntutan rakyat untuk menasionalisasi asset-aset strategis bangsa. Kekecewaan terhadap rezim reformasi sudah mulai tampak. Ada banyak kebijakan pemerintah yang digagalkan dengan kekuatan massa rakyat. Ini yang membuat saya yakin bahwa era reformasi juga akan segera berakhir. Pertanyaannya adalah, setelah era reformasi yang kapitalis ini, kemana arah gerakan sosial Indonesia selanjutnya ?. Kiranya inilah yang ingin coba saya analisis dalam makalah ini.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Gerakan sosial dengan idiologi apa saja yang sudah pernah memenangkan perebutan pengaruh politik di Indonesia..?
2. Gerakan sosial dengan idiologi apa yang paling berpotensi dan kemungkinan akan menjadi arah gerakan politik Indonesia di masa depan..?
1.3. Metode Analisis
Analisis dalam makalah ini dilakukan dengan menyajikan fakta sejarah Indonesia yang diikuti dengan penjelasan tentang kondisi kekinian gerakan sosial Indonesia. Berdasarkan pengalaman sejarah dan realitas kekinian gerakan sosial Indonesia itu, penulis kemudian memprediksi arah gerakan sosial Indonesia di masa depan.
BAB II. PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Gerakan Komunisme di Indonesia
Bermula dengan nama Indische Sociaal-Demokcratische Vereniging (ISDV), Partai Komunis Indonesia didirikan pada 9 Mei 1914 di Surabaya. Organisasi Sosialis - Marxis ini diprakarsai oleh Hendricus Josephus Fransciscus Marei Sneevliet. Ia adalah anggota SDAP, sebuah partai buruh sosialis demokrat di Belanda (Ruth T,2010). Budiharjo dalam Ridwan (2012) menjelaskan bahwa sejak tahun 1918, telah terjadi pertentangan hebat di internal ISDV. Baars, Bergsma dan Semaun ingin mengubah nama ISDV menjadi Partai Komunis untuk menyatukan diri dengan komunis internasional dan melepaskan diri dari paham sosialis palsu. Sementara itu, Hartogh menginginkan agar ISDV tetap menjalankan sosialisme murni.
Akhirnya kubu Baars, Bergsma dan Semaun berhasil memenangkan pengaruh anggota-anggota ISDV sehingga pada tanggal 23 Mei 1920, ISDV dirubah menjadi Partai Komunis Hindia. Selanjutnya, pada bulan Desember pada tahun yang sama, Partai Komunis Hindia berubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin oleh Semaun (Ketua), Darsono (wakil ketua), Bergsma (sekretaris), dan Dekker (bendahara). Rafidi (2010) mengisahkan Semaun dan Darsono berangkat ke Moskow, Rusia pada tahun 1921 untuk mempererat hubungan diplomasi sekaligus untuk bergabung menjadi anggota Komintern (Komunis Internasional) yang didominasi oleh Partai Komunis Rusia.
Gerakan yang dilakukan PKI bersifat internasionalis dan menganggap bahwa nasionalisme adalah gagasan yang harus dilawan. Dalam perjuangannya, PKI mengambil sikap keras dan radikal untuk mewujudkan cita-cita komunisnya. Pemogokan, pengrusakan fasilitas negara dan pemberontakan berdarah merupakan ciri gerakan komunis ini. Akibatnya, banyak tokoh PKI yang dibuang Pemerintah Kolonial Belanda ke daerah terpencil atau ke luar negeri (Ridwan, 2012).
PKI termasuk peserta aktif dalam kegiatan Komintern di Asia serta dalam perkembangan gerakan kemerdekaan Indonesia. Sebagai partai yang baru lahir, PKI telah menciptakan arus penting dalam sejarah. PKI sebagai bagian dari gerakan komunis internasional menjadi satu-satunya partai komunis, selain di Cina, yang memiliki legalitas serta memainkan peran penting dalam kehidupan politik di negerinya. Dalam kasus ini PKI menjadi satu-satunya partai komunis yang dapat melakukan kegiatan politik di bawah kekuasaan bangsa Eropa (Ruth T, 2010). PKI juga merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung (wikipedia.org).
Menurut Suryanegara (2010), pemikiran komunis sesungguhnya sengaja didatangkan dari Belanda oleh pemerintah kolonial untuk memecah belah gerakan Islam di Indonesia. Bukti nyata yang mendukung argumen ini adalah bahwa PKI lahir dari dalam tubuh Partai Syarekat Islam (PSI). Massifnya gerakan Islam pada awal abad ke 20 yang mendapat dukungan dan memiliki massa riil dari berbagai strata sosial telah menciptakan perasaan tidak tenang pemerintah Belanda. Lahirnya Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama’, Matlaoel Anwar, Persatuan Islam, dan Jong Islamieten Bond menjadi bukti besarnya kekuatan Islam pribumi saat itu yang mengancam posisi penjajah Belanda. Oleh karena itulah Pemerintah Belanda membiarkan PKI berkembang luas di masyarakat Indonesia tanpa mendapat larangan. Argument inilah yang menjelaskan kenapa PKI menjadi satunya partai komunis yang dapat melakukan kegiatan politik di bawah kekuasaan bangsa Eropa.
