Sunday, 9 October 2011

MELEJITKAN POTENSI DESA UNTUK INDONESIA MAJU DAN SEJAHTERA

(disampaikan sebagai pidato politik dalam temu pelajar-mahasiswa NTB 2010 di Mataram)
Oleh : Muhammad Nurjihadi
Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa dengan jumlah penduduk terbesar di Dunia. Sensus penduduk terakhir mencatat jumlah penduduk Indonesia melampaui angka 200 juta orang. Sungguh, populasi yang besar ini merupakan potensi yang luar biasa untuk melakukan aktifitas pembangunan. Meski demikian, bangsa kita seolah – olah memandang bahwa jumlah penduduk yang begitu besar itu adalah sebuah ancaman. Kekhawatiran ini menjadi dasar pemerintah untuk membatasi jumlah kelahiran anak dalam rumat tangga. Sejak zaman orde baru, pemerintah mencanangkan program KB untuk mendukung upaya itu. Pemerintah berdalih bahwa ketersediaan lapangan pekerjaan, pendidikan, dan penghidupan yang layak tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang begitu besar.

Tuhan telah menitipikan bangsa ini kepada kita beserta seluruh kekayaan yang ada didalamnya, baik yang terwujud secara fisik (material) maupun yang tidak terwujud (immatirial). Gunung – gunung vulkanis menjulang tinggi, menebar kesuburan yang tiada terkira bagi tanah – tanah disekitarnya. Lautan dan samudra terbentang luas, dihuni oleh ikan dan binatang laut lainnya yang tak kunjung habis dimakan sampai tujuh turunan sekalipun. Hutan hujan tropis tersebar luas disetiap pelosok negeri, memberikan keteduhan, menyediakan ruang hidup yang baik bagi berjuta – juta spesies mahluk ciptaan Tuhan. Bukit – bukit hijau menjulang dimana – mana, menyimpan kemegahan emas, perak, tembaga, dan barang – barang mewah lainnya. Ditanah ini, setiap batang yang anda lempar atau tancapkan, akan tumbuh subur tanpa harus repot memeliharanya. Hanya ada disini saudara, di INDONESIA.
Lalu, mengapa kita harus menjadi bangsa yang paranoid, bangsa yang mengecilkan kebesarannya, dan bangsa yang merapuhkan kekuatannya dengan membiarkan sikap psimistis yang mematikan menguasai jiwa – jiwa kita, jiwa para penguasa dan jiwa rakyatnya. Seharusnya kita tidak perlu mengkhawatirkan jumlah masyarakat kita yang besar, karena Tuhan telah menjaminkan kehidupannya dengan memberikan kita kekayaan alam yang melimpah ruah. Tidak sebandingnya jumlah penduduk dengan ketersediaan pekerjaan, pendidikan, dan akses ekonomi sebagaimana yang dikhawatirkan pemerintah bukan karena negeri ini miskin, tapi lebih karena kegagalan pemerintah dalam proses pembangunan yang menggunakan srategi pembangunan yang keliru.
Pada masa orde lama, pemerintah hampir tidak sempat memikirkan kemakmuran rakyatnya dengan melakukan pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena elit – elit politik saat itu sibuk mencari jati diri bangsa, terjebak dalam krisis idiologi yang tak berkesudahan serta konflik idiologis yang mengerikan. Era selanjutnya yang dikenal dengan orde baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto berhasil menstabilkan politik nasional dan berfokus pada pembangunan nasional. Harus diakui bahwa upaya ini sedikit tidak mampu memajukan harkat dan martabat bangsa Indonesia dari segi ekonomi, meskipun pada akhirnya kita tahu bahwa rezim ini menjual negara dan rakyatnya untuk keperluan itu. Rezim orde baru menggunakan pendekatan top-down dalam proses pembangunannya, sehingga memungkinkan rakyat yang lebih dekat dengan pusat pemerintahan lebih sejahtera daripada rakyat yang ada dipelosok – pelosok desa, terutama di kawasan Indonesia Timur. Kebijakan pembangunan digodok dan dibentuk di Jakarta untuk membangun daerah – daerah di Papua, Maluku, NTT, NTB yang notabene memiliki tingkat pengetahuan, keterampilan, dan kebutuhan yang berbeda.


Runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 merupakan antiklimaks dari kekecewaan rakyat terhadap pendekatan pembangunan yang keliru itu. Pembangunan model itu telah menyeret Indonesia pada hutang luar negeri yang nilainya jauh melebihi nilai APBN yang ada saat itu, sementara hasilnya nihil. Masyarakat yang ada di desa – desa tetap miskin, bahkan negara secara nasional akhirnya mengalami krisis ekonomi terparah sepanjang sejarah sebagai akibat dari kesalahan strategi pembangunan nasional.
Sekarang, di era reformasi ini bangsa kita memilih haluan lain, menggunakan metode lain dengan pendekatan teoritis sebagai strategi pembangunan nasional. Strategi top-down peninggalan orde baru ditinggalkan dan berbalik arah dengan menggunakan pendekatan Buttom-up. Rencana pembangunan disusun di desa – desa melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musyrenbangdes), lalu kemudian di generalisasikan ke bentuk yang lebih umum menurut skala prioritas pada Musyrenbangcam untuk kemudian diusulkan pada MusyrenbangKab sebagai acuan dalam Musyrenbangprov dan kemudian digodok dan diputuskan secara nasional pada Musyrenbangnas atau national summit. Secara kasat mata, metode ini seolah – olah memberikan demokratisasi kepada rakyat yang ada di desa – desa untuk merencanakan pembangunannya sendiri. Namun, metode ini tidak lain dan tidak bukan hanya merupakan strategi pemerintah untuk menutup – nutupi kepentingannya dalam proses pembangunan nasional. Sebab kebijakan pembangunan nasional yang diambil pada saat national summit tetap menyamaratakan seluruh daerah dalam tataran aplikasi. Padahal, saya ingin mempertegas sekali lagi bahwa potensi setiap daerah bahkan setiap desa dalam suatu daerah BERBEDA – BEDA. Selain itu, untuk sampai pada national summit, rencana pembangunan yang disusun di desa umumnya telah lenyap karena telah melewati banyak rangkaian, mulai dari kecamatan, kabupaten, dan provinsi yang juga syrat akan kepentingan sekelompok orang. Itulah sebabnya, sepuluh tahun setelah reformasi bergulir, bangsa ini belum keluar dari belenggu kemiskinan yang menyesakkan.

Kini saatnya kita mengembangkan strategi baru dalam pembangunan nasional kita. Wilayah Indonesia yang sebagian besar adalah desa, juga 60% dari lebih dari 200 juta masyarakatnya tinggal di desa harus diberikan hak penuh secara merdeka untuk merencanakan pembangunan desanya serta bertanggungjawab secara penuh atas aplikasinya. Hanya dengan membangun partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan, kita dapat menikmati hasil pembangunan yang mensejahterakan. Partisipasi ini harus dikembangkan dan didorong oleh pemerintah dengan memberikan sejumlah anggaran yang jelas kepada setiap desa sebagai jaminan bahwa rencana yang disusun dapat langsung diimplementasikan oleh rakyat yang merencanakannya itu.
Pendekatan ini saya usulkan, karena selama ini partisipasi masyarakat hanya dilibatkan pada proses perencanaan, tapi sering dilupakan ketika proses pelaksanaan program pembangunan. Ke depan, pemerintah harus berani merealisasikan anggaran “1 desa Rp 1 milyar” dengan dikelola oleh badan khusus (misal: Bappeda atau badan lainnya). Ketika anggaran itu diminta oleh masyarakat desa untuk melaksanakan aktifitas pembangunan sebagaimana yang mereka rencanakan, maka badan yang bertanggungjawab itu harus merealisasikannya dan mengawasi penggunaannya. Dengan begitu, pembangunan yang dilakukan akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa. Jika semua desa sudah berhasil melakukan pembangunan dengan model ini, maka akan tercipta kemandirian masyarakat dan menguatkan ekonomi nasional serta tentu saja mengangkat harkat dan martabat bangsa dan yang paling penting, kita menghapus kemiskinan dari bumi Indonesia.

Hanya ini yang dapat saya sampaikan, saya berharap gagasan ini mendapat dukungan dari banyak pihak, terutama pemerintah. Karena saya masih dalam keyakinan yang kuat bahwa model ini akan mampu membawa Indonesia keluar dari keterpurukan yang seolah tak berujung ini.
Mari kita bangkit dari keterpurukan, kita bunuh sikap paranoid, psimis, dan tidak percaya diri. Karena kita terlahir tidak untuk misikin, tidak untuk menderita, tapi untuk sejahtera.
Merdeka…..!!
Terimakasih dan wassalamualaikumwarahmatullahiwabarakatu

No comments: