Teori pertumbuhan pertama di dunia ini digagas oleh Thomas Robert Malthus (1798) melalui teorinya yang terkenal yaitu population trap theory dan David Ricardo dengan teorinya the comparative advantage theory (Snooks dalam Suroyo, 2008). Teori population trap Malthus menjelaskan tentang tidak seimbangnya pertumbuhan populasi dengan pertumbuhan produksi pangan. Malthus menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur (geometric progression, dari 2 ke 4,8,16,32,64, dst) sementara pertumbuhan produksi pangan mengikuti deret ukur (arithmetic progression, dari 2 ke 4,6,8,10,12,14,dst). Oleh karenanya Malthus menilai bahwa pertumbuhan penduduk yang pesat dan tidak diimbangi oleh pertumbuhan produksi pangan itu sebagai sebuah jebakan yang mengancam kehidupan ummat manusia (Indrayani, 2010).
Banyak kritik terhadap teori Malthus itu karena dianggap mengabaikan variabel teknologi dan inovasi. Hayami dan Ruttan (1971) dalam Rustiadi (2011) misalnya, keduanya merumuskan sebuah model sebagai kritik terhadap teori Malthus itu. Dengan optimis Ruttan dan Hayami memperkenalkan induce innovation model sebagai jawaban dari teori psimis population trap Malthus. Dengan model ini, Hayami dan Ruttan menyatakan bahwa pengembangan wilayah atau negara mau tidak mau memang harus memanfaatkan sumber daya yang tersedia di alam. Meskipun suatu saat ketersediaan sumber daya alam akan mencapai batas minimal karena eksploitasi manusia, Ruttan dan Hayami meyakini bahwa kondisi itu justeru akan membuat manusia semakin terangsang untuk berinovasi dan menciptakan teknologi baru untuk merespon kondisi itu. Dalam konteks ini, jumlah modal yang sudah terakumulasi akan dimanfaatkan manusia untuk pengembangan teknologi-teknologi alternatif.
Teori-teori pertumbuhan mengalami perkembangan pesat pada abad ke 20. Pasca terjadinya great depression pada tahun 1930-an, banyak teori-teori pertumbuhan baru yang muncul (Suroyo, 2008). Diantaranya adalah teori yang dikembangkan oleh dua ekonom pasca pasca Keynes yaitu Sir Roy F. Harrod dari Inggris dan Evsey D. Domar dari Amerika Serikat. Domar mengemukan modelnya pertama kali pada tahun 1947 dalam American Economi Review, sedangkan Harrod pada tahun 1939 dalam Economic Journal. Model ini sebenarnya dikembangkan secara terpisah, tetapi karena inti kedua pemikiran mereka sama maka digabungkan menjadi satu yang terkenal dengan Model Harrod-Domar (Assegaf, 2008).
Todaro dan Smith (2006) menjelaskan prinsip model Harrod-Domar ini secara sederhana sebagai berikut:
Tabungan (S) merupakan bagian dalam jumlah tertentu (s) dari pendapatan nasional (Y). dimana s merupakan rasio antara tabungan (S) dan pendapatan nasional (Y). Jika dibuat dalam bentuk persamaan, maka:
s = S/Y .....>> JADI S = sY (pers.1)
Investasi (I) adalah perubahan stok modal (K) atau sama dengan ΔK, sehingga:
I = ΔK (pers.2)
Tapi karena jumlah stok modal K mempunyai hubungan langsung dengan pendapatan nasional Y yang digambarkan dengan rasio modal-output (k), maka:
K/Y = k atau ΔK/ΔY=k....>> JADI ΔK=kΔY (pers.3)
Karena tabungan nasional neto (S) harus sama dengan investasi neto (I), maka:
I = ΔK = kΔY (pers.4)
Jadi, kita dapat menuliskan bahwa tabungan sama dengan investasi:
S = sY = kΔY = ΔK = I ....>> JADI sY=kΔY (pers.5)
Selanjutnya, jika persamaan (pers.5) dibagi dalam dua proses, proses pertama dibagi dengan Y, dan pada proses ke dua dibagi dengan k, maka dihasilkan:
ΔY/Y = s/k (pers.6)
Perhatikan sisi kiri dari persamaan (pers.6), ΔY/Y sesungguhnya merupakan tingkat perubahan GDP atau dengan kata lain tingkat pertumbuhan GDP (persentase pertumbuhan GDP).
Persamaan (pers.6) yang merupakan versi sederhana dari persamaan terkenal dalam teori pertumbuhan Harrod-Domar menggambarkan bahwa tingkat pertumbuhan GDP (ΔY/Y) ditentukan oleh rasio tabungan terhadap pendapatan nasional (s) dan rasio modal terhadap pendapatan nasional (k). Semakin tinggi tabungan yang artinya semakin tinggi pula rasio tabungan terhadap pendapatan nasional, maka semakin tinggi pula pertumbuhan GDP suatu negara. Sementara semakin tinggi rasio modal terhadap output nasional (k) justeru dapat menyebabkan pertumbuhan GDP suatu negara menjadi rendah. Dalam kalimat sederhana dapat dikatakan bahwa prinsip dasar model Harrod-Domar ini adalah “pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada tingkat tabungan (saving)”.
Sebagaimana teori Malthus yang mendapat banyak kritikan, model Harrod-Domar inipun tidak sepi dari kritik. Bahkan kritik itu juga datang dari Todaro (2006) yang menyatakan bahwa tingkat tabungan atau investasi dalam jumlah banyak saja belum mampu memenuhi syarat cukup (sufficient condition) untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Selain tabungan, banyak hal lain yang diperlukan sebagai syarat cukup untuk memacu pertumbuhan ekonomi seperti syarat-syarat struktural, institusional dan sikap-sikap masyarakatnya (misal tersedianya pasar-pasar komoditas dan pasar uang yang sudah terintegrasi dengan baik, tersedianya infrastruktur yang memadai, tenaga kerja yang terdidik dan terlatih dengan baik, motivasi untuk berhasil serta birokrasi pemerintah yang efisien). Kisah sukses projek Marshall Plan di Eropa tidak bisa dijadikan rujukan untuk menerapkan hal serupa di tempat lain. Sebab kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakatnya berbeda. Kiranya inilah yang menjadi alasan gagalnya program bantuan besar-besaran ke philipina pasca perang dunia II.
Pendapat Todaro dan Smith diatas sedikit tidak memiliki kesamaan ide dengan Boeke yang mengembangkan teori dualisme ekonomi. Meski teori Boeke dikembangkan jauh sebelum Todaro, tapi ide dasarnya adalah dualisme ekonomi yang diberlakukan pemerintah kolonial pada daerah jajahannya bertentangan dengan struktur sosial dan budaya masyarakat pribumi sehingga menyebabkan gagalnya pembangunan ekonomi di daerah jajahan. Boeke yang meneliti perekonomian pribumi Hindia Belanda (Indonesia pra merdeka) berhasil membuktikan bahwa motivasi ekonomi masyarakat pribumi Hindia Belanda lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sosial, bukan pemenuhan kebutuhan individu. Namun tidak berarti bahwa penduduk pribumi tidak memiliki kepekaan atau rangsangan terhadap pasar. Buktinya, ketika terjadi great depression pada tahun 1930-an, industri kerajinan masyarakat pribumi justeru mengalami kebangkitan dan tumbuh secara mengesankan. Para sarjana Belanda kala itu menilai bahwa praktek ekonomi masyarakat pribumi itu tradisional dan tidak peka terhadap pasar sehingga perlu di modernisasi dengan penerapan sistem ekonomi kapitalis. Inilah yang disebut Boeke sebagai dualisme ekonomi, pemberlakuan ekonomi kapitalis di satu sisi berbenturan langsung dengan perekonomian pribumi yang lebih moralis dan sosialis yang dituding Boeke sebagai penyebab gagalnya pemerintah kolonial membangun perekonomian pribumi (Rahardjo, 2011).
