Saturday, 22 December 2012

FUTURE TAIWAN-ASEAN RELATIONSHIP, BLESSING OR DISASTER : THEORETICAL ANALYSIS

an Abstract of Paper
BY. Muhammad Nurjihadi

Political status of Taiwan was not clear until now. People’s Republic of China claimed that Taiwan is one of those regions. But in the other side, Taiwan claimed that they are an independent country. Because of China’s economic performance, most countries in the world give their support to China about this conflict. Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) are also give their support to China. More than a support, ASEAN and China make a good relationship in economic with China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA). Moreover, ASEAN also make a good relationship with some East Asian countries like Japan and South Korea. They call it ASEAN+3. This relationship make Taiwan become a marginalized country in the region.

More than marginalized, ASEAN bilateral relationship with other countries in the region make Taiwan suffered economic losses because of increasing transaction cost for accessing international market. This condition encourages Taiwan to build good relationship with ASEAN also. But China always obscured Taiwan’s effort. Many people or scientists believe that ASEAN-Taiwan Free Trade Agreement (ATFTA) will be realized in future. If this relationship will become true, how can this relationship influencing political, economic and social condition in both. Is it will be a blessing for both or exactly it will be a disaster.

Base on theoretical analysis, we make some simulation to show what will be haven if the relationship between ASEAN and Taiwan realized. First simulation is that the relationship will be a good influence for both. Minimization of economic barrier will increase economic interaction between Taiwan and ASEAN. So it will increase investment value from Taiwan in ASEAN and make Taiwan easy to access international market, especially in the region. The second simulation is the relationship will make some problem like political problem (pressuring from china for example, it will increase political tension in the region), economic problem like backwash effect of the relationship, it will make ASEAN suffered economic losses because of Taiwan exploitation in ASEAN resources. So, the relationship between Taiwan and ASEAN in the future is probably create a positive influence (blessing) or probably also create a negative influence (disaster).

Monday, 10 December 2012

Globalisasi: Strategi Hegemoni Ekonomi Negara Maju

Oleh : Muhammad Nurjihadi
Keluarnya Amerika Serikat sebagai pemenang dalam perang melawan komunisme tidak hanya menyebabkan runtuhnya komunisme itu, atau tidak juga sekedar berdampak pada runtuhnya Uni Soviet, tapi juga membuat dunia memasuki periode Pax-Americana. Negara-negara didunia dipaksa untuk mengakui dan melakukan potical adjustment terhadap kekuatan politik dan militer AS dan sekutu-sekutunya. Lebih dari itu, fenomena ini juga membawa pengaruh terhadap bidang ekonomi. Dunia dipaksa untuk masuk secara monolitik kedalam sistem perekonomian neo-liberal yang terlembagakan ke dalam perjanjian-perjanjian internasional, khususnya kedalam organisasi World Trade Organization (WTO) [Damanhuri, 2012].

Secara tegas, Yustika (2011) menyebut globalisasi sebagai instrumen ekonomi politik negara-negara maju dibawah pimpinan AS dalam rangka memapankan posisinya sebagai aktor utama perekonomian global. Bahkan Petras dan Veltmeyer (1998) menyatakan bahwa globalisasi adalah bentuk imprialisme ekonomi baru. Sementara Kissinger (1998) menyebut globalisasi sebagai nama lain untuk dominasi barat (dalam Swasono, 2011). Ide utama dari globalisasi adalah membuat dunia menjadi seragam dimana peradaban barat sebagai acuan yang harus dicontoh dalam segala hal, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya maupun ilmu pengetahuan. Sehingga tidak salah juga jika Frieman (2001) dalam Swasono (2011) menyebut globalisasi sebagai Amerikanisasi.

Dalam perkembangannya, konsep globalisasi justeru mengalami polarisasi yang ditandai dengan lahirnya kelompok-kelompok perdagangan internasional berbasis wilayah atau region yang berprinsip pasar bebas sebagaimana globalisasi. Lahirnya Free Trade Agreement (FTA) antar berbagai negara yang memiliki kedekatan wilayah adalah contoh untuk kasus ini. Dengan demikian, globalisasi tidak lagi hanya menyediakan ruang untuk hegemoni barat (AS) tapi juga menjadi ruang untuk tumbuhnya kekuatan-kekuatan dunia lainnya (Yustika, 2011). Banyak komunitas internasional yang memanfaatkan fenomena dan semangat globalisasi untuk membangun hegemoni komunitasnya di dunia internasional. Meski untuk meraih tujuan itu, komunitas-komunitas internasional itu harus rela terjebak pada sistem ekonomi kapitalis yang menjiwai globalisasi.

Banyaknya kepentingan kelompok/komunitas/negara/peradaban tertentu untuk menjadi dominan dalam kancah dunia di era globalisasi ini melahirkan permasalahan lain. Huntington (2003) bahkan menyebut benturan antar peradaban (Clash of Civilization) tidak dapat dihindari di era globlisasi ini. Sementara Swasono (2011) menyebut fenomena ini sebagai perang idiologi. Perang ide ini untuk sementara memang dimenangkan oleh barat yang terlihat dari hegemoni barat dalam bidang ekonomi, militer, sosial, budaya dan bahkan hegemoni akademis. Di kampus-kampus kita dapat menjumpai pembelajaran ekonomi yang didominasi oleh pandangan-pandangan neoklasik (mainstream neoclassical economics) sebagai bagian dari strategi ekonomi politik global untuk menyebarkan neoliberalisme dan kapitalisme global.

Karena globalisasi menghendaki penyeragaman dalam struktur ekonomi, sosial dan budaya, maka globalisasi berimplikasi pada memudarnya identitas-identitas kesukuan dan etnisitas. Huntington (2003) menyatkan bahwa dalam keadaan dunia yang semakin terglobalisasi, akan terjadi perusakan serius terhadap kesadaran diri pada tingkat peradaban, kemasyarakatan dan etnis. Apa yang dikatakan Huntington diatas dapat kita lihat dalam kehidupan masyarakat dunia saat ini. Sebagian orang di berbagai belahan dunia sudah mengalami kerusakan kesadaran terhadap nilai-nilai kemasyarakatan yang berlaku di komunitas tempatnya berada. Gaya hidup dan praktek ekonomi mereka digerakkan oleh prinsip kapitalisme yang tertanam kuat dalam diri mereka sebagai akibat dari bias neoclassical mainstream dalam pembelajaran ekonomi di sekolah-sekolah dan universitas-universitas.

Fenomena lain dari globalisasi adalah lahirnya Multinational Corporations (MNCs) atau perusahaan-perusahaan multinasional. Bahkan MNCs ini dipandang sebagai salah satu pilar utama dari globalisasi. Argumentasi ini berpijak pada fakta bahwa globalisasi merupakan sebuah konsep ekonomi yang berlandas pada teori ekonomi klasik/neoklasik dengan kebebasan individu sebagai pilar utama. Oleh karenanya, sektor privat (korporasi) dengan skala usaha global diharapkan dapat menjadi instrumen ekonomi yang bisa menjalankan mekanisme pasar dan globalisasi. Upaya tersebut menunjukkan bahwa globalisasi merupakan konsep ekonomi yang berusaha memapankan salah satu sistem ekonomi suatu negara dan menjadikan negara lain sebagai pecundang (Yustika, 2011).

Lebih jauh, Yustika (2011) menjelaskan strategi yang digunakan MNCs dalam menjalankan misinya adalah dengan membentuk pasar oligopoli global. Cara yang lazim dilakukan adalah mengakuisisi perusahaan-perusahaan asing sejenis yang ada di negara-negara miskin atau berkembang. Cara lain yang biasa dilakukan adalah dengan melakukan greenfield investment yang pelan tapi pasti akan mendominasi pasar di negara-negara berkembang atau miskin. greenfield investment ini menyebabkan terjadinya pencaplokan korporasi lokal oleh MNCs sehingga pangsa pasar yang ada di negara berkembang akan sangat mudah dikuasai.

Ide tentang perdagangan internasional sebetulnya diungkap pertama kali oleh David Ricardo melalui teorinya the comparative advantage theory (teori keunggulan komparatif) yang menjelaskan bahwa perdagangan internasional antar negara hanya akan terjadi jika suatu negara memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh negara lainnya. Untuk menjalankan transaksi internasional itu, maka pemerintah harus mendukung dengan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada para pelaku ekonomi untuk mengembangkan bisnisnya tanpa ada hambatan regulasi ataupun kebijakan pemerintah (Sraffa, 1976). Sementara itu, Omerold (1999) memberikan pandangan yang berbeda tentang teori keunggulan komparatif David Ricardo. Menurut Omerold semangat yang terkandung dalam teori keunggulan komparatif itu tidak hanya tentang kebebasan pelaku ekonomi (pasar bebas antar negara), tapi Ricardo menurut Omerold justeru lebih menekankan pada pasar bebas antar wilayah dalam negeri, bukan antar negara. Menurut Ricardo, perdagangan bebas antar negara rentan menimbulkan bubble economic (gelembung ekonomi).

Massifnya modal asing yang masuk dalam perekonomian suatu negara sangat rentan menimbulkan gelembung ekonomi (bubble economic). Investasi asing yang berorientasi jangka pendek menyebabkan proses pembangunan terjadi secara massif, namun setelah profit didapat semua modal yang terakumulasi segera ditarik oleh pemilik modal dan menyebabkan krisis ekonomi di negara tujuan investasi. Krisis ekonomi Indonesia tahun 1998 adalah bukti nyata dari bubble economic sebagai akibat dari sikap mementingkan diri sendiri oleh investor dalam sistem ekonomi pasar bebas. Katakanlah, dibutuhkan waktu hanya 5 menit oleh Warren Buffet ataupun George Soros untuk menarik seluruh modalnya melalui telepon seluler, kemudian dampaknya akan menjadi sistemik dan mengancam eksistensi suatu negara (Supiyanto, 2011).

Gelembung ekonomi dalam era globalisasi ini sangat sulit dihindari. Beberapa sebabnya adalah karena tidak seimbangnya perputaran uang dengan perputaran barang dan jasa. Hal ini terjadi karena maraknya bisnis spekulatif (di dunia pasar modal, pasar valas dan properti) yang tidak diimbangi dengan perputaran arus barang dan jasa. Dalam satu hari, peredaran moneter (uang) diperkirakan berkisar antara 2-3 Triliun dolar AS atau setara dengan sekitar 700 Triliun dolar AS dalam satu tahun. Bandingkan dengan arus perdagangan barang secara internasional dalam satu tahun yang hanya mencapai 7 triliun dolar AS. Jadi, arus peredaran uang 100 kali lebih cepat dari pada peredaran arus barang. Selain itu, gelembung ekonomi (bubble economic) juga sering terjadi karena ketergantungan negara-negara berkembang terhadap hutang luar negeri. Ketika hutang itu terus menumpuk dan tidak mampu dikelola dengan baik menyebabkan hegemoni negara industri maju terhadap negara berkembang (penerima hutang) menjadi semakin parah yang diikuti dengan semakin memburuknya ketimpangan ekonomi (Damanhuri, 2012).

Wednesday, 14 November 2012

Ironisme Agribisnis Tembakau Lombok

Oleh: Muhammad Nurjihadi
Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara terbesar produsen daun tembakau. Pada tahun 2007 total produksi tembakau dunia mencapai 6.311.103 ton. Dari total produksi tembakau dunia tersebut, Indonesia menyumbang 164.851 ton (2,6%). Jika diranking, Indonesia berada pada urutan ke 5 sebagai produsen daun tembakau terbesar dunia. Adapun produsen terbesar adalah China dengan 2.397.200 ton (38%), disusul Brasil dengan 919.393 ton (14,6%), India dengan produksi 555.000 ton (8,8%), dan Amerika Serikat yang memproduksi 353.177 ton (5,6%). Sedangkan sisanya tersebar di beberapa negara seperti Pakistan, Italia, Turki, Zimbabwe, Yunani, dan lain-lain (FAO, 2007).

Dalam sejarahnya tembakau mulai menjadi perhatian sebagai komoditas komersial (high value commodity) di Indonesia sejak zaman pemerintah Hindia Belanda. Tembakau merupakan salah satu komoditas penting dan wajib ditanam ketika sistem tanam paksa diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memenuhi pasar ekspor. Sebagai komoditas ekspor, tembakau menjadi tanaman yang komersial dan berbasis pasar. Bahkan karena usaha penanaman tembakau pada tahun 1841 dianggap gagal akibat risiko tinggi karena kerentanannya terhadap cuaca dan musim menyebabkan pemerintah menghentikan tanam paksa tembakau. Untuk selanjutnya pemerintah membiarkan petani mengusahakan sendiri tanaman tembakau seperti sedia kala, atau mengadakan kontrak penanaman atau penjualan dengan pihak swasta tanpa campur tangan pemerintah secara langsung (Suroyo, 2000).

Nusa Tenggara Barat merupakan penyumbang produksi tembakau terbesar ketiga di Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pada tahun 2009, produksi tembakau nasional mencapai 235.987 ton yang terdiri dari 172.450 ton tembakau rakyat dan 63.537 ton tembakau Virginia. Dari jumlah itu, provinsi NTB menyumbang 57.707,2 ton atau 24,5% dari total produksi nasional yang terdiri dari 51.353 ton tembakau Virginia (80,8% total produksi tembakau Virginia nasional) dan 6.354,2 ton tembakau rakyat (3,7% total produksi tembakau rakyat nasional). Dari data diatas didapat pula informasi bahwa 89% dari total produksi tembakau di NTB merupakan jenis tembakau Virginia dan sisanya merupakan jenis tembakau rakyat (Deptan, 2011). Daerah sebaran utama penanaman tembakau di Provinsi NTB adalah Kabupaten Lombok Timur. Basuki, at al (2003) menjelaskan bahwa pada tahun 2003 kabupaten Lombok Timur memproduksi 21.972 ton tembakau atau 76,81% dari total produksi tembakau di NTB saat itu.
Usahatani Tembakau Virginia mulai diusahakan di Pulau Lombok sejak tahun 1969 bersamaan dengan masuknya PT. Faroka Tbk. Langkah PT. Faroka ini kemudian diikuti oleh PT. BAT Indonesia pada tahun 1971 serta PTP.XXVII dan NV GIEB pada tahun 1974. Memperhatikan keberhasilan rintisan usahatani Tembakau Virginia di Pulau Lombok, maka secara bertahap hadir perusahaan-perusahaan lain untuk turut mengembangkan Tembakau Virginia. Perusahaan – perusahaan yang dimaksud adalah PT. Djarum pada tahun 1980, PT. Anugrah Alam Abadi, PT. Mangli Jaya Raya, PT. Cakrawala pada tahun 1987 serta PT. Tresno Bentoel pada tahun 1989. Pada tahun-tahun berikutnya langkah ini disusul oleh PT. Trisno Adi, PT. HM. Sampoerna, PT. Sadhana Arifnusa dan PT. Gelora Djaja dan UD. Nyoto Permadi pada tahun 1999. (Disbun Provinsi NTB, 2002).

