Wednesday, 5 October 2011

Part 3. Sepeda Jengki Merah, Ungkapan Cinta Tanpa Romantisme

Baru kemarin sore aku dijemput dari tempat tinggal ibuku di Mataram. Iya, seminggu sebelumnya ibu datang menjemputku untuk tinggal bersamanya seminggu saja. Karena bapak hanya memberikan izin satu minggu untuk ada disana, maka kemarin aku dijemput bapak untuk pulang lagi ke desa. Waktu itu usiaku sudah lima tahun jalan.

Pagi itu, saat aku baru bangun dari tidurku, seperti biasa aku duduk ditangga rumahku untuk menyaksikan lalu lalang aktifitas warga kampungku. Hari ini serasa istimewa bagiku. Saat aku sibuk menyaksikan lalu lalang aktifitas warga desaku, Oji datang menghampiriku bersama Auzin. Mereka berdua adalah misanku. Oji yang begitu dimanja ibunya, dan Auzin yang rumahnya dilempar oleh adiknya sendiri, Rido ketika dia tidak diberikan uang belanja cukup oleh ibunya.

“ayo kita pergi sekolah had…!” ajak mereka. Tentu saja aku kaget. Rasanya aku masih terlalu kecil untuk memulai sekolah sekarang.

“tapi saya kan masih kecil..” jawabku.

“ayo dah, ayo…!!” Oji memaksa

“iya jihad, tidak apa-apa, tuh… kamu udah besar sekarang, udah saatnya kamu sekolah” bapak datang menghampiriku, berkata dengan lembut sambil memegang kepalaku.

Aku sangat senang. Sekolah adalah hal yang paling aku inginkan saat itu. Sebab dengan sekolah, bisa membuat aku terhindar dari ibu tiriku setiap pagi.

“iya,,,iya,,, aku mau” jawabku girang.

“kalau gitu, kamu mandi dulu” kata bapakku. Akupun bergegas ke kamar mandi, bapak memandikanku pagi ini. Setelah itu, aku menggunakan pakaian terbaik yang kumiliki saat itu. Aku, Oji, dan Auzin berangkat bersama untuk pergi mendaftar sekolah. Oji dan Auzin dua tahun lebih tua dariku.

Di desa kami ada banyak pilihan sekolah dasar. Lokasinya juga tidak jauh dari tempat tinggal kami. Setidaknya, ada 5 sekolah dasar yang dapat kupilih menjadi sekolahku saat itu. Tapi yang terbaik menurut warga desa kami dari semua sekolah dasar itu adalah Madrasah Ibtida’iyah Nahdlatul Wathan (MI NW Kabar). Yah,, di desa kami, loyalitas terhadap organisasi keislaman Nahdlatul Wathan memang sangat tinggi. Jika di sekolah lain kami tidak perlu membayar apapun untuk sekolah karena telah di biayai negara, di MI ini kami harus membayar SPP tiap bulannya.tapi backround NWnya membuat sekolah ini lebih diminati dan lebih bergengsi. Bahkan saking banyaknya peminatnya, ia terkadang menolak calon siswa saat itu. Calon siswa yang tertolak itulah yang kemudian menjadi siswa di sekolah lain yang ada di desa kami. Bapak memilihkanku sekolah terbaik itu untuk menempuh pendidikan dasarku.

Begitu sampai di sekolah baruku, betapa kagetnya aku, ternyata di sekolah bergengsi ini hanya menyaratkan satu hal untuk bisa diterima menjadi siswa. Mungkin ada syarat lain, tapi hanya satu syarat ini yang aku ingat, selebihnya tidak aku pahami saat itu. Ya satu-satunya syarat itu adalah aku harus bisa memegang telinga kiriku dengan tangan kanan lewat atas kepala. Jika aku mampu menggapainya, maka itu berarti aku sudah boleh masuk sekolah itu. Aku bersusah payah untuk memegang telinga kiriku dengan tangan kananku. Oji dan Auzin melakukannya dengan mudah. Mereka emang sudah cukup besar, tujuh tahun. Sementara itu, aku berusaha keras untuk bisa memegangnya, Alhamdulillah, setelah berusaha keras, akhirnya tangan kananku mampu juga menggapai telinga kiriku dari atas kepala. Aku lulus ujian masuk sekolah ini.

Satu lagi hal lucu. Petugas penerima siswa baru itu bertanya kepadaku yang didampingi kak Heri saat itu.

