Sunday, 30 September 2012

Jebakan Psimisme Dalam Teori Jebakan Populasi Malthus

Oleh: Muhammad Nurjihadi

Thomas Robert Malthus (1798) menggegerkan dunia dengan teorinya yang bernama Population trap theory. Teori itu bercerita tentang fakta bahwa pertumbuhan manusia mengikuti deret ukur (geometric progression, dari 2 ke 4, 8, 16,32, dst) sementara pertumbuhan bahan makan mengikuti deret hitung (arithmetic progression, dai 2 ke 4, 6, 8 10, dst). Hal ini berarti jumlah populasi manusia terus meningkat dua kali lipat dalam 30-40 tahun sementara jumlah ketersediaan pangan hanya mampu tumbuh secara aritmatis. Dengan demikian maka pertumbuhan pangan tidak akan mampu mengimbangi pertumbuhan populasi manusia. Oleh karenanya Malthus merekomendasikan agar negara membuka lahan yang seluas-luasnya demi mempercepat pertumbuhan pangan dan melakukan pengendalian pertumbuhan penduduk agar tercapai keseimbangan antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan manusia (Indrayani, 2010).

Teori population trap ini digambarkan Malthus lewat diagram berikut (Chaniago, 2012):
Gambar. Diagram Population Trap Malthus

Sumbu vertikal mewakili pertumbuhan (dalam persen) untuk variabel penduduk (P) dan pendapatan (Y), sedangkan sumbu horizontal mewakili pendapatan perkapita (Y/P).
Kurva P menggambarkan hubungan antara pertumbuhan penduduk dengan pendapatan perkapita. Pada pendapatan perkapita yang sangat rendah (Y0), tingkat pertumbuhan penduduk adalah nol, yang berarti tingkat pertumbuhan penduduk dalam keadaan stabil. Y0 dapat mewakili konsep mengenai “kemiskinan absolut” dimana Angka kelahiran dan kematian berimbang. Ketika pendapatan perkapita meningkat atau lebih tinggi dari Y0 (bergerak ke arah kanan Y0), jumlah penduduk akan meningkat yang disebabkan karena menurunnya angka kematian. Meningkatnya pendapatan akan mengurangi bahaya kelaparan dan penyakit sehingga menurunkan angka kematian. Pada saat bersamaan, angka kelahiran tetap tinggi yang menyebabkan pertumbuhan penduduk juga tinggi.

Pada tingkat pendapatan perkapita sebesar Y2, laju pertumbuhan penduduk mencapai titik pertumbuhan maksimumnya yang diperkirakan sekitar 3,3 %. Diasumsikan laju pertumbuhan penduduk tersebut akan tetap bertahan sampai terjadi perubahan pendapatan perkapita yang lebih tinggi. Selanjutnya, meningkatnya pendapatan perkapita ke tingkat yang lebih tinggi (di sebelah kanan Y5), angka kelahiran akan mulai menurun dan slope atau kemiringan dalam kurva pertumbuhan penduduk menjadi negatif dan kembali mendekati sumbu horizontal.

Sampai hari ini, apa yang dikatakan Malthus tentang “jebakan populasi” tidak terbukti benar. Setidaknya sampai sekarang ummat manusia masih mampu beradaptasi dengan berkurangnya lahan pertanaman karena membengkaknya jumlah populasi. Inovasi dan penemuan teknologi adalah kunci untuk sukses ini. Malthus tidak memasukkan variabel teknologi dalam merumuskan teorinya. Malthus mengasumsikan faktor teknologi cateris paribus (Dyana, 2011). Faktanya pengaruh faktor teknologi dalam kehidupan manusia lebih dominan daripada faktor ketersediaan lahan itu sendiri. Mengurung faktor teknologi dalam sebuah penjara bernama cateris paribus sesungguhnya telah menggambarkan kelemahan dari teori Malthus itu. Meski demikian, pengaruh Malthus dalam dunia akademik masih cukup kuat hingga hari ini.

Penganjur pasar bebas, David Ricardo bahkan juga terpengaruh oleh teori Malthus ini. Ricardo menjelaskan bahwa pada awalnya, jumlah manusia tidak banyak sedangkan kekayaan alam masih berlimpah yang menyebabkan terpenuhinya kebutuhan manusia dengan baik. kekayaan sumber daya yang jauh melampaui jumlah manusia membuat para pelaku ekonomi (terutama pengusaha) memperoleh keuntungan yang besar. Keuntungan yang diperoleh pengusaha itu kemudian diinvestasikan kembali untuk mendapat keuntungan yang lebih besar. Proses akumulasi modal itu berlangsung secara terus menerus dan menyebabkan peningkatan permintaan tenaga kerja. Kondisi seperti ini mendorong pertumbuhan penduduk dengan cepat sementara luas lahan tetap bahkan cenderung berkurang karena terkonversi untuk keperluan pemukiman penduduk. Akibatnya produktifitas per tenaga kerja akan mengalami penurunan sementara biaya-biaya yang meliputi biaya sewa lahan maupun biaya operasional perusahaan semakin besar. Akhirnya keuntungan perusahaan menjadi berkurang dan investasi pun berkurang hingga perekonomian mencapai batas minimal stationary state. Ricardo bahkan mengatakan teknologi tidak mampu menghindari terjadinya stationary state, tapi hanya mampu mengundurkan waktunya saja. Hal ini terjadi karena perkembangan teknologi diikuti pula oleh pertumbuhan penduduk yang besar (Rustiadi, 2011). Selain terpengaruh oleh pemikiran Malthus, pendapat Ricardo diatas juga kental dipengaruhi oleh teori invisible hand Smith. Secara cerdik Ricardo “mengawinkan” dua teori yang berbeda prinsip itu. Prinsip kebebasan ekonomi dan free market mechanism di satu sisi dan prinsip pertambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing return) di sisi lain.

Psimisme Malthus dan Ricardo akan masa depan ummat manusia terus berkembang dan menjadi isu utama dalam pembangunan negara-negara di dunia. Teori itu bahkan masih dianggap relevan dan menjadi dasar pengambilan kebijakan sampai hari ini. Lebih dari itu, dalam perkembangannya teori Malthus bahkan tidak hanya menyebarkan psimisme tentang ancaman krisis pangan tapi juga berkembang menjadi psimisme dalam menyikapi ancaman krisis energi, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. WCED (1987) menerbitkan laporan berjudul “our common future”. Laporan itu berisi tentang tantangan masa depan ummat manusia yang berangkat dari fakta semakin menurunnya produksi pangan, semakin meningkatnya suhu bumi karena efek rumah kaca (pemanasan global), maraknya deforestasi, peningkatan populasi, kelangkaan energi dan sebagainya. Terbitnya laporan ini berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat global. Laporan ini secara tidak langsung menyambung kekhawatiran dan psimisme Malthus yang ia lontarkan hampir dua abad sebelumnya. Meskipun laporan ini bukanlah manifestasi dari psimisme menghadapi masa depan, melainkan merupakan peringatan yang penting untuk mengendalikan laju kerusakan yang mengancam masa depan.

Hayami dan Ruttan (1971) dalam Rustiadi (2011) merumuskan sebuah model yang bertolak belakang dengan teori Malthus dan pengikutnya. Dengan optimis Ruttan dan Hayami memperkenalkan induce innovation model sebagai jawaban dari teori psimis population trap Malthus. Dengan model ini, Hayami dan Ruttan menyatakan bahwa pengembangan wilayah atau negara mau tidak mau harus memanfaatkan sumber daya yang tersedia di alam. Meskipun suatu saat sampai pada titik tertentu ketersediaan alam akan mencapai batas minimalnya, Ruttan dan Hayami meyakini bahwa kondisi itu justeru akan membuat manusia semakin terangsang untuk berinovasi dan menciptakan teknologi baru untuk merespon kondisi itu. Dalam konteks ini, jumlah modal yang sudah terakumulasi akan dimanfaatkan manusia untuk pengembangan teknologi-teknologi alternatif. Secara sederhana, induce innovation model Hayami dan Ruttan digambarkan dalam grafik berikut:


Pada tahap awal, dibutuhkan tingkat produksi sebesar Q untuk memenuhi kebutuhan manusia. Untuk memproduksi sebesar Q maka dibutuhkan sumber daya alam sebanyak X₁₁ dan teknologi sebesar X₂₁. Dalam perkembangannya, jumlah penduduk yang semakin besar dan dengan kompleksitas aktifitas ekonominya, maka sumber daya alam menjadi semakin langka yang menyebabkan harga sumber daya alam semakin mahal. Akibatnya, dengan harga yang sama jumlah sumber daya alam yang dapat digunakan menjadi semakin kecil (digambarkan dengan X₁₂. Bila ingin tingkat produksi tetap berada pada garis Q, maka dibutuhkan teknologi sebesar X₂₂ untuk mensubtitusi sejumlah kelangkaan sumber daya alam tersebut. Kebutuhan akan teknologi sebesar X₂₂ itulah yang akan mendorong manusia untuk menciptakan teknologi sebesar X₂₂.

Teori Hayami dan Ruttan yang optimistik bahwa inovasi dan teknologi bisa mengatasi ancaman population trap Malthus kiranya lebih masuk akal untuk diterima. Jika Malthus mengurung aspek teknologi dan inovasi dalam sebuah penjara bernama cateris paribus, Hayami dan Ruttan justeru menjadikan dua aspek itu sebagai aktor terpenting dalam merumuskan modelnya karena dianggap sebagai instrumen utama pertahanan ummat manusia dari berbagai ancaman dan eksternalitas. Peningkatan jumlah penduduk yang mengikuti deret ukur sebagaimana dikatakan Malthus memang sangat mungkin menyebabkan kelangkaan sumber daya dalam bentuk penurunan produktifitas, kerusakan lingkungan, kelangkaan energi dan sebagainya. Tapi meresponnya secara psimis semisal dengan pembatasan kelahiran adalah sikap yang keliru.

Pembatasan kelahiran akan membuat kelangkaan sumber daya manusia pada masa yang akan datang. Kelangkaan sumber daya manusia ini sesungguhnya adalah ancaman kemanusiaan yang jauh lebih besar. Jika sumber daya manusia terbatas, maka induce innovation model sebagaimana dikatakan Ruttan dan Hayami tidak akan bekerja dengan baik. Akibatnya manusia justeru akan terjebak pada serba keterbatasan. Selain karena keterbatasan sumber daya manusia akibat pembatasan kelahiran, keterbatasan juga terjadi karena penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya akibat aktifitas manusia yang minim sumber daya itu. Bukankah minimnya sumber daya manusia akan membuat manusia memanfaatkan alam secara konvensional dengan tingkat efisiensi yang rendah. Kondisi itulah yang akan membuat proses kelangkaan sumber daya terjadi dengan lebih cepat. Akhirnya sumber daya manusia yang minim itu tidak akan mampu menciptakan teknologi untuk mensubtitusi kelangkaan sumber daya yang pasti terjadi. Dengan demikian psimisme yang disebarkan Malthus dan para pengikutnya melalui population trap theory (teori jebakan populasi) sesungguhnya lebih berbahaya dan menjebak daripada jebakan populasi itu sendiri. Dengan kata lain, jebakan psimisme Malthus jauh lebih berbahaya daripada teori jebakan populasi Malthus itu sendiri.

2 comments:

Unknown said...

nice post..
ijin share pak...

Unknown said...

English translation of this please!?