Agribisnis tembakau Virginia di pulau Lombok dikembangkan dengan sistem kemitraan melalui pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dimana perusahaan-perusahaan distributor hasil tembakau menjadi inti dan petani sebagai plasma. Dalam proses usahatani, perusahaan berkewajiban memberikan bantuan kepada petani baik bantuan teknis maupun non teknis. Dalam prakteknya, perusahaan umumnya memberikan bantuan hutang kepada petani dalam bentuk penyediaan sarana produksi seperti pupuk, pestisida, benih, dan lain-lain. Selain itu, perusahaan juga memberikan bantuan penyuluhan dan pembimbingan teknis kepada petani dalam menjalankan usahatani tembakau, baik pada saat ditanam (on farm) maupun pada proses pengolahan atau pengomprongan tembakau (off farm). Sebagai imbalan atas bantuan itu, perusahaan mewajibkan petani menjual hasil panennya hanya kepada perusahaan yang memberikan bantuan itu. Hutang sarana produksi yang sudah diberikan kepada petani secara otomatis akan dibayar saat petani menjual produk tembakaunya ke perusahaan dengan cara memotong atau mengurangi nilai pembayaran tembakau petani oleh perusahaan inti. Pada satu sisi, pola kemitraan ini memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak, dimana petani mendapatkan keuntungan karena mendapat bantuan, bimbingan dan sekaligus memiliki tujuan pasar yang jelas sehingga petani tidak perlu khawatir soal pemasaran, perusahaan juga diuntungkan karena dengan pola ini perusahaan dapat menghimpun hasil produksi tembakau petani yang sesuai dengan kebutuhannya. Tapi pada sisi lain, pola ini justeru merugikan petani karena dalam prakteknya, harga ditentukan secara sepihak oleh perusahaan, sementara petani kian tergantung pada perusahaan.

Berkembangnya agribisnis tembakau Virginia di pulau Lombok secara signifikan telah meningkatkan pendapatan petani. Studi yang dilakukan Nurjihadi (2011) membuktikan bahwa agribisnis tembakau telah berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat. Peningkatan taraf hidup itu terlihat pada peningkatan daya beli, perbaikan kondisi perumahan, peningkatan tingkat pendidikan dan perubahan gaya hidup. Namun masih menurut Nurjihadi, beberapa tahun terakhir ini petani tidak lagi merasakan peningkatan pendapatan yang signifikan dalam agribisnis tembakau Virginia sebagai akibat dari penentuan harga secara sepihak oleh perusahaan sebagai konsekuensi dari pola kemitraan yang diterapkan.

Karena tembakau merupakan komoditas komersial bernilai tinggi (High value commodity), maka tembakau merupakan salah satu komoditas yang tidak luput dari perhatian para pemilik modal. Artinya industri tembakau merupakan salah satu tujuan investasi para pemodal, baik pemodal asing maupun domestik untuk mengakumulasi modal dan menumpuk kekayaan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sistem ekonomi kapitalis yang mendasari perekonomian suatu negara atau wilayah dapat mengakibatkan meningkatnya ketimpangan ekonomi antara orang kaya (pemilik modal) dan orang miskin. Tabel Input-Output tahun 2004 menunjukkan bahwa share tembakau terhadap PDRB NTB adalah Rp 466,020 miliar atau setara dengan 1, 57%. Dari total share terhadap PDRB itu, Rp 348, 604 miliar diantaranya (74,80%) masuk ke kantong para pemilik modal dalam bentuk surplus usaha sedangkan sisanya yang hanya 115,621 miliar (24, 81%) terdistribusi kepada 57. 287 orang petani dan para pekerja perusahaan serta buruh tani (BPS NTB, 2004).

Ketimpangan ekonomi dalam agribisnis tembakau itu juga terlihat jelas dari data yang disampaikan TCSC IAKMI (2008) yang mengambil data dari statistik upah BPS tahun 2005. Data itu menunjukkan bahwa upah rata-rata petani tembakau adalah Rp 15.900 atau Rp 413.374 per bulan dengan rata-rata lama bekerja 7 jam per hari. Jumlah itu jauh lebih kecil dari pada rata-rata upah nasional yang mencapai Rp 883.693 (hanya 47%). Jika dibanding dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) di Kabupaten Lombok Timur maka rata-rata upah petani tembakau itu hanya 50% dari UMK Lombok Timur. Sementara pada saat yang bersamaan, perusahaan rokok mencatat nilai keuntungan yang fantastis. Pada triwulan ke tiga tahun 2008, PT Sampoerna mencatat keuntungan bersih sebesar Rp 3,1 Triliun, sementara PT Gudang Garam sampai pertengahan tahun 2008 merengguk keuntungan sebesar Rp 891,3 Miliar. Belum lagi keuntungan yang didapat oleh perusahaan rokok lainnya seperti PT Bentoel, British American Tobacco (BAT), Philip Morris Indonesia, dan sebagainya.

Ketika upah rata-rata petani tembakau jauh dibawah rata-rata upah nasional dan perusahaan rokok meraup keuntungan dengan nilai yang fantastis, pertanyaannya kenapa petani tembakau (khususnya di Pulau Lombok) masih bertahan dan tetap bergantung pada agribisnis tembakau Virginia. Ahsan at al (2008) dalam laporan penelitiannya menyampaikan sebuah fakta yang tegas tentang hal itu. Menurutnya ketergantungan petani terhadap agribisnis tembakau Virginia di Pulau Lombok terjadi karena setiap awal musim tembakau perusahaan-perusahaan (gudang pengumpul tembakau yang bermitra dengan petani) menyebarkan informasi kepada petani bahwa harga tembakau akan dinaikkan untuk musim tersebut. Namun setelah petani berproduksi, perusahaan justeru menyebarkan isu lain seperti telah terjadi over produksi yang membuat harga tembakau “dengan sengaja diturunkan” secara sepihak oleh perusahaan. Dengan demikian perusahaan meraup untung yang besar sementara petani harus gigit jari dan rela menjual tembakaunya dengan harga murah jika tak mau dikatakan diserahkan secara cuma-cuma kepada perusahaan.

Kesimpulan lain yang disampaikan Ahsan at al (2008) dalam penelitiannya itu adalah bahwa petani tembakau selama beberapa tahun terakhir mengalami kerugian massal. Untuk kasus petani tembakau Virginia Lombok, Ahsan menyebut selama kurun waktu 2002-2008 hanya sekitar 10% petani yang memperoleh keuntungan sementara sisanya mengalami kerugian, kecuali pada tahun 2006. Selain karena pengaruh iklim (curah hujan yang terlalu tinggi atau justeru kekeringan yang panjang), kerugian itu juga terjadi karena petani tidak punya kuasa untuk menetapkan harga jual tembakaunya. Penetapan harga sepenuhnya berada di tangan perusahaan yang menggunakan sistim grading. Ironisnya, petani tidak pernah diinformasikan secara jelas tentang standar grade. Akibatnya tembakau petani yang seharusnya masuk dalam grade tiga misalnya, dibeli perusahaan dengan harga tembakau untuk grade 15.

Secara umum perekonomian wilayah di NTB digerakkan oleh sektor pertanian. Sebanyak 74% masyarakat NTB menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian (BPS, 2004). Basuki, at al (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “Kinerja Pembangunan Pertanian NTB” menyimpulkan bahwa kinerja pertanian di NTB masuk dalam kategori ‘baik’ berdasarkan indikator-indikator pembangunan pertanian. NTB dalam laporan itu dinilai berhasil dalam memenuhi kriteria indikator pembangunan pertanian seperti (1) nilai investasi PMA sektor pertanian; (2) peningkatan produksi pangan dan hortikultura; (3) peningkatan produksi tanaman perkebunan; (4) peningkatan produksi peternakan dan perikanan; (5) nilai PDRB sektor pertanian, 6) serapan tenaga kerja sektor pertanian; (7) ketahanan pangan; (8) tingkat keuntungan usahatani; (9) pendapatan rumah tangga petani dan tingkat kemiskinan. Semenatra itu indikator yang kinerjanya buruk adalah: (1) ekspor hasil pertanian; (2) nilai tukar petani; (3) produksi beberapa komoditas perkebunan, pertanian dan perikanan yang turun.
Pengaruh agribisnis tembakau dalam perekonomian wilayah NTB belum terlihat signifikan. Efek pengganda (Multiplier effect) yang ditimbulkannya berupa backward linkage (keterkaitan ke belakang) atau disebut juga drajat kepekaannya sebesar 1,75 sedangkan forward linkage (keterkaitan ke depan) atau disebut juga daya penyebarannya sebesar 1,18 (BPS NTB, 2004). Nilai drajat kepekaan (backward linkage) sebesar 1,75 berarti bahwa setiap Rp 1 permintaan akhir akan menyebabkan peningkatan output perekonomian sebesar Rp 1,75. Hal ini terjadi karena bergeraknya sektor lain untuk mendukung pelaksanaan agribisnis tembakau itu. Sedangkan forward likage yang hanya sebesar 1,18 menunjukkan bahwa agribisnis tembakau hanya mampu menggerakkan sedikit sektor di hilir. Dalam kasus ini, agribisnis tembakau hanya menggerakkan tumbuh dan berkembangnya industri rokok.

Sulit untuk mengatakan bahwa semua fakta diatas terjadi secara alami (natural). Ada sekenario yang dimainkan pihak-pihak tertentu untuk kepentingan sendiri. Dalam konteks inilah agribisnis tembakau menjadi sasaran praktek ekonomi politik. Ekonomi politik agribisnis tembakau tidak sekedar menyangkut serangkaian kebijakan pemerintah dalam mengatur agribisnis tembakau. Lebih dari itu, ekonomi politik agribisnis tembakau melibatkan multi pihak yang tidak lain tujuannya adalah untuk memaksimalkan keuntungan. Jelaslah bahwa agribisnis tembakau tidak sesederhana persoalan menyediakan lapangan pekerjaan bagi para petani yang ada di desa. Ada sebuah hubungan yang bersifat eksploitatif dan parasitik yang dilakukan oleh perusahaan terhadap petani. Oleh karenanya penting untuk melakukan penelitian tentang ekonomi politik dalam agribisnis tembakau dan dampaknya terhadap ekonomi wilayah.

Sunday, 4 November 2012

Pedagang Kaki Lima (PKL) Dalam Pusaran Kegagalan Koordinasi Pembangunan

Oleh: Muhammad Nurjihadi
Istilah pembangunan merujuk pada makna upaya peningkatan kapasitas perekonomian nasional untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan pendapatan nasional bruto (Gross National Income-GNI). Pembangunan umumnya hanya dipandang sebagai fenomena ekonomi semata. Pertumbuhan GNI ataupun GNI per kapita diyakini akan menetes dengan sendirinya kebawah dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan menggerakkan tumbuhnya sektor-sektor usaha baru yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. Pandangan itulah yang dikenal sebagai efek menetes kebawah (trickle down effect). Dengan dmikian, pertumbuhan ekonomi merupakan unsur paling penting dan utama dalam pembangunan, sedangkan masalah-masalah kemiskinan, ketimpangan, pengangguran, diskriminasi ekonomi, pengangguran dan sebagainya cenderung diabaikan karena dianggap akan selesai dengan sendirinya seiring tingginya pertumbuhan ekonomi (Todaro dan Smith, 2006).

Namun fakta berbicara lain. Belajar dari pengalaman pembangunan Indonesia, meski pertumbuhan ekonomi meningkat dan pendapatan per kapita telah mencapai angka US$ 3.000 per tahun, namun ketimpangan distribusi pendapatan juga semakin lebar sebagaimana tecermin dari rasio gini yang meningkat dari 0,33 tahun 2002 menjadi 0,41 tahun 2011. Lebih ironis lagi, ketika total pendapatan nasional yang dinikmati kelompok 40 % penduduk termiskin megalami penurunan, 20 % kelompok terkaya justru mengalami penaikan jatah kue pendapatan nasional dari 42,2 % tahun 2002 menjadi 48,42 % tahun 2011. Dengan demikian, yang terjadi justeru bukan tricle down effect, tapi sebaliknya yang terjadi adalah trickle up effect atau efek muncrat ke atas dalam proses pembangunan (Kompas.com, 15 Juni 2012).

Selain itu, proses pembangunan yang berlangsung selama ini di Indonesia cenderung bias kota (urban bias). Akibatnya kota mengalami kemajuan yang semakin jauh yang ditopang oleh segala fasilitas dan infrastruktur publik memadai, sementara desa kian tertinggal dan terjebak dalam kemiskinannya. Rustiadi at al (2011) menyatakan bahwa pembangunan yang urban bias seperti itu mendorong masyarakat desa untuk melakukan migrasi dari desa ke kota. Sebenarnya, proses migrasi desa-kota ini dapat dipandang sebagai hal yang positif. Dengan mengacu pada teori Arthur Lewis tentang Theory of labor transfer, maka dapat disimpulkan bahwa migrasi masyarakat desa ke kota adalah fenomena yang positif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermigrasi itu sekaligus untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja oleh pabrik-pabrik yang ada di kota. Namun yang terjadi adalah over migration dimana lapangan pekerjaan yang ada di kota tidak mampu menampung besarnya jumlah migran. Akibatnya banyak migran yang tidak dapat diserap sebagai tenaga kerja oleh perusahaan. Alasan lain yang menyebabkan banyaknya migran tidak terserap dalam dunia usaha perkotaan adalah karena rendahnya keterampilan dan keahlian. Migran-migran yang tidak terserap atau terakomodasi oleh perusahaan-perusahaan kota inilah yang kemudian menjadi pengangguran kota dan bekerja semrawut (sektor informal perkotaan) seperti menjadi tukang ojek, pengemis, pemulung, preman dan termasuk Pedagang Kaki Lima (PKL). Selain itu keberadaan migran-migran tidak terampil yang bekerja di sektor informal dengan penghasilan minim ini membuat munculnya pemukiman-pemukiman liar yang kumuh (squatter settlement). Hal-hal semacam ini dapat terjadi karena disebabkan oleh kegagalan koordinasi dalam pembangunan. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang kompelementer antara desa dan kota merupakan penyebab fenomena ini.

Menjadi pedagang kaki lima adalah pilihan favorit para migran untuk bisa mempertahankan hidupnya (survive) di kota yang keras. Alasannya sederhana, cara ini dianggap lebih baik, halal dan lebih menjanjikan daripada sekedar menjadi tukang ojek, pemulung, apa lagi preman. Jarang ada yang memilih untuk pulang kembali ke desa. Mungkin karena mereka merasa bahwa desa tidak akan mampu menyediakan apa yang mereka butuhkan atau mungkin juga karena alasan yang lebih psikologis, ‘malu’. Sayangnya memilih sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL) pun tidak seenak yang dikira, mereka harus menghadapi berbagai persoalan, mulai dari persoalan premanisme, pungutan liar, hingga penggusuran. Penggusuran sering kali dilakukan oleh pemerintah kota karena alasan ketertiban publik, estetika kota dan untuk kepentingan investasi bisnis besar.

PKL umumnya memilih untuk berdagang di terotoar pinggir jalan dan bahkan tidak jarang sampai mengambil badan jalan. Tentu saja hal ini dapat mengganggu pihak lain, baik pejalan kaki, pengendara kendaraan bermotor maupun pedagang legal (pertokoan) yang ada di sekitar tempat berdagangnya PKL itu. Kondisi seperti ini sangat rentan menimbulkan konflik sosial, terutama antara PKL dengan pemilik toko legal kaitannya dengan persaingan ataupun keindahan (estetika). Studi yang dilakukan Arifianto (2006) mencoba untuk mengkaji interaksi antara aktifitas pertokoan dan pedagang kaki lima di kawasan pedagangan Banjaran Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Hasil studi memang tidak menunjukkan adanya konflik terbuka sebagai akibat dari adanya persaingan usaha antara PKL dan pemilik toko. Namun pertentangan-pertentangan kecil sering terjadi yang rata-rata berujung pada pengaduan kasus ke pemerintah kota. Adanya saling pengertian antara pemilik toko dan PKL mampu meredam potensi konflik terbuka. Bagi pemilik toko, keberadaan PKL memang dianggap mengganggu aktifitas usaha mereka, tapi biar bagaimanapun mereka adalah manusia yang sedang mencari nafkah untuk bertahan hidup, jadi para pemilik toko itu menganggap bahwa melarang mereka adalah sikap yang arogan dan memang bukan wewenang mereka.

Dengan segala permasalahan yang ditimbulkan sebagai akibat dari adanya PKL, pemerintah kota merasa perlu untuk mengatur dan menertibkan PKL ini. Sayangnya, upaya penertiban sering kali berujung dengan bentrok antara Polisi Pamong Praja (Pol PP) yang bermaksud menertibkan dengan para PKL itu. Pol PP yang ingin menertibkan biasanya melengkapi diri dengan pentungan untuk mengantisipasi penolakan PKL. Karena para PKL menganggap bahwa Pol PP itu hendak menyerang mereka (karena telah mempersenjatai diri dengan pentungan), maka para PKL itupun membekali diri dengan berbagai alat, mulai dari balok-balok kayu, batu hingga senjata tajam untuk melakukan perlawanan. Karena masing-masing sudah mempersenjatai diri seperti itu, upaya penertiban PKL sering kali terlihat seperti perang terbuka. Dalam konteks ini, kita bisa menyatakan bahwa telah terjadi kegagalan koordinasi antara satuan Pol PP dengan PKL dalam upaya penertiban itu. Pihak pemerintah kota melalui Pol PP sering kali beralasan bahwa teguran sudah diberikan secara tertulis sebanyak lebih dari satu kali namun tidak diindahkan oleh PKL, dengan demikian mereka merasa sudah selayaknya jika mereka melakukan penggusuran paksa dengan mempersenjatai diri menggunakan pentungan. Semetara pihak PKL yang menolak untuk digusur sering kali beralasan karena pemerintah kota yang menggusur mereka tidak menyediakan alternatif lain bagi mereka untuk berusaha dan bertahan hidup. Disinilah letak kegagalan koordinasi itu. Pemerintah kota gagal dalam memahami persoalan real, dan terjebak pada pendekatan-pendekatan administratif yang tidak memiliki kepekaan sosial.

Persepsi pemerintah kota bahwa PKL adalah pengganggu, penyebab kemacetan, perusak pemandangan dan sebagainya membuat pemerintah kota menutup telinga dari teguran-teguran publik yang mengingatkan mereka tentang bagaimana menghadapi PKL. Padahal, jika pemerintah kota ‘melek’, seharusnya mereka bisa melihat PKL dari perspektif lain, yaitu perspektif potensi PKL itu sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di Solo misalnya, PKL mampu menyumbang hingga rata-rata Rp 20 Miliar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) setiap tahun. Jumlah itu lebih besar daripada sumbangan sektor perhotelan, restoran dan lainnya yang ada di Solo (Pikiran-rakyat.com, 4 Agustus 2012). Keberhasilan Kota Solo dalam mengelola PKL dan menjadikannya sebagai salah satu sumber PAD yang nilainya cukup besar seharusnya dapat dijadikan contoh oleh kota-kota lainnya di Indonesia. Kota Solo dengan demikian telah berhasil menciptakan hubungan yang komplementer (saling melengkapi dan saling mencukupi) antara Pemerintah Kota dengan PKL. Kota Solo membuktikan bahwa dengan koordinasi yang baik dapat mengatasi persoalan PKL. Berbagai kasus yang selama ini kita dengar di media massa tentang konflik antara Sat Pol PP dengan PKL merupakan akibat dari kegagalan koordinasi antara Pemerintah Kota dan stakeholder lain yang berkepentingan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pedagang Kaki Lima (PKL) terjebak dalam pusaran kegagalan koordinasi pembangunan pemerintah. PKL ada karena kegagalan pemerintah dalam mengkoordinasikan pembangunan dalam rangka menciptakan pembangunan yang balance (seimbang), adil dan mensejahterakan semua pihak. Konflik dalam upaya penertiban PKL juga tercipta karena kegagalan pemerintah, terutama Pemerintah Kota dalam melakukan koordinasi dengan berbagai stakeholder yang berkepentingan. Dengan kata lain, PKL merupakan korban dari kegagalan koordinasi pemerintah. Jadi, jika ingin PKL habis atau lebih tertib dan menjadi pedagang legal, maka yang harus dibenahi adalah koordinasi. Pemerintah punya tanggungjawab besar dalam hal ini.

Referensi

Rustiadi at al. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Crespent Press: Bogor

Todaro dan Smith. 2006. Economic Development, 09 edition. Pearson Education Limited: United Kingdom

Arifianto, Dessy. 2006. Kajian Interaksi Aktivitas Pertokoan Dan Pedagang Kaki Lima Pada Trotoar Di Kawasan Perdagangan Banjaran Kabupaten Tegal. Tesis Mahasiswa Program Magister Universitas Diponegoro: Semarang

Kompas.com. 15 Juni 2012. Kuatkah Fondasi Ekonomi Kita ?. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/06/15/Kuatkah.Fondasi.Ekonomi.Kita.

Pikiran-rakyat.com. 4 Agustus 2012. PKL Miliki Potensi PAD. http://www.pikiran-rakyat.com/node/154191

Wednesday, 31 October 2012

Pasar dan Persoalan Keadilan, Perspektif Ekonomi Politik

Oleh: Muhammad Nurjihadi
Secara umum pasar didefinisikan sebagai tempat atau locus bertemunya penjual dan pembeli, tempat bertemunya penawaran (supply) dan permintaan (demand). Secara alamiah, mekanisme pasar diyakini akan membentuk harga yang terbangun dari tingkat keseimbangan antara supply dan demand itu. Dengan demikian, mekanisme pasar sesungguhnya tidak berbeda dengan mekanisme lelangan (auction mechanism) yang berarti bahwa orang-orang yang kuat saja yang bisa memenangkan proses lelang itu. Maka pasar merupakan mekanisme yang tidak ramah kepada orang-orang lemah dan miskin. Pasar merupakan pelayan yang rajin bagi yang kaya, tapi tidak memihak kepada yang miskin (Swasono, 2011).

Pengarusutamaan mekanisme pasar untuk memenuhi kebutuhan manusia dimulai sejak lahirnya teori tangan tuhan (the invisible hand theory) yang dicetuskan Adam Smith (1776). Prinsip dasar dari teori ini adalah adanya keyakinan bahwa keseimbangan pasar terbentuk secara natural dengan adanya pertemuan penawaran (supply) dan permintaan (demand). Teori ini menafikkan peran pemerintah dalam aktifitas ekonomi karena dianggap sebagai penghambat tercapainya kesejahteraan maksimum (Clark dalam Yustika, 2011). Bertemunya supply dan demand secara alamiah merupakan respon dari rasionalitas hidup manusia dimana setiap manusia memiliki kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri dan mendapat keuntungan pribadi yang besar. Kecenderungan pemenuhan kebutuhan pribadi ini akan membuat setiap orang (baik penjual ataupun pembeli) bertindak untuk memaksimumkan keuntungan dan kepuasan. Karena setiap orang hendak memaksimalkan keuntungan dan kepuasan, maka harga akan terbentuk dengan sendirinya melalui adanya kekuatan tarik menarik antara penjual dengan instrumen penawaran dan pembeli dengan instrumen permintaan. Jika posisi tawar (bargaining position) permintaan lebih kuat dari pada penawaran (permintaan lebih kecil daripada penawaran) maka harga akan menjadi rendah, dan demikian pula sebaliknya. Mekanisme ini mengabaikan faktor lain diluar dua faktor utama itu. Mekanisme tarik menarik antara kekuatan penawaran dan permintaan inilah yang dimaksud dengan mekanisme pasar.

Dengan pemahaman diatas, maka tidak salah jika Swasono (2011) menyebut bahwa pasar adalah pelayan bagi orang kaya tapi tidak ramah bagi orang miskin. Mengingat hanya orang kaya yang memiliki kemampuan (bargaining position) untuk mengakses dan mempengaruhi pasar. Meski demikian, kita harus memahami bahwa konsep mekanisme pasar sesungguhnya tidak sesederhana tercapainya keseimbangan antara penawaran dan permintaan. Mekanisme pasar memiliki asumsi-asumsi yang harus dipenuhi agar ia mampu mengantarkan manusia kepada kesejahteraan maksimum. Menurut Rahardja & Manurung (1999), asumsi-asumsi yang harus dipenuhi agar pasar dapat menjamin alokasi sumber daya yang efisien dan mampu memaksimumkan kesejahteraan masyarakat adalah antara lain setiap pelaku bersifat rasional, tersedianya informasi pasar dengan sempurna, pasar berbentuk persaingan sempurna (tidak terjadi monopoli), dan kepemilikan barang bersifat pribadi bukan kepemilikan bersama (public/common’s good). Sayangnya, dalam realitas kehidupan sehari-hari, asumsi-asumsi ideal tersebut sulit terpenuhi. Akibatnya terjadilah kegagalan pasar di mana pasar gagal menjadi alat alokasi yang efisien dan gagal memaksimumkan kesejahteraan masyarakat.

Disinilah letak lemahnya logika berfikir Adam Smith ketika menjelaskan bahwa kecenderungan individualisme manusia dapat mengantarkan masyarakat pada kesejahteraan maksimumnya. Sebagai manusia rasional, setiap individu akan berusaha memaksimumkan keuntungan pribadinya dengan berbagai cara, termasuk dengan cara merekayasa pasar seperti memonopoli perdagangan atau pembelian, menciptakan informasi yang tidak sempurna (asymmetric information), dan sebagainya. Dengan demikian, untuk menjamin agar pasar memenuhi asumsi-asumsi kesempurnaannya dibutuhkan peran pihak ketiga untuk mengaturnya, dalam hal ini adalah pemerintah. Sayangnya, mekanisme pasar menghendaki agar pemerintah meminimumkan perannya atau bahkan tidak ikut terlibat sama sekali dalam mengatur atau mengintervensi mekanisme pasar. Mekanisme pasar (market mechanism) sering disinonimkan dengan kapitalisme. Aturan main kapitalisme yang tegak diatas pilar logika pasar sebagai pengontrol kegiatan ekonomi adalah mengeluarkan pemerintah/negara dari aktivitas ekonomi. Seluruh kegiatan ekonomi digerakkan oleh sektor swasta lewat pasar sehingga bisa mendeskripsikan preferensi setiap individu (Grassby, 1999 dalam Yustika, 2011).

Sistem ekonomi kapitalis (kapitalisme) lahir dari mazhab ekonomi klasik/neoklasik yang juga melahirkan sistem mekanisme pasar. Kapitalisme tegak oleh empat pilar dasar yang melatarinya, yaitu; pertama, kegiatan ekonomi digerakkan dan dikoordinir oleh pasar (bebas) dengan harga sebagai penanda. Kedua; setiap individu memiliki kebebasan untuk mempunyai hak kepemilikan (property rights) untuk menjamin proses transaksi (exchange). Ketiga; kegiatan ekonomi dipisahkan oleh tiga pemilik faktor produksi yakni pemodal (capital), tenaga kerja (labor) dan pemilikan lahan (land). Pemilik modal memperoleh pendapata dari keuntungan, pekerja memperoleh pendapatan dari upah dan pemilik lahan memperoleh pendapatan dari biaya sewa lahan (rent). Keempat; tidak ada larangan bagi para pelaku ekonomi untuk keluar – masuk pasar (free entry and exit barriers) [Yustika, 2011].

Dalam prakteknya, sistem ekonomi kapitalis (kapitalisme) lebih banyak memihak kepada para pemilik modal. Atas nama investasi, para pemilik modal mengeksploitasi sumber daya untuk mendapatkan keuntungan yang besar dan sekaligus mengakumulasi modal. Akibatnya jurang ketimpangan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin kian tinggi. Dengan modal yang terus terakumulasi, para pemilik modal mampu menciptakan teknologi baru untuk mengefisienkan proses produksi yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi dan mengakumulasi modal lagi tanpa batas. Sementara disisi lain, penemuan teknologi baru itu berimplikasi pada berkurangnya peran manusia dalam proses produksi yang membuat banyak tenaga kerja kehilangan pekerjaannya. Dengan demikian, peran modal menjadi kian dominan dalam aktifitas ekonomi. Tanpa memiliki modal yang cukup, seseorang atau suatu kelompok atau bahkan suatu negara tidak akan mampu mengembangkan perekonomiannya sehingga tidak mampu menghasilkan keuntungan. Akibatnya orang-orang yang tidak memiliki modal itu tetap terjebak pada kemiskinan disaat para pemilik modal menikmati hasil dari kekayaan alam disekitar mereka. Dengan kondisi seperti itu, Fukuyama (1992) memprediksi bahwa akhir dari sejarah dunia ini adalah kapitalisme global yang dikuasai oleh segelintir orang pemilik modal yang selama bertahun-tahun mengakumulasi modalnya secara terus menerus tanpa batas. Lebih jauh, Fukuyama juga menyebut segelintir pemilik modal itu akan menjadi the last man (manusia terakhir) di dunia ini.

Demikianlah, mekanisme pasar dan kapitalisme melahirkan persoalan ketidakadilan ekonomi. Dengan modal yang terus terakumulasi, para pemilik modal terus meningkatkan kapasitas dirinya yang memungkan dia memiliki kemampuan lebih untuk mengakumulasi modal dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi. Sementara disisi lain kaum papa miskin yang lemah terus terpinggirkan dan membuat mereka semakin tidak berdaya dan kian terjebak dalam kemiskinannya. Pasar dalam banyak kasus ternyata tidak mampu untuk mengatur dirinya sendiri (self regulating market), pasar selalu diatur dan didominasi oleh kelompok-kelompok yang lebih kuat, baik dari pihak penjual maupun dari pihak pembeli. Disinilah ekonomi politik mengambil perannya, ada pihak-pihak tertentu yang berusaha menguasai pasar untuk memaksimalkan keuntungan pribadi. Thurow (1983) dalam Swasono (2011) menyebut mekanisme pasar semacam ini sebagai arus berbahaya (the dangerous current) bagi kesejahteraan masyarakat. Selain itu Heilbroner (1994) dalam Swasono (2011) juga menyatakan bahwa pasar mendorong perubuatan yang tidak bermoral, sehingga mekanisme pasar tidak hanya merupakan suatu kegagalan ekonomi, tapi juga merupakan suatu kegagalan moral.

Tuesday, 9 October 2012

Tembakau Virginia Lombok Dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan

Oleh: Muhammad Nurjihadi, SP
Pembangunan berkelanjutan (Sustainable development) merupakan suatu konsep pembangunan yang berprinsip memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang (Rustiadi, 2011). Konsep pembangunan yang seperti ini memiliki implikasi bahwa upaya pemenuhan kebutuhan generasi saat ini tidak boleh merusak sumber-sumber kebutuhan generasi yang akan datang. Serageldin (1996) dalam Rustiadi (2011) mengungkapkan bahwa ada tiga dimensi dalam pembangunan berkelanjutan yang ia sebut sebagai “a triangular framework” yang terdiri dari keberlanjutan ekonomi, sosial dan ekologi.

Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, masyarakat Pulau Lombok sebagian besar bekerja pada sektor pertanian. BPS (2004) mencatat ada 73% masyarakat Pulau Lombok yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Namun demikian, dominasi sektor pertanian dalam struktur ekonomi masyarakat Pulau Lombok ini justeru mengancam keberlanjutan pembangunan. Studi yang dilakukan Parman dan Sunarpi (2011) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan untuk meningkatkan produktifitas hasil pertanian oleh petani di Pulau Lombok sangat berbahaya dan mengancam kehidupan generasi yang akan datang di Pulau Lombok.

Agribisnis tembakau Virginia di Pulau Lombok tidak luput dari permasalahan-permasalahan keberlanjutan. Sebagai tanaman dengan daun sebagai produk utama, tembakau memerlukan unsur nitrogen dalam jumlah yang besar. Sementara ketersediaan unsur itu didalam tanah relatif terbatas. Dengan demikian untuk memenuhi kebutuhan akan nitrogen, petani memberikan pupuk kimia secara intensif untuk mempercepat pertumbuhan vegetatif dan memaksimalkan hasil produksi. Implikasi dari praktek intensifikasi pertanian tembakau ini menyebabkan rusaknya struktur alami tanah yang tentu saja dapat mengancam sumber pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang.

Keterlibatan petani pada agribisnis tembakau Virginia di Pulau Lombok tidak hanya menyangkut aktifitas on farm, tapi juga aktifitas pengomprongan pasca panen (off farm). Untuk mengomprong tembakau dibutuhkan oven yang di desain khusus untuk mengeringkan daun tembakau. Dalam proses pengeringan itu dibutuhkan bahan bakar dalam jumlah yang cukup besar. Bahan bakar yang umumnya digunakan adalah minyak tanah yang disubsidi oleh pemerintah. Namun setelah subsidi minyak tanah untuk omprongan tembakau itu dihentikan, pemerintah membuat program konversi bahan bakar oven tembakau dari minyak tanah ke batu bara. Dalam prakteknya, penggunaan batu bara ini menimbulkan dampak negatif yang luas. Tidak hanya penurunan kualitas hasil omprongan tembakau yang berakibat menurunnya pendapatan petani tapi juga menimbulkan masalah kesehatan terutama penyakit pernapasan. Lokasi oven tembakau yang dekat dengan pemukiman, bahkan sebagian oven dibangun di halaman rumah membuat dampak negatif penggunaan batu bara ini semakin parah. Kondisi ini tidak menghentikan niat petani untuk terus mengembangkan agribisnis tembakau virginia. Sebagai pengganti batu bara, petani akhirnya memilih kayu bakar untuk mengeringkan tembakaunya. Untuk satu kali pengeringan dalam satu oven stidaknya dibutuhkan 2-3 truk kayu gelondongan. Sementara di seluruh Pulau Lombok terdapat sekitar 15.000 oven tembakau. Dalam satu musim tanam tembakau, setiap oven digunakan untuk mengeringkan tembakau sebanyak 5-8 kali (Lombok Post, 3 April 2011). Akibatnya, terjadi aktifitas deforestasi illegal (illegal logging) untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar oven tembakau di Pulau Lombok. Tentu saja hal ini mengancam keberlangsungan hidup generasi yang akan datang.

Selain dampak lingkungan, agribisnis tembakau Virginia di Pulau Lombok juga memiliki dampak sosial yang cukup luas. Dalam studi yang dilakukan Nurjihadi (2011) didapatkan informasi bahwa berkembang pesatnya agribisnis tembakau Virginia di Pulau Lombok sangat berpotensi menimbulkan masalah sosial seperti konflik, kriminalitas dan bahkan bunuh diri. Konflik terjadi karena adanya masalah hutang-piutang antar petani yang sulit dibayar karena anjloknya harga jual omprongan tembakau. Disamping itu, anjloknya pendapatan petani ini juga menimbulkan kriminalitas seperti maraknya pencurian untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dalam beberapa kasus, terjadi pula bunuh diri karena ketidak mampuan petani menanggung beban hutang pada usahatani tembakau Virginia yang mereka usahakan. Dampak sosial lainnya adalah hilangnya tradisi gotong royong. Masyarakat menjadi semakin individualis, materialistis dan hedonis. Meski sikap individualis, materialistis dan hedonis ini tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh agribisnis tembakau, tapi setidaknya perkembangan agribisnis tembakau membantu mempercepat proses transformasi sosial itu. Kondisi sosial seperti ini sungguh berbahaya. Disaat masyarakat mengalami penurunan pendapatan secara ekstrem, mereka tidak punya cukup modal sosial untuk mengurangi beban hidup mereka. Secara perlahan, kondisi semacam ini akan diwariskan ke generasi yang akan datang.

Tidak dapat dipungkiri bahwa agribisnis tembakau Virginia di Pulau Lombok telah berhasil meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat petani secara signifikan. Peningkatan taraf hidup itu terlihat jelas pada peningkatan daya beli, perbaikan kondisi perumahan, perluasan pilihan-pilihan, peningkatan tingkat pendidikan dan perubahan gaya hidup masyarakat (Nurjihadi, 2011). Namun dengan melihat realitas kekinian dimana tanah terus mengalami degradasi unsur hara sebagai akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan, terus berkurangnya stok kayu bakar untuk omprongan tembakau dan terus menurunnya kualitas hasil omprongan tembakau Virginia karena penggunaan bahan bakar yang kurang baik, maka dapat dikatakan agribisnis tembakau Virginia ini juga tidak ramah secara ekonomi terhadap generasi yang akan datang.

Friday, 5 October 2012

TEORI-TEORI PERTUMBUHAN EKONOMI: ANALISIS TEORITIS TERHADAP MODEL PERTUMBUHAN HARROD-DOMAR

Oleh: Muhammad Nurjihadi

Teori pertumbuhan pertama di dunia ini digagas oleh Thomas Robert Malthus (1798) melalui teorinya yang terkenal yaitu population trap theory dan David Ricardo dengan teorinya the comparative advantage theory (Snooks dalam Suroyo, 2008). Teori population trap Malthus menjelaskan tentang tidak seimbangnya pertumbuhan populasi dengan pertumbuhan produksi pangan. Malthus menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur (geometric progression, dari 2 ke 4,8,16,32,64, dst) sementara pertumbuhan produksi pangan mengikuti deret ukur (arithmetic progression, dari 2 ke 4,6,8,10,12,14,dst). Oleh karenanya Malthus menilai bahwa pertumbuhan penduduk yang pesat dan tidak diimbangi oleh pertumbuhan produksi pangan itu sebagai sebuah jebakan yang mengancam kehidupan ummat manusia (Indrayani, 2010).

Banyak kritik terhadap teori Malthus itu karena dianggap mengabaikan variabel teknologi dan inovasi. Hayami dan Ruttan (1971) dalam Rustiadi (2011) misalnya, keduanya merumuskan sebuah model sebagai kritik terhadap teori Malthus itu. Dengan optimis Ruttan dan Hayami memperkenalkan induce innovation model sebagai jawaban dari teori psimis population trap Malthus. Dengan model ini, Hayami dan Ruttan menyatakan bahwa pengembangan wilayah atau negara mau tidak mau memang harus memanfaatkan sumber daya yang tersedia di alam. Meskipun suatu saat ketersediaan sumber daya alam akan mencapai batas minimal karena eksploitasi manusia, Ruttan dan Hayami meyakini bahwa kondisi itu justeru akan membuat manusia semakin terangsang untuk berinovasi dan menciptakan teknologi baru untuk merespon kondisi itu. Dalam konteks ini, jumlah modal yang sudah terakumulasi akan dimanfaatkan manusia untuk pengembangan teknologi-teknologi alternatif.

Teori-teori pertumbuhan mengalami perkembangan pesat pada abad ke 20. Pasca terjadinya great depression pada tahun 1930-an, banyak teori-teori pertumbuhan baru yang muncul (Suroyo, 2008). Diantaranya adalah teori yang dikembangkan oleh dua ekonom pasca pasca Keynes yaitu Sir Roy F. Harrod dari Inggris dan Evsey D. Domar dari Amerika Serikat. Domar mengemukan modelnya pertama kali pada tahun 1947 dalam American Economi Review, sedangkan Harrod pada tahun 1939 dalam Economic Journal. Model ini sebenarnya dikembangkan secara terpisah, tetapi karena inti kedua pemikiran mereka sama maka digabungkan menjadi satu yang terkenal dengan Model Harrod-Domar (Assegaf, 2008).

Todaro dan Smith (2006) menjelaskan prinsip model Harrod-Domar ini secara sederhana sebagai berikut:

Tabungan (S) merupakan bagian dalam jumlah tertentu (s) dari pendapatan nasional (Y). dimana s merupakan rasio antara tabungan (S) dan pendapatan nasional (Y). Jika dibuat dalam bentuk persamaan, maka:

s = S/Y .....>> JADI S = sY (pers.1)

Investasi (I) adalah perubahan stok modal (K) atau sama dengan ΔK, sehingga:

I = ΔK (pers.2)

Tapi karena jumlah stok modal K mempunyai hubungan langsung dengan pendapatan nasional Y yang digambarkan dengan rasio modal-output (k), maka:

K/Y = k atau ΔK/ΔY=k....>> JADI ΔK=kΔY (pers.3)

Karena tabungan nasional neto (S) harus sama dengan investasi neto (I), maka:

I = ΔK = kΔY (pers.4)

Jadi, kita dapat menuliskan bahwa tabungan sama dengan investasi:

S = sY = kΔY = ΔK = I ....>> JADI sY=kΔY (pers.5)

Selanjutnya, jika persamaan (pers.5) dibagi dalam dua proses, proses pertama dibagi dengan Y, dan pada proses ke dua dibagi dengan k, maka dihasilkan:

ΔY/Y = s/k (pers.6)

Perhatikan sisi kiri dari persamaan (pers.6), ΔY/Y sesungguhnya merupakan tingkat perubahan GDP atau dengan kata lain tingkat pertumbuhan GDP (persentase pertumbuhan GDP).

Persamaan (pers.6) yang merupakan versi sederhana dari persamaan terkenal dalam teori pertumbuhan Harrod-Domar menggambarkan bahwa tingkat pertumbuhan GDP (ΔY/Y) ditentukan oleh rasio tabungan terhadap pendapatan nasional (s) dan rasio modal terhadap pendapatan nasional (k). Semakin tinggi tabungan yang artinya semakin tinggi pula rasio tabungan terhadap pendapatan nasional, maka semakin tinggi pula pertumbuhan GDP suatu negara. Sementara semakin tinggi rasio modal terhadap output nasional (k) justeru dapat menyebabkan pertumbuhan GDP suatu negara menjadi rendah. Dalam kalimat sederhana dapat dikatakan bahwa prinsip dasar model Harrod-Domar ini adalah “pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada tingkat tabungan (saving)”.

Sebagaimana teori Malthus yang mendapat banyak kritikan, model Harrod-Domar inipun tidak sepi dari kritik. Bahkan kritik itu juga datang dari Todaro (2006) yang menyatakan bahwa tingkat tabungan atau investasi dalam jumlah banyak saja belum mampu memenuhi syarat cukup (sufficient condition) untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Selain tabungan, banyak hal lain yang diperlukan sebagai syarat cukup untuk memacu pertumbuhan ekonomi seperti syarat-syarat struktural, institusional dan sikap-sikap masyarakatnya (misal tersedianya pasar-pasar komoditas dan pasar uang yang sudah terintegrasi dengan baik, tersedianya infrastruktur yang memadai, tenaga kerja yang terdidik dan terlatih dengan baik, motivasi untuk berhasil serta birokrasi pemerintah yang efisien). Kisah sukses projek Marshall Plan di Eropa tidak bisa dijadikan rujukan untuk menerapkan hal serupa di tempat lain. Sebab kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakatnya berbeda. Kiranya inilah yang menjadi alasan gagalnya program bantuan besar-besaran ke philipina pasca perang dunia II.

Pendapat Todaro dan Smith diatas sedikit tidak memiliki kesamaan ide dengan Boeke yang mengembangkan teori dualisme ekonomi. Meski teori Boeke dikembangkan jauh sebelum Todaro, tapi ide dasarnya adalah dualisme ekonomi yang diberlakukan pemerintah kolonial pada daerah jajahannya bertentangan dengan struktur sosial dan budaya masyarakat pribumi sehingga menyebabkan gagalnya pembangunan ekonomi di daerah jajahan. Boeke yang meneliti perekonomian pribumi Hindia Belanda (Indonesia pra merdeka) berhasil membuktikan bahwa motivasi ekonomi masyarakat pribumi Hindia Belanda lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sosial, bukan pemenuhan kebutuhan individu. Namun tidak berarti bahwa penduduk pribumi tidak memiliki kepekaan atau rangsangan terhadap pasar. Buktinya, ketika terjadi great depression pada tahun 1930-an, industri kerajinan masyarakat pribumi justeru mengalami kebangkitan dan tumbuh secara mengesankan. Para sarjana Belanda kala itu menilai bahwa praktek ekonomi masyarakat pribumi itu tradisional dan tidak peka terhadap pasar sehingga perlu di modernisasi dengan penerapan sistem ekonomi kapitalis. Inilah yang disebut Boeke sebagai dualisme ekonomi, pemberlakuan ekonomi kapitalis di satu sisi berbenturan langsung dengan perekonomian pribumi yang lebih moralis dan sosialis yang dituding Boeke sebagai penyebab gagalnya pemerintah kolonial membangun perekonomian pribumi (Rahardjo, 2011).

Kritik lain juga datang dari seorang ekonom bernama L.G.Bustedo yang mengatakan bahwa permintaan konsumen akhir adalah syarat yang tak bisa ditawar bagi produksi. Bustedo menjelaskan bahwa pandangan yang mendukung peningkatan tabungan (saving) untuk memacu pertumbuhan ekonomi adalah “bukan hanya tidak alami tapi juga mustahil”. Menurutnya, memaksimalkan tabungan hanya akan menurunkan daya beli umum untuk keperluan konsumsi yang dapat menyebabkan penurunan permintaan barang dan akhirnya membuat tidak bergairahnya produksi meskipun jumlah tabungan tersedia dalam jumlah banyak. Artinya uang yang ditabung itu tidak akan terpakai. Jadi menurut Bustedo, yang perlu dimaksimalkan adalah jumlah total permintaan akhir dengan memaksimalkan konsumsi, bukan dengan meningkatkan tabungan (Skousen, 2006).

Bustedo sebenarnya ekonom yang lahir jauh sebelum teori Harrod-Domar dipublikasikan. Kritik yang ia sampaikan ini adalah kritik yang ditujukan kepada Eugen Bohm Bawerk (1851-1914) yang juga menjadi penganjur kenaikan tingkat tabungan untuk mencapai tingkat kemakmuran universal dan pertumbuhan ekonomi. Gagasan itu disampaikan Bohm Bawerk pada bukunya yang terbit tahun 1891 berjudul The Positive Theory of Capital (Skousen, 2006). Jadi dapat disimpulkan bahwa teori Harrod-Domar sebenarnya hanya mengulang dan memodifikasi teori Bohm Bawerk.

Terlepas dari semua kritik itu, pemikiran Harrod-Domar layak di apresiasi. Pembangunan ekonomi suatu negara memang tidak akan bisa dilakukan tanpa adanya tabungan untuk investasi. Tapi memang benar apa yang disampaikan Todaro dan Smith (2006) bahwa itu belum memenuhi syarat kecukupan untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Dibutuhkan syarat lain seperti kondisi infrastruktur, Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik serta kondisi sosial budaya yang mendukung. Namun bukan berarti pula memaksakan suatu negara untuk merubah sikap sosial dan budayanya untuk keperluan penerapan teori Harrod-Domar itu. Justeru yang harus dilakukan adalah memodifikasi teori Harrod-Domar agar sesuai dengan kondisi sosial budaya di suatu negara (kearifan lokal). Semisal untuk kasus di Indonesia, meminjam istilah Boeke dalam Rahardjo (2011) yang mengatakan bahwa dalam koperasi terdapat kesejajaran antara prinsip cooperative dengan nilai gotong-royong atau tolong menolong yang menjadi ciri khas masyarakat pribumi Indonesia. Oleh karenanya, konsep Harrod-Domar jika ingin diterapkan di Indonesia hendaknya dikembangkan dengan model koperasi ala Boeke.

Teori pertumbuhan pada abad ke 20 tidak hanya datang dari Harrod-Domar, beberapa teori lain yang berkembang adalah teori pertumbuhan Rostow yang merupakan teori pertumbuhan linier, sama seperti teori Harrod-Domar. Disamping itu ada juga teori pertumbuhan neo klasik yang dikategorikan Todaro sebagai teori strukturalis seperti Dudley Seers, Gunnar Myrdal, Arthur Lewis, Hollis Chenery, Theodonia Dos Santos dan Raoul Prebisch. Namun teori-teori itu tidak dibahas dalam tulisan ini.

Referensi:
Assegaf, Ridho. 2008. Teori-Teori Pembangunan. http://ridhoassegaf.blogspot.com/2008/12/teori-teori-pembangunan.html

Indrayani, Agnes RA.2010.Ketahanan Pangan Nasional dan Teori Population Trap. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Vol I, No. 1

Rahardjo, M Dawam.2011. Nalar Ekonomi Politik Indonesia. IPB Press. Bogor

Rustiadi at al.2011.Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Crespent Press YOI. Jakarta

Skousen, Mark.2006. Sang Maestro Teori-Teori Ekonomi Modern. Prenada Media. Jakarta

Suroyo.2008. Peran Sektor Publik Dalam Akumulasi Human Capital Dan Kapasitas Research & Development (in contect of understanding the source of growth). FEUI

Todaro and Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi Jilid 1 Edisi Ke Sembilan.Erlangga.Jakarta

Sunday, 30 September 2012

Jebakan Psimisme Dalam Teori Jebakan Populasi Malthus

Oleh: Muhammad Nurjihadi

Thomas Robert Malthus (1798) menggegerkan dunia dengan teorinya yang bernama Population trap theory. Teori itu bercerita tentang fakta bahwa pertumbuhan manusia mengikuti deret ukur (geometric progression, dari 2 ke 4, 8, 16,32, dst) sementara pertumbuhan bahan makan mengikuti deret hitung (arithmetic progression, dai 2 ke 4, 6, 8 10, dst). Hal ini berarti jumlah populasi manusia terus meningkat dua kali lipat dalam 30-40 tahun sementara jumlah ketersediaan pangan hanya mampu tumbuh secara aritmatis. Dengan demikian maka pertumbuhan pangan tidak akan mampu mengimbangi pertumbuhan populasi manusia. Oleh karenanya Malthus merekomendasikan agar negara membuka lahan yang seluas-luasnya demi mempercepat pertumbuhan pangan dan melakukan pengendalian pertumbuhan penduduk agar tercapai keseimbangan antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan manusia (Indrayani, 2010).

Teori population trap ini digambarkan Malthus lewat diagram berikut (Chaniago, 2012):
Gambar. Diagram Population Trap Malthus

Sumbu vertikal mewakili pertumbuhan (dalam persen) untuk variabel penduduk (P) dan pendapatan (Y), sedangkan sumbu horizontal mewakili pendapatan perkapita (Y/P).
Kurva P menggambarkan hubungan antara pertumbuhan penduduk dengan pendapatan perkapita. Pada pendapatan perkapita yang sangat rendah (Y0), tingkat pertumbuhan penduduk adalah nol, yang berarti tingkat pertumbuhan penduduk dalam keadaan stabil. Y0 dapat mewakili konsep mengenai “kemiskinan absolut” dimana Angka kelahiran dan kematian berimbang. Ketika pendapatan perkapita meningkat atau lebih tinggi dari Y0 (bergerak ke arah kanan Y0), jumlah penduduk akan meningkat yang disebabkan karena menurunnya angka kematian. Meningkatnya pendapatan akan mengurangi bahaya kelaparan dan penyakit sehingga menurunkan angka kematian. Pada saat bersamaan, angka kelahiran tetap tinggi yang menyebabkan pertumbuhan penduduk juga tinggi.

Pada tingkat pendapatan perkapita sebesar Y2, laju pertumbuhan penduduk mencapai titik pertumbuhan maksimumnya yang diperkirakan sekitar 3,3 %. Diasumsikan laju pertumbuhan penduduk tersebut akan tetap bertahan sampai terjadi perubahan pendapatan perkapita yang lebih tinggi. Selanjutnya, meningkatnya pendapatan perkapita ke tingkat yang lebih tinggi (di sebelah kanan Y5), angka kelahiran akan mulai menurun dan slope atau kemiringan dalam kurva pertumbuhan penduduk menjadi negatif dan kembali mendekati sumbu horizontal.

Sampai hari ini, apa yang dikatakan Malthus tentang “jebakan populasi” tidak terbukti benar. Setidaknya sampai sekarang ummat manusia masih mampu beradaptasi dengan berkurangnya lahan pertanaman karena membengkaknya jumlah populasi. Inovasi dan penemuan teknologi adalah kunci untuk sukses ini. Malthus tidak memasukkan variabel teknologi dalam merumuskan teorinya. Malthus mengasumsikan faktor teknologi cateris paribus (Dyana, 2011). Faktanya pengaruh faktor teknologi dalam kehidupan manusia lebih dominan daripada faktor ketersediaan lahan itu sendiri. Mengurung faktor teknologi dalam sebuah penjara bernama cateris paribus sesungguhnya telah menggambarkan kelemahan dari teori Malthus itu. Meski demikian, pengaruh Malthus dalam dunia akademik masih cukup kuat hingga hari ini.

Penganjur pasar bebas, David Ricardo bahkan juga terpengaruh oleh teori Malthus ini. Ricardo menjelaskan bahwa pada awalnya, jumlah manusia tidak banyak sedangkan kekayaan alam masih berlimpah yang menyebabkan terpenuhinya kebutuhan manusia dengan baik. kekayaan sumber daya yang jauh melampaui jumlah manusia membuat para pelaku ekonomi (terutama pengusaha) memperoleh keuntungan yang besar. Keuntungan yang diperoleh pengusaha itu kemudian diinvestasikan kembali untuk mendapat keuntungan yang lebih besar. Proses akumulasi modal itu berlangsung secara terus menerus dan menyebabkan peningkatan permintaan tenaga kerja. Kondisi seperti ini mendorong pertumbuhan penduduk dengan cepat sementara luas lahan tetap bahkan cenderung berkurang karena terkonversi untuk keperluan pemukiman penduduk. Akibatnya produktifitas per tenaga kerja akan mengalami penurunan sementara biaya-biaya yang meliputi biaya sewa lahan maupun biaya operasional perusahaan semakin besar. Akhirnya keuntungan perusahaan menjadi berkurang dan investasi pun berkurang hingga perekonomian mencapai batas minimal stationary state. Ricardo bahkan mengatakan teknologi tidak mampu menghindari terjadinya stationary state, tapi hanya mampu mengundurkan waktunya saja. Hal ini terjadi karena perkembangan teknologi diikuti pula oleh pertumbuhan penduduk yang besar (Rustiadi, 2011). Selain terpengaruh oleh pemikiran Malthus, pendapat Ricardo diatas juga kental dipengaruhi oleh teori invisible hand Smith. Secara cerdik Ricardo “mengawinkan” dua teori yang berbeda prinsip itu. Prinsip kebebasan ekonomi dan free market mechanism di satu sisi dan prinsip pertambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing return) di sisi lain.

Psimisme Malthus dan Ricardo akan masa depan ummat manusia terus berkembang dan menjadi isu utama dalam pembangunan negara-negara di dunia. Teori itu bahkan masih dianggap relevan dan menjadi dasar pengambilan kebijakan sampai hari ini. Lebih dari itu, dalam perkembangannya teori Malthus bahkan tidak hanya menyebarkan psimisme tentang ancaman krisis pangan tapi juga berkembang menjadi psimisme dalam menyikapi ancaman krisis energi, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. WCED (1987) menerbitkan laporan berjudul “our common future”. Laporan itu berisi tentang tantangan masa depan ummat manusia yang berangkat dari fakta semakin menurunnya produksi pangan, semakin meningkatnya suhu bumi karena efek rumah kaca (pemanasan global), maraknya deforestasi, peningkatan populasi, kelangkaan energi dan sebagainya. Terbitnya laporan ini berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat global. Laporan ini secara tidak langsung menyambung kekhawatiran dan psimisme Malthus yang ia lontarkan hampir dua abad sebelumnya. Meskipun laporan ini bukanlah manifestasi dari psimisme menghadapi masa depan, melainkan merupakan peringatan yang penting untuk mengendalikan laju kerusakan yang mengancam masa depan.

