Oleh: Muhammad Nurjihadi
Istilah pembangunan merujuk pada makna upaya peningkatan kapasitas perekonomian nasional untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan pendapatan nasional bruto (Gross National Income-GNI). Pembangunan umumnya hanya dipandang sebagai fenomena ekonomi semata. Pertumbuhan GNI ataupun GNI per kapita diyakini akan menetes dengan sendirinya kebawah dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan menggerakkan tumbuhnya sektor-sektor usaha baru yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. Pandangan itulah yang dikenal sebagai efek menetes kebawah (trickle down effect). Dengan dmikian, pertumbuhan ekonomi merupakan unsur paling penting dan utama dalam pembangunan, sedangkan masalah-masalah kemiskinan, ketimpangan, pengangguran, diskriminasi ekonomi, pengangguran dan sebagainya cenderung diabaikan karena dianggap akan selesai dengan sendirinya seiring tingginya pertumbuhan ekonomi (Todaro dan Smith, 2006).
Namun fakta berbicara lain. Belajar dari pengalaman pembangunan Indonesia, meski pertumbuhan ekonomi meningkat dan pendapatan per kapita telah mencapai angka US$ 3.000 per tahun, namun ketimpangan distribusi pendapatan juga semakin lebar sebagaimana tecermin dari rasio gini yang meningkat dari 0,33 tahun 2002 menjadi 0,41 tahun 2011. Lebih ironis lagi, ketika total pendapatan nasional yang dinikmati kelompok 40 % penduduk termiskin megalami penurunan, 20 % kelompok terkaya justru mengalami penaikan jatah kue pendapatan nasional dari 42,2 % tahun 2002 menjadi 48,42 % tahun 2011. Dengan demikian, yang terjadi justeru bukan tricle down effect, tapi sebaliknya yang terjadi adalah trickle up effect atau efek muncrat ke atas dalam proses pembangunan (Kompas.com, 15 Juni 2012).
Selain itu, proses pembangunan yang berlangsung selama ini di Indonesia cenderung bias kota (urban bias). Akibatnya kota mengalami kemajuan yang semakin jauh yang ditopang oleh segala fasilitas dan infrastruktur publik memadai, sementara desa kian tertinggal dan terjebak dalam kemiskinannya. Rustiadi at al (2011) menyatakan bahwa pembangunan yang urban bias seperti itu mendorong masyarakat desa untuk melakukan migrasi dari desa ke kota. Sebenarnya, proses migrasi desa-kota ini dapat dipandang sebagai hal yang positif. Dengan mengacu pada teori Arthur Lewis tentang Theory of labor transfer, maka dapat disimpulkan bahwa migrasi masyarakat desa ke kota adalah fenomena yang positif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermigrasi itu sekaligus untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja oleh pabrik-pabrik yang ada di kota. Namun yang terjadi adalah over migration dimana lapangan pekerjaan yang ada di kota tidak mampu menampung besarnya jumlah migran. Akibatnya banyak migran yang tidak dapat diserap sebagai tenaga kerja oleh perusahaan. Alasan lain yang menyebabkan banyaknya migran tidak terserap dalam dunia usaha perkotaan adalah karena rendahnya keterampilan dan keahlian. Migran-migran yang tidak terserap atau terakomodasi oleh perusahaan-perusahaan kota inilah yang kemudian menjadi pengangguran kota dan bekerja semrawut (sektor informal perkotaan) seperti menjadi tukang ojek, pengemis, pemulung, preman dan termasuk Pedagang Kaki Lima (PKL). Selain itu keberadaan migran-migran tidak terampil yang bekerja di sektor informal dengan penghasilan minim ini membuat munculnya pemukiman-pemukiman liar yang kumuh (squatter settlement). Hal-hal semacam ini dapat terjadi karena disebabkan oleh kegagalan koordinasi dalam pembangunan. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang kompelementer antara desa dan kota merupakan penyebab fenomena ini.
Menjadi pedagang kaki lima adalah pilihan favorit para migran untuk bisa mempertahankan hidupnya (survive) di kota yang keras. Alasannya sederhana, cara ini dianggap lebih baik, halal dan lebih menjanjikan daripada sekedar menjadi tukang ojek, pemulung, apa lagi preman. Jarang ada yang memilih untuk pulang kembali ke desa. Mungkin karena mereka merasa bahwa desa tidak akan mampu menyediakan apa yang mereka butuhkan atau mungkin juga karena alasan yang lebih psikologis, ‘malu’. Sayangnya memilih sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL) pun tidak seenak yang dikira, mereka harus menghadapi berbagai persoalan, mulai dari persoalan premanisme, pungutan liar, hingga penggusuran. Penggusuran sering kali dilakukan oleh pemerintah kota karena alasan ketertiban publik, estetika kota dan untuk kepentingan investasi bisnis besar.
PKL umumnya memilih untuk berdagang di terotoar pinggir jalan dan bahkan tidak jarang sampai mengambil badan jalan. Tentu saja hal ini dapat mengganggu pihak lain, baik pejalan kaki, pengendara kendaraan bermotor maupun pedagang legal (pertokoan) yang ada di sekitar tempat berdagangnya PKL itu. Kondisi seperti ini sangat rentan menimbulkan konflik sosial, terutama antara PKL dengan pemilik toko legal kaitannya dengan persaingan ataupun keindahan (estetika). Studi yang dilakukan Arifianto (2006) mencoba untuk mengkaji interaksi antara aktifitas pertokoan dan pedagang kaki lima di kawasan pedagangan Banjaran Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Hasil studi memang tidak menunjukkan adanya konflik terbuka sebagai akibat dari adanya persaingan usaha antara PKL dan pemilik toko. Namun pertentangan-pertentangan kecil sering terjadi yang rata-rata berujung pada pengaduan kasus ke pemerintah kota. Adanya saling pengertian antara pemilik toko dan PKL mampu meredam potensi konflik terbuka. Bagi pemilik toko, keberadaan PKL memang dianggap mengganggu aktifitas usaha mereka, tapi biar bagaimanapun mereka adalah manusia yang sedang mencari nafkah untuk bertahan hidup, jadi para pemilik toko itu menganggap bahwa melarang mereka adalah sikap yang arogan dan memang bukan wewenang mereka.
Dengan segala permasalahan yang ditimbulkan sebagai akibat dari adanya PKL, pemerintah kota merasa perlu untuk mengatur dan menertibkan PKL ini. Sayangnya, upaya penertiban sering kali berujung dengan bentrok antara Polisi Pamong Praja (Pol PP) yang bermaksud menertibkan dengan para PKL itu. Pol PP yang ingin menertibkan biasanya melengkapi diri dengan pentungan untuk mengantisipasi penolakan PKL. Karena para PKL menganggap bahwa Pol PP itu hendak menyerang mereka (karena telah mempersenjatai diri dengan pentungan), maka para PKL itupun membekali diri dengan berbagai alat, mulai dari balok-balok kayu, batu hingga senjata tajam untuk melakukan perlawanan. Karena masing-masing sudah mempersenjatai diri seperti itu, upaya penertiban PKL sering kali terlihat seperti perang terbuka. Dalam konteks ini, kita bisa menyatakan bahwa telah terjadi kegagalan koordinasi antara satuan Pol PP dengan PKL dalam upaya penertiban itu. Pihak pemerintah kota melalui Pol PP sering kali beralasan bahwa teguran sudah diberikan secara tertulis sebanyak lebih dari satu kali namun tidak diindahkan oleh PKL, dengan demikian mereka merasa sudah selayaknya jika mereka melakukan penggusuran paksa dengan mempersenjatai diri menggunakan pentungan. Semetara pihak PKL yang menolak untuk digusur sering kali beralasan karena pemerintah kota yang menggusur mereka tidak menyediakan alternatif lain bagi mereka untuk berusaha dan bertahan hidup. Disinilah letak kegagalan koordinasi itu. Pemerintah kota gagal dalam memahami persoalan real, dan terjebak pada pendekatan-pendekatan administratif yang tidak memiliki kepekaan sosial.
Persepsi pemerintah kota bahwa PKL adalah pengganggu, penyebab kemacetan, perusak pemandangan dan sebagainya membuat pemerintah kota menutup telinga dari teguran-teguran publik yang mengingatkan mereka tentang bagaimana menghadapi PKL. Padahal, jika pemerintah kota ‘melek’, seharusnya mereka bisa melihat PKL dari perspektif lain, yaitu perspektif potensi PKL itu sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di Solo misalnya, PKL mampu menyumbang hingga rata-rata Rp 20 Miliar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) setiap tahun. Jumlah itu lebih besar daripada sumbangan sektor perhotelan, restoran dan lainnya yang ada di Solo (Pikiran-rakyat.com, 4 Agustus 2012). Keberhasilan Kota Solo dalam mengelola PKL dan menjadikannya sebagai salah satu sumber PAD yang nilainya cukup besar seharusnya dapat dijadikan contoh oleh kota-kota lainnya di Indonesia. Kota Solo dengan demikian telah berhasil menciptakan hubungan yang komplementer (saling melengkapi dan saling mencukupi) antara Pemerintah Kota dengan PKL. Kota Solo membuktikan bahwa dengan koordinasi yang baik dapat mengatasi persoalan PKL. Berbagai kasus yang selama ini kita dengar di media massa tentang konflik antara Sat Pol PP dengan PKL merupakan akibat dari kegagalan koordinasi antara Pemerintah Kota dan stakeholder lain yang berkepentingan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pedagang Kaki Lima (PKL) terjebak dalam pusaran kegagalan koordinasi pembangunan pemerintah. PKL ada karena kegagalan pemerintah dalam mengkoordinasikan pembangunan dalam rangka menciptakan pembangunan yang balance (seimbang), adil dan mensejahterakan semua pihak. Konflik dalam upaya penertiban PKL juga tercipta karena kegagalan pemerintah, terutama Pemerintah Kota dalam melakukan koordinasi dengan berbagai stakeholder yang berkepentingan. Dengan kata lain, PKL merupakan korban dari kegagalan koordinasi pemerintah. Jadi, jika ingin PKL habis atau lebih tertib dan menjadi pedagang legal, maka yang harus dibenahi adalah koordinasi. Pemerintah punya tanggungjawab besar dalam hal ini.
Referensi
Rustiadi at al. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Crespent Press: Bogor
Todaro dan Smith. 2006. Economic Development, 09 edition. Pearson Education Limited: United Kingdom
Arifianto, Dessy. 2006. Kajian Interaksi Aktivitas Pertokoan Dan Pedagang Kaki Lima Pada Trotoar Di Kawasan Perdagangan Banjaran Kabupaten Tegal. Tesis Mahasiswa Program Magister Universitas Diponegoro: Semarang
Kompas.com. 15 Juni 2012. Kuatkah Fondasi Ekonomi Kita ?. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/06/15/Kuatkah.Fondasi.Ekonomi.Kita.
Pikiran-rakyat.com. 4 Agustus 2012. PKL Miliki Potensi PAD. http://www.pikiran-rakyat.com/node/154191
No comments:
Post a Comment