Pasca kemerdekaan, peran politik PKI di Indonesia semakin kuat. PKI dengan kekuatan massanya bahkan mampu mengontrol pemerintahan Soekarno. Lebih jauh, PKI bertindak layaknya penguasa formal negara. Mereka menyerukan para anggotanya untuk melakukan reforma agraria secara sepihak dengan mengorbankan tanah milik masyarakat yang bukan anggota PKI, terutama masyarakat muslim. Disamping itu, PKI juga secara bebas bisa menerima bantuan senjata dari Cina dan Uni Soviet untuk mempersenjatai anggotanya dalam upaya revolusi Indonesia. Ironisnya, Soekarno sebagai pemimpin negara justeru “mendiamkan” aksi inkonstitusional dari PKI ini. Inilah awal kisah memilukan dalam sejarah gerakan di Indonesia yang menewaskan ribuan bahkan jutaan orang dalam perang saudara.
Puncak gerakan radikal PKI terjadi ketika PKI berniat menguasai negara dengan jalan revolusi berdarah. Memanfaatkan momentum berkembangnya isyu akan terjadinya kudeta militer oleh para petinggi Angkatan Darat (TNI AD) terhadap kepemimpinan Soekarno, PKI bergerak cepat dengan menculik para petinggi Angkatan Darat lalu membunuhnya. Mayat korban kemudian dibuang ke lubang buaya. Peristiwa mengerikan ini terjadi pada tanggal 30 September 1965 sehingga disebut sebagai Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G 30 S PKI). Gerakan satu malam ini memiliki arti yang sangat penting dalam sejarah Indonesia. Selanjutnya, Soeharto hadir seolah sebagai pahlawan yang hadir tepat pada waktunya. Dengan bermodal Surat Perintah Sebelas Maret (Super Semar) Soeharto memimpin upaya pemberantasan PKI sampai ke akar-akarnya. Seluruh pimpinan PKI ditangkap bahkan dibunuh. Ditingkat akar rumput, rakyat diserukan untuk melakukan penangkapan terhadap kader dan simpatisan PKI untuk dihukum tanpa diadili dan bahkan dibunuh. Para kader dan simpatisan PKI itu tentu tidak tinggal diam. Perang saudara pun pecah tanpa mampu dikendalikan dan menewaskan ribuan bahkan jutaan orang pribumi. Ada banyak versi tentang sejarah G 30 S PKI ini, yang pasti peristiwa pembunuhan para jenderal secara sadis dan tida manusiawi oleh PKI dan pembantaian massal terhadap kader dan simpatisan PKI itu nyata adanya.
Naiknya Soeharto sebagai pucuk pimpinan negeri menjadi akhir dari perjalanan sejarah formal PKI di Indonesia. Sejak tahun 1967 PKI dibubarkan dan ditetapkan sebagai partai terlarang untuk selama-lamanya di Indonesia. Sungguh tragis, revolusi yang mereka lakukan justeru menenggelamkan mereka. Meski demikian, saya meyakini bahwa saat ini, sisa-sisa idiologi PKI masih memiliki banyak pendukung di Indonesia. Hanya saja, gerakan mereka bersifat hidden (gerakan bawah tanah.
2.2. Sejarah Gerakan Kapitalis di Indonesia
Sejarah Indonesia adalah satu sejarah yang terhubungkan secara dekat dengan perkembangan kapitalisme semenjak kelahirannya di abad ke-16. Oleh karena itu, untuk memahami kapitalisme di Indonesia, kita harus kembali melihat jauh ke zaman kolonial Belanda. Secara umum, kita dapat membagi tahapan sejarah Indonesia seperti berikut: koloni Belanda (1600-1945), perjuangan kemerdekaan (1945-1949), Orde Lama (1949-1965), Orde Baru (1965-1998), serta Reformasi 1998 dan sesudahnya (1998-sekarang).
Semenjak penjajahan Belanda terhadap Indonesia, nasib Indonesia telah terhubungkan erat dengan perkembangan kapitalisme dunia. Oleh karena itu kita perlu menggunakan periode ini sebagai titik tolak analisa kita. Masuknya perusahaan dagang Belanda bernama V.O.C (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) menjadi awal keterjajahan Indonesia atas Belanda. VOC dibentuk ketika pemerintah Belanda memberikannya sebuah monopoli untuk melakukan aktivitas kolonial di Asia. Ini adalah perusahaan saham-gabungan multinasional pertama yang mengeluarkan saham publik. Pada pembentukannya, VOC membuka bursa saham pertama dunia, Bursa Saham Amsterdam. Untuk memperdagangkan saham dan surat obligasinya. VOC memiliki otoritas quasi-pemerintah dimana ia mampu melakukan peperangan, merundingkan perjanjian perdamaian, mencetak uang, dan membentuk koloni (Sprague, 2010). Praktis, dalam dua abad pertama Hindia Belanda tidak dijajah oleh Pemerintah Belanda, tapi oleh sebuah perusahaan dagang multinasional bernama VOC.
Selama 2 abad selanjutnya, VOC menjadi perusahaan dagang yang paling penting di Eropa. Ia menciptakan monopoli di perdagangan rempah-rempah, terutama lada, kayu manis, dan cengkeh yang didapat dari Hindia Belanda. Selama 90 tahun pertamanya, VOC meraup dividen sebesar 18,7% setiap tahunnya. Hasilnya jelas. Pada abad ke-17 Belanda menjadi negara paling maju di Eropa. Marx dalam Sprague (2010) menulis di Kapital: “Belanda, yang pertama kali mengembangkan sistem kolonial, pada tahun 1748 telah berdiri di puncak keagungan komersialnya ... Total kapital dari Republik Belanda barangkali lebih besar daripada total keseluruhan kapital di benua Eropa”. Masselman dalam Sprague (2010) menjelaskan VOC memasuki periode kemunduran pada tahun 1692 dan akhirnya dibubarkan pada tahun 1798. Republik Belanda menanggung utang VOC, sebesar 134 juta guilders, dengan syarat bahwa VOC harus menyerahkan semua asetnya di Hindia. Dengan ini, Republik Belanda memperoleh sebuah koloni di Asia pada tahun 1798.
Revolusi Hebat Prancis pada tahun 1789 melempar seluruh Eropa ke dalam satu kekacauan. Seluruh penduduk Republik Belanda terjangkiti semangat Revolusi Prancis, dan pada tahun 1795 sebuah revolusi popular pecah dan menyerukan pembentukan Republik Batavia yang pendek umurnya (1795-1806). Selama periode yang pendek ini, semangat Revolusi Prancis juga menjangkiti kebijakan kolonial dengan banyak gagasan, yang berdasarkan kebebasan berusaha dan liberalisme, bermaksud membawa semangat liberté, égalité, fraternité (kebebasan, kesamarataan, persaudaraan) ke rakyat pribumi Hindia Timur Belanda. Akan tetapi, semua ocehan dan rencana untuk memajukan rakyat pribumi, untuk membawa logika (reason) ke Hindia Timur yang primitf, tidak lain adalah sebuah “kerajaan borjuis yang ideal” (Sprague, 2010).
Setelah Perang Jawa 1825-1830 yang berakhir dengan menyerahnya kerajaan Mataram, yang menandai penaklukan penuh pulau Jawa, Belanda memperkenalkan sebuah sistem tanam paksa. Sebuah sistem dimana Belanda memaksa petani Indonesia untuk menanam hasil bumi untuk eskpor. Sistem ini adalah sebuah eksploitasi kolonial yang klasik. Tujuan utamanya untuk meningkatkan kapasitas produksi pertanian (terutama di pulau Jawa) guna kepentingan penbendaharaan Belanda. Sistem ini adalah satu kesuksesan yang besar dari sudut pandang kapitalisme Belanda, menghasilkan produk ekspor tropikal yang sangat besar jumlahnya, dimana penjualannya di Eropa memajukan Belanda. Dengan kopi dan gula sebagai hasil bumi utama, seluruh periode Sistem Tanam Paksa menghasilkan keuntungan sebesar kira-kira 300 juta guilder dari tahun 1840-1859 (Elson, 1990).
Sistem Tanam Paksa menyediakan basis untuk perkembangan ekonomi pada periode selanjutnya yang disebut periode Liberal. Selama periode sebelumnya, pemerintah menyuntik kapital yang besar untuk membangun perkebunan hasil-bumi dan fasilitas-fasilitasnya, terutama gula dan kopi, dan juga memastikan penyediaan tenaga kerja murah melalui kerja paksa. Sistem Tanam Paksa sangatlah menguntungkan. Namun, sistem Cultuurstelsel yang dijalankan pemerintah ini dipenuhi dengan nepotisme, dimana kontraktor pemerintah, pengusaha penanam swasta, perusahaan ekspor-impor, dan pegawai negeri Belanda semua mempunyai hubungan keluarga. Ini membawa kegusaran kapitalis Belanda (dan kapitalis asing lainnya) yang melihat keuntungan besar dari bisnis ini dan ingin mendapat bagian. Inilah alasan sebenarnya mengapa Sistem Tanam Paksa dihentikan pada tahun 1870, bukan karena kekhawatiran moral kaum imperialis Belanda terhadap kesengsaraan yang dihadapi oleh kaum tani Indonesia akibat sistem eksploitatif ini. Kita dapat melihat ini dengan jelas di dalam nilai ekspor setelah Sistem Tanam Paksa yang tumbuh bahkan dengan kecepatan yang lebih pesat dan tidak lain menandakan sebuah eksploitasi yang lebih ganas terhadap rakyat Hindia Timur Belanda (Kano, 2008).
Kano melanjutkan dengan dihapuskannya Sistem Tanam Paksa – yang ditandai dengan disetujuinya Peraturan Gula 1870 – aktor utama dalam perkembangan industri perkebunan bergeser lebih ke perusahaan swasta dan kapital luar. Kapitalis swasta dan kapitalis petualang masuk ke dalam industri perkebunan Hindia Timur Belanda. Tahun 1925, sudah ada 121 perusahaan gula (suikerondernemingen) yang beroperasi di Hindia Timur Belanda, dan jumlah total pabrik gula (suikerfabrieken) yang dimiliki atau dikelola oleh perusahaan ini adalah 195.
Pada awal abad ke-20, kaum moralis dari borjuasi Belanda terusik hati nuraninya dengan kemiskinan rakyat pribumi Hindia Timur akibat eksploitasi kolonial Belanda. Mereka meminta peningkatan kesejahteraan moral dan material untuk rakyat Hindia Timur yang kemudian di respon dengan kebijakan politik etis Belanda. Akan tetapi, kebijakan etis sebenarnya hanyalah satu ekspresi dari kebutuhan ekonomi, dan bukan karena kebaikan hati dari kaum borjuasi Belanda (Rahardjo, 2011). Terlepas dari kritik terhadap pelaksanaan politik etis itu, satu hal yang pasti adalah politik etis menjadi awal kebangkitan gerakan nasional Indonesia untuk meraih kemerdekaan.
Timbulnya gerakan radikal yang menuntut kebebasan dan kemerdekaan mutlak oleh penduduk pribumi sebenarnya didasari oleh kemarahan kaum pribumi karena sikap pemerintah kolonial yang mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia untuk memenuhi kebutuhan Eropa. Pola eksploitasi ini merupakan kebijakan pemerintah kolonial yang tunduk pada hukum kapitalis yang menganut azas pasar bebas (laissez faire). Atas dasar itulah pergerakan nasional akhirnya diarahkan pada upaya memerdekakan Indonesia dari hegemoni politik ekonomi Belanda. Harapannya dengan kemerdekaan politik, kita bisa mengatur sendiri sistem ekonomi kita tanpa harus terikat dengan sistem ekonomi kapitalis. Itu sebabnya UUD 1945 pada pasal 33 menyatakan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan”. Pada masa orde lama, pemerintah melakukan nasionalisasi pada semua perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan asing yang di nasionalisasi itulah yang kemudian menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tidak berorientasi keuntungan semata, tapi juga kepedulian dan keadilan sosial. Pemikiran ini lahir dari konsep Bung Hatta yang disebut koperasi (Rahardjo, 2011).
Kapitalisasi yang massif kembali terjadi di Indonesia pada masa orde baru dibawah rezim Soeharto. Dengan dibantu oleh pemikir-pemikir liberal di zamannya, Soeharto menunjukkan keberpihakan yang ekstrem kepada para pemodal asing untuk menguasai sumber daya alam Indonesia. Akibatnya asing mendominasi sekor-sektor strategis dalam perekonomian kita. Pada masa inilah terjadi perampokan tanah atas nama investasi oleh para investor asing yang menyisakan konflik hingga hari ini. Pada masa ini, negara memfasilitasi investor untuk berinvestasi di daerah luar jawa dalam hal penyediaan bahan mentah seperti pada sektor perkebunan dan pertambangan. Sementara di Jawa, investor melakukan investasi dalam bidang industri dengan menggunakan bahan baku yang diproduksi di daerah luar jawa. Barang-barang yang tidak bisa diproduksi di Jawa karena keterbatasan teknologi kemudian di ekspor untuk diolah diluar negeri. Ironisnya, kita membeli kembali hasil produksi di luar negeri itu dalam bentuk barang jadi dengan harga yang sangat mahal. Pada masa ini pula koperasi yang menjadi ide kebangsaan kita kehilangan ruhnya. Azas-azas kebersamaan dan kerjasama dalam koperasi hilang digantikan dengan dominasi pemodal besar. Meski nama koperasi masih digunakan, tapi prinsip pengelolaannya telah berubah dari pengayom aktifitas ekonomi masyarakat menjadi unit produksi yang berorientasi keuntungan maksimal. Ini berarti bahwa pemerintah orde baru telah melakukan pelanggaran serius terhadap azas kekeluargaan dalam pengelolaan ekonomi negara sebagaimana pasal 33 UUD 1945. Saya kira, inilah salah satu pendorong lahirnya keinginan reformasi pada akhir dasawarsa 1990-an, reformasi ekonomi untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan kedaulatan ekonomi rakyat, bukan ekonomi pasar.
Sayangnya setelah 14 tahun reformasi, rezim yang mengisi era ini justeru cenderung menghianati semangat reformasi kita di tahun 1998. Bagaimana tidak, pola eksploitasi Jawa atas luar jawa masih terjadi dengan ekstrem. Pada level ekonomi nasional, Indonesia juga masih mencirikan ekonomi kapitalis pada era kolonial Belanda. Dimana Indonesia hanya menjadi penyedia bahan baku untuk industri di barat atau di Jepang dan Cina. Akibatnya kita kehilangan potensi pendapatan negara yang sangat besar. Parahnya lagi, kita harus mengimpor produk hasil industri yang menggunakan bahan baku dari Indonesia itu dengan harga yang jauh lebih mahal. Begitulah kapitalisme, membuat kita terpasung pada kondisi pra sejahtera. Seolah ada kesepakatan bersama bahwa negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia merupakan penyedia bahan baku industri untuk diolah di negara maju. Lebih dari itu, pemerintah era reformasi justeru menelurkan kebijakan “nyeleneh” dengan memprivatisasi BUMN. Jika pemerintah orde lama berupaya mati-matian untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, pemerintah reformasi justeru menjual BUMN kepada swasta. Ini menunjukkan bahwa pemerintah reformasi lebih kapitalis dari pemerintah orde baru atau sama kapitalisnya dengan pemerintah kolonial Belanda.
Kapitalisme memang masih eksis sampai saat ini di Indonesia. Tapi dalam perjalanan sejarah ke-Indonesiaan kita, kapitalisme selalu dijadikan sebagai musuh bersama (common enemy) oleh masyarakat Indonesia. Gerakan pemberontakan dan kemerdekaan Indonesia, salah satunya didorong oleh ketidakpuasan rakyat atas sistem kapitalis Belanda yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan pribumi. Demikian pula, lengsernya Soeharto pada tahun 1998 diawali dengan desakan reformasi ekonomi, mengeluarkan Indonesia dari belenggu kapitalisme yang menyebabkan Indonesia jatuh ke jurang keterpurukan ekonomi saat itu. Selanjutnya, saya pun meyakini bahwa akhir dari cerita reformasi kita akan dimulai dari gugatan terhadap kapitalisme.
2.3. Sejarah Gerakan Islam di Indonesia
Islam adalah ruh pergerakan Indonesia. Sekiranya pernyataan itulah yang pantas untuk menggambarkan peran besar yang diambil Islam dalam sejarah pergerakannya. Gerakan Islam di Indonesia telah dimulai jauh sebelum bangsa ini mengenal istilah Indonesia sebagai namanya. Suryanegara (2010) menjelaskan betapa gerak sejarah Islam berputar sangat menakjubkan. Meluas hingga ke batas cakrawala dunia. Bukan dari istana ke istana, tapi dari pasar ke pasar. Dari sinilah Islam Indonesia muncul, pasar. Para pedagang arab tidak hanya mengunjungi nusantara untuk misi dagang, tapi juga untuk menyebarkan sebuah peradaban baru, peradaban Islam.
Geliat islamisasi kepulauan nusantara sampai pada kejayaannya ketika Islam itu melembaga menjadi sebuah negara. Pelan tapi pasti, gerakan Islam di masa kerajaan merangkak dari gerakan dagang, gerakan sosial (dakwah dan pendidikan), gerakan militer hingga gerakan politik yang akhirnya mampu menembus jantung pertahanan istana. Satu per satu kerajaan di Indonesia bermetamorfosis menjadi kesultanan. Setelah itu, kesultanan-kesultanan dibawah pemimpin Islam itu disibukkan dengan perlawanan terhadap penjajahan perusahaan dagang Belanda VOC dan Belanda itu sendiri. Setelah runtuhnya beberapa kesultanan yang di kemudian hari diikuti dengan perkembangan gagasan nasionalisme dan anti kolonialisme, gerakan Islam di Indonesia bermetamorfosis lagi dalam bentuk gerakan sosial politik yang berwawasan nasionalis. Pada awal abad 20 lahirlah banyak organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Oelama’, Persatoean Islam, Jong Islamiten Bond, dan lain-lain. Ada banyak manuver yang dilakukan pemerintah Belanda untuk menghambat laju perkembangan gerakan Islam ini, tapi itu tidak cukup kuat untuk membendung gerakan Islam yang massif itu. Akibatnya, gema takbir dan gelora jihad mengantakan Indonesia sampai pada pintu gerbang kemerdekaannya.
Banyaknya organisasi Islam yang muncul di awal abad ke 20 tentu membutuhkan satu wadah bersama sebagai pusat koordinasi dan komunikasi. Akhirnya pada tahun 1943, didirikanlah Majlis Syuro’ Muslimin Indonesia (Masyumi). Masyumi memiliki organisasi kelaskaran Islam bernama “Barisan Hizbullah” yang berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia (Ambary, 2005).
Kemerdekaan politik rupanya tidak memberikan tempat yang layak kepada gerakan Islam. Beberapa kebijakan pemerintah orde lama banyak yang merugikan gerakan Islam. Yang paling menonjol adalah tidak diangkatnya para pejuang Barisan Hizbullah menjadi tentara Nasional Indonesia (TNI). Merasa termarginalkan, para pejuang Barisan Hizbullah itu kemudian melakukan pemberontakan terhadap republic yang baru berdiri ini dan mendirikan negara sendiri yang bernama Daulah Islamiyah / Negara Islam Indonesia (DI/TII) dibawah kepemimpinan Kartosuwirjo. Tidak cukup sampai disitu, Soekarno yang disetir PKI juga mengebiri Masyumi. Puncaknya pemerinah mendesak agar Masyumi membubarkan diri karena alasan-alasan yang dibuat-buat. Akhirnya pada tahun 1960, Masyumi dinyatakan bubar oleh tokoh-tokohnya (Ambary, 2005).
Soeharto naik menjadi pucuk pimpinan negara setelah berhasil melumpuhkan kekuatan PKI dengan bantuan para pejuang Islam yang dulunya terbuang (karena memang PKI dan Islam bermusuhan). Setelah mendapatkan kekuasaan, Soeharto sejak awal menunjukkan sikap pro kapitalis dengan dikeluarkannya UU Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967. Selanjutnya, Soeharto mengumumkan pemberlakuan azas tunggal, yaitu menjadikan Pancasila sebagai idiologi seluruh warga negara. Tidak boleh ada organisasi, kelompok, ataupun perorangan yang memperjuangkan idiologi lain dalam kehidupannya di Indonesia. Yang tragis adalah, azas tunggal Pancasila yang dipaksakan rezim Soeharto pada prakteknya diterjemahkan sebagai kapitalisasi dan liberalisasi Indonesia. Itu tercermin dari kebijakan-kebijakan pro kapitalis yang dibuat rezim orde baru.
Kekuatan Islam mengalami tekanan dahsyat pada masa ini. Pemerintah mengontrol dengan ketat aktifitas kelompok/organisasi dan tokoh agama. Ada banyak para ustadz, kyai dan tokoh pergerakan Islam yang hilang pada masa itu dan belum ditemukan sampai sekarang. Alatas dalam Nurfitriani (2011) mencatat ada beberapa orang yang ditangkap tanpa tuduhan yang jelas seperti Imaduddin Abdulrahim (seorang da’i yang dianggap terlalu subversif dalam ceramahnya oleh pemerintah), Ismail Sunny (seorang pengurus ICMI), Mahbub Djunaidi dan Bung Tomo. Selain itu, masih banyak kasus penangkapan dan penculikan yang dilakukan pemerintah terhadap aktivis Islam. Salah satunya adalah penangkapan yang dilakukan oleh Pemerintah pada peristiwa Tanjung Priok 1984, penangkapan terhadap gerakan usroh Abdullah Sungkar di Lampung tahun 1989, dan salah satu tokoh Masyumi, Muhammad Natsir.
Namun demikian, ada beberapa catatan sejarah gerakan Islam yang menarik pada masa orde baru. Salah satunya adalah gerakan perlawanan atas kebijakan pemerintah yang melarang penggunaan jilbab di sekolah dan poto identitas diri. Sikap represif pemerintah orde baru ternyata tidak mampu mematikan semangat para aktivis Islam, yang ada para da’i itu justeru semakin semangat dan militant. Tapi secara umum, gerakan Islam pada masa ini umumnya ditujukan pada upaya dakwah sosial, pendidikan, dan gerakan politik bawah tanah (hidden).
Gerakan Islam Indonesia menemukan momentumnya kembali pasca tumbangnya Soeharto di akhir abad ke 20. Pada masa reformasi ini, gerakan Islam hadir dengan berbagai bentuk. Mulai dari gerakan sosial, gerakan politik terbuka, hingga gerakan ekonomi. Gerakan sosial dilakukan dengan membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang pemberdayaan, dll. Gerakan politik dilakukan baik dengan mengikuti sistem (membentuk partai politik) maupun dengan tidak mengikuti sistem. Sementara gerakan ekonomi dilakukan dengan mendirikan lembaga-lembaga koperasi, Baitul maal, dll.
2.4. Pancasila : Idiologi Bangsa Yang Rancu
Setiap tahun kita memperingati 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila. Hal itu menunjukkan bahwa Pancasila adalah sesuatu yang “sakral” bagi bangsa kita. Karena alasan sakral itulah Pancasila kemudian diajarkan secara sistematis di kelas-kelas, sejak SD hingga perguruan tinggi. Tapi sadar atau tidak, Pancasila yang diajarkan di kelas-kelas itu tidak pernah memberikan kita pemahaman secara konkret tentang apa makna pancasila dan bagaimana merealisasikannya dalam kehidupan nyata. Bahkan guru-guru yang mengajarkan tentang Pancasila itu sepertinya juga tidak memahami tentang apa yang diajarkannya.
Dalam bidang ekonomi, telah lahir pula konsep “ekonomi pancasila” yang dianggap relevan dengan kondisi Indonesia. Tapi sebagaimana kritik Sumawiyata dalam Rahardjo (2011) bahwa landasan teoritis dari konsep ekonomi pancasila itu tidak jelas. Ketidakjelasan itu menyebabkan siapa saja bisa menafsirkan ekonomi pancasila semau dia. Itu artinya tidak menutup kemungkinan ekonomi pancasila juga dipahami sebagai ekonomi kapitalis sebagaimana yang dijalankan oleh pemerintah orde baru yang mengaku berazas tunggal, azas pancasila. Namun demikian menurut Rahardjo, Mubyarto juga tidak sepakat jika ekonomi pancasila diterjemahkan sebagai ekonomi kapitalis. Mubyarto menyatakan bahwa ekonomi pancasila adalah teori umum (general theory) sedangkan landasan empiris dan realisasi dari ekonomi pancasila itu adalah ekonomi kerakyatan.
Kita memahami sejarah lahirnya pancasila sebagai konsesus (kesepakatan) antara para pendiri bangsa sebagai jalan tengah atas berbagai perbedaan pandangan idiologis yang tumbuh di Indonesia. Namun pancasila tidak pernah benar-benar menjadi jalan tengah dalam perjalanan kebangsaan kita. Doktrin pancasila akhirnya dijalankan berdasarkan pandangan idiologis pemegang kekuasaan. Bukankah gerakan radikal PKI di masa orde lama juga mengatasnamakan pancasila sebagai landasan gerak. Ketika Soeharto yang di back-up para ekonom kapitalis berkuasa, kapitalisme juga tumbuh pesat atas nama pancasila. Azas tunggal yang diterapkan Soeharto ternyata hanya akal-akalan rezim untuk menyuburkan paham kapitalisme. Pun ketika Gusdur berkuasa, atas nama Pancasila Gusdur juga berupaya membuka hubungan diplomatik dengan Israel dan atas nama pancasila itu pula ia “didongkel” dari kursi presiden karena sikap-sikap nyelenehnya. Kita juga tentu masih ingat, ketika atas nama pancasila SBY pada awal tahun ini ingin menaikkan harga BBM, namun atas nama pancasila itu pula rakyat bergerak dan memaksa pemerintah untuk membatalkan kebijakan itu.
Demikianlah pancasila, ketidak jelasan dan kerancuan idiologisnya membuat kita bisa melakukan apapun atas nama pancasila. Dengan fakta itu, masihkah kita perlu meyakini bahwa pancasila itu “sakti” ??. Masihkah kita berpendapat bahwa pancasila adalah idiologi bangsa sebagaimana digembor-gemborkan MPR dan MK..?. Toh pada akhirnya realisasi pancasila itu mengikuti tafsir idiologis (bukan pancasila) penguasa. Meski MPR berupaya untuk membuat tafsir tetap atas pancasila itu, tapi tetap saja realisasinya bias. Kondisi ini tentu membuat kita sulit mengambil keputusan-keputusan strategis. Sebab sebuah pendapat yang bertolak belakang sekalipun sama-sama mengatasnamakan pancasila untuk mempertahankan pendapatnya.
Kita harus menyelesaikan permasalahan filosofis bangsa ini. Kita harus berani dengan tegas memilih idiologi kebangsaan yang jelas, bukan idiologi yang rancu dan multitafsir. Ada banyak idiologi yang berkembang di Indonesia yang pada umumnya berlindung dibalik ketidakjelasan makna pancasila itu. Memang sulit untuk menetapkan salah satu idiologi itu sebagai dasar negara. Sebab jika salah satu idiologi disyahkan serta dilegalkan sebagai dasar negara secara formal, bisa jadi akan timbul pemberontakan dari idiologi-idiologi yang lain. Disinilah kita perlu arif dalam mengambil sikap. Jadi sekarang kita punya dua opsi yang sama-sama sulit. Satu memperjelas idiologi kebangsaan kita, apakah syariah Islam, komunis atau bahkan liberal kapitalis dengan resiko instabilitas politik atau bahkan pemberontakan. Dua, mempertahankan pancasila yang dengan ketidakjelasan maknanya setiap idiologi yang berkembang bisa berlindung, tentu saja dengan kesiapan menanggung resiko bahwa kita tidak akan pernah mampu mengambil keputusan-keputusan strategis untuk memajukan bangsa ini.
