Sunday, 30 September 2012

Jebakan Psimisme Dalam Teori Jebakan Populasi Malthus

Oleh: Muhammad Nurjihadi

Thomas Robert Malthus (1798) menggegerkan dunia dengan teorinya yang bernama Population trap theory. Teori itu bercerita tentang fakta bahwa pertumbuhan manusia mengikuti deret ukur (geometric progression, dari 2 ke 4, 8, 16,32, dst) sementara pertumbuhan bahan makan mengikuti deret hitung (arithmetic progression, dai 2 ke 4, 6, 8 10, dst). Hal ini berarti jumlah populasi manusia terus meningkat dua kali lipat dalam 30-40 tahun sementara jumlah ketersediaan pangan hanya mampu tumbuh secara aritmatis. Dengan demikian maka pertumbuhan pangan tidak akan mampu mengimbangi pertumbuhan populasi manusia. Oleh karenanya Malthus merekomendasikan agar negara membuka lahan yang seluas-luasnya demi mempercepat pertumbuhan pangan dan melakukan pengendalian pertumbuhan penduduk agar tercapai keseimbangan antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan manusia (Indrayani, 2010).

Teori population trap ini digambarkan Malthus lewat diagram berikut (Chaniago, 2012):
Gambar. Diagram Population Trap Malthus

Sumbu vertikal mewakili pertumbuhan (dalam persen) untuk variabel penduduk (P) dan pendapatan (Y), sedangkan sumbu horizontal mewakili pendapatan perkapita (Y/P).
Kurva P menggambarkan hubungan antara pertumbuhan penduduk dengan pendapatan perkapita. Pada pendapatan perkapita yang sangat rendah (Y0), tingkat pertumbuhan penduduk adalah nol, yang berarti tingkat pertumbuhan penduduk dalam keadaan stabil. Y0 dapat mewakili konsep mengenai “kemiskinan absolut” dimana Angka kelahiran dan kematian berimbang. Ketika pendapatan perkapita meningkat atau lebih tinggi dari Y0 (bergerak ke arah kanan Y0), jumlah penduduk akan meningkat yang disebabkan karena menurunnya angka kematian. Meningkatnya pendapatan akan mengurangi bahaya kelaparan dan penyakit sehingga menurunkan angka kematian. Pada saat bersamaan, angka kelahiran tetap tinggi yang menyebabkan pertumbuhan penduduk juga tinggi.

Pada tingkat pendapatan perkapita sebesar Y2, laju pertumbuhan penduduk mencapai titik pertumbuhan maksimumnya yang diperkirakan sekitar 3,3 %. Diasumsikan laju pertumbuhan penduduk tersebut akan tetap bertahan sampai terjadi perubahan pendapatan perkapita yang lebih tinggi. Selanjutnya, meningkatnya pendapatan perkapita ke tingkat yang lebih tinggi (di sebelah kanan Y5), angka kelahiran akan mulai menurun dan slope atau kemiringan dalam kurva pertumbuhan penduduk menjadi negatif dan kembali mendekati sumbu horizontal.

Sampai hari ini, apa yang dikatakan Malthus tentang “jebakan populasi” tidak terbukti benar. Setidaknya sampai sekarang ummat manusia masih mampu beradaptasi dengan berkurangnya lahan pertanaman karena membengkaknya jumlah populasi. Inovasi dan penemuan teknologi adalah kunci untuk sukses ini. Malthus tidak memasukkan variabel teknologi dalam merumuskan teorinya. Malthus mengasumsikan faktor teknologi cateris paribus (Dyana, 2011). Faktanya pengaruh faktor teknologi dalam kehidupan manusia lebih dominan daripada faktor ketersediaan lahan itu sendiri. Mengurung faktor teknologi dalam sebuah penjara bernama cateris paribus sesungguhnya telah menggambarkan kelemahan dari teori Malthus itu. Meski demikian, pengaruh Malthus dalam dunia akademik masih cukup kuat hingga hari ini.

Penganjur pasar bebas, David Ricardo bahkan juga terpengaruh oleh teori Malthus ini. Ricardo menjelaskan bahwa pada awalnya, jumlah manusia tidak banyak sedangkan kekayaan alam masih berlimpah yang menyebabkan terpenuhinya kebutuhan manusia dengan baik. kekayaan sumber daya yang jauh melampaui jumlah manusia membuat para pelaku ekonomi (terutama pengusaha) memperoleh keuntungan yang besar. Keuntungan yang diperoleh pengusaha itu kemudian diinvestasikan kembali untuk mendapat keuntungan yang lebih besar. Proses akumulasi modal itu berlangsung secara terus menerus dan menyebabkan peningkatan permintaan tenaga kerja. Kondisi seperti ini mendorong pertumbuhan penduduk dengan cepat sementara luas lahan tetap bahkan cenderung berkurang karena terkonversi untuk keperluan pemukiman penduduk. Akibatnya produktifitas per tenaga kerja akan mengalami penurunan sementara biaya-biaya yang meliputi biaya sewa lahan maupun biaya operasional perusahaan semakin besar. Akhirnya keuntungan perusahaan menjadi berkurang dan investasi pun berkurang hingga perekonomian mencapai batas minimal stationary state. Ricardo bahkan mengatakan teknologi tidak mampu menghindari terjadinya stationary state, tapi hanya mampu mengundurkan waktunya saja. Hal ini terjadi karena perkembangan teknologi diikuti pula oleh pertumbuhan penduduk yang besar (Rustiadi, 2011). Selain terpengaruh oleh pemikiran Malthus, pendapat Ricardo diatas juga kental dipengaruhi oleh teori invisible hand Smith. Secara cerdik Ricardo “mengawinkan” dua teori yang berbeda prinsip itu. Prinsip kebebasan ekonomi dan free market mechanism di satu sisi dan prinsip pertambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing return) di sisi lain.

Psimisme Malthus dan Ricardo akan masa depan ummat manusia terus berkembang dan menjadi isu utama dalam pembangunan negara-negara di dunia. Teori itu bahkan masih dianggap relevan dan menjadi dasar pengambilan kebijakan sampai hari ini. Lebih dari itu, dalam perkembangannya teori Malthus bahkan tidak hanya menyebarkan psimisme tentang ancaman krisis pangan tapi juga berkembang menjadi psimisme dalam menyikapi ancaman krisis energi, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. WCED (1987) menerbitkan laporan berjudul “our common future”. Laporan itu berisi tentang tantangan masa depan ummat manusia yang berangkat dari fakta semakin menurunnya produksi pangan, semakin meningkatnya suhu bumi karena efek rumah kaca (pemanasan global), maraknya deforestasi, peningkatan populasi, kelangkaan energi dan sebagainya. Terbitnya laporan ini berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat global. Laporan ini secara tidak langsung menyambung kekhawatiran dan psimisme Malthus yang ia lontarkan hampir dua abad sebelumnya. Meskipun laporan ini bukanlah manifestasi dari psimisme menghadapi masa depan, melainkan merupakan peringatan yang penting untuk mengendalikan laju kerusakan yang mengancam masa depan.

Hayami dan Ruttan (1971) dalam Rustiadi (2011) merumuskan sebuah model yang bertolak belakang dengan teori Malthus dan pengikutnya. Dengan optimis Ruttan dan Hayami memperkenalkan induce innovation model sebagai jawaban dari teori psimis population trap Malthus. Dengan model ini, Hayami dan Ruttan menyatakan bahwa pengembangan wilayah atau negara mau tidak mau harus memanfaatkan sumber daya yang tersedia di alam. Meskipun suatu saat sampai pada titik tertentu ketersediaan alam akan mencapai batas minimalnya, Ruttan dan Hayami meyakini bahwa kondisi itu justeru akan membuat manusia semakin terangsang untuk berinovasi dan menciptakan teknologi baru untuk merespon kondisi itu. Dalam konteks ini, jumlah modal yang sudah terakumulasi akan dimanfaatkan manusia untuk pengembangan teknologi-teknologi alternatif. Secara sederhana, induce innovation model Hayami dan Ruttan digambarkan dalam grafik berikut:


Pada tahap awal, dibutuhkan tingkat produksi sebesar Q untuk memenuhi kebutuhan manusia. Untuk memproduksi sebesar Q maka dibutuhkan sumber daya alam sebanyak X₁₁ dan teknologi sebesar X₂₁. Dalam perkembangannya, jumlah penduduk yang semakin besar dan dengan kompleksitas aktifitas ekonominya, maka sumber daya alam menjadi semakin langka yang menyebabkan harga sumber daya alam semakin mahal. Akibatnya, dengan harga yang sama jumlah sumber daya alam yang dapat digunakan menjadi semakin kecil (digambarkan dengan X₁₂. Bila ingin tingkat produksi tetap berada pada garis Q, maka dibutuhkan teknologi sebesar X₂₂ untuk mensubtitusi sejumlah kelangkaan sumber daya alam tersebut. Kebutuhan akan teknologi sebesar X₂₂ itulah yang akan mendorong manusia untuk menciptakan teknologi sebesar X₂₂.

Teori Hayami dan Ruttan yang optimistik bahwa inovasi dan teknologi bisa mengatasi ancaman population trap Malthus kiranya lebih masuk akal untuk diterima. Jika Malthus mengurung aspek teknologi dan inovasi dalam sebuah penjara bernama cateris paribus, Hayami dan Ruttan justeru menjadikan dua aspek itu sebagai aktor terpenting dalam merumuskan modelnya karena dianggap sebagai instrumen utama pertahanan ummat manusia dari berbagai ancaman dan eksternalitas. Peningkatan jumlah penduduk yang mengikuti deret ukur sebagaimana dikatakan Malthus memang sangat mungkin menyebabkan kelangkaan sumber daya dalam bentuk penurunan produktifitas, kerusakan lingkungan, kelangkaan energi dan sebagainya. Tapi meresponnya secara psimis semisal dengan pembatasan kelahiran adalah sikap yang keliru.

Pembatasan kelahiran akan membuat kelangkaan sumber daya manusia pada masa yang akan datang. Kelangkaan sumber daya manusia ini sesungguhnya adalah ancaman kemanusiaan yang jauh lebih besar. Jika sumber daya manusia terbatas, maka induce innovation model sebagaimana dikatakan Ruttan dan Hayami tidak akan bekerja dengan baik. Akibatnya manusia justeru akan terjebak pada serba keterbatasan. Selain karena keterbatasan sumber daya manusia akibat pembatasan kelahiran, keterbatasan juga terjadi karena penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya akibat aktifitas manusia yang minim sumber daya itu. Bukankah minimnya sumber daya manusia akan membuat manusia memanfaatkan alam secara konvensional dengan tingkat efisiensi yang rendah. Kondisi itulah yang akan membuat proses kelangkaan sumber daya terjadi dengan lebih cepat. Akhirnya sumber daya manusia yang minim itu tidak akan mampu menciptakan teknologi untuk mensubtitusi kelangkaan sumber daya yang pasti terjadi. Dengan demikian psimisme yang disebarkan Malthus dan para pengikutnya melalui population trap theory (teori jebakan populasi) sesungguhnya lebih berbahaya dan menjebak daripada jebakan populasi itu sendiri. Dengan kata lain, jebakan psimisme Malthus jauh lebih berbahaya daripada teori jebakan populasi Malthus itu sendiri.

Wednesday, 26 September 2012

The Invisible Hand Theory dan Matinya Ilmu Ekonomi

Oleh: Muhammad Nurjihadi
Bukan karena kedermawanan seorang penjual anggur atau tukang daging memberi anda makan daging atau minum anggur, melainkan karena mereka mementingkan dirinya sendiri.
-Adam Smith-

Prinsip dasar dari teori tangan tak terlihat atau dikenal juga dengan teori “tangan tuhan” (the invisible hand) adalah adanya keyakinan bahwa keseimbangan pasar terbentuk secara natural dengan adanya pertemuan supply (penawaran) dan demand (permintaan). Teori ini menafikkan peran pemerintah dalam aktifitas ekonomi karena dianggap sebagai penghambat perekonomian. Bertemunya suply dan demand secara alamiah merupakan respon dari rasionalitas hidup manusia dimana setiap manusia memiliki kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri dan mendapat keuntungan pribadi yang besar. Kecenderungan itu akan mendorong orang untuk memproduksi barang kebutuhan konsumen. Namun jika produksi itu berlebih, maka pasar akan meresponnya dengan penurunan harga, demikian pula sebaliknya ketika suatu produk langka, maka harganya akan menjadi tinggi (Smith, 1776).

Pemikiran Adam Smith dalam teori the invisible hand ini menjadi dasar lahirnya paham kapitalisme ekonomi. Banyak ilmuwan mengembangkan teori itu untuk memperkuat argumen Smith dan untuk menekan pemerintah agar memberikan kebebasan ekonomi yang seluas-luasnya kepada para pelaku ekonomi tanpa campur tangan pemerintah. Salah satu pengikut Smith yang paling terkenal karyanya adalah Ricardo (1817) yang mencetuskan teori keunggulan komparatif (theory of comparative advantage). Teori ini menyatakan bahwa perdagangan internasional harus didukung oleh pemerintah dengan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada para pelaku ekonomi untuk mengembangkan bisnisnya tanpa ada hambatan regulasi ataupun kebijakan pemerintah. Teori ini juga menyebutkan bahwa perdagangan internasional antar negara hanya akan terjadi jika suatu negara memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh negara lainnya. Dengan demikian, suatu produk yang diproduksi oleh suatu negara dengan lebih efisien akan dijual ke negara lain yang tidak memproduksi barang tersebut. Sebagai contoh misalnya, Indonesia mampu menghasilkan batu bara secara lebih efisien daripada Vietnam, tapi Vietnam mampu menghasilkan beras secara lebih efisien dibanding Indonesia, maka kedua negara akan melakukan perdagangan dimana Vietnam membeli batu bara dari Indonesia dan Indonesia membeli beras dari Vietnam. Sekali lagi, free market adalah syarat untuk pelaksanaan teori ini. Pemerintah tidak boleh melakukan proteksi maupun pembatasan impor, bahkan pemerintah diminta membebaskan biaya bea maupun cukai.

Dalam prakteknya, teori “tangan tuhan” Smith lebih banyak memihak kepada para pemilik modal. Atas nama investasi, para pemilik modal mengeksploitasi sumber daya dunia untuk mendapatkan keuntungan yang besar dan sekaligus mengakumulasi modal. Akibatnya jurang ketimpangan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin kian tinggi. Dengan modal yang terus terakumulasi, para pemilik modal mampu menciptakan teknologi baru untuk mengefisienkan proses produksi yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi dan mengakumulasi modal lagi tanpa batas. Sementara disisi lain, penemuan teknologi baru itu berimplikasi pada berkurangnya peran manusia dalam proses produksi yang membuat banyak tenaga kerja kehilangan pekerjaannya. Dengan demikian, peran modal menjadi kian dominan dalam aktifitas ekonomi. Tanpa memiliki modal yang cukup, seseorang atau suatu kelompok atau bahkan suatu negara tidak akan mampu mengembangkan perekonomiannya sehingga tidak mampu menghasilkan keuntungan. Akibatnya orang-orang yang tidak memiliki modal itu tetap terjebak pada kemiskinan disaat para pemilik modal menikmati hasil dari kekayaan alam disekitar mereka. Dengan kondisi seperti itu, Fukuyama (1992) memprediksi bahwa akhir dari sejarah dunia ini adalah kapitalisme global yang dikuasai oleh segelintir orang pemilik modal yang selama bertahun-tahun mengakumulasi modalnya secara terus menerus tanpa batas. Lebih jauh, Fukuyama juga menyebut segelintir pemilik modal itu akan menjadi the last man (manusia terakhir) di dunia ini.

Berbagai kritik silih berganti mengecam praktek kapitalisme ini. Ketidakadilan dan ketimpangan yang diciptakannya menjadi dasar kritik itu. Secara garis besar ada tiga teori yang lahir sebagai kritik atas praktek kapitalisme yang berangkat dari teori “tangan tuhan” Adam Smith ini, yaitu pertama teori ketergantungan yang lahir di Amerika Latin. Teori ini menganggap bahwa pembangunan model kapitalisme adalah “strategi licik” barat atau negara maju untuk membuat negara-negara berkembang bergantung secara ekonomi kepada mereka. Teori ini lahir dari pengalaman massifnya investasi asing yang masuk di Amerika Latin. Pada awalnya investasi ini disambut baik karena dianggap dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, tapi ternyata kehadirannya justeru menyebabkan seluruh moda produksi asli lokal terpinggirkan sementara para kapitalis pemilik modal itu meraup keuntungan yang besar. Kedua adalah teori sistem dunia. Teori ini merupakan kelanjutan dari teori ketergantungan. Secara ekstrem teori ini menyebut agresifitas ekspansi kapital Trans Nasional Corporation (TNCs) sebagai sebuah imperialisme berkedok investasi. Kapitalisme global menginginkan struktur ekonomi global yang seragam dan mendunia. Penyeragaman struktur ekonomi dunia ini kemudian membentuk hegemoni kapital. Struktur hegemonik terhadap perekonomian lokal ini dianggap sebagai sistem yang tidak adil dan tidak demokratis karena menggerus dan meminggirkan perekonomian lokal. Ketiga, teori pemberdayaan yang meyakini bahwa keterbelakangan, ketertinggalan, kemiskinan dan ketergantungan hanya bisa diputus melalui proses pemberdayaan masyarakat. Hanya dengan pemberdayaan masyarakat akan menjadi mandiri dan tidak terus terpinggirkan (Dharmawan, 2009).

Karl marx (1848) dalam Rahardjo (2011) memberikan pandangan yang berbeda soal kapitalisme. Dalam panflet the communist manifesto (1848) Marx mengatakan bahwa kapitalisme adalah sebuah fenomena sejarah yang tidak dapat dihindari. Semua masyarakat di dunia menurut Marx akan mngalami perkembangan moda produksinya dari komunal primitif ke perbudakan, lalu feodalisme dan kemudian kapitalisme. Baru setelah menunaikan tugas historisnya, masyarakat akan memasuki tahap sosialisme atau komunisme. Pada saat itu hak milik perorangan akan dihapuskan dan kekuasaan negara akan digantikan dengan civil society.

Selain itu, kritik atas praktek kapitalsme dunia juga lahir dari Paul Omerold (1994) yang mengatakan bahwa ilmu ekonomi sudah mati. Omerold menganggap bahwa perekonomian yang berkembang saat ini adalah hasil distorsi dari pemikiran Adam Smith dan David Ricardo. Teori invisible hand misalnya, Omerold menyatakan bahwa pemahaman terhadap teori ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari teori Adam Smith sebelumnya, yaitu the theory of moral sentiment. Sementara dalam prakteknya saat ini, teori invisible hand dianggap berdiri sendiri oleh para ekonom dan pelaku ekonomi yang menyebabkan kerancuan dan ketimpangan ekonomi. Memang benar bahwa dalam teori invisible hand, Smith menginginkan kebebasan tanpa batas dan bahwa setiap manusia punya kecenderungan untuk menumpuk keuntungan dan mengakumulasi modal, namun Smith juga percaya bahwa dengan kapital yang terakumulasi dalam jumlah banyak (dengan keuntungan yang besar) seorang individu bisa mengunakan kekayaannya itu untuk membantu orang miskin. Hanya saja dalam realitasnya para ekonom dan pelaku ekonomi seolah-olah memisahkan dua teori Smith sebagai teori yang berdiri sendiri. Akibatnya teori moral sentimen Smith kian terpinggirkan. Para ekonom dan pelaku ekonomi hanya mengggunakan dan mengagungkan teori kedua Smith, yaitu teori invisible hand. Omerold juga mengkritik sikap ekonom masa kini yang dianggap dengan sengaja mendistorsikan makna dari teori comparative advantage David Ricardo. Menurut Omerold semangat yang terkandung dalam teori keunggulan komparatif itu tidak hanya tentang kebebasan pelaku ekonomi (pasar bebas antar negara), tapi Ricardo menurut Omerold justeru lebih menekankan pada pasar bebas antar wilayah dalam negeri, bukan antar negara. Menurut Ricardo, perdagangan bebas antar negara rentan menimbulkan bubble economic (gelembung ekonomi).

Massifnya modal asing yang masuk dalam perekonomian suatu negara sangat rentan menimbulkan gelembung ekonomi. Investasi asing yang berorientasi jangka pendek menyebabkan proses pembangunan terjadi secara massif, namun setelah profit didapat semua modal yang terakumulasi segera ditarik oleh pemilik modal dan menyebabkan krisis ekonomi di negara tujuan investasi. Krisis ekonomi Indonesia tahun 1998 adalah bukti nyata dari bubble economic sebagai akibat dari sikap mementingkan diri sendiri oleh investor dalam sistem ekonomi pasar bebas. Katakanlah, dibutuhkan waktu hanya 5 menit oleh Warren Buffet ataupun George Soros untuk menarik seluruh modalnya melalui telepon seluler, kemudian dampaknya akan menjadi sistemik dan mengancam eksistensi suatu negara (Supiyanto, 2011).

Kematian ilmu ekonomi sebagaimana dikatakan Omerold mungkin terlalu berlebihan jika dipandang dari sudut pandang aktifitas ekonomi secara umum. Sebagai mahluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam konteks ini, maka interaksi antar manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mutlak terjadi dan tidak mungkin berhenti atau mati. Benar apa yang disampaikan Smith dalam teori invisible hand-nya bahwa manusia punya kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri dan menumpuk kekayaan untuk diri sendiri. Tapi menjadi salah ketika kecenderungan egoisme individu itu ditindaklanjuti Smith dengan merekomendasikan kebebasan ekonomi tanpa campur tangan pemerintah. Mengakumulasi modal dan menumpuk kekayaan tentu melibatkan manusia lainnya baik melalui hubungan patron-klien, majikan-pekerja, dan sebagainya. Jika dibiarkan terjadi secara alamiah, maka para pemodal yang ingin mengakumulasi modal itu tentu mengorbankan hak manusia lainnya dalam interaksi ekonominya. Akibatnya penindasan, eksploitasi dan ketidakadilan tidak dapat dihindari. Disinilah perlunya campur tangan pihak ketiga untuk menjembatani kepentingan pihak pemodal dan pekerja. Pemerintah adalah sarana ideal yang bisa mengambil peran sebagai pihak ketiga. Dengan demikian, kematian ekonomi yang sesungguhnya adalah kematian ekonomi kapitalis dan ekonomi pasar bebas. Sebab konsep ekonomi kapitalis ini sudah terbukti menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi. Dalam konteks bernegara, berbagai krisis di berbagai belahan dunia adalah bukti nyata bobroknya kapitalisme.

Monday, 17 September 2012

KAPITALISME DAN KERAKUSAN TANPA BATAS

Oleh: Muhammad Nurjihadi, SP
Kapitalisme bertolak pada teori yang dicetuskan Adam Smith (1776) dalam buku The Wealth Of Nation. Dalam buku itu, Smith mencetuskan teori the invisible hand (tangan tak terlihat atau tangan Tuhan) dalam aktifitas ekonomi. Dimana dia menganggap bahwa keseimbangan pasar akan terbentuk melalui mekanisme pertemuan supply – demand (penawaran – permintaan). Smith mengkritik praktek merkantilisme yang berlangsung di Eropa karena dianggap gagal dalam memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Menurutnya, kesejahteraan hanya dapat diraih dengan adanya kebebasan dalam berbisnis dan investasi tanpa ikut campur pemerintah. Pemerintah hanya perlu menempatkan diri sebagai pengawas dalam aktifitas ekonomi dan tidak boleh mengintervensi atau membatasi aktifitas ekonomi. Konsep ini ia sebut sebagai azas Laissez Faire. Dalam perkembangannya, teori ini banyak diterjemahkan sebagai mekanisme pasar dan menjadi alasan intelektual untuk memaksa masyarakat dunia menerima kapitalisme sebagai sistem ekonomi global.

Perdagangan bebas antar negara juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kapitalisme. Teori keunggulan komparatif (theory of comparative advantage) menjadi dasar pemberlakuan pasar bebas ini. Teori ini dicetuskan oleh David Ricardo (1817) yang terinspirasi dari pemikiran Adam Smith. Menurut teori ini, perdagangan internasional akan terjadi jika suatu negara memiliki produk unggulan komparatif yang di produksi secara lebih efisien untuk dijual ke negara lain. Sebagai salah satu syarat terjadinya perdagangan internasional itu, pemerintah dilarang memberlakukan kebijakan-kebijakan proteksionisme dan pembatasan perdagangan. Dengan demikian, mekanisme pasar akan bekerja secara sempurna untuk menentukan keseimbangan harga. Dengan konsep seperti itu, maka harga produk diyakini akan menjadi rendah dan terjangkau oleh konsumen karena adanya persaingan antar perusahaan yang juga berarti peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Modal menjadi instrument terpenting dalam kapitalisme. Semakin besar modal seseorang atau kelompok, maka semakin besar pula peluang untuk mendapatkan keuntungan dan menumpuk kekayaan. Minimnya peran negara dalam perekonomian kapitalis memungkinkan pemilik modal memiliki kekayaan lebih besar dari total kekayaan negara. Semakin besar kekayaan maka semakin besar pula peluang keuntungan itu diputar kembali sebagai modal untuk mendapat keuntungan yang lebih besar. Akibatnya, seorang atau sekelompok orang yang mampu mengakumulasi modalnya secara terus menerus dapat melakukan monopoli perdagangan dan dalam batas tertentu bisa berubah menjadi diktator ekonomi yang menindas kelas bawah. Terlebih dengan diberlakukannya pasar bebas ala Ricardo, itu memungkinkan perekonomian suatu negara akan sangat bergantung pada seseorang atau sekelompok orang yang berasal dari luar negara tersebut jika sebagian besar modal telah terakumulasi pada sekelompok orang luar itu. Jika itu yang terjadi, maka negara tidak akan memiliki wibawa dan dengan mudah dapat di intervensi oleh konglomerasi pemilik modal asing.

Indonesia adalah salah satu negara penganut sistem ekonomi kapitalis. Pemerintah melakukan berbagai terobosan kebijakan untuk memancing investor asing guna menanamkan modalnya di Indonesia. Pada tahun 2011, realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) Indonesia sebesar Rp 175,3 Triliun, sedangkan realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp 76 Triliun. Berdasarkan sektor usaha, PDMN terbesar ada pada industri tanaman pangan dan perkebunan, disusul oleh industri kertas dan percetakan, listrik dan air, transportasi, gudang dan telekomunikasi serta industri makanan. Sedangkan PMA terbesar ada pada sektor transportasi, gudang dan telekomunikasi, disusul pertambangan, listrik, gas dan air, industri logam, barang logam, mesin dan elektronik, industri kimia dasar serta barang kimia dan farmasi (Investor Daily Indonesia, 19 januari 2012). Data diatas memberikan gambaran bahwa ekonomi Indonesia lebih didominasi oleh modal asing. Lebih dari itu, data diatas juga menunjukkan bahwa modal asing di Indonesia lebih banyak digunakan untuk investasi pada sektor-sektor dengan resiko kerusakan lingkungan yang besar seperti pertambangan, migas, transportasi barang logam dan industri kimia.

Tujuan investor menanamkan modalnya tentu saja untuk mendapatkan keuntungan. Berproduksi dengan biaya sekecil-kecilnya dan mendapatkan output serta outcome yang sebesar-besarnya adalah prinsip penting ekonomi kapitalis. Tidak peduli dampak negatif apa yang disebabkan oleh aktifitas bisnis yang dilakukan. Dalam sektor pertambangan misalnya, bisnis padat modal itu mampu memberikan revenue yang besar terhadap pemilik modal, tapi pada saat bersamaan menyebabkan kerusakan lingkungan dan bahkan instabilitas sosial. Menurut data BPS (2010) mencatat bahwa pada tahun 2010, share sektor pertambangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) adalah 11% dengan nilai US$ 73 miliar atau setara dengan sekitar Rp 620 Triliun. Sementara itu kementerian kehutanan mencatat 70% kerusakan hutan disebabkan oleh aktifitas pertambangan (Republika Online, 8 Agustus 2012).

Dominasi asing di Indonesia tidak hanya pada sektor pertambangan, tapi juga pada sektor telekomunikasi yang menguasai 90% saham nasional, sektor perbankan dikuasai 80%, sektor energi 90%, sektor migas 74% dan bahkan termasuk sektor pertanian. Ekspansi modal asing dalam perekonomian Indonesia terus mengalami peningkatan. Selama bulan januari hingga juni 2012, PMA meningkat tajam hingga 30,3% dari Rp 82,6 Triliun pada semester II tahun 2011 menjadi Rp 107,6 Triliun. Sedangkan PMDN hanya mampu tumbuh 22,7% dari total Rp 33 Triliun pada semester II tahun 2011 menjadi Rp 40,5 Triliun (BKPM, 2012). Pertumbuhan ini diperkirakan akan terus meningkat pada masa-masa yang akan datang.

Ekspansi modal asing selalu diikuti dengan eksploitasi. Eksploitasi selalu dekat dengan kerusakan lingkungan, konflik sosial dan ketimpangan ekonomi. Kinerja makro ekonomi Indonesia yang sangat baik seperti pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,5% setiap tahun, pengendalian inflasi, dan penurunan jumlah pengangguran nampaknya tidak sebanding dengan kerugian yang kita korbankan. Kerusakan lingkungan pada tahun 2011 tercatat meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Selama tahun 2011 tercatat 141 kasus pencemaran lingkungan, meningkat dari 75 kasus pada tahun 2010. Data itu diperkuat dengan meningkatnya volume banjir dari 345 kasus pada tahun 2010 menjadi 378 kasus pada tahun 2011 (Walhi dalam www.beritahukum.com).

Selain harus menanggung biaya perbaikan lingkungan sebagai akibat dari kerakusan tanpa batas dalam ekonomi kapitalis, kita juga harus menanggung korbanan lain dalam bentuk konflik sosial dan ketimpangan ekonomi. Pada tahun 2011, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 163 kasus konflik agraria yang melibatkan 69.975 kepala keluarga dengan korban meninggal sebanyak 22 orang. Jumlah ini meningkat dari tahun 2010 yang jumlah kasus konflik agraria mencapai 106 konflik dengan tiga orang meninggal. Dari 163 kasus konflik pada tahun 2011, sektor yang paling banyak menyebabkan konflik adalah sektor perkebunan sebanyak 97 kasus, sektor kehutanan 36 kasus, sektor infrastruktur 21 kasus, sektor pertambangan 8 kasus dan 1 kaus di wilayah tambak dan pesisir (Kompas, 28 Desember 2011).

Dengan berorientasi pada ekonomi pro capital (capital oriented), Indonesia sukses memperbaiki performance ekonominya. Tidak hanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kemampuan mengendalikan inflasi, Indonesia juga sukses meningkatkan pendapatan perkapita penduduk. Saat ini, pendapatan perkapita Indonesia berada pada kisaran US$ 3.000 atau lebih dari Rp 25 juta per tahun. Namun ironisnya peningkatan pendapatan perkapita itu diikuti dengan peningkatan ketimpangan pendapatan antara orang kaya dan miskin. Ketimpangan itu dapat dilihat dari nilai koefisien gini ratio. Dimana jika gini ratio sama dengan nol, maka suatu negara dinyatakan mengalami pemerataan sempurna, sedangkan jika gini ratio sama dengan satu berarti negara mengalami ketimpangan sempurna. Koefisien gini ratio Indonesia pada tahun 2010 saja mencapai 0,39 (neraca.com, 15 April 2012). Hal ini menunjukkan bahwa agresifnya infiltrasi modal, baik modal asing maupun modal dalam negeri pada ekonomi Indonesia ternyata hanya mampu mensejahterakan pemilik modal dan membiarkan masyarakat miskin kian tertinggal dan terjebak pada kemiskinannya.

Data-data diatas merupakan fakta yang terjadi hanya di Indonesia. Apa yang terjadi pada level global menunjukkan gejala yang sama atau bahkan lebih parah. Terlebih dengan adanya fenomena pemanasan global yang mengancam dunia. Fakta-fakta tak terbantahkan itu kemudian menyadarkan orang bahwa kapitalisme yang rakus tengah mengancam kemanusiaan. Tidak hanya menyebabkan kerugian pada masa kini karena banyaknya konflik sosial dan ketimpangan ekonomi, tapi juga mengancam generasi yang akan datang karena kerusakan lingkungan. Rusaknya lingkungan akan menyebabkan ketidakseimbangan alam sehingga alam tidak mampu menyediakan kebutuhan hidup manusia. Atas dasar kesadaran itu, para pemikir dunia kemudian menawarkan solusi pembangunan berkelanjutan, dimana pembangunan ekonomi diarahkan untuk tidak bersifat eksploitatif yang merusak lingkungan serta ramah pada kehidupan sosial.

Wednesday, 29 August 2012

POLITIK EKONOMI TEMBAKAU: PERSELINGKUHAN INDUSTRI ROKOK DAN FARMASI (Mengungkap Kebohongan dan Motif Terselubung Dibalik Kampanye Anti Tembakau Global)

Oleh: Muhammad Nurjihadi, SP*
Sejak berabad-abad yang lalu, tembakau menjadi komoditas strategis dalam memajukan ekonomi suatu negara. Tidak berlebihan jika komoditas ini disebut sebagai “emas hijau”. Pada tahun 2011, pasar tembakau global bernilai sekitar US$ 378 miliar atau setara dengan Rp 3.500 Triliun. Jika dianalogikan sebagai sebuah negara, maka berdasarkan data Bank Dunia tahun 2011 negara tembakau itu akan menjadi negara dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) terbesar ke 29 di dunia. Unggul dari si raja minyak Saudi Arabia. Sejak akhir dekade 1990-an, para pelaku kesehatan gencar mengkampanyekan bahaya merokok terhadap kesehatan. Akibatnya banyak negara mengambil kebijakan pengetatan bisnis rokok dan tembakau. Tapi ironisnya, ditengah semakin menurunnya produksi tembakau global, para pelaku industri rokok justeru mengalami peningkatan pendapatan. Disamping itu, mencuatnya kekhawatiran akan bahaya merokok berhasil mendongkrak popularitas dan pendapatan industri farmasi, terutama yang berkaitan dengan tembakau. Sampai disini, kesimpulan yang saya ambil adalah “it’s just about money”.

Tembakau mulai dikenal manusia sejak abad pertama sebelum masehi. Suku Indian di Amerika diketahui menggunakan tembakau untuk keperluan pengobatan dan religius pada masa itu. Pada abad-abad selanjutnya, tembakau berkembang dan menyebar ke seluruh penjuru dunia dan menjadi salah satu komoditas penting perdagangan global (Herjuno dkk, 2012). Dalam perkembangan selanjutnya, tembakau diolah menjadi rokok yang digemari oleh orang-orang di Eropa dan Asia. Dari sinilah bisnis tembakau untuk keperluan komersil (industri rokok) mulai berkembang.

Indonesia adalah salah satu negara dengan potensi yang luar biasa untuk pengembangan tembakau. Oleh karenanya, pemerintah Kolonial Belanda dalam kebijakan tanam paksanya meminta, atau tepatnya memaksa rakyat Indonesia untuk menanam tembakau guna memenuhi kebutuhan global dan meningkatkan pendapatan negara. Seiring perjalanan waktu, pemaksaan menanam tembakau ini berkembang menjadi kebiasaan yang menyebabkan para petani tembakau yang dipaksa itu tetap menanam tembakau setelah berakhirnya politik tanam paksa. Bahkan ketika pemerintah kolonial melakukan liberalisasi ekonomi secara ekstrem di wilayah Indonesia, agribisnis tembakau tetap berkembang tanpa campur tangan pemerintah kolonial.

Industri rokok mengalami masa kejayaan pada abad ke 20. Kebudayaan merokok pada masa itu menyebar ke seluruh dunia dengan berbagai bentuk. Di Indonesia berkembang rokok tradisional yang dikenal dunia dengan nama “kretek”. Rokok kretek ini merupakan racikan asli orang Indonesia yang membuat rokok dari bahan tembakau yang ditambah dengan cengkeh dan saus sebagai penyedap rasa. Pada tahun 1913, seorang tionghoa Indonesia bernama Liem Seeng Tee untuk pertama kalinya memproduksi rokok kretek untuk keperluan komersial. Setelah mendapat sambutan yang luas dari masyarakat, industri rumah tangga Liem ini terus berkembang dan diteruskan oleh anak-cucunya. Pada tahun 1930, industri rumah tangga ini diresmikan secara resmi dengan nama NVBM Handel Maatschapij Sampoerna yang menjadi cikal bakal H.M. Sampoerna yang kita kenal hari ini. Saat ini PT H.M Sampoerna merupakan penguasa pangsa pasar rokok Indonesia dengan menguasai 25% pasar rokok mengungguli PT Gudang Garam dan PT Djarum tbk yang masing-masing menguasai 21% dan 19% (Bursa Efek Indonesia, 25 Mei 2009).

Indonesia menikmati hasil cukup besar dari industri tembakau. Pada tahun 2005, industri tembakau dengan segala multiplier effect-nya menyumbang sekitar Rp 48 Triliun untuk PDB Indonesia. Jumlah ini terus meningkat setiap tahun seiring meningkatnya penerimaan cukai tembakau. Pada tahun 2011 saja, penerimaan negara dari cukai tembakau menembus angka Rp 60,7 Triliun. Jumlah ini meningkat secara berkala dari tahun-tahun sebelumnya. Sebagai perbandingan, pada tahun 2011 negara menerima pendapatan Rp 12,9 Triliun dari cukai SDA non migas (pertambangan umum, kehutanan, perikanan dan panas bumi). Artinya nilai cukai tembakau lima kali lebih besar dibanding cukai SDA non migas (diolah berdasarkan table I-O 2005-2011 dari BPS).

Pada penghujung abad ke 20 berkembang isu bahaya merokok bagi kesehatan. Munculnya isu ini berbarengan dengan masa kejayaan industri farmasi global (obat-obatan kimia). Setelah berhasil mempengaruhi persepsi publik internasional tentang manfaat pengobatan kimia dan “tidak ilmiahnya” pengobatan tradisional, industri farmasi global menghasilkan keuntungan fantastis dari penjualan obat-obatan kimia. Atas nama “ilmu pengetahuan dan teknologi”, setiap obat yang tidak didasarkan atas penelitian di lembaga-lembaga riset formal dianggap berbahaya dan tidak bermanfaat. Akibatnya praktek-praktek pengobatan tradisional di seluruh dunia mengalami kemunduran, tak terkecuali di Indonesia. Masa kejayaan industri farmasi itu berlanjut dengan kampanye anti tembakau. Tujuannya tidak lain adalah untuk menyadarkan orang bahwa rokok mengandung nikotin yang berbahaya bagi kesehatan. Pada awalnya, isu ini mengagetkan publik dan menampar industri rokok global. Pertentangan antara industri rokok dan industri farmasi tidak dapat dihindarkan. Namun dalam perjalanan waktu, perseteruan kedua jenis industri ini menemui titik temu yang menguntungkan kedua belah pihak. Sejak itulah terjalin hubungan “perselingkuhan” antara industri rokok dan industri farmasi.

Dengan gencarnya kampanye anti tembakau global, industri farmasi meresponnya dengan memproduksi obat-obatan kimia yang bisa mengurangi dampak nikotin tembakau. Lebih dari itu, industri farmasi juga mengembangkan alat dan bahan bernilai tinggi untuk keperluan pengobatan sakit tenggorokan dan paru-paru yang disebabkan oleh aktifitas merokok. Bayangkan jumlah alat dan bahan yang dijual ke seluruh penjuru dunia untuk keperluan itu. Di Indonesia, akhir-akhir ini kita menemukan banyaknya produk baru yang berkaitan dengan aktifitas merokok. Anda tentu mengenal salah satu produk pasta gigi yang dikhususkan untuk para perokok yang sedang gencar diiklankan di media massa (saya tidak mau menyebut merek), lalu berbagai produk makanan lainnya yang diiklankan “sangat baik” untuk mengurangi bahaya merokok.

Selain keuntungan bagi industri farmasi, industri rokok juga mendapat keuntungan yang tidak kalah mengesankan dengan adanya isu anti rokok atau anti tembakau itu. Dengan adanya isu tersebut, banyak negara mengambil kebijakan khusus untuk industri rokok. Kebijakan yang diambil umumnya adalah meningkatkan pajak dan cukai tembakau dan melarang atau membatasi impor tembakau. Tingginya pajak dan cukai tembakau ini menjadi alasan industri rokok untuk membeli tembakau petani dengan harga murah. Sehingga industri rokok bisa mendapatkan bahan baku dengan harga yang murah dan menjualnya dengan harga yang tinggi. Dalam sebuah pertemuan perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak di bidang tembakau se-Asia di Jakarta pada tahun 2011 kemarin, salah seorang CEO dalam pidatonya mengatakan kita bisa memproduksi satu batang rokok dengan biaya 5 sen dan menjualnya dengan harga 1 dolar. Saya kira inilah yang menjadi alasan kenapa industri rokok terus mengalami peningkatan pendapatan ditengah terus menurunnya produksi tembakau.

Relevansi Dengan Perkembangan Tembakau Virginia Lombok
Pada sebagian masyarakat Pulau Lombok, utamanya di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah, tembakau bukan hanya sekedar komoditas. Bagi mereka tembakau adalah budaya, tradisi, cara pandang, cara hidup dan bisnis yang menjanjikan. Saya kira tidak berlebihan jika saya juga menyebut diri sebagai produk dari usahatani tembakau. Artinya tanpa usahatani tembakau, mungkin saya tidak akan mampu mengenyam pendidikan hingga sejauh ini. Meski sejak memasuki dunia mahasiswa saya menjadi salah seorang penganjur utama “Stop Usahatani Tembakau”, tapi saya tetap tidak bisa menutup mata pada fakta bahwa tembakau adalah tradisi dan cara hidup masyarakat di sebagian Pulau Lombok.

Pada masa 1990-an hingga awal 2000-an, tembakau menjadikan masyarakat di Pulau Lombok bertransformasi dari masyarakat miskin menjadi masyarakat kelas menengah. Secara mengesankan, tembakau mengantarkan orang-orang miskin pedalaman itu pada kehidupan baru. Tembakau bahkan disebut sebagai sarana penting untuk menunaikan ibadah Haji. Namun kondisi mulai berubah pada pertengahan dan akhir dekade 2000-an. Banyak petani mengalami kerugian dan menyebabkan terjadinya instabilitas sosial di masyarakat petani tembakau (Nurjihadi, 2011). Petani umumnya memahami fenomena ini sebagai sebuah fenomena biasa dalam berusaha dimana untung dan rugi adalah sesuatu yang wajar. Tapi luput dari pemahaman dan analisis mereka bahwa apa yang mereka alami adalah sebuah bagian dari sekenario ekonomi politik yang berlangsung secara global. Harapan petani untuk kembali menuai keuntungan pada tahun-tahun berikutnya nyatanya tidak terbukti. Mereka tetap rugi dan kian terjebak pada hutang yang tidak pernah mereka nikmati. Sebagian petani memang masih ada yang untung. Tapi sejauh pengamatan saya, keuntungan itu didapatkan karena kedekatan dengan “orang dalam” perusahaan. Dengan kata lain, nepotisme usaha menjadi hal wajib untuk bisa sukses dalam usahatani tembakau di Pulau Lombok. Kita tahu, sebagian besar petani tembakau itu adalah orang awam yang tidak punya jaringan cukup untuk bisa membuat mereka diuntungkan dalam usahatani tembakau.

Pada tanggal 21 April 2011, Harian Suara NTB mengatakan bahwa pemerintah menuntut agar produksi tembakau Virginia di Pulau Lombok terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan industri rokok nasional. Pasalnya sebagian besar kebutuhan bahan baku industri rokok nasional (yang berbahan tembakau Virginia) di impor dari luar. NTB hanya mampu mensuplai 40.000 ton tembakau Virginia setiap tahunnya dari total 180.000 ton kebutuhan nasional. Namun dalam pemberitaan di gomong.com tanggal 20 Agustus 2012 kemarin mengatakan bahwa telah terjadi over produksi tembakau Virginia di Lombok Timur. Dengan adanya isu over produksi ini, perusahaan membeli tembakau petani dengan harga murah (kalau tidak bisa disebut meminta tembakau petani secara Cuma-Cuma). Sungguh ironis, ketika NTB diminta meningkatkan produksinya karena dinilai produksi selama ini terlalu kecil, justeru ditingkat petani tersebar isu bahwa telah terjadi over produksi tembakau Virginia di Pulau Lombok. Sejatinya, tidak ada istilah over produksi. Kalaupun Lombok berhasil memproduksi tembakau lebih dari kebutuhan nasional, lebihnya itu bisa di ekspor ke luar negeri.

Tidak adanya harga dasar atau harga terendah yang ditetapkan oleh perusahaan mitra petani di Pulau Lombok membuat petani kian tersudut dan resah. Mereka harus bersedia menjual tembakau yang mereka produksi dengan tetesan keringat, air mata dan bahkan darah dengan harga yang ditetapkan secara sepihak oleh perusahaan. Sungguh tidak adil. Disaat harga rokok terus meningkat dan pasar tembakau global terus bergeliat, harga tembakau Virginia di Pulau Lombok justeru semakin jatuh. Sebagai putra sasak asli, sungguh saya merasa harga diri dan martabat saya dan masyarakat pulau Lombok telah diinjak-injak dan dihina oleh para perampok berkedok perusahaan itu. Tidak rela rasanya, derasnya keringat dan darah yang keluar untuk memproduksi tembakau dibayar hanya dengan harga seenaknya.

Kesimpulan
Pada dasarnya isu anti tembakau dan anti rokok yang sekarang sedang menggeliat merupakan bagian dari sekenario untuk mengeruk dan menumpuk kekayaan oleh segelintir orang kaya di dunia ini. Melalui perusahaan-perusahaan Multinasional Corporation (MNC), para penjajah ekonomi dunia itu menguasai dan mengeksploitasi sumber daya kita untuk kepentingan mereka. Di Indonesia, PT HM Sampoerna yang merupakan perusahaan rokok terbesar di Indonesia itu telah diakuisisi dan saham mayoritasnya telah dimiliki oleh perusahaan rokok multinasional bernama Philip Morris Internasional. Keuntungan industri rokok di Indonesia akan mereka bawa ke luar negeri untuk keperluan mereka. Dengan demikian, saat ini kita secara terang-terangan (namun kita tidak sadar) telah dijajah oleh mereka. Para petani diminta memproduksi tembakau dengan resiko yang besar, lalu mereka beli dengan harga murah dan dijual kembali dalam bentuk rokok dengan harga yang mahal.

Sampai hari ini RUU Tembakau Indonesia tak kunjung mampu diselesaikan. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan karena besarnya pengaruh lobi-lobi asing untuk membuat UU itu. Para petani dikerahkan untuk berdemonstrasi dengan alasan ekonomi kerakyatan agar membatalkan RUU itu. Pada saat yang sama, para investor atau pengusaha asing yang saya anggap sebagai perampok dan penjahat ekonomi itu tertawa melihat kebodohan kita. Nilai ekonomi tembakau mungkin memang mengesankan bagi petani tembakau. Tapi sebagaimana penjelasan diatas bahwa usahatani tembakau ini sudah tidak lagi menguntungkan secara ekonomi. Kalaupun misal usahatani tembakau masih dianggap menguntungkan, cobalah dihitung dan dianalisa kembali. Keuntungan yang didapat dari usahatani tembakau itu tidak bernilai apa-apa jika dibanding pengeluaran yang kita gunakan untuk menanggulangi dampak dari usahatani tembakau itu. Sebut saja misal secara makro pendapatan negara dari agribisnis tembakau (dengan keterkaitan/linkage ke depan dan ke belakangnya) pada tahun 2005 mencapai Rp 48 Triliun. Nilai itu tidak seberapa dengan pengeluaran untuk mengatasi dampak dari usahatani tembakau itu seperti perbaikan kondisi lingkungan, investasi biaya kesehatan masyarakat melalui Jamkesmas, membeli alat-alat kesehatan canggih nan mahal milik asing untuk mengobati penyakit sebagai dampak merokok, dan lain-lain.

Sungguh adalah sebuah kebodohan dan sebuah mental terjajah ada pada diri orang yang merokok. Dengan merokok, mereka dengan suka rela telah menghabiskan uangnya untuk memperkaya para konglomerat asing yang perampok itu dengan membeli rokok setiap hari. Setelah mereka mengalami dampak negatif dari rokok, mereka juga harus mengeluarkan uang, sekali lagi untuk memperkaya para perampok asing dengan membeli obat yang diproduksi oleh industri farmasi asing. Proses pengobatan di Rumah Sakit pun merupakan proses penyerahan harta secara Cuma-Cuma kepada para investor yang tidak lain adalah penjahat ekonomi itu. Jadi wahai seluruh rakyat Indonesia, saya mohon berhentilah merokok demi tegaknya harga diri dan keselamatan kita.

*penulis adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Desa, Institut Pertanian Bogor, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Contact: 081 805 775 723

Monday, 27 August 2012

PERBAIKAN IPM, ORIENTASI KERJA YANG KELIRU

Oleh: Muhammad Nurjihadi, SP

Masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi resah ketika tau NTB berada pada urutan 32 dari 33 provinsi di Indonesia dalam hal Human Development Indeks (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Tak pelak, isu IPM kemudian menjadi komoditas politik yang seksi pada Pilkada 2008. Semua calon mengangkat isu ini untuk meraih simpati publik, termasuk sang pemenang Pilkada TGB-Badrul Munir. Seolah terjebak pada janji-janji politiknya, TGB-BM memfokuskan diri pada program perbaikan IPM. Dicetuskannya Adono, Absano dan Akino tidak lain adalah upaya untuk memperbaiki IPM NTB. Dalam prakteknya, Pemda NTB dibawah TGB-BM terjebak pada formalitas untuk memperbaiki angka statistik IPM dan menjauh dari substansi dan semangat yang membentuk IPM itu. Akibatnya, IPM NTB tak kunjung membaik , tapi kebocoran anggaran terjadi dalam jumlah besar yang justeru merugikan daerah.

Human Development Indeks (HDI) yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mulai digunakan sebagai alat ukur kemajuan suatu negara atau wilayah sejak awal tahun 1990-an. IPM dikemukakan oleh ekonom asal India dan Pakistan bernama Amartya Sen dan Mahbub ul Haq. Sebelumnya, alat ukur kemajuan suatu negara atau wilayah menggunakan pendapatan per kapita yang dihitung dengan membagi nilai PDRB/GNP dengan jumlah total populasi di suatu wilayah atau negara. Faktanya, alat ukur pendapatan per kapita itu tidak dapat menggambarkan kondisi real masyarakat di suatu wilayah atau negara. Ketimpangan pendapatan adalah dampak nyata dari penggunaan alat ukur itu. Pendapatan perkapita yang tinggi di suatu wilayah sering kali didapatkan dari nilai kekayaan sekelompok kecil orang yang menguasai sebagian besar nilai ekonomi di wilayah itu.

Munculnya gagasan alat ukur kemajuan dengan IPM menghadirkan paradigma baru dalam proses pembangunan ekonomi suatu negara, yaitu pemerataan dan kebijakan mensejahterakan (welfare policy). Dengan alat ukur kemajuan yang baru ini diharapkan proses pembangunan di suatu negara akan menjadi lebih adil dan mensejahterakan secara substansial. IPM diukur dengan tiga indikator utama yaitu pendidikan (angka buta huruf dan lama sekolah), kesehatan (angka kematian bayi dan ibu saat melahirkan), dan ekonomi (pendapatan perkapita dan daya beli masyarakat). Sejak akhir tahun 1990-an, pengukuran IPM digunakan untuk mengetahui tingkat kemajuan provinsi di Indonesia. Sejak saat itulah orang mengetahui bahwa banyak daerah yang pendapatan perkapitanya tinggi ternyata IPMnya rendah. Papua misalnya, provinsi ini memiliki nilai PDRB yang sangat tinggi dengan jumlah populasi yang kecil sehingga pendapatan per kapitanya sangat tinggi. Tetapi ketika diukur dengan IPM, Papua menempati urutan ke 25 dari 26 provinsi pada tahun 1996. Demikian halnya dengan NTB, meski pendapatan perkapita NTB cukup tinggi, tapi ternyata setelah diukur dengan IPM, NTB menempati urutan ke 26 dari 26 provinsi pada tahun 1996 (sebelum ada pemekaran) dan urutan ke 32 dari 33 provinsi setelah pemekaran. Artinya, NTB hanya lebih baik satu tingkat jika dibanding dengan provinsi Papua.

Keterpurukan IPM NTB tidak mendapat perhatian yang berarti pada awal dekade 2000-an. Baru pada akhir dekade 2000-an, terutama menjelang Pilkada 2008, isu ini menjadi isu utama di masyarakat. Semua calon menjadikan isu IPM NTB ini sebagai alat politik untuk meraih simpati publik. Salah satu calon yang paling banyak mengangkat isu ini adalah pasangan TGB-Badrul Munir. Dalam kampanye - kampanyenya, TGB-BM tidak segan menjanjikan “pendidikan gratis dan kesehatan gratis”. Dengan perhitungan yang dianggap sudah matang, pasangan TGB-BM dengan percaya diri merasa mampu mewujudkan pendidikan dan kesehatan gratis untuk memperbaiki peringkat IPM NTB.

Setelah memenangkan Pilkada, TGB-BM segera menyusun rencana untuk menunaikan janji-janji politiknya. Secara mengesankan TGB-BM mencanangkan program-program prestisius yang bahkan mungkin tidak terpikirkan oleh para pemimpin pendahulunya di NTB. Program Adono, Absano dan Akino adalah sebuah program genius yang mampu menghidupkan harapan masyarakat NTB untuk menjadi lebih baik. Selanjutnya program itu diikuti pula dengan dicanangkannya program-program penting dibidang ekonomi seperti Bumi Sejuta Sapi (BSS), Sapi Jagung dan Rumput Laut (PIJAR), Sarjana Masuk Desa (SMD), Visit Lombok-Sumbawa 2012, dan lain-lain. Semua program itu harus diakui menjadi daya ungkit semangat dan mendorong meningkatnya aktifitas ekonomi masyarakat NTB.

Dalam prakteknya, pemerintahan TGB-BM nampaknya terjebak pada upaya perbaikan IPM dalam waktu singkat. Para birokrat yang membantu kerja pemerintahan TGB-BM dengan percaya diri merasa mampu memperbaiki IPM NTB setidaknya sampai pada urutan ke 21 pada akhir kepemimpinan TGB. Sebagai upaya untuk mewujudkan itu, Pemda NTB mengeluarkan dana secara besar-besaran. Untuk keperluan pemberantasan buta aksara misalnya, pemerintah bahkan bersedia membayar para penyandang buta aksara yang kebanyakan adalah para orang tua yang tidak produktif lagi agar mau belajar membaca. Harapannya, angka buta aksara yang menjadi momok dan penyebab utama keterpurukan IPM NTB dapat dikurangi dan dengan cepat mampu meningkatkan IPM NTB. Dalam perjalanannya, program ini digoyang isu korupsi yang dilakukan petugas di lapangan. Selain itu, untuk mengurangi angka kematian ibu saat melahirkan yang menjadi salah satu alat ukur penting IPM, Pemda juga memcanangkan program biaya persalinan gratis untuk keluarga miskin. Tidak ada yang salah dengan semua program jangka pendek itu. Tetapi berfokus pada program jangka pendek untuk keperluan “formalitas” perbaikan IPM itu dapat melalaikan kita dari program substansial jangka menengah.

Data yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sampai hari ini NTB masih berada pada urutan ke 32 dari 33 Provinsi. NTB hanya menang dari provinsi Papua. Data ini menunjukkan bahwa orientasi kerja pemerintah yang berfokus pada formalitas perbaikan IPM tidak bermanfaat sama sekali. Disamping gagal memperbaiki IPM NTB, program-program formalitas itu menghabiskan dana dalam jumlah besar. Program-program itu terkesan tidak memiliki prioritas yang jelas selain hanya ingin memperbaiki IPM NTB secara formalitas belaka, tidak menyentuh unsur pembentuk IPM secara substansial. Pengentasan buta aksara misalnya yang memakan biaya hingga lebih dari Rp 39 Miliar (Suara NTB, 23 september 2011) dilakukan dengan pendekatan membayar untuk belajar. Seandainya dana sebesar itu digunakan untuk mengentaskan buta aksara dengan pendekatan produktif seperti memfasilitasi pembentukan kelompok usaha mikro yang juga digunakan untuk mengajarkan membaca dan menulis, itu akan memiliki dampak ganda, memperbaiki kesejahteraan dan kemandirian di satu sisi dan memberantas buta aksara di sisi lain.

Pengukuran IPM memang di setting oleh pencetusnya untuk keperluan pembangunan yang adil dan hanya dapat diraih dalam jangka menengah atau panjang. Penggunaan indikator lama sekolah dan angka melek huruf misalnya, tentu hanya bisa diwujudkan dalam waktu yang panjang, tidak dalam waktu dua atau tiga tahun. Sebab pendidikan formal memang hanya bisa ditempuh dalam waktu yang panjang, setidaknya 10-15 tahun. Dengan demikian, kebijakan Pemda untuk memperbaiki IPM NTB seharusnya difokuskan pada upaya untuk mensukseskan program wajib belajar 12 tahun misalnya yang diikuti dengan program pengentasan buta aksara dengan pendekatan produktif.

Mengharap hasil instan dari suatu program adalah kekeliruan. Kita sepakat untuk memperbaiki IPM NTB, tetapi memaksa untuk mewujudkannya dalam waktu pendek dengan berfokus pada program-program jangka pendek bisa menjebak kita pada formalitas yang jauh dari substansi. Program-program jangka pendek adalah penting, tapi berfokus pada program jangka pendek itu dan mengabaikan program jangka menengah dan panjang adalah kontraproduktif dengan tujuan kita untuk mensejahterakan masyarakat. Kita belajar dari pengalaman di NTB, terlalu banyak menghabiskan energi untuk program jangka pendek demi membangun citra positif bahwa sang gubernur berhasil memperbaiki IPM ternyata gagal mewujudkan visi itu. Tapi memang apa yang dilakukan oleh pemerintahan TGB-BM adalah gejala normal dan wajar dimana semua kepala daerah juga akan melakukan hal yang sama demi membangun citra positif pemerintahannya. Tapi sadar atau tidak, kebiasaan kita yang formalitas itu akan menjauhkan kita dari substansi dan semangat pengukuran IPM yaitu peningkatan kesejahteraan yang adil dan merata. Nilai Indeks Pembangunan Manusia yang baik sejatinya merupakan "penghargaan" karena keberhasilan mensejahterakan rakyat. Jadi jangan mengharapkan penghargaan jika belum berhasil mensejahterakan masyarakat. Pemerintah daerah harus berfokus pada kerja peningkatan kesejahteraan ini dengan indikator utama pendidikan, kesehatan dan ekonomi dan menutup mata pada rangking atau peringkat IPM untuk sementara, biarlah peringkat IPM itu menjadi hadiah atau penghargaan atas kemampuan Pemda meningkatkan kesejahteraan rakyat. Jangan terjebak pada formalitas statistik perbaikan IPM, tapi fokuskan kerja pada peningkatan kesejahteraan secara substansial.