“siapa namamu, nak..??” tanyanya lembut

Aku menjawab dengan sigap, “aku punya dua nama pak, satu Muhammad Syahrul Jihadi, satu lagi Muhammad Nurjihadi”.

Saat itu aku memang bingung, karena dua nama itulah yang dikatakan bapak sebagai nama lengkapku. Ibu selalu memanggilku dengan syahrul di usia kecilku, karena memang sebelum kedua orangtuaku bercerai, keluarga telah bulat memberiku nama Muhammad Syahrul Jihadi. Tapi belakangan, atas saran dari Tuan Guru Maulana Syeh Zainudin Abdul Madjid Pancor yang sangat dihormati itu, namaku akhirnya dirubah menjadi Muhammad Nurjihadi. Bapak sebenarnya lebih senang dengan nama yang pertama, Muhammad Syahrul Jihadi.

“tidak bisa begitu nak, namanya harus satu” jawab petugas itu sembari senyum.
Aku bingung, aku menatap wajah kak Heri yang mengantarku waktu itu.

“namanya Muhammad Nurjihadi pak” sahut Kak Heri kemudian.

Jadilah sejak saat itu, namaku tak pernah lagi dirubah hingga kini. Di semua ijazah dan keterangan identitas lainnya, namaku tetap Muhammad Nurjihadi. Sejak saat itu pula aku mulai melupakan nama pertamaku. Tapi tidak dengan ibu, beliau tinggal terlalu jauh dari tempat kami. Beliau hanya tau nama yang beliau sepakati dulu bersama bapak, sehingga selama beberapa tahun beliau tetap memanggilku syahrul, sampai akhirnya beliau mendapat penjelasan dan beralih memanggilku Jihadi.
*****

Tanpa terasa satu tahun sudah aku menjalani hari-hari sebagai seorang siswa di MI NW Kabar. Aku blajar membaca, menulis, menggambar, dan tentu saja bernyanyi. Kini di ujung tahun ajaran, sekolah harus melakukan evaluasi hasil belajar untuk menentukan kenaikan kelas siswanya. Ada 34 orang yang terdaftar sebagai siswa kelas satu saat itu. Kami pun diuji dengan ujian yang layak.

Saat yang dinanti pun akhirnya tiba. Saat itu adalah saat pembagian “rapot” kami menyebutnya. Entah dari mana kata itu datang. Sejauh yang aku tau, itu adalah bahasa inggris “Raport” yang berarti laporan yang kemudian disebut dengan lidah melayu, jadilah ia disebut “rapot”. Melalui rapot ini, perkembangan belajar kami selama setahun dilaporkan ke orangtua, termasuk keputusan naik atau tidaknya kita ke kelas atau jenjang berikutnya. Melalui rapot ini pula, akan disampaikan kita ada di peringkat ke berapa dalam prestasi akademik di kelas.

Satu persatu temanku dipanggil urut berdasarkan urutan absen. Oji dan Auzin dipanggil lebih dulu. Yah, nama mereka emang berawalan huruf yang posisinya lebih dulu dari namaku. Oji bernama asli Fauzi Ahmad Affandi, inisial namanya adalah “F”, dan Auzin bernama asli Ahmad Auzin Afifi, inisial namanya berhuruf “A”. sedangkan aku, inisial namaku adalah huruf “M”. jadi merka punya nomor absen lebih rendah di kelas kami. Auzin yang pertama mengambil rapot membuka rapotnya dan ternyata ia mendapat juara satu (1) alias menjadi yang terbaik di kelas. Ia tersenyum dengan hasilnya. Ia pun mendapat hadiah atas rangking itu. Fauzi pun membuka rapotnya. Dia mendapat rangking tiga (3). Dia juga mendapat penghargaan berupa buku dari prestasi itu. Maka tibalah giliranku dipanggil. Saat rapot itu diserahkan, bu’ guru yang memberi rapot tidak memberikanku hadiah seperti yang diberikan kepada Auzin dan Oji. Aku hanya mendapatkan rapot itu. Aku buka rapot itu yang ternyata disana tertulis dengan sangat jelas bahwa aku berada pada peringkat 34 dari 34 siswa.

Aku berteriak sekeras yang aku bisa. Bukan menangis, tapi tertawa bangga. Aku sangat senang. Aku mengejek Auzin dan Oji yang rangkingnya rendah.

“saya yang paling besar rangkingnya disini, saya paling pintar” teriak saya.