Kritik lain juga datang dari seorang ekonom bernama L.G.Bustedo yang mengatakan bahwa permintaan konsumen akhir adalah syarat yang tak bisa ditawar bagi produksi. Bustedo menjelaskan bahwa pandangan yang mendukung peningkatan tabungan (saving) untuk memacu pertumbuhan ekonomi adalah “bukan hanya tidak alami tapi juga mustahil”. Menurutnya, memaksimalkan tabungan hanya akan menurunkan daya beli umum untuk keperluan konsumsi yang dapat menyebabkan penurunan permintaan barang dan akhirnya membuat tidak bergairahnya produksi meskipun jumlah tabungan tersedia dalam jumlah banyak. Artinya uang yang ditabung itu tidak akan terpakai. Jadi menurut Bustedo, yang perlu dimaksimalkan adalah jumlah total permintaan akhir dengan memaksimalkan konsumsi, bukan dengan meningkatkan tabungan (Skousen, 2006).
Bustedo sebenarnya ekonom yang lahir jauh sebelum teori Harrod-Domar dipublikasikan. Kritik yang ia sampaikan ini adalah kritik yang ditujukan kepada Eugen Bohm Bawerk (1851-1914) yang juga menjadi penganjur kenaikan tingkat tabungan untuk mencapai tingkat kemakmuran universal dan pertumbuhan ekonomi. Gagasan itu disampaikan Bohm Bawerk pada bukunya yang terbit tahun 1891 berjudul The Positive Theory of Capital (Skousen, 2006). Jadi dapat disimpulkan bahwa teori Harrod-Domar sebenarnya hanya mengulang dan memodifikasi teori Bohm Bawerk.
Terlepas dari semua kritik itu, pemikiran Harrod-Domar layak di apresiasi. Pembangunan ekonomi suatu negara memang tidak akan bisa dilakukan tanpa adanya tabungan untuk investasi. Tapi memang benar apa yang disampaikan Todaro dan Smith (2006) bahwa itu belum memenuhi syarat kecukupan untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Dibutuhkan syarat lain seperti kondisi infrastruktur, Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik serta kondisi sosial budaya yang mendukung. Namun bukan berarti pula memaksakan suatu negara untuk merubah sikap sosial dan budayanya untuk keperluan penerapan teori Harrod-Domar itu. Justeru yang harus dilakukan adalah memodifikasi teori Harrod-Domar agar sesuai dengan kondisi sosial budaya di suatu negara (kearifan lokal). Semisal untuk kasus di Indonesia, meminjam istilah Boeke dalam Rahardjo (2011) yang mengatakan bahwa dalam koperasi terdapat kesejajaran antara prinsip cooperative dengan nilai gotong-royong atau tolong menolong yang menjadi ciri khas masyarakat pribumi Indonesia. Oleh karenanya, konsep Harrod-Domar jika ingin diterapkan di Indonesia hendaknya dikembangkan dengan model koperasi ala Boeke.
Teori pertumbuhan pada abad ke 20 tidak hanya datang dari Harrod-Domar, beberapa teori lain yang berkembang adalah teori pertumbuhan Rostow yang merupakan teori pertumbuhan linier, sama seperti teori Harrod-Domar. Disamping itu ada juga teori pertumbuhan neo klasik yang dikategorikan Todaro sebagai teori strukturalis seperti Dudley Seers, Gunnar Myrdal, Arthur Lewis, Hollis Chenery, Theodonia Dos Santos dan Raoul Prebisch. Namun teori-teori itu tidak dibahas dalam tulisan ini.
Referensi:
Assegaf, Ridho. 2008. Teori-Teori Pembangunan. http://ridhoassegaf.blogspot.com/2008/12/teori-teori-pembangunan.html
Indrayani, Agnes RA.2010.Ketahanan Pangan Nasional dan Teori Population Trap. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Vol I, No. 1
Rahardjo, M Dawam.2011. Nalar Ekonomi Politik Indonesia. IPB Press. Bogor
Rustiadi at al.2011.Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Crespent Press YOI. Jakarta
Skousen, Mark.2006. Sang Maestro Teori-Teori Ekonomi Modern. Prenada Media. Jakarta
Suroyo.2008. Peran Sektor Publik Dalam Akumulasi Human Capital Dan Kapasitas Research & Development (in contect of understanding the source of growth). FEUI
Todaro and Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi Jilid 1 Edisi Ke Sembilan.Erlangga.Jakarta
2 comments:
makaih informasinya cz dh bia mengeposkan isi blog ini.
terima kasih atas materinya pak, sangat mmembantu.. :)
Post a Comment