2.5. Membaca Arah Gerakan Sosial Indonesia Masa Depan
Setelah kita memahami fakta sejarah yang membentuk kekinian kita, selanjutnya kita harus mampu menjelaskan realitas kekinian yang akan membentuk masa depan kita. Pasca kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Indonesia kini merupakan fase ke empat dalam perjalanan sejarah kita. Sebuah era sejarah yang kita sebut sebagai era reformasi. Pada fase (era) ini, otonomi daerah dan kebebasan berkumpul, berekspresi serta mengemukakan pendapat menghiasi hari-hari kita. Ada sebuah fenomena menarik yang ingin saya jelaskan dalam kesempatan ini, yaitu fenomena dominasi gerakan Islam dalam perjalanan kebangsaan kita pada era reformasi ini.
Tumbangnya Soeharto dari kursi presiden pada tahun 1998 menjadi titik tolak kebangkitan gerakan Islam Indonesia yang selama tiga dekade terakhir bergerak dibawah tanah (hidden). Gerakan-gerakan tersembunyi itu menampakkan dirinya secara terbuka dalam berbagai bentuk. Sebagian gerakan dakwah Islam itu kemudian bermetamorfosa menjadi Partai Politik, sebagian lagi bergerak diluar sistem politik Indonesia. Era reformasi benar-benar membuat gerakan Islam Indonesia tumbuh dengan pesat dan memaksa bangsa ini untuk mengakui bahwa kehidupan merdeka yang kita nikmati saat ini adalah buah dari dakwah dan jihad Islam di masa lalu, tanpa mengucilkan peran pihak lain tentunya.
Gerakan Islam pada masa ini telah menyentuh hampir seluruh strata masyarakat. Mulai dari pusat kekuasaan, hingga ke pelosok-pelosok pedesaan. Sebagian pengamat sekuler bahkan menilai fenomena ini menimbulkan geger budaya pada masyarakat Indonesia. Pernyataan itu tidak sepenuhnya salah. 32 tahun dibungkam oleh Soeharto, tentu membuat Islam gerakan terdengar asing di masyarakat awam. Akibatnya, ketika reformasi membuka ruang yang seluas-luasnya untuk siapapun menampakkan dirinya, masyarakat cenderung merasa kaget. Meskipun sebenarnya gerakan Islam semacam itu sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka dan turut pula mengantarkan kemerdekaan Indonesia. Pada beberapa wilayah, kondisi ini kemudian melahirkan konflik horizontal di masyarakat. Teori Chaos yang menurut Woods and Grant dalam Kusmarni (2008) menunjukkan ketidakberaturan, kekacauan, keacakan atau kebetulan, yaitu: gerakan acak tanpa tujuan, kegunaan atau prinsip tertentu bisa menjelaskan fenomena ini. Ketidakberaturan dan kekacauan yang muncul di masyarakat sebagai respon dari hadirnya gerakan Islam secara terang-terangan ditengah-tengah mereka pada dasarnya merupakan sebuah fenomena gerakan acak tanpa tujuan. Sementara itu, gerakan Islam yang membuat ketidakteraturan itu sendiri sesungguhnya memiliki tujuan dan arah yang jelas, yaitu islamisasi masyarakat.
Disinilah letak uniknya gerakan Islam saat ini. Arah dan tujuan yang jelas dari gerakan itu sendiri di satu sisi serta ketidakteraturan dan kekacauan sosial yang terjadi secara acak, tanpa tujuan yang jelas disisi lain. Sejauh ini, respon-respon negatif masyarakat awam terhadap gerakan Islam terjadi secara acak dan tanpa tujuan. Namun secara perlahan, respon-respon negatif itu terus berkurang meski gencarnya upaya pihak-pihak tertentu untuk menyebarkan black campign terhadap gerakan Islam. Faktanya, gerakan Islam saat ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat di desa-desa.
Fenomena islamisasi juga terjadi secara massif di kampus-kampus. Gerakan mashasiswa Islam yang secara tegas mengusung ide pembentukan masyarakat Islam berdasarkan syari’ah Islam menjamur hampir diseluruh kampus yang ada di Indonesia. Mulai dari kampus-kampus negeri ternama, hingga kampus-kampus swasta tidak bergengsi. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Lembaga Dakwah Kampus (LDK), Mahasiswa Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) adalah sebagian kecil dari gerakan islamisasi kampus yang massif. Secara kuantitas, jumlah anggota gerakan-gerakan mahasiswa Islam ini jauh lebih besar jika dibanding dengan gerakan-gerakan sekuler ataupun gerakan-gerakan sosialis kiri. Secara pengaruh, gerakan-garakan Islam ini juga relatif memiliki pengaruh yang lebih besar dibanding gerakan lainnya. Salah satu indikator untuk menyimpulkan ini adalah kemampuan gerakan mahasiswa dalam menempatkan kadernya sebagai pimpinan mahasiswa di lembaga-lembaga eksekutif (BEM) maupun legislatif mahasiswa (DPM) di kampus. KAMMI misalnya, organisasi mahasiswa Islam yang dikenal militan ini mengklaim telah menguasai setidaknya 80 % s/d 90 % lembaga eksekutif maupun legislatif mahasiswa di kampus-kampus negeri ternama. Mereka secara rapi memiliki data sebaran kampus yang menjadi basis dan target gerakan mereka.
Memenangkan pengaruh di lingkungan kampus mungkin memang bukanlah suatu prestasi yang besar. Namun satu hal yang pasti dan harus kita ingat adalah bahwa mahasiswa-mahasiswa ini adalah pemimpin bangsa masa depan. Bayangkan jika kampus-kampus ternama (yang selama ini secara defacto menjadi pengatur negara seperti UI, IPB, ITB, UGM) mampu dikuasai dan dijadikan tempat belajar oleh kader-kader Islam militan ini, maka kita sudah bisa membayangkan bagaimana gambaran Indonesia di masa depan. Atas dasar fakta inilah saya mengambil kesimpulan bahwa gerakan sosial Indonesia di masa depan akan mengarah kepada islamisasi Indonesia.
Kesimpulan yang saya ambil itu tentu tidak hanya didasarkan atas analisis terhadap gerakan mahasiswa Islam. Lebih dari itu, fenomena kebangkitan gerakan Islam Indonesia pasca reformasi telah menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Ditingkat penguasa misalnya, secara politik gerakan Islam bisa diwakili oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dikenal militan dan dihuni kader-kader muda terdidik yang solid. Gerakan Islam yang mengakar di masyarakat misalnya diwakili oleh gerakan Jama’ah Tabligh. Sementara gerakan pemikiran dan gagasan khilafah hadir dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Serta masih banyak lagi gerakan-gerakan Islam yang lain. Secara professional (meski tidak terkoordinasi satu sama lain) masing-masing gerakan Islam ini memainkan perannya dengan baik. Semua mengarah pada upaya Islamisasi Indonesia.
Sementara itu, kekuatan idiologi lain sudah mulai tidak mendapatkan kepercayaan dari publik Indonesia. Kapitalis-liberalis misalnya, idiologi yang bersumber dari barat ini sudah banyak kehilangan simpati dari masyarakat yang semakin sadar akan rapuhnya sistem ini. Demikian pula dengan gerakan komunis sosialis yang sudah lama menimbulkan kebencian masyarakat Indonesia, sepertinya gerakan ini tidak mungkin lagi mengambil dominasi politik bangsa, meski peluang itu tetap ada. Selain itu, semakin popular dan berkembangnya sistem ekonomi Islam di Indonesia menjadi indikasi yang kuat pula bahwa masa depan Indonesia adalah Islam. Indonesia saat ini secara perlahan sedang menuju pada era baru, “Era Islamisasi Indonesia”. Nampaknya, teori Clash Of Civillization yang dikenalkan Huntington (1993) yang menempatkan Islam sebagai salah satu kekuatan peradaban yang paling berpotensi eksis di masa depan akan terbukti benar, setidak-tidaknya untuk kancah politik lokal Indonesia atau bahkan regional ASEAN.
BAB III. KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan diatas, ada beberapa hal yang dapat penulis simpulkan :
1. Dalam sejarah perjalanan ke-Indonesiaan kita, telah terjadi chaos antar idiologi yang berkembang di Indonesia. Idiologi komunis mendapatkan momentum dan dominasi pengaruh politiknya pada masa orde lama, sementara kapitalis mulai tumbuh dalam sejarah Indonesia modern pada masa rezim orde baru. Kapitalisme berlanjut dan bahkan semakin kuat pada era reformasi dibawah kepemimpinan empat rezim: Habibie, Gusdur, Megawati dan SBY.
2. Dengan melihat peran sejarah dan realitas kekinian gerakan sosial di Indonesia, penulis berkesimpulan bahwa gerakan Islam adalah gerakan yang paling potensial memenangkan chaos idiologi di Indonesia pada fase berikutnya. Kegagalan komunis serta kapitalis dalam mensejahterakan rakyat, membuat Islam menjadi kekuatan yang paling potensial untuk diberkan kesempatan mengelola negara di masa depan.
REFERENSI
Ambary, Hasan M. 2005. “Gerakan Islam di Masa Orde Lama, Orde Baru Dan Era Reformasi,” dalam buku Sejarah dan Dialog Peradaban: Persembahan 70 tahun Prof. Taufik Abdullah. LIPI Press: Jakarta
Elson, R.E.. 1990. “Peasant Poverty and Prosperity Under the Cultivation System in Java,”
Indonesian Economic History in the Dutch Colonial Era, ed. Anne Booth, et al. New Haven: Yale University Southeast Asia Studies,
Huntington, Samuel P. The Clash Of Civilizations ?. Foreign Affairs
Kano, Hiroyoshi. 2008. Indonesian Exports, Peasant Agriculture, and the World Economy 1850
2000 Athens: Ohio University Press
Kusmarni, Yani. 2008. Teori Chaos: Sebuah Keteraturan Dalam Kecelakaan. Universitas
Pendidikan Indonesia: Bandung
Nurfitriani, Aniek. 2011. Asas Tunggal Pancasila: Representasi Paranoia Rezim Orde Baru
terhadap Pergerakan Islam (1970-1990). Makalah mahasiswa UI
Rafidi, Dedi. 2010. Sejarah Kebangkitan Nasional. Erlangga: Surabaya
Rahardjo, Dawam. 2011. Nalar Ekonomi Politik Indonesia. IPB Press : Bogor
Ridwan. 2012. Sejarah Munculnya Gerakan Komunisme di Indonesia.
http://ridwanaz.com/umum/sejarah
Ruth T. 2010. Kemunculan Komunisme Indonesia.
http://id.shvoong.com/books/dictionary/2018684-kemunculan-komunisme
indonesia/#ixzz1zGzqzrky
Sprague, Ted. 2010. Sejarah Perkembangan Kapitalis Indonesia.
http://www.militanindonesia.org/teori/ekonomi/8111-sejarah-perkembangan-kapitalisme-indonesia-.html
Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah: Buku Yang Akan Mengubah Drastis Pandangan Anda Tentang Sejarah Indonesia. Salamadani: Bandung
www.wikipedia/partaikomunisindonesia
No comments:
Post a Comment