Ibu guru yang melihat dan mendengar omongan saya itu hanya tersenyum, tak berkata apapun, tapi senyumnya begitu lebar, seolah mengiyakan perkataanku. Jadilah aku anak paling senang saat itu. Auzin dan Oji berhasil aku buat gelisah dan merasa sedih karena ulahku. Sepanjang perjalanan pulang dari sekolah ke rumah, aku berteriak kegirangan. Menyapa setiap orang yang kutemui dengan kesenangan luar biasa. Aku meloncat-loncat kegirangan dengan mengangkat rapotku. Memamerkan kepada setiap orang yang ku temui. Aku sangat senang.

Begitu jelas tergambar dalam benakku hingga kini, betapa saat itu aku sangat senang karena ketidak tahuanku. Aku tidak tahu jika bukan angka yang banyak yang bagus jika berbicara tentang rangking. Rangking 34 dari 34 siswa berarti saya adalah yang terbodoh dikelas, tapi paling bahagia di hari itu. Merasa menjadi yang terbaik di hari itu. Semua duka karena konflik keluarga saya lupakan sejenak. Dalam benak saya, bapak pasti akan senang dengan hasil ini. Aku tidak sabar ingin segera sampai rumah dan memperlihatkan hasil ini kepada bapak, juga kakak-kakakku.

“assalamualaikum…” aku mengucap salam dengan suara kencang nan lantang penuh kebanggaan.

“waalaikumsalam, nah… mana rapotnya,,,??” jawab bapak

“ini pak, rangkingku paling besar di kelas pak, aku dapat rangking 34, Auzin sama Oji sedikit rangkingnya, Auzin Cuma rangking 1, dan Oji Cuma rangking 3” jawabku lugu..

Bapak, kakak-kakakku dan semua yang ada disana saat itu menertawakanku.. mereka tertawa terlalu keras, terbahak-bahak, dan tak tertahankan. Bahkan tawa mereka serasa masih kudengar jelas saat tulisan ini aku buat, 15 tahun sejak kejadian itu. Dugaanku ternyata benar, mereka akan senang dengan hasil ini. Buktinya mereka tertawa dengan kencangnya setelah melihat rapot dan mendengar penjelasan lugu dariku. Tapi aku tau, ada yang salah dengan tawa itu. Bukan begitu tawa orang yang senang. Itu adalah tawa ejekan.

Tak lama berselang, bapaknya Oji dan kakaknya Auzin datang ke rumah, bermaksud menanyakan berapa rangkingku sekaligus untuk bercerita bahwa Auzin dan Oji dapat rangking yang bagus. Mendengar penjelasan dari bapak dan kakak-kakakku, mereka juga akhirnya menertawakanku. Akhirnya aku sadar, bahwa aku salah. Rangking yang baik dan membanggakan itu bukanlah rangking yang besar, tapi rangking yang kecil. Aku jadi minder dibuatnya setelah itu. Hari itu sekaligus aku memahami bahwa ternyata aku adalah orang terbodoh di kelasku. Sungguh, anak usia eam tahun itu jadi begitu malu dibuatnya.

Keesokan harinya, giliran teman-teman kelas yang mengejekku. Oji dan Auzin mengejekku terus-terusan. Ejekan itu membuatku menjauh dari mereka dan mengasingkan diri dari pergaulan dari komunitas kecilku. Kami memang sedang libur, tapi apa lah artinya libur di sekolah kami. Bukankah semua siswanya dari desa itu juga..??. jadi setiap hari kami tetap bertemu, tapi bukan di kelas melainkan di area bermain. Tetap saja, aku tetap diolok tentang kejadian itu, meski saat bermain.

Seperti biasa, hari ini aku mendatangi rumah Auzin untuk bermain. Tapi Auzin sedang tidak dirumah, dia juga sedang pergi bermain kata ibunya. Akupun lalu ke rumah Oji, tapi dia ternyata satu rombongan dengan Auzin. Yah, akhirnya aku harus bermain sendiri hari itu. Saat panas mulai terik dan memaksa tubuh mengeluarkan cairan asin, Auzin dan Oji akhirnya pulang. Ternyata mereka baru saja pulang bermain sepeda. Masing-masing mereka menunggang sepeda baru yang dibelikan orangtua mereka sebagai hadiah prestasi kelas mereka. Ya, saat itu sepeda sedang menjadi tren bermain anak seusiaku.

Esok harinya aku juga harus merelakan diri untuk bermain sendiri, sebab Auzin dan Oji sudah punya teman bermain baru, sepeda mereka. Aku sangat ingin memiliki sepeda, tapi apa daya, tidak ada alasan bagiku untuk memiliki sepeda. Meski bapak mungkin mampu membelikannya untukku, tentu saja ibu tiriku tidak mudah untuk mengizinkan, apa lagi dengan menyandang predikat sebagai siswa terbodoh di kelasku. Hari-hari yang kulalui terasa sepi, aku hanya berkawan sepi dan mimpi untuk menunggangi sepeda.

Masa libur sekolah masih panjang, jadi aku harus menghabiskan waktu pagiku setiap harinya untuk memimpikan sepeda. Hari itu aku tidak lagi kuat untuk berkawan sepi dan mimpi di pagi hariku. Lebih-lebih bersama ibu tiriku. Jadi hari itu aku mengikuti Auzin dan Oji untuk pergi bermain sepeda. Mereka menunggangi sepeda mereka, sementara aku hanya berlari mengejar mereka yang melaju kencang dengan sepedanya. Sesekali, salah seorang diantara mereka memboncengku. Bukan hanya Auzin dan Oji, tapi juga teman-teman yang lain. Jika sudah lelah, aku turun lagi dan berlari lagi mengikuti ayunan sepeda mereka. Itulah hari-hari liburku selanjutnya, berlari mengejar sepeda.

Libur sekolah akhirnya habis, kami harus mulai masuk ke sekolah untuk kembali menuntut ilmu. Aku senang karena itu berarti aku punya aktifitas lain selain pergi berlari bersama orang yang mengayuh sepeda. Meski saat pulang sekolah, rutinitas itu aku lakukan lagi. Tapi hari ini aku serasa terasingkan di sekolah. Dihari pertama masuk sekolah, teman-teman mengucilkanku dan menghardikku. Mereka mengatakan aku tidak naik kelas, jadi tidak boleh duduk bersama mereka dibangku kelas dua. Aku tidak mau diperlakukan seperti itu. Dalam raport secara jelas disebutkan bahwa aku “naik ke kelas dua”. Tapi teman-teman tidak percaya. Menjadi pemegang rangkin terakhir di kelas membuat mereka menganggap bahwa aku tidak naik kelas. Sebab ada satu orang teman lain yang rangkingnya lebih baik dari rangkingku justeru tidak naik kelas. Aku tidak mengerti kenapa, yang pasti di rapotku tertulis jelas bahwa aku naik ke kelas dua, sementara teman yang kumaksud tidak naik kelas itu memang dinyatakan tidak naik kelas di kelas kami saat itu.

Aku tertolak dikelas dua. Tidak ada satupun teman yang menerima aku ada dikelas itu, termasuk Auzin dan Oji yang tidak hanya sekedar sahabatku, tapi juga saudaraku. Akhirnya aku terpaksa duduk kembali di kelas satu. Tapi ketika aku belajar dikelas satu, bapak/ibu guru yang melihatku pasti akan menegurku dan memintaku untuk duduk di kelas dua karena mereka menganggap aku kelas dua. Kejadian ini berlangsung selama hampir dua bulan. Jika aku pulang lebih pagi, maka itu berarti hari itu aku duduk di kelas satu. Tapi jika pada hari itu aku pulang lebih telat atau agak siang, maka itu berarti hari itu aku duduk di kelas dua. Setiap hari aku menggilirkan kelasku. Hari ini kelas satu, maka besok aku kelas dua. Begitu seterusnya sampai kurang lebih dua bulan.

Suatu hari, aku pulang pagi yang berarti bahwa hari itu aku duduk di kelas satu. Bapak ada dirumah saat itu.

“loh, kok kamu pagi sekali pulang sekolah nak..??” Tanya bapak

“saya hari ini kelas satu pak…” jawabku santai

Bapak emang sering menanyakan hal yang sama kepadaku. Pada akhirnya beliau menjadi paham bahwa jika aku pulang agak siang itu berarti aku kelas dua, dan demikian pula sebaliknya.

“tu ada hadiah untuk kamu…” kata bapak sambil menunjuk ke arah sepeda yang diparkir dipinggir pintu lengkap dengan bungkus dan segelnya.

“ini punya saya pak..??” aku bertanya balik

“ya iya lah, kalo disitu tempatnya, kamu sudah yang punya” jawab bapak degan gaya hasnya.

“horeeeeeee…” aku berteriak kegirangan.

Ternyata bapak begitu perhatian kepadaku. Aku tidak pernah meminta untuk dibelikan sepeda, karena tentu saja aku tau diri bahwa bapak tidak mungkin membelikannya untukku. Tapi iya adalah bapakku, tentu saja beliau memiliki kepekaan terhadap kondisi anaknya. Mungkin juga karena beliau malu melihat anaknya setiap hari berlari mengejar temannya yang mengayuh sepeda. Betapa senangnya aku. Meski mendapat penolakan dari isterinya, ibu tiriku, bapak tetap membelikan sepeda untukku. Aku menjadi semakin sadar, bahwa bapak selama ini mencintaiku, meski beliau tidak pernah kudengar mengatakan “aku menyayangimu, nak…”.

Sepeda itu tidak biasa. Ya, sepeda jengki berwarna merah. Sepeda jenis itu tidak ada di desaku saat itu. Biasanya hanya orang kota yang menggunakan sepeda melankolis itu. Aku mengetahuinya karena aku sering melihat orang menggunakan sepeda seperti itu saat aku ada di kota, di rumah ibu. Bapak memang sosok yang luar biasa. Beliau tidak pernah ingin diremehkan dan melihat anaknya diremehkan. Beliau memberikan untukku sesuatu yang saat itu mungkin tidak terpikirkan oleh orangtua teman-temanku yang lain. Seolah berhutang, bapak hari ini membayar lunas hutangnya kepadaku. Ya, beliau berhutang karena selama ini membiarkan anaknya berlari dan terus berlari mengejar temannya yang bersepeda. Aku adalah penunggang sepeda jengki pertama di desaku. Dan setelah itu, ada banyak orang yang mengikuti tren sepedaku. Bapak menjadikanku trendsetter saat itu. Sepeda jengki merah itu adalah ungkapan cinta tanpa romantisme. Pemberian itu lebih dari sekedar kata-kata gombal yang dianggap romantis oleh orang. Oohh,,, terimakasih bapak.

Suatu ketika, saat aku duduk dibangku kelas satu, kepala sekolah kami masuk kelas untuk mengajar kami, mengganti guru kelas kami yang kebetulan hari itu tidak masuk sekolah karena sakit. Kepala sekolah yang kami kenal sangat galak sekaligus berwibawa. Jadi apapun yang dikatakannya pasti kami dengar. Saat beliau sedang asyik mengajarkan kami, beliau melihat ke arahku. Sontak saja beliau marah dan bertanya dengan geram,

“kenapa kamu disini,,? Kamu kan kelas dua”

“saya tidak diterima dikelas dua sama teman-teman pak, mereka bilang saya ketinggalan” jawabku.

“ikut saya,,,,” beliau lalu menarik tanganku dan mengantarkanku ke kelas sebelah, kelas dua.

Setelah meminta izin pada guru yang mengajar di kelas dua, bapak kepala sekolah berdiri didepan kelas masih dengan menggandeng tanganku. Dengan tegas beliau menyampaikan kepada semua siswa kelas dua bahwa aku kelas dua, sehingga tidak boleh ada seorang pun yang mengusirku dari kelas. Sejak saat itu, aku duduk di kelas dua dan tidak lagi duduk dikelas satu. Aku kini sekelas dengan permanen bersama Auzin, Oji, dan teman-temanku yang lain. Sampai saat ini aku tidak mengerti kenapa saat itu aku duduk di dua kelas dengan tingkat yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Aku tidak paham kenapa aku dinyatakan naik kelas, padahal ada teman yang rangkingnya lebih baik dariku dinyatakan tidak naik kelas. Entahlah, aku tidak pernah mencari jawaban atas pertanyaan ini.

Sepeda jengki merah yang dibelikan bapak untukku sedikit tidak menumbuhkan kepercayaan diriku. Tampil beda dan akhirnya menjadi trendsetter. Setiap hariku kini tidak lagi harus berlari untuk mengejar teman-teman yang bersepeda. Aku tidak lagi terkucilkan, dengan itu aku menjadi bangga. Bapak mengatakan itu hadiah untukku, tapi aku tidak pernah tau hingga kini dalam rangka apa hadiah itu diberikan. Jika Auzin dan Oji mendapatkan hadiah sepeda, jelas karena saat itu mereka menjadi juara dikelas. Teman-temanku yang lain memiliki sepeda karena mereka merengek kepada orangtuanya untuk dibelikan sepeda. Tapi aku tidak, hadiah itu diberikan bukan karena aku juara, bukan pula karena aku meminta. Itu hanya hadiah untukku, hadiah sebagai bukti cinta bapak untukku. Hadiah yang diberikan untuk mengungkapkan betapa beliau mencintaiku,

No comments: