Oleh: Muhammad Nurjihadi, SP
Kapitalisme bertolak pada teori yang dicetuskan Adam Smith (1776) dalam buku The Wealth Of Nation. Dalam buku itu, Smith mencetuskan teori the invisible hand (tangan tak terlihat atau tangan Tuhan) dalam aktifitas ekonomi. Dimana dia menganggap bahwa keseimbangan pasar akan terbentuk melalui mekanisme pertemuan supply – demand (penawaran – permintaan). Smith mengkritik praktek merkantilisme yang berlangsung di Eropa karena dianggap gagal dalam memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Menurutnya, kesejahteraan hanya dapat diraih dengan adanya kebebasan dalam berbisnis dan investasi tanpa ikut campur pemerintah. Pemerintah hanya perlu menempatkan diri sebagai pengawas dalam aktifitas ekonomi dan tidak boleh mengintervensi atau membatasi aktifitas ekonomi. Konsep ini ia sebut sebagai azas Laissez Faire. Dalam perkembangannya, teori ini banyak diterjemahkan sebagai mekanisme pasar dan menjadi alasan intelektual untuk memaksa masyarakat dunia menerima kapitalisme sebagai sistem ekonomi global.
Perdagangan bebas antar negara juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kapitalisme. Teori keunggulan komparatif (theory of comparative advantage) menjadi dasar pemberlakuan pasar bebas ini. Teori ini dicetuskan oleh David Ricardo (1817) yang terinspirasi dari pemikiran Adam Smith. Menurut teori ini, perdagangan internasional akan terjadi jika suatu negara memiliki produk unggulan komparatif yang di produksi secara lebih efisien untuk dijual ke negara lain. Sebagai salah satu syarat terjadinya perdagangan internasional itu, pemerintah dilarang memberlakukan kebijakan-kebijakan proteksionisme dan pembatasan perdagangan. Dengan demikian, mekanisme pasar akan bekerja secara sempurna untuk menentukan keseimbangan harga. Dengan konsep seperti itu, maka harga produk diyakini akan menjadi rendah dan terjangkau oleh konsumen karena adanya persaingan antar perusahaan yang juga berarti peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Modal menjadi instrument terpenting dalam kapitalisme. Semakin besar modal seseorang atau kelompok, maka semakin besar pula peluang untuk mendapatkan keuntungan dan menumpuk kekayaan. Minimnya peran negara dalam perekonomian kapitalis memungkinkan pemilik modal memiliki kekayaan lebih besar dari total kekayaan negara. Semakin besar kekayaan maka semakin besar pula peluang keuntungan itu diputar kembali sebagai modal untuk mendapat keuntungan yang lebih besar. Akibatnya, seorang atau sekelompok orang yang mampu mengakumulasi modalnya secara terus menerus dapat melakukan monopoli perdagangan dan dalam batas tertentu bisa berubah menjadi diktator ekonomi yang menindas kelas bawah. Terlebih dengan diberlakukannya pasar bebas ala Ricardo, itu memungkinkan perekonomian suatu negara akan sangat bergantung pada seseorang atau sekelompok orang yang berasal dari luar negara tersebut jika sebagian besar modal telah terakumulasi pada sekelompok orang luar itu. Jika itu yang terjadi, maka negara tidak akan memiliki wibawa dan dengan mudah dapat di intervensi oleh konglomerasi pemilik modal asing.
Indonesia adalah salah satu negara penganut sistem ekonomi kapitalis. Pemerintah melakukan berbagai terobosan kebijakan untuk memancing investor asing guna menanamkan modalnya di Indonesia. Pada tahun 2011, realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) Indonesia sebesar Rp 175,3 Triliun, sedangkan realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp 76 Triliun. Berdasarkan sektor usaha, PDMN terbesar ada pada industri tanaman pangan dan perkebunan, disusul oleh industri kertas dan percetakan, listrik dan air, transportasi, gudang dan telekomunikasi serta industri makanan. Sedangkan PMA terbesar ada pada sektor transportasi, gudang dan telekomunikasi, disusul pertambangan, listrik, gas dan air, industri logam, barang logam, mesin dan elektronik, industri kimia dasar serta barang kimia dan farmasi (Investor Daily Indonesia, 19 januari 2012). Data diatas memberikan gambaran bahwa ekonomi Indonesia lebih didominasi oleh modal asing. Lebih dari itu, data diatas juga menunjukkan bahwa modal asing di Indonesia lebih banyak digunakan untuk investasi pada sektor-sektor dengan resiko kerusakan lingkungan yang besar seperti pertambangan, migas, transportasi barang logam dan industri kimia.
Tujuan investor menanamkan modalnya tentu saja untuk mendapatkan keuntungan. Berproduksi dengan biaya sekecil-kecilnya dan mendapatkan output serta outcome yang sebesar-besarnya adalah prinsip penting ekonomi kapitalis. Tidak peduli dampak negatif apa yang disebabkan oleh aktifitas bisnis yang dilakukan. Dalam sektor pertambangan misalnya, bisnis padat modal itu mampu memberikan revenue yang besar terhadap pemilik modal, tapi pada saat bersamaan menyebabkan kerusakan lingkungan dan bahkan instabilitas sosial. Menurut data BPS (2010) mencatat bahwa pada tahun 2010, share sektor pertambangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) adalah 11% dengan nilai US$ 73 miliar atau setara dengan sekitar Rp 620 Triliun. Sementara itu kementerian kehutanan mencatat 70% kerusakan hutan disebabkan oleh aktifitas pertambangan (Republika Online, 8 Agustus 2012).
Dominasi asing di Indonesia tidak hanya pada sektor pertambangan, tapi juga pada sektor telekomunikasi yang menguasai 90% saham nasional, sektor perbankan dikuasai 80%, sektor energi 90%, sektor migas 74% dan bahkan termasuk sektor pertanian. Ekspansi modal asing dalam perekonomian Indonesia terus mengalami peningkatan. Selama bulan januari hingga juni 2012, PMA meningkat tajam hingga 30,3% dari Rp 82,6 Triliun pada semester II tahun 2011 menjadi Rp 107,6 Triliun. Sedangkan PMDN hanya mampu tumbuh 22,7% dari total Rp 33 Triliun pada semester II tahun 2011 menjadi Rp 40,5 Triliun (BKPM, 2012). Pertumbuhan ini diperkirakan akan terus meningkat pada masa-masa yang akan datang.
Ekspansi modal asing selalu diikuti dengan eksploitasi. Eksploitasi selalu dekat dengan kerusakan lingkungan, konflik sosial dan ketimpangan ekonomi. Kinerja makro ekonomi Indonesia yang sangat baik seperti pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,5% setiap tahun, pengendalian inflasi, dan penurunan jumlah pengangguran nampaknya tidak sebanding dengan kerugian yang kita korbankan. Kerusakan lingkungan pada tahun 2011 tercatat meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Selama tahun 2011 tercatat 141 kasus pencemaran lingkungan, meningkat dari 75 kasus pada tahun 2010. Data itu diperkuat dengan meningkatnya volume banjir dari 345 kasus pada tahun 2010 menjadi 378 kasus pada tahun 2011 (Walhi dalam www.beritahukum.com).
Selain harus menanggung biaya perbaikan lingkungan sebagai akibat dari kerakusan tanpa batas dalam ekonomi kapitalis, kita juga harus menanggung korbanan lain dalam bentuk konflik sosial dan ketimpangan ekonomi. Pada tahun 2011, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 163 kasus konflik agraria yang melibatkan 69.975 kepala keluarga dengan korban meninggal sebanyak 22 orang. Jumlah ini meningkat dari tahun 2010 yang jumlah kasus konflik agraria mencapai 106 konflik dengan tiga orang meninggal. Dari 163 kasus konflik pada tahun 2011, sektor yang paling banyak menyebabkan konflik adalah sektor perkebunan sebanyak 97 kasus, sektor kehutanan 36 kasus, sektor infrastruktur 21 kasus, sektor pertambangan 8 kasus dan 1 kaus di wilayah tambak dan pesisir (Kompas, 28 Desember 2011).
Dengan berorientasi pada ekonomi pro capital (capital oriented), Indonesia sukses memperbaiki performance ekonominya. Tidak hanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kemampuan mengendalikan inflasi, Indonesia juga sukses meningkatkan pendapatan perkapita penduduk. Saat ini, pendapatan perkapita Indonesia berada pada kisaran US$ 3.000 atau lebih dari Rp 25 juta per tahun. Namun ironisnya peningkatan pendapatan perkapita itu diikuti dengan peningkatan ketimpangan pendapatan antara orang kaya dan miskin. Ketimpangan itu dapat dilihat dari nilai koefisien gini ratio. Dimana jika gini ratio sama dengan nol, maka suatu negara dinyatakan mengalami pemerataan sempurna, sedangkan jika gini ratio sama dengan satu berarti negara mengalami ketimpangan sempurna. Koefisien gini ratio Indonesia pada tahun 2010 saja mencapai 0,39 (neraca.com, 15 April 2012). Hal ini menunjukkan bahwa agresifnya infiltrasi modal, baik modal asing maupun modal dalam negeri pada ekonomi Indonesia ternyata hanya mampu mensejahterakan pemilik modal dan membiarkan masyarakat miskin kian tertinggal dan terjebak pada kemiskinannya.
Data-data diatas merupakan fakta yang terjadi hanya di Indonesia. Apa yang terjadi pada level global menunjukkan gejala yang sama atau bahkan lebih parah. Terlebih dengan adanya fenomena pemanasan global yang mengancam dunia. Fakta-fakta tak terbantahkan itu kemudian menyadarkan orang bahwa kapitalisme yang rakus tengah mengancam kemanusiaan. Tidak hanya menyebabkan kerugian pada masa kini karena banyaknya konflik sosial dan ketimpangan ekonomi, tapi juga mengancam generasi yang akan datang karena kerusakan lingkungan. Rusaknya lingkungan akan menyebabkan ketidakseimbangan alam sehingga alam tidak mampu menyediakan kebutuhan hidup manusia. Atas dasar kesadaran itu, para pemikir dunia kemudian menawarkan solusi pembangunan berkelanjutan, dimana pembangunan ekonomi diarahkan untuk tidak bersifat eksploitatif yang merusak lingkungan serta ramah pada kehidupan sosial.
No comments:
Post a Comment