Oleh: Muhammad Nurjihadi
Tembakau adalah komoditas yang kontroversial. Bagi sebagian masyarakat, terutama di tiga provinsi penghasil utama tembakau, yaitu Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah tembakau merupakan primadona, jalan hidup (way of life), sumber pendapatan utama, dan bahkan sudah menjelma menjadi tradisi ekonomi yang sulit dihentikan. Fakta sosio-ekonomi seperti ini dihadapkan pada fakta lain dimana tembakau merupakan bahan baku utama produk rokok yang berbahaya bagi kesehatan. Tidak hanya itu, beberapa jenis tembakau juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan hidup dalam proses pengolahan dan pengusahaannya. Tembakau jenis Virginia misal, Nusa Tenggara Barat (NTB), khususnya Pulau Lombok merupakan pensuplai rata-rata 80% produk tembakau Virginia nasional setiap tahun. Untuk dapat mensuplai tembakau sebanyak itu dibutuhkan proses pengomprongan atau pengovenan yang memerlukan bahan bakar untuk melakukannya. Dimasa lalu, pemerintah memberikan subsidi minyak khusus kepada petani tembakau untuk keperluan pengomperongan itu. Subsidi itu dicabut sejak tahun 2008 dan sejak saat itu petani beralih menggunakan bahan bakar alternatif seperti batu bara, kayu bakar, dan sebagainya. Akibatnya banyak kawasan hutan yang menjadi gundul di wilayah Provinsi NTB karena ditebang untuk keperluan pengovenan tembakau itu.
Secara global, Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh penghasil utama tembakau. Pada tahun 2007 total produksi tembakau dunia mencapai 6.311.103 ton. Dari jumlah itu, Indonesia menyumbang 164.851 ton (2,6%). Jika diranking, Indonesia berada pada urutan ke 5 sebagai produsen daun tembakau terbesar dunia. Adapun produsen terbesar adalah China dengan 2.397.200 ton (38%), disusul Brasil dengan 919.393 ton (14,6%), India dengan produksi 555.000 ton (8,8%), dan Amerika Serikat yang memproduksi 353.177 ton (5,6%). Sedangkan sisanya tersebar di beberapa negara seperti Pakistan, Italia, Turki, Zimbabwe, Yunani, dan lain-lain (FAO, 2007). Sementara didalam negeri, 90% produksi tembakau disumbang oleh tiga provinsi yaitu Jawa Timur (40%), Nusa Tenggara Barat (30%), dan Jawa Tengah (20%). Sedangkan sisanya menyebar di beberapa provinsi seperti Jawa Barat, Lampung, Bali, dan yang lainnya (Statistik Perkebunan Indonesia, 2010-2012).
Kontribusi ekonomi komoditas tembakau tidak hanya dapat dilihat pada besarnya sumbangan komoditas ini terhadap pendapatan Negara, baik dalam bentuk cukai, pajak maupun retribusi daerah. Kontribusinya juga dapat dirasakan langsung oleh petani tembakau dan masyarakat disekitar mereka. Menurut catatan Dinas Perkebunan Provinsi NTB (2012), di Pulau Lombok, komoditas tembakau dapat menyerap sekitar 124.000 tenaga kerja pedesaan setiap tahun dengan potensi perputaran uang pada musim tembakau mencapai Rp 1,5 Trilliun. Angka ini belum termasuk serapan tenaga kerja tidak langsung karena adanya aktifitas ekonomi tembakau seperti berkembangnya pusat-pusat perdagangan baru, meningkatnya transaksi ekonomi, dan sebagainya. Selain itu, peran tembakau dalam membangun perekonomian daerah di Pulau Lombok juga dapat dilihat dari semakin meningkatnya kemampuan masyarakat petani untuk mengakses pendidikan, pemukiman dan layanan kesehatan yang relatif memadai bagi anggota keluarganya.
Semua fakta diatas membuat masyarakat di Pulau Lombok menjadi kian tergantung pada agribisnis tembakau. Ketergantungan itu bahkan telah menjelma menjadi sebuah tradisi yang sulit dihentikan. Sementara di sisi lain, tekanan dan kampanye anti tembakau terus disampaikan oleh para pegiat kesehatan. Kecenderungan peningkatan jumlah perokok serta peningkatan kasus sakit akibat merokok semakin mendorong para aktivis anti rokok itu untuk lebih giat mengkampanyekan STOP TEMBAKAU.
Memaksa petani tembakau untuk berhenti mengusahakan tembakau dengan alasan apapun adalah sebuah tindakan kriminalisasi dan berpotensi menyebabkan peningkatan poverty rate secara signifikan. Sementara membiarkan petani tembakau terus berproduksi dan mensuplai industri rokok juga berarti pembiaran terhadap candu pada racun yang dapat menyebabkan orang sakit bahkan mati. Disinilah pemerintah terjebak pada dilema berkepanjangan. Menikmati keuntungan ekonomi di satu sisi dan membiarkan orang mati karenanya di sisi lain.
Untuk menentukan solusi terbaik dari dilema diatas, kita harus mendeteksi dulu apa yang menyebabkan ketergantungan pada komoditas tembakau itu terjadi. Studi yang dilakukan Nurjihadi (2011) menjelaskan bahwa ketergantungan itu terjadi karena beberapa hal, yaitu: (1) skill yang terwariskan dari generasi ke generasi; (2) kondisi sosial dan agroklimat yang dianggap hanya cocok untuk tembakau; (3) nilai ekonomi komoditas tembakau jauh lebih besar dari pada komoditas lain; dan (4) jaminan pasar dan stabilitas harga tembakau yang lebih baik.
Berdasarkan kesimpulan Nurjihadi itu, maka kita dapat merumuskan program pemberdayaan petani tembakau untuk membantu mereka lepas dari ketergantungan terhadap agribisnis tembakau. Disinilah penulis akan mengambil peran, memberdayakan masyarakat petani tembakau yang tujuan utamanya adalah mengalihkan perhatian mereka dari agribisnis tembakau dengan cara disibukkan dengan program-program pemberdayaan tersebut. Program persebut tentu harus memiliki nilai lebih sebagaimana yang dimiliki komoditas tembakau berdasarkan kesimpulan Nurjihadi diatas. Dengan demikian, diharapkan dalam jangka panjang dapat membuat petani tembakau secara sadar dan sukarela berhenti mengusahakan tembakau dan memilih untuk mengusahakan yang lain sesuai program pemberdayaan. Pemikiran ini tentu tidak dapat terlaksana tanpa dukungan dan upaya serius pemerintah. Pemerintah dapat menggunakan dana penerimaan cukai tembakau untuk keperluan ini.
No comments:
Post a Comment