*penulis adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Desa, Institut Pertanian Bogor. Contact: 081 805 775 723

Sunday, 26 August 2012

MENAKAR MANFAAT DAN MUDHARAT USAHATANI TEMBAKAU VIRGINIA LOMBOK

Oleh: Muhammad Nurjihadi, SP*

Usahatani tembakau di Pulau Lombok, utamanya di kabupaten Lombok Timur telah berubah menjadi tradisi. Pada awal kemuncululannya, usahatani ini membawa berkah dan harapan untuk petani, tapi kini usahatani tembakau Virginia di Pulau Lombok tidak lebih dari sekedar tradisi yang mengancam eksistensi. Bisnis rakyat ini tidak lagi menguntungkan secara ekonomi, sosial maupun lingkungan. Usahatani ini menguuras energi dan mengeksploitasi seluruh sumber daya yang kita punya tanpa hasil yang layak.

Tembakau mulai masuk di Pulau Lombok sejak awal tahun 1960-an. Namun baru menemukan momentum terbaiknya pada awal dekade 1990-an. Menjamurnya perusahaan-perusahaan pengumpul dan distributor hasil tembakau yang kemudian bermitra dengan petani untuk mengembangkan usahatani tembakau Virginia telah mendorong perkembangan usahatani ini dengan pesat. Perkembangannya menjadi semakin massif karena mendapat dukungan dari pemerintah dengan adanya program Intensifikasi Tembakau Virginia pada akhir 1980-an.

Berbagai studi tentang dampak perkembangan usahatani tembakau Virginia di Pulau Lombok menunjukkan bahwa usaha rakyat ini mampu meningkatkan pendapatan masyarakat secara signifikan. Nurjihadi (2011) bahkan menyebutkan berkembangnya usahatani tembakau Virginia di Pulau Lombok, terutama di Kabupaten Lombok Timur telah mampu merubah wajah masyarakat desa yang identik dengan kemiskinan kolektif menjadi masyarakat ekonomi menengah yang oportunis dan individualis. Peningkatan pendapatan ini kemudian berpengaruh positif pada tingkat pendidikan, akses terhadap layanan kesehatan, kepemilikan rumah dan asset lainnya. Lebih jauh, peningkatan pendapatan kolektif masyarakat ini juga mendorong tumbuhnya sektor-sektor ekonomi yang lain mengingat semakin meningkatnya daya beli masyarakat.

Keberhasilan demi keberhasilan yang diperoleh petani tembakau membuat mereka bergantung pada usahatani ini. Keberhasilan itu juga menginspirasi dan mendorong orang lain untuk ikut mengusahakan usahatani tembakau Virginia. Dari tahun ke tahun jumlah petani yang bermitra dengan perusahaan terus meningkat. Luas areal tanam, jumlah oven dan kapasitas produksi pun terus mengalami peningkatan. Data menunjukkan luas areal tanam tembakau di Pulau Lombok mencapai sekitar 25.000 Ha yang diomprong dengan sekitar 15.000 unit oven tembakau. Rata-rata hasil yang diperoleh setiap tahunnya adalah sekitar 40 ribu ton tembakau omprongan.

Pengembangan usahatani tembakau memang selalu menjadi dilema. Pendapatan dan kesejahteraan petani di satu sisi selalu berlawanan dengan dampak kesehatan yang ditimbulkannya pada sisi lain. Khusus untuk kasus pengembangan tembakau Virginia di Pulau Lombok, dilema itu tidak hanya menyangkaut pendapatan petani Vs aspek kesehatan masyarakat, tapi juga antara pendapatan petani Vs keberlangsungan hidup (life sustainability). Keberlanjutan (sustainability) diartikan sebagai upaya untuk menjaga hak-hak generasi yang akan datang untuk bisa hidup dengan layak atas dasar warisan sosial, budaya dan lingkungan yang ditinggalkan generasi saat ini. Secara sosial, usahatani tembakau secara nyata telah menyebabkan runtuhnya nilai-nilai sosial kolektif yang ada di masyarakat. Gotong royong dan semangat kebersamaan yang menjadi ciri khas masyarakat desa (terutama petani) sudah sulit ditemukan pada petani tembakau. Dalam beberapa kasus, usahatani ini justeru melahirkan instabilitas sosial seperti konflik dan kriminalitas. Studi yang saya lakukan menunjukkan bahwa konflik sering disebabkan karena adanya perkara hutang-piutang yang menjadi “tradisi” dalam berusahatani tembakau. Sementara kriminalitas muncul akhir-akhir ini sebagai respon dari kerugian besar yang dialami petani. Konflik dan kriminalitas tentu merupakan ancaman untuk generasi yang akan datang.

Setelah ditelurusuri lebih jauh, penurunan pendapatan petani pada usahatani tembakau Virginia di Pulau Lombok disebabkan karena setidaknya dua hal, pertama meningkatnya biaya produksi omprongan tembakau setelah dicabutnya subsidi minyak tanah dan kedua menurunnya kualitas hasil omprongan karena bahan bakar yang kurang baik ataupun karena cuaca dan kualitas tanah yang sudah tidak begitu baik. Dalam sedikit kasus yang lain, bahkan ada petani yang sampai bunuh diri karena dililit hutang yang terlalu besar pada saat mengusahakan usahatani tembakau. Dengan demikian, dari sudut pandang sosiologis, saya menyimpulkan bahwa usahatani tembakau sudah menjadi ancaman serius bagi masyarakat. Bagaimana tidak, disaat masyarakat sudah tidak memiliki ikatan sosiologis yang cukup kuat seperti dulu, masyarakat harus dihadapkan pula pada fakta kemiskinan dan ketidakramahan harga jual tembakau. Jika dulu kemiskinan direspon masyarakat desa dengan kolektifitas dan gotong royong, maka sekarang kemiskinan itu direspon dengan kriminalitas sebab kebersamaan dan gotong royong mereka sudah dicabik-cabik oleh budaya oportunis dan individualis yang tumbuh subur di masyarakat desa.

Disamping itu, kita juga perlu mentelaah aspek keberlanjutan (sustainability) dari sudut pandang lingkungan. Dulu, pengomprongan tembakau dilakukan dengan bahan bakar minyak yang disubsidi pemerintah. Pada satu sisi kebijakan ini sangat membantu petani karena dengan bahan bakar minyak yang disubsidi, biaya produksi menjadi rendah dan kualitas hasil omprongan menjadi lebih baik. Tapi pada sisi lain, kita dihadapkan pada fakta kelangkaan energi. Dengan alasan itu, pemerintah kemudian mencabut subsidi minyak tanah untuk keperluan omprongan tembakau. Lagipula, bisnis seperti tembakau sesungguhnya “tidak layak” mendapat subsidi pemerintah, bukan hanya karena dampak negatifnya, tapi juga karena sifat komoditas tembakau yang merupakan komoditas komersil (High Value Commodity), bukan komoditas pangan yang menjadi kebutuhan dasar (basic need) masyarakat.

Sebagai alternatif, Pemerintah Daerah NTB kemudian mengintruksikan penggunaan batu bara dan kayu bakar untuk mengomprong tembakau (Pergub NTB No.79 A/tahun 2008). Untuk keperluan ini, pemerintah daerah bahkan bersedia untuk membantu proses konversi dengan memberikan subsidi modifikasi oven. Kebijakan ini bagi saya adalah sebuah kekonyolan. Beban biaya konversi seharusnya ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan mitra, bukan oleh pemerintah, sebab yang mendapat manfaat paling banyak dari program ini adalah perusahaan-perusahaan itu, bukan petani.

Konversi bahan bakar untuk omprongan tembakau dari minyak tanah ke batu bara membawa masalah lain. Pencemaran udara yang berdampak kepada kesehatan masyarakat tidak dapat dihindarkan. Petani pengomprong tentu menjadi pihak yang paling dirugikan dengan kondisi ini. Sebab petani pengomprong adalah orang yang berinteraksi langsung dengan batu bara itu. Sementara itu, perusahaan seolah tidak mau ambil pusing dan hanya ingin mengambil untung. Bukan hanya menimbulkan masalah kesehatan, penggunaan batu bara juga menyebabkan menurunnya kualitas hasil omprongan tembakau, akibatnya perusahaan membeli tembakau omprongan petani dengan harga murah. Disinilah anehnya, ketika petani pengomprong dihadapkan pada resiko yang lebih besar, mereka justeru mendapatkan hasil yang lebih kecil.

Selanjutnya, konversi dilakukan ke kayu bakar. Masalah kesehatan mungkin tidak lagi separah ketika menggunakan batu bara, namun dampak lain dari penggunaan kayu bakar adalah peningkatan aktifitas fisik dan resiko kebakaran. Hasil omprongan masih tetap tidak berpihak pada petani pengomprong. Sekali lagi, ketika resiko semakin besar, penghasilan justeru semakin kecil. Selain itu, data menunjukkan bahwa untuk mengomprong tembakau dengan sekitar 15.ooo oven tembakau yang ada di Pulau Lombok dibutuhkan sekitar 50.500 meter kubik kayu bakar atau sekitar 43.000 pohon untuk satu kali omprongan (Media Indonesia, 8 Agustus 2012). Jika dalam satu musim tanam tembakau pengomprongan dilakukan 4-6 kali, maka dalam satu musim tanam, dibutuhkan 200.000 – 300.000 meter kubik kayu atau 120.000 – 230.000 pohon. Dari mana mendapatkan kayu sebanyak itu ? Dalam 3-5 tahun kedepan, hutan di Lombok akan habis untuk keperluan pengomprongan tembakau. Kita tau apa dampak dari ketiadaan hutan dalam suatu wilayah. Bencana mengintai kita. Itulah masa depan generasi yang akan datang (anak cucu kita) jika kondisi ini tidak segera kita perbaiki.

Kita tidak bisa menyalahkan petani pengomprong. Biar bagaimanapun, mereka sedang berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Bagi saya, perusahaan mitra adalah pihak yang paling bertanggungjawab untuk masalah ini. Tembakau sebagai komoditas komersil (High Value Commodity) seharusnya dihargai secara layak oleh perusahaan. Menurut hemat saya, petani pengomprong sebetulnya masih tetap bisa menggunakan bahan bakar minyak tanah asalkan hasil omprongannya dibeli dengan harga yang layak dan menguntungkan petani oleh perusahaan. Untuk mendapatkan untung, perusahaan dapat menjualnya dengan harga yang lebih tinggi ke produsen rokok dan produsen rokok pun bisa mendapat keuntungan dengan meningkatkan harga jual rokoknya. Dengan demikian, siklus ekonomi dalam usahatani tembakau akan berlangsung secara normal dan wajar serta disisi lain mampu mengurangi resiko kesehatan akibat budaya merokok. Bukankah dengan harga rokok yang tinggi setidaknya akan membuat para perokok berhemat dalam belanja rokok. Namun langkah ini harus diikuti dengan political will yang memihak dari pemerintah pusat maupun daerah. Konsep diatas tidak mungkin terwujud jika harga tembakau Virginia impor lebih rendah daripada harga tembakau Virginia Lombok. Maka untuk keperluan itu perlu diberlakukan kebijakan peningkatan bea masuk tembakau. Dengan demikian, tembakau Virginia Lombok masih dapat bersaing dengan tembakau Virginia impor. Kita harus menyelamatkan masyarakat petani tembakau di Pulau Lombok dari ancaman sosial dan lingkungan. Usahatani tembakau ini menjadi tradisi karena masyarakat menjadi sangat tergantung pada usahatani ini, seolah tidak ada alternatif ekonomi lain yang lebih menguntungkan dari tembakau. Usahatani tembakau menjadi ancaman eksistensi karena telah menunjukkan gejala yang negatif pada aspek sosiologis dan lingkungan yang dapat mengancam generasi yang akan datang.

*penulis adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Desa, Institut Pertanian Bogor, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Contact: 081 805 775 723

Friday, 20 July 2012

MELURUSKAN PERSEPSI TENTANG SEJARAH NASIONAL INDONESIA

Oleh: Muhammad Nurjihadi

Bagaimana Indonesia bisa terbentuk dengan luas wilayah yang begitu besar dan dengan dihuni oleh ratusan suku bangsa yang berbeda bahasa, budaya dan agama..??

Pertanyaan sederhana itu membuat saya haus akan referensi sejarah keindonesiaan kita. Saya mencoba mencari buku-buku teks sejarah yang bisa menjelaskan tentang itu. Dalam kurikulum sejarah di sekolah-sekolah dan dalam beberapa buku sejarah lainnya saya menemukan jawaban bahwa terbentuknya Indonesia yang kita kenal sekarang berawal dari penjajahan barat atas Nusantara Indonesia. Penguasaan Belanda atas hampir semua suku bangsa di Nusantara Indonesia di masa lalu diyakini melahirkan perasaan senasib sepenanggungan yang kemudian melahirkan kesadaran nasional untuk berjuang meraih kemerdekaan. Dalam Diorama Monumen Nasional Indonesia bahkan menuliskan dengan jelas bahwa Kristen Katolik dan Protestan yang dibawa para imprialis barat menjadi sumber perekat dan pemersatu nasional Indonesia. Dengan kata lain, hadirnya penjajah kerajaan protestan Belanda mendatangkan manfaat besar buat kita yang dalam perjalanannya melahirkan Indonesia modern. Benarkah demikian..??

Satu fakta yang tidak bisa dibantah adalah semua literatur yang menyatakan seperti itu selalu mengambil referensi dari sejarawan Belanda bernama Snouck Hurgronje, DH.Burger, dll. Fakta ini membuat saya ragu akan kebenarannya. Bukankah tulisan-tulisan dari para pemikir penjajah Kerajaan Protestan Belanda itu selalu dilatarbelakangi oleh kepentingan hegemoni ?. Disamping itu, terlalu banyak hal yang rancu dari penjelasan sejarah diatas. Pada masa perang kemerdekaan, tidak semua wilayah NKRI (sekarang) berjuang untuk membebaskan Indonesia dengan batas territorial seperti sekarang. Kesultanan Bima, Aceh, Banjar, Tidore, Goa, dan bahkan Kesultanan Jogjakarta sekalipun berjuang untuk membebaskan wilayah territorial mereka masing-masing, bukan untuk mewujudkan Indonesia seperti yang kita kenal sekarang. Bahkan beberapa kerajaan lokal harus dilobi intensif oleh pemerintah republik setelah proklamasi kemerdekaan dilakukan. Aceh, Jogjakarta dan Bima serta banyak kerajaan lainnya bergabung ke dalam wilayah politik Republik Indonesia pasca kemerdekaan, bukan pada masa pra kemerdekaan. Dengan fakta sejarah ini, dapat dijelaskan bahwa perjuangan kemerdekaan tidak sepenuhnya ditujukan untuk membentuk Indonesia, tapi sekedar untuk memerdekakan dan mempertahankan eksistensi kerajaan lokal. Jogjakarta bahkan mengajukan syarat khusus jika pemerintah republik ingin menjadikannya bagian dari wilayah republik.

Saya meyakini bahwa tujuan dari penulisan sejarah seperti diatas oleh para sejarawan Belanda ditujukan untuk menampilkan sisi positif dari kolonialisme Belanda. Mereka ingin meyakinkan kita bahwa persatuan dan kesatuan Indonesia tidak akan terbentuk jika mereka tidak datang untuk menjajah kita. Sekarang mari kita baca realitas sejarah kita yang sesungguhnya. Ketika Portugis masuk ke wilayah Indonesia pada abad ke 16, wilayah-wilayah di Indonesia saat itu sedang mengalami kebangkitan kesadaran intelektual dan spiritual. Abad ke 15 dicirikan dengan lahirnya kesultanan-kesultanan Islam di beberapa wilayah Indonesia. Dimulai dari terjadinya islamisasi di kalangan istana Kerajaan Pakoean Padjadjaran dibawah pimpinan Praboe Siliwangi. Islamisasi di kerajaan yang terletak di Jawa Barat ini memberikan dampak yang besar pada masa berikutnya. Dari keturunan Praboe Siliwangi, dibentuk wilayah-wilayah kekuasaan Islam lainnya dengan membentuk kesultanan Cirebon, dan selanjutnya kesultanan Demak, Djajakarta dan Banten. Salah satu keturunan dari Praboe Siliwangi ini adalah Sjarif Hidajatullah atau Soenan Goenoeng Djati, salah satu dari Wali Sanga yang berpengaruh.

Sebelum berkembangnya Islam di Jawa bagian barat, Islam sudah terlebih dahulu membentuk kekuasaan politik di Pulau Sumatra. Pada abad ke 9 berdiri kerajaan Samudra Pasai di Aceh yang waktunya bersamaan dengan masa kejayaan Kerajaan Sriwidjaja di Sumatra Bagian Selatan. Selain itu, di Gresik, Jawa Timur pada abad ke 11 juga telah melahirkan kekuasaan Politik Islam Leran Gresik yang waktunya bersamaan dengan masa berkembangnya kerajaan Majapahit di Terowulan. Lahirnya kesultanan-kesultanan Islam setelah islamisasi keradjaan pakoean padjadjaran memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan Islam di Nusantara Indonesia. Satu persatu keradjaan-keradjaan Hindoe Buddha yang tersisa berkonversi menjadi kesultanan Islam atas prakarsa rajanya sendiri (dimulai dengan masuk islamnya raja). Islamisasi ini bahkan terjadi sampai jauh ke daerah timur: kerajaan Goa dan talo di Sulawesi Selatan, Kerajaan Bima dan Sumbawa di NTB, kerjaan Ternate, tidore serta Ambon di Maluku. Juga ke wilayah utara, di Pontianak, Kutai Karta Negara, bahkan hingga Brunei Darussalam. Lalu ke bagian barat sampai ke wilayah kerajaan Singapoera, Kelantan dan beberapa kerajaan di Pulau Sumatra. Ditengah geliat islamisasi Nusantara inilah para penjajah barat datang dengan misi “deislamisasi” dan penguasaan sumber daya alam. Jangan lupa, imprialisme barat lahir dari “perintah vatikan” pada abad ke-15 sebagai bagian dari strategi perang salib dalam bentuk lain.

Mari kita mencoba menganalisis perjalanan sejarah jika seandainya imperialisme barat tidak masuk ke Nusantara Indonesia (meskipun sebenarnya berandai-andai itu tidak baik, menyalahi takdir, tapi saya hanya ingin menganalisa perjalanan sejarah). Mengingat massifnya proses islamisasi di Nusantara Indonesia pada abad pertengahan yang dilakukan secara sukarela, tidak dengan paksaan apalagi perang, maka bisa jadi seluruh kerajaan Islam itu akan menghimpun diri ke dalam sebuah satuan politik yang besar dibawah naungan Khilafah Islamiyah yang wilayah kekuasaannya meliputi seluruh Indonesia sekarang, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Bahkan bisa jadi jika satuan politik islam yang besar ini melakukan ekspansi ke wilayah lainnya akan termasuk pula seluruh Asia Tenggara ke dalam wilayah negara islam ini. Dengan demikian, kesimpulan yang menyatakan nasionalisme Indenesia lahir dari perasaan senasib sepenanggungan karena dijajah Belanda adalah salah. Persatuan kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara itu sesungguhnya lahir dari pengaruh Islam. Islam sudah menghimpun hati rakyat Nusantara dan membuatnya merasa menjadi bangsa yang satu. Tapi kemudian penjajahan barat datang untuk memecah belah persatuan itu. Jadi, realitas sejarah yang sesungguhnya adalah “Islam menjadi pemersatu nasional bahkan lintas nasional, sedangkan imprialisme barat dengan misi deislamisasinya menjadi pemecah belah persatuan Nusantara”.