Pagi itu begitu indah. Merahnya mentari baru saja menggantikan sinar penuh bulan purnama. Sungguh indah. Di tambah dengan suhu yang cukup dingin, memaksa siapapun yang tersadar untuk melindungi dirinya dengan jaket tebal, bahkan dengan selimut tebal yang saat itu hanya beberapa orang saja yang punya. Ketika itu, aku bangun cukup pagi, setidaknya aku lebih dulu bangun dari bapak dan kakak-kakakku. Ya, mereka memang jarang bangun pagi, sehingga salat subuh pun terkadang mereka lalai. Tapi ilmuku tak cukup banyak untuk menasehati siapapun saat itu, apa lagi orangtuaku sendiri.
Hari beranjak siang. Pelan tapi pasti, mentari pagi lenyap berganti terik matahari yang hangat. Ku lihat lalu lalang kesibukan orang yang mencari rezeki Tuhan yang berserakan di muka bumi. Mulai dari anak kecil hingga orang dewasa, bahkan yang sudah uzur pun sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Anak-anak yang berseragam merah putih, atau putih hijau meramaikan desa kami. Mereka berangkat ke sekolah dengan begitu bersemangat. Mereka berangkat bergerombolan. Ada yang membawa tas kain untuk membawa bukunya, ada pula yang hanya menggunakan tas kresek untuk melindungi alat tulisnya, dan ada pula yang hanya membawa sebuah buku lecek tanpa tas. Tapi kebanyakan mereka tidak menggunakan sepatu. Jika di perhatikan satu persatu, kaki mereka kumal-kumal, dekil, dan sekali saja di garuk, bekasnya akan menimbulkan garis-garis putih di betis. Sehingga betis-betis mungil itu terlihat bagai kulit timun tua yang