Hayami dan Ruttan (1971) dalam Rustiadi (2011) merumuskan sebuah model yang bertolak belakang dengan teori Malthus dan pengikutnya. Dengan optimis Ruttan dan Hayami memperkenalkan induce innovation model sebagai jawaban dari teori psimis population trap Malthus. Dengan model ini, Hayami dan Ruttan menyatakan bahwa pengembangan wilayah atau negara mau tidak mau harus memanfaatkan sumber daya yang tersedia di alam. Meskipun suatu saat sampai pada titik tertentu ketersediaan alam akan mencapai batas minimalnya, Ruttan dan Hayami meyakini bahwa kondisi itu justeru akan membuat manusia semakin terangsang untuk berinovasi dan menciptakan teknologi baru untuk merespon kondisi itu. Dalam konteks ini, jumlah modal yang sudah terakumulasi akan dimanfaatkan manusia untuk pengembangan teknologi-teknologi alternatif. Secara sederhana, induce innovation model Hayami dan Ruttan digambarkan dalam grafik berikut:


Pada tahap awal, dibutuhkan tingkat produksi sebesar Q untuk memenuhi kebutuhan manusia. Untuk memproduksi sebesar Q maka dibutuhkan sumber daya alam sebanyak X₁₁ dan teknologi sebesar X₂₁. Dalam perkembangannya, jumlah penduduk yang semakin besar dan dengan kompleksitas aktifitas ekonominya, maka sumber daya alam menjadi semakin langka yang menyebabkan harga sumber daya alam semakin mahal. Akibatnya, dengan harga yang sama jumlah sumber daya alam yang dapat digunakan menjadi semakin kecil (digambarkan dengan X₁₂. Bila ingin tingkat produksi tetap berada pada garis Q, maka dibutuhkan teknologi sebesar X₂₂ untuk mensubtitusi sejumlah kelangkaan sumber daya alam tersebut. Kebutuhan akan teknologi sebesar X₂₂ itulah yang akan mendorong manusia untuk menciptakan teknologi sebesar X₂₂.

Teori Hayami dan Ruttan yang optimistik bahwa inovasi dan teknologi bisa mengatasi ancaman population trap Malthus kiranya lebih masuk akal untuk diterima. Jika Malthus mengurung aspek teknologi dan inovasi dalam sebuah penjara bernama cateris paribus, Hayami dan Ruttan justeru menjadikan dua aspek itu sebagai aktor terpenting dalam merumuskan modelnya karena dianggap sebagai instrumen utama pertahanan ummat manusia dari berbagai ancaman dan eksternalitas. Peningkatan jumlah penduduk yang mengikuti deret ukur sebagaimana dikatakan Malthus memang sangat mungkin menyebabkan kelangkaan sumber daya dalam bentuk penurunan produktifitas, kerusakan lingkungan, kelangkaan energi dan sebagainya. Tapi meresponnya secara psimis semisal dengan pembatasan kelahiran adalah sikap yang keliru.

Pembatasan kelahiran akan membuat kelangkaan sumber daya manusia pada masa yang akan datang. Kelangkaan sumber daya manusia ini sesungguhnya adalah ancaman kemanusiaan yang jauh lebih besar. Jika sumber daya manusia terbatas, maka induce innovation model sebagaimana dikatakan Ruttan dan Hayami tidak akan bekerja dengan baik. Akibatnya manusia justeru akan terjebak pada serba keterbatasan. Selain karena keterbatasan sumber daya manusia akibat pembatasan kelahiran, keterbatasan juga terjadi karena penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya akibat aktifitas manusia yang minim sumber daya itu. Bukankah minimnya sumber daya manusia akan membuat manusia memanfaatkan alam secara konvensional dengan tingkat efisiensi yang rendah. Kondisi itulah yang akan membuat proses kelangkaan sumber daya terjadi dengan lebih cepat. Akhirnya sumber daya manusia yang minim itu tidak akan mampu menciptakan teknologi untuk mensubtitusi kelangkaan sumber daya yang pasti terjadi. Dengan demikian psimisme yang disebarkan Malthus dan para pengikutnya melalui population trap theory (teori jebakan populasi) sesungguhnya lebih berbahaya dan menjebak daripada jebakan populasi itu sendiri. Dengan kata lain, jebakan psimisme Malthus jauh lebih berbahaya daripada teori jebakan populasi Malthus itu sendiri.

Wednesday, 26 September 2012

The Invisible Hand Theory dan Matinya Ilmu Ekonomi

Oleh: Muhammad Nurjihadi
Bukan karena kedermawanan seorang penjual anggur atau tukang daging memberi anda makan daging atau minum anggur, melainkan karena mereka mementingkan dirinya sendiri.
-Adam Smith-

Prinsip dasar dari teori tangan tak terlihat atau dikenal juga dengan teori “tangan tuhan” (the invisible hand) adalah adanya keyakinan bahwa keseimbangan pasar terbentuk secara natural dengan adanya pertemuan supply (penawaran) dan demand (permintaan). Teori ini menafikkan peran pemerintah dalam aktifitas ekonomi karena dianggap sebagai penghambat perekonomian. Bertemunya suply dan demand secara alamiah merupakan respon dari rasionalitas hidup manusia dimana setiap manusia memiliki kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri dan mendapat keuntungan pribadi yang besar. Kecenderungan itu akan mendorong orang untuk memproduksi barang kebutuhan konsumen. Namun jika produksi itu berlebih, maka pasar akan meresponnya dengan penurunan harga, demikian pula sebaliknya ketika suatu produk langka, maka harganya akan menjadi tinggi (Smith, 1776).

Pemikiran Adam Smith dalam teori the invisible hand ini menjadi dasar lahirnya paham kapitalisme ekonomi. Banyak ilmuwan mengembangkan teori itu untuk memperkuat argumen Smith dan untuk menekan pemerintah agar memberikan kebebasan ekonomi yang seluas-luasnya kepada para pelaku ekonomi tanpa campur tangan pemerintah. Salah satu pengikut Smith yang paling terkenal karyanya adalah Ricardo (1817) yang mencetuskan teori keunggulan komparatif (theory of comparative advantage). Teori ini menyatakan bahwa perdagangan internasional harus didukung oleh pemerintah dengan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada para pelaku ekonomi untuk mengembangkan bisnisnya tanpa ada hambatan regulasi ataupun kebijakan pemerintah. Teori ini juga menyebutkan bahwa perdagangan internasional antar negara hanya akan terjadi jika suatu negara memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh negara lainnya. Dengan demikian, suatu produk yang diproduksi oleh suatu negara dengan lebih efisien akan dijual ke negara lain yang tidak memproduksi barang tersebut. Sebagai contoh misalnya, Indonesia mampu menghasilkan batu bara secara lebih efisien daripada Vietnam, tapi Vietnam mampu menghasilkan beras secara lebih efisien dibanding Indonesia, maka kedua negara akan melakukan perdagangan dimana Vietnam membeli batu bara dari Indonesia dan Indonesia membeli beras dari Vietnam. Sekali lagi, free market adalah syarat untuk pelaksanaan teori ini. Pemerintah tidak boleh melakukan proteksi maupun pembatasan impor, bahkan pemerintah diminta membebaskan biaya bea maupun cukai.

Dalam prakteknya, teori “tangan tuhan” Smith lebih banyak memihak kepada para pemilik modal. Atas nama investasi, para pemilik modal mengeksploitasi sumber daya dunia untuk mendapatkan keuntungan yang besar dan sekaligus mengakumulasi modal. Akibatnya jurang ketimpangan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin kian tinggi. Dengan modal yang terus terakumulasi, para pemilik modal mampu menciptakan teknologi baru untuk mengefisienkan proses produksi yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi dan mengakumulasi modal lagi tanpa batas. Sementara disisi lain, penemuan teknologi baru itu berimplikasi pada berkurangnya peran manusia dalam proses produksi yang membuat banyak tenaga kerja kehilangan pekerjaannya. Dengan demikian, peran modal menjadi kian dominan dalam aktifitas ekonomi. Tanpa memiliki modal yang cukup, seseorang atau suatu kelompok atau bahkan suatu negara tidak akan mampu mengembangkan perekonomiannya sehingga tidak mampu menghasilkan keuntungan. Akibatnya orang-orang yang tidak memiliki modal itu tetap terjebak pada kemiskinan disaat para pemilik modal menikmati hasil dari kekayaan alam disekitar mereka. Dengan kondisi seperti itu, Fukuyama (1992) memprediksi bahwa akhir dari sejarah dunia ini adalah kapitalisme global yang dikuasai oleh segelintir orang pemilik modal yang selama bertahun-tahun mengakumulasi modalnya secara terus menerus tanpa batas. Lebih jauh, Fukuyama juga menyebut segelintir pemilik modal itu akan menjadi the last man (manusia terakhir) di dunia ini.

Berbagai kritik silih berganti mengecam praktek kapitalisme ini. Ketidakadilan dan ketimpangan yang diciptakannya menjadi dasar kritik itu. Secara garis besar ada tiga teori yang lahir sebagai kritik atas praktek kapitalisme yang berangkat dari teori “tangan tuhan” Adam Smith ini, yaitu pertama teori ketergantungan yang lahir di Amerika Latin. Teori ini menganggap bahwa pembangunan model kapitalisme adalah “strategi licik” barat atau negara maju untuk membuat negara-negara berkembang bergantung secara ekonomi kepada mereka. Teori ini lahir dari pengalaman massifnya investasi asing yang masuk di Amerika Latin. Pada awalnya investasi ini disambut baik karena dianggap dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, tapi ternyata kehadirannya justeru menyebabkan seluruh moda produksi asli lokal terpinggirkan sementara para kapitalis pemilik modal itu meraup keuntungan yang besar. Kedua adalah teori sistem dunia. Teori ini merupakan kelanjutan dari teori ketergantungan. Secara ekstrem teori ini menyebut agresifitas ekspansi kapital Trans Nasional Corporation (TNCs) sebagai sebuah imperialisme berkedok investasi. Kapitalisme global menginginkan struktur ekonomi global yang seragam dan mendunia. Penyeragaman struktur ekonomi dunia ini kemudian membentuk hegemoni kapital. Struktur hegemonik terhadap perekonomian lokal ini dianggap sebagai sistem yang tidak adil dan tidak demokratis karena menggerus dan meminggirkan perekonomian lokal. Ketiga, teori pemberdayaan yang meyakini bahwa keterbelakangan, ketertinggalan, kemiskinan dan ketergantungan hanya bisa diputus melalui proses pemberdayaan masyarakat. Hanya dengan pemberdayaan masyarakat akan menjadi mandiri dan tidak terus terpinggirkan (Dharmawan, 2009).

Karl marx (1848) dalam Rahardjo (2011) memberikan pandangan yang berbeda soal kapitalisme. Dalam panflet the communist manifesto (1848) Marx mengatakan bahwa kapitalisme adalah sebuah fenomena sejarah yang tidak dapat dihindari. Semua masyarakat di dunia menurut Marx akan mngalami perkembangan moda produksinya dari komunal primitif ke perbudakan, lalu feodalisme dan kemudian kapitalisme. Baru setelah menunaikan tugas historisnya, masyarakat akan memasuki tahap sosialisme atau komunisme. Pada saat itu hak milik perorangan akan dihapuskan dan kekuasaan negara akan digantikan dengan civil society.

Selain itu, kritik atas praktek kapitalsme dunia juga lahir dari Paul Omerold (1994) yang mengatakan bahwa ilmu ekonomi sudah mati. Omerold menganggap bahwa perekonomian yang berkembang saat ini adalah hasil distorsi dari pemikiran Adam Smith dan David Ricardo. Teori invisible hand misalnya, Omerold menyatakan bahwa pemahaman terhadap teori ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari teori Adam Smith sebelumnya, yaitu the theory of moral sentiment. Sementara dalam prakteknya saat ini, teori invisible hand dianggap berdiri sendiri oleh para ekonom dan pelaku ekonomi yang menyebabkan kerancuan dan ketimpangan ekonomi. Memang benar bahwa dalam teori invisible hand, Smith menginginkan kebebasan tanpa batas dan bahwa setiap manusia punya kecenderungan untuk menumpuk keuntungan dan mengakumulasi modal, namun Smith juga percaya bahwa dengan kapital yang terakumulasi dalam jumlah banyak (dengan keuntungan yang besar) seorang individu bisa mengunakan kekayaannya itu untuk membantu orang miskin. Hanya saja dalam realitasnya para ekonom dan pelaku ekonomi seolah-olah memisahkan dua teori Smith sebagai teori yang berdiri sendiri. Akibatnya teori moral sentimen Smith kian terpinggirkan. Para ekonom dan pelaku ekonomi hanya mengggunakan dan mengagungkan teori kedua Smith, yaitu teori invisible hand. Omerold juga mengkritik sikap ekonom masa kini yang dianggap dengan sengaja mendistorsikan makna dari teori comparative advantage David Ricardo. Menurut Omerold semangat yang terkandung dalam teori keunggulan komparatif itu tidak hanya tentang kebebasan pelaku ekonomi (pasar bebas antar negara), tapi Ricardo menurut Omerold justeru lebih menekankan pada pasar bebas antar wilayah dalam negeri, bukan antar negara. Menurut Ricardo, perdagangan bebas antar negara rentan menimbulkan bubble economic (gelembung ekonomi).

Massifnya modal asing yang masuk dalam perekonomian suatu negara sangat rentan menimbulkan gelembung ekonomi. Investasi asing yang berorientasi jangka pendek menyebabkan proses pembangunan terjadi secara massif, namun setelah profit didapat semua modal yang terakumulasi segera ditarik oleh pemilik modal dan menyebabkan krisis ekonomi di negara tujuan investasi. Krisis ekonomi Indonesia tahun 1998 adalah bukti nyata dari bubble economic sebagai akibat dari sikap mementingkan diri sendiri oleh investor dalam sistem ekonomi pasar bebas. Katakanlah, dibutuhkan waktu hanya 5 menit oleh Warren Buffet ataupun George Soros untuk menarik seluruh modalnya melalui telepon seluler, kemudian dampaknya akan menjadi sistemik dan mengancam eksistensi suatu negara (Supiyanto, 2011).

Kematian ilmu ekonomi sebagaimana dikatakan Omerold mungkin terlalu berlebihan jika dipandang dari sudut pandang aktifitas ekonomi secara umum. Sebagai mahluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam konteks ini, maka interaksi antar manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mutlak terjadi dan tidak mungkin berhenti atau mati. Benar apa yang disampaikan Smith dalam teori invisible hand-nya bahwa manusia punya kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri dan menumpuk kekayaan untuk diri sendiri. Tapi menjadi salah ketika kecenderungan egoisme individu itu ditindaklanjuti Smith dengan merekomendasikan kebebasan ekonomi tanpa campur tangan pemerintah. Mengakumulasi modal dan menumpuk kekayaan tentu melibatkan manusia lainnya baik melalui hubungan patron-klien, majikan-pekerja, dan sebagainya. Jika dibiarkan terjadi secara alamiah, maka para pemodal yang ingin mengakumulasi modal itu tentu mengorbankan hak manusia lainnya dalam interaksi ekonominya. Akibatnya penindasan, eksploitasi dan ketidakadilan tidak dapat dihindari. Disinilah perlunya campur tangan pihak ketiga untuk menjembatani kepentingan pihak pemodal dan pekerja. Pemerintah adalah sarana ideal yang bisa mengambil peran sebagai pihak ketiga. Dengan demikian, kematian ekonomi yang sesungguhnya adalah kematian ekonomi kapitalis dan ekonomi pasar bebas. Sebab konsep ekonomi kapitalis ini sudah terbukti menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi. Dalam konteks bernegara, berbagai krisis di berbagai belahan dunia adalah bukti nyata bobroknya kapitalisme.

Monday, 17 September 2012

KAPITALISME DAN KERAKUSAN TANPA BATAS

Oleh: Muhammad Nurjihadi, SP
Kapitalisme bertolak pada teori yang dicetuskan Adam Smith (1776) dalam buku The Wealth Of Nation. Dalam buku itu, Smith mencetuskan teori the invisible hand (tangan tak terlihat atau tangan Tuhan) dalam aktifitas ekonomi. Dimana dia menganggap bahwa keseimbangan pasar akan terbentuk melalui mekanisme pertemuan supply – demand (penawaran – permintaan). Smith mengkritik praktek merkantilisme yang berlangsung di Eropa karena dianggap gagal dalam memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Menurutnya, kesejahteraan hanya dapat diraih dengan adanya kebebasan dalam berbisnis dan investasi tanpa ikut campur pemerintah. Pemerintah hanya perlu menempatkan diri sebagai pengawas dalam aktifitas ekonomi dan tidak boleh mengintervensi atau membatasi aktifitas ekonomi. Konsep ini ia sebut sebagai azas Laissez Faire. Dalam perkembangannya, teori ini banyak diterjemahkan sebagai mekanisme pasar dan menjadi alasan intelektual untuk memaksa masyarakat dunia menerima kapitalisme sebagai sistem ekonomi global.

Perdagangan bebas antar negara juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kapitalisme. Teori keunggulan komparatif (theory of comparative advantage) menjadi dasar pemberlakuan pasar bebas ini. Teori ini dicetuskan oleh David Ricardo (1817) yang terinspirasi dari pemikiran Adam Smith. Menurut teori ini, perdagangan internasional akan terjadi jika suatu negara memiliki produk unggulan komparatif yang di produksi secara lebih efisien untuk dijual ke negara lain. Sebagai salah satu syarat terjadinya perdagangan internasional itu, pemerintah dilarang memberlakukan kebijakan-kebijakan proteksionisme dan pembatasan perdagangan. Dengan demikian, mekanisme pasar akan bekerja secara sempurna untuk menentukan keseimbangan harga. Dengan konsep seperti itu, maka harga produk diyakini akan menjadi rendah dan terjangkau oleh konsumen karena adanya persaingan antar perusahaan yang juga berarti peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Modal menjadi instrument terpenting dalam kapitalisme. Semakin besar modal seseorang atau kelompok, maka semakin besar pula peluang untuk mendapatkan keuntungan dan menumpuk kekayaan. Minimnya peran negara dalam perekonomian kapitalis memungkinkan pemilik modal memiliki kekayaan lebih besar dari total kekayaan negara. Semakin besar kekayaan maka semakin besar pula peluang keuntungan itu diputar kembali sebagai modal untuk mendapat keuntungan yang lebih besar. Akibatnya, seorang atau sekelompok orang yang mampu mengakumulasi modalnya secara terus menerus dapat melakukan monopoli perdagangan dan dalam batas tertentu bisa berubah menjadi diktator ekonomi yang menindas kelas bawah. Terlebih dengan diberlakukannya pasar bebas ala Ricardo, itu memungkinkan perekonomian suatu negara akan sangat bergantung pada seseorang atau sekelompok orang yang berasal dari luar negara tersebut jika sebagian besar modal telah terakumulasi pada sekelompok orang luar itu. Jika itu yang terjadi, maka negara tidak akan memiliki wibawa dan dengan mudah dapat di intervensi oleh konglomerasi pemilik modal asing.

Indonesia adalah salah satu negara penganut sistem ekonomi kapitalis. Pemerintah melakukan berbagai terobosan kebijakan untuk memancing investor asing guna menanamkan modalnya di Indonesia. Pada tahun 2011, realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) Indonesia sebesar Rp 175,3 Triliun, sedangkan realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp 76 Triliun. Berdasarkan sektor usaha, PDMN terbesar ada pada industri tanaman pangan dan perkebunan, disusul oleh industri kertas dan percetakan, listrik dan air, transportasi, gudang dan telekomunikasi serta industri makanan. Sedangkan PMA terbesar ada pada sektor transportasi, gudang dan telekomunikasi, disusul pertambangan, listrik, gas dan air, industri logam, barang logam, mesin dan elektronik, industri kimia dasar serta barang kimia dan farmasi (Investor Daily Indonesia, 19 januari 2012). Data diatas memberikan gambaran bahwa ekonomi Indonesia lebih didominasi oleh modal asing. Lebih dari itu, data diatas juga menunjukkan bahwa modal asing di Indonesia lebih banyak digunakan untuk investasi pada sektor-sektor dengan resiko kerusakan lingkungan yang besar seperti pertambangan, migas, transportasi barang logam dan industri kimia.

Tujuan investor menanamkan modalnya tentu saja untuk mendapatkan keuntungan. Berproduksi dengan biaya sekecil-kecilnya dan mendapatkan output serta outcome yang sebesar-besarnya adalah prinsip penting ekonomi kapitalis. Tidak peduli dampak negatif apa yang disebabkan oleh aktifitas bisnis yang dilakukan. Dalam sektor pertambangan misalnya, bisnis padat modal itu mampu memberikan revenue yang besar terhadap pemilik modal, tapi pada saat bersamaan menyebabkan kerusakan lingkungan dan bahkan instabilitas sosial. Menurut data BPS (2010) mencatat bahwa pada tahun 2010, share sektor pertambangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) adalah 11% dengan nilai US$ 73 miliar atau setara dengan sekitar Rp 620 Triliun. Sementara itu kementerian kehutanan mencatat 70% kerusakan hutan disebabkan oleh aktifitas pertambangan (Republika Online, 8 Agustus 2012).

Dominasi asing di Indonesia tidak hanya pada sektor pertambangan, tapi juga pada sektor telekomunikasi yang menguasai 90% saham nasional, sektor perbankan dikuasai 80%, sektor energi 90%, sektor migas 74% dan bahkan termasuk sektor pertanian. Ekspansi modal asing dalam perekonomian Indonesia terus mengalami peningkatan. Selama bulan januari hingga juni 2012, PMA meningkat tajam hingga 30,3% dari Rp 82,6 Triliun pada semester II tahun 2011 menjadi Rp 107,6 Triliun. Sedangkan PMDN hanya mampu tumbuh 22,7% dari total Rp 33 Triliun pada semester II tahun 2011 menjadi Rp 40,5 Triliun (BKPM, 2012). Pertumbuhan ini diperkirakan akan terus meningkat pada masa-masa yang akan datang.

Ekspansi modal asing selalu diikuti dengan eksploitasi. Eksploitasi selalu dekat dengan kerusakan lingkungan, konflik sosial dan ketimpangan ekonomi. Kinerja makro ekonomi Indonesia yang sangat baik seperti pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,5% setiap tahun, pengendalian inflasi, dan penurunan jumlah pengangguran nampaknya tidak sebanding dengan kerugian yang kita korbankan. Kerusakan lingkungan pada tahun 2011 tercatat meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Selama tahun 2011 tercatat 141 kasus pencemaran lingkungan, meningkat dari 75 kasus pada tahun 2010. Data itu diperkuat dengan meningkatnya volume banjir dari 345 kasus pada tahun 2010 menjadi 378 kasus pada tahun 2011 (Walhi dalam www.beritahukum.com).

Selain harus menanggung biaya perbaikan lingkungan sebagai akibat dari kerakusan tanpa batas dalam ekonomi kapitalis, kita juga harus menanggung korbanan lain dalam bentuk konflik sosial dan ketimpangan ekonomi. Pada tahun 2011, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 163 kasus konflik agraria yang melibatkan 69.975 kepala keluarga dengan korban meninggal sebanyak 22 orang. Jumlah ini meningkat dari tahun 2010 yang jumlah kasus konflik agraria mencapai 106 konflik dengan tiga orang meninggal. Dari 163 kasus konflik pada tahun 2011, sektor yang paling banyak menyebabkan konflik adalah sektor perkebunan sebanyak 97 kasus, sektor kehutanan 36 kasus, sektor infrastruktur 21 kasus, sektor pertambangan 8 kasus dan 1 kaus di wilayah tambak dan pesisir (Kompas, 28 Desember 2011).

Dengan berorientasi pada ekonomi pro capital (capital oriented), Indonesia sukses memperbaiki performance ekonominya. Tidak hanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kemampuan mengendalikan inflasi, Indonesia juga sukses meningkatkan pendapatan perkapita penduduk. Saat ini, pendapatan perkapita Indonesia berada pada kisaran US$ 3.000 atau lebih dari Rp 25 juta per tahun. Namun ironisnya peningkatan pendapatan perkapita itu diikuti dengan peningkatan ketimpangan pendapatan antara orang kaya dan miskin. Ketimpangan itu dapat dilihat dari nilai koefisien gini ratio. Dimana jika gini ratio sama dengan nol, maka suatu negara dinyatakan mengalami pemerataan sempurna, sedangkan jika gini ratio sama dengan satu berarti negara mengalami ketimpangan sempurna. Koefisien gini ratio Indonesia pada tahun 2010 saja mencapai 0,39 (neraca.com, 15 April 2012). Hal ini menunjukkan bahwa agresifnya infiltrasi modal, baik modal asing maupun modal dalam negeri pada ekonomi Indonesia ternyata hanya mampu mensejahterakan pemilik modal dan membiarkan masyarakat miskin kian tertinggal dan terjebak pada kemiskinannya.

Data-data diatas merupakan fakta yang terjadi hanya di Indonesia. Apa yang terjadi pada level global menunjukkan gejala yang sama atau bahkan lebih parah. Terlebih dengan adanya fenomena pemanasan global yang mengancam dunia. Fakta-fakta tak terbantahkan itu kemudian menyadarkan orang bahwa kapitalisme yang rakus tengah mengancam kemanusiaan. Tidak hanya menyebabkan kerugian pada masa kini karena banyaknya konflik sosial dan ketimpangan ekonomi, tapi juga mengancam generasi yang akan datang karena kerusakan lingkungan. Rusaknya lingkungan akan menyebabkan ketidakseimbangan alam sehingga alam tidak mampu menyediakan kebutuhan hidup manusia. Atas dasar kesadaran itu, para pemikir dunia kemudian menawarkan solusi pembangunan berkelanjutan, dimana pembangunan ekonomi diarahkan untuk tidak bersifat eksploitatif yang merusak lingkungan serta ramah pada kehidupan sosial.

Wednesday, 29 August 2012

POLITIK EKONOMI TEMBAKAU: PERSELINGKUHAN INDUSTRI ROKOK DAN FARMASI (Mengungkap Kebohongan dan Motif Terselubung Dibalik Kampanye Anti Tembakau Global)

Oleh: Muhammad Nurjihadi, SP*
Sejak berabad-abad yang lalu, tembakau menjadi komoditas strategis dalam memajukan ekonomi suatu negara. Tidak berlebihan jika komoditas ini disebut sebagai “emas hijau”. Pada tahun 2011, pasar tembakau global bernilai sekitar US$ 378 miliar atau setara dengan Rp 3.500 Triliun. Jika dianalogikan sebagai sebuah negara, maka berdasarkan data Bank Dunia tahun 2011 negara tembakau itu akan menjadi negara dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) terbesar ke 29 di dunia. Unggul dari si raja minyak Saudi Arabia. Sejak akhir dekade 1990-an, para pelaku kesehatan gencar mengkampanyekan bahaya merokok terhadap kesehatan. Akibatnya banyak negara mengambil kebijakan pengetatan bisnis rokok dan tembakau. Tapi ironisnya, ditengah semakin menurunnya produksi tembakau global, para pelaku industri rokok justeru mengalami peningkatan pendapatan. Disamping itu, mencuatnya kekhawatiran akan bahaya merokok berhasil mendongkrak popularitas dan pendapatan industri farmasi, terutama yang berkaitan dengan tembakau. Sampai disini, kesimpulan yang saya ambil adalah “it’s just about money”.

Tembakau mulai dikenal manusia sejak abad pertama sebelum masehi. Suku Indian di Amerika diketahui menggunakan tembakau untuk keperluan pengobatan dan religius pada masa itu. Pada abad-abad selanjutnya, tembakau berkembang dan menyebar ke seluruh penjuru dunia dan menjadi salah satu komoditas penting perdagangan global (Herjuno dkk, 2012). Dalam perkembangan selanjutnya, tembakau diolah menjadi rokok yang digemari oleh orang-orang di Eropa dan Asia. Dari sinilah bisnis tembakau untuk keperluan komersil (industri rokok) mulai berkembang.

Indonesia adalah salah satu negara dengan potensi yang luar biasa untuk pengembangan tembakau. Oleh karenanya, pemerintah Kolonial Belanda dalam kebijakan tanam paksanya meminta, atau tepatnya memaksa rakyat Indonesia untuk menanam tembakau guna memenuhi kebutuhan global dan meningkatkan pendapatan negara. Seiring perjalanan waktu, pemaksaan menanam tembakau ini berkembang menjadi kebiasaan yang menyebabkan para petani tembakau yang dipaksa itu tetap menanam tembakau setelah berakhirnya politik tanam paksa. Bahkan ketika pemerintah kolonial melakukan liberalisasi ekonomi secara ekstrem di wilayah Indonesia, agribisnis tembakau tetap berkembang tanpa campur tangan pemerintah kolonial.

Industri rokok mengalami masa kejayaan pada abad ke 20. Kebudayaan merokok pada masa itu menyebar ke seluruh dunia dengan berbagai bentuk. Di Indonesia berkembang rokok tradisional yang dikenal dunia dengan nama “kretek”. Rokok kretek ini merupakan racikan asli orang Indonesia yang membuat rokok dari bahan tembakau yang ditambah dengan cengkeh dan saus sebagai penyedap rasa. Pada tahun 1913, seorang tionghoa Indonesia bernama Liem Seeng Tee untuk pertama kalinya memproduksi rokok kretek untuk keperluan komersial. Setelah mendapat sambutan yang luas dari masyarakat, industri rumah tangga Liem ini terus berkembang dan diteruskan oleh anak-cucunya. Pada tahun 1930, industri rumah tangga ini diresmikan secara resmi dengan nama NVBM Handel Maatschapij Sampoerna yang menjadi cikal bakal H.M. Sampoerna yang kita kenal hari ini. Saat ini PT H.M Sampoerna merupakan penguasa pangsa pasar rokok Indonesia dengan menguasai 25% pasar rokok mengungguli PT Gudang Garam dan PT Djarum tbk yang masing-masing menguasai 21% dan 19% (Bursa Efek Indonesia, 25 Mei 2009).

Indonesia menikmati hasil cukup besar dari industri tembakau. Pada tahun 2005, industri tembakau dengan segala multiplier effect-nya menyumbang sekitar Rp 48 Triliun untuk PDB Indonesia. Jumlah ini terus meningkat setiap tahun seiring meningkatnya penerimaan cukai tembakau. Pada tahun 2011 saja, penerimaan negara dari cukai tembakau menembus angka Rp 60,7 Triliun. Jumlah ini meningkat secara berkala dari tahun-tahun sebelumnya. Sebagai perbandingan, pada tahun 2011 negara menerima pendapatan Rp 12,9 Triliun dari cukai SDA non migas (pertambangan umum, kehutanan, perikanan dan panas bumi). Artinya nilai cukai tembakau lima kali lebih besar dibanding cukai SDA non migas (diolah berdasarkan table I-O 2005-2011 dari BPS).

Pada penghujung abad ke 20 berkembang isu bahaya merokok bagi kesehatan. Munculnya isu ini berbarengan dengan masa kejayaan industri farmasi global (obat-obatan kimia). Setelah berhasil mempengaruhi persepsi publik internasional tentang manfaat pengobatan kimia dan “tidak ilmiahnya” pengobatan tradisional, industri farmasi global menghasilkan keuntungan fantastis dari penjualan obat-obatan kimia. Atas nama “ilmu pengetahuan dan teknologi”, setiap obat yang tidak didasarkan atas penelitian di lembaga-lembaga riset formal dianggap berbahaya dan tidak bermanfaat. Akibatnya praktek-praktek pengobatan tradisional di seluruh dunia mengalami kemunduran, tak terkecuali di Indonesia. Masa kejayaan industri farmasi itu berlanjut dengan kampanye anti tembakau. Tujuannya tidak lain adalah untuk menyadarkan orang bahwa rokok mengandung nikotin yang berbahaya bagi kesehatan. Pada awalnya, isu ini mengagetkan publik dan menampar industri rokok global. Pertentangan antara industri rokok dan industri farmasi tidak dapat dihindarkan. Namun dalam perjalanan waktu, perseteruan kedua jenis industri ini menemui titik temu yang menguntungkan kedua belah pihak. Sejak itulah terjalin hubungan “perselingkuhan” antara industri rokok dan industri farmasi.

Dengan gencarnya kampanye anti tembakau global, industri farmasi meresponnya dengan memproduksi obat-obatan kimia yang bisa mengurangi dampak nikotin tembakau. Lebih dari itu, industri farmasi juga mengembangkan alat dan bahan bernilai tinggi untuk keperluan pengobatan sakit tenggorokan dan paru-paru yang disebabkan oleh aktifitas merokok. Bayangkan jumlah alat dan bahan yang dijual ke seluruh penjuru dunia untuk keperluan itu. Di Indonesia, akhir-akhir ini kita menemukan banyaknya produk baru yang berkaitan dengan aktifitas merokok. Anda tentu mengenal salah satu produk pasta gigi yang dikhususkan untuk para perokok yang sedang gencar diiklankan di media massa (saya tidak mau menyebut merek), lalu berbagai produk makanan lainnya yang diiklankan “sangat baik” untuk mengurangi bahaya merokok.

Selain keuntungan bagi industri farmasi, industri rokok juga mendapat keuntungan yang tidak kalah mengesankan dengan adanya isu anti rokok atau anti tembakau itu. Dengan adanya isu tersebut, banyak negara mengambil kebijakan khusus untuk industri rokok. Kebijakan yang diambil umumnya adalah meningkatkan pajak dan cukai tembakau dan melarang atau membatasi impor tembakau. Tingginya pajak dan cukai tembakau ini menjadi alasan industri rokok untuk membeli tembakau petani dengan harga murah. Sehingga industri rokok bisa mendapatkan bahan baku dengan harga yang murah dan menjualnya dengan harga yang tinggi. Dalam sebuah pertemuan perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak di bidang tembakau se-Asia di Jakarta pada tahun 2011 kemarin, salah seorang CEO dalam pidatonya mengatakan kita bisa memproduksi satu batang rokok dengan biaya 5 sen dan menjualnya dengan harga 1 dolar. Saya kira inilah yang menjadi alasan kenapa industri rokok terus mengalami peningkatan pendapatan ditengah terus menurunnya produksi tembakau.

Relevansi Dengan Perkembangan Tembakau Virginia Lombok
Pada sebagian masyarakat Pulau Lombok, utamanya di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah, tembakau bukan hanya sekedar komoditas. Bagi mereka tembakau adalah budaya, tradisi, cara pandang, cara hidup dan bisnis yang menjanjikan. Saya kira tidak berlebihan jika saya juga menyebut diri sebagai produk dari usahatani tembakau. Artinya tanpa usahatani tembakau, mungkin saya tidak akan mampu mengenyam pendidikan hingga sejauh ini. Meski sejak memasuki dunia mahasiswa saya menjadi salah seorang penganjur utama “Stop Usahatani Tembakau”, tapi saya tetap tidak bisa menutup mata pada fakta bahwa tembakau adalah tradisi dan cara hidup masyarakat di sebagian Pulau Lombok.

Pada masa 1990-an hingga awal 2000-an, tembakau menjadikan masyarakat di Pulau Lombok bertransformasi dari masyarakat miskin menjadi masyarakat kelas menengah. Secara mengesankan, tembakau mengantarkan orang-orang miskin pedalaman itu pada kehidupan baru. Tembakau bahkan disebut sebagai sarana penting untuk menunaikan ibadah Haji. Namun kondisi mulai berubah pada pertengahan dan akhir dekade 2000-an. Banyak petani mengalami kerugian dan menyebabkan terjadinya instabilitas sosial di masyarakat petani tembakau (Nurjihadi, 2011). Petani umumnya memahami fenomena ini sebagai sebuah fenomena biasa dalam berusaha dimana untung dan rugi adalah sesuatu yang wajar. Tapi luput dari pemahaman dan analisis mereka bahwa apa yang mereka alami adalah sebuah bagian dari sekenario ekonomi politik yang berlangsung secara global. Harapan petani untuk kembali menuai keuntungan pada tahun-tahun berikutnya nyatanya tidak terbukti. Mereka tetap rugi dan kian terjebak pada hutang yang tidak pernah mereka nikmati. Sebagian petani memang masih ada yang untung. Tapi sejauh pengamatan saya, keuntungan itu didapatkan karena kedekatan dengan “orang dalam” perusahaan. Dengan kata lain, nepotisme usaha menjadi hal wajib untuk bisa sukses dalam usahatani tembakau di Pulau Lombok. Kita tahu, sebagian besar petani tembakau itu adalah orang awam yang tidak punya jaringan cukup untuk bisa membuat mereka diuntungkan dalam usahatani tembakau.

Pada tanggal 21 April 2011, Harian Suara NTB mengatakan bahwa pemerintah menuntut agar produksi tembakau Virginia di Pulau Lombok terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan industri rokok nasional. Pasalnya sebagian besar kebutuhan bahan baku industri rokok nasional (yang berbahan tembakau Virginia) di impor dari luar. NTB hanya mampu mensuplai 40.000 ton tembakau Virginia setiap tahunnya dari total 180.000 ton kebutuhan nasional. Namun dalam pemberitaan di gomong.com tanggal 20 Agustus 2012 kemarin mengatakan bahwa telah terjadi over produksi tembakau Virginia di Lombok Timur. Dengan adanya isu over produksi ini, perusahaan membeli tembakau petani dengan harga murah (kalau tidak bisa disebut meminta tembakau petani secara Cuma-Cuma). Sungguh ironis, ketika NTB diminta meningkatkan produksinya karena dinilai produksi selama ini terlalu kecil, justeru ditingkat petani tersebar isu bahwa telah terjadi over produksi tembakau Virginia di Pulau Lombok. Sejatinya, tidak ada istilah over produksi. Kalaupun Lombok berhasil memproduksi tembakau lebih dari kebutuhan nasional, lebihnya itu bisa di ekspor ke luar negeri.

Tidak adanya harga dasar atau harga terendah yang ditetapkan oleh perusahaan mitra petani di Pulau Lombok membuat petani kian tersudut dan resah. Mereka harus bersedia menjual tembakau yang mereka produksi dengan tetesan keringat, air mata dan bahkan darah dengan harga yang ditetapkan secara sepihak oleh perusahaan. Sungguh tidak adil. Disaat harga rokok terus meningkat dan pasar tembakau global terus bergeliat, harga tembakau Virginia di Pulau Lombok justeru semakin jatuh. Sebagai putra sasak asli, sungguh saya merasa harga diri dan martabat saya dan masyarakat pulau Lombok telah diinjak-injak dan dihina oleh para perampok berkedok perusahaan itu. Tidak rela rasanya, derasnya keringat dan darah yang keluar untuk memproduksi tembakau dibayar hanya dengan harga seenaknya.

Kesimpulan
Pada dasarnya isu anti tembakau dan anti rokok yang sekarang sedang menggeliat merupakan bagian dari sekenario untuk mengeruk dan menumpuk kekayaan oleh segelintir orang kaya di dunia ini. Melalui perusahaan-perusahaan Multinasional Corporation (MNC), para penjajah ekonomi dunia itu menguasai dan mengeksploitasi sumber daya kita untuk kepentingan mereka. Di Indonesia, PT HM Sampoerna yang merupakan perusahaan rokok terbesar di Indonesia itu telah diakuisisi dan saham mayoritasnya telah dimiliki oleh perusahaan rokok multinasional bernama Philip Morris Internasional. Keuntungan industri rokok di Indonesia akan mereka bawa ke luar negeri untuk keperluan mereka. Dengan demikian, saat ini kita secara terang-terangan (namun kita tidak sadar) telah dijajah oleh mereka. Para petani diminta memproduksi tembakau dengan resiko yang besar, lalu mereka beli dengan harga murah dan dijual kembali dalam bentuk rokok dengan harga yang mahal.

Sampai hari ini RUU Tembakau Indonesia tak kunjung mampu diselesaikan. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan karena besarnya pengaruh lobi-lobi asing untuk membuat UU itu. Para petani dikerahkan untuk berdemonstrasi dengan alasan ekonomi kerakyatan agar membatalkan RUU itu. Pada saat yang sama, para investor atau pengusaha asing yang saya anggap sebagai perampok dan penjahat ekonomi itu tertawa melihat kebodohan kita. Nilai ekonomi tembakau mungkin memang mengesankan bagi petani tembakau. Tapi sebagaimana penjelasan diatas bahwa usahatani tembakau ini sudah tidak lagi menguntungkan secara ekonomi. Kalaupun misal usahatani tembakau masih dianggap menguntungkan, cobalah dihitung dan dianalisa kembali. Keuntungan yang didapat dari usahatani tembakau itu tidak bernilai apa-apa jika dibanding pengeluaran yang kita gunakan untuk menanggulangi dampak dari usahatani tembakau itu. Sebut saja misal secara makro pendapatan negara dari agribisnis tembakau (dengan keterkaitan/linkage ke depan dan ke belakangnya) pada tahun 2005 mencapai Rp 48 Triliun. Nilai itu tidak seberapa dengan pengeluaran untuk mengatasi dampak dari usahatani tembakau itu seperti perbaikan kondisi lingkungan, investasi biaya kesehatan masyarakat melalui Jamkesmas, membeli alat-alat kesehatan canggih nan mahal milik asing untuk mengobati penyakit sebagai dampak merokok, dan lain-lain.

Sungguh adalah sebuah kebodohan dan sebuah mental terjajah ada pada diri orang yang merokok. Dengan merokok, mereka dengan suka rela telah menghabiskan uangnya untuk memperkaya para konglomerat asing yang perampok itu dengan membeli rokok setiap hari. Setelah mereka mengalami dampak negatif dari rokok, mereka juga harus mengeluarkan uang, sekali lagi untuk memperkaya para perampok asing dengan membeli obat yang diproduksi oleh industri farmasi asing. Proses pengobatan di Rumah Sakit pun merupakan proses penyerahan harta secara Cuma-Cuma kepada para investor yang tidak lain adalah penjahat ekonomi itu. Jadi wahai seluruh rakyat Indonesia, saya mohon berhentilah merokok demi tegaknya harga diri dan keselamatan kita.

*penulis adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Desa, Institut Pertanian Bogor, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Contact: 081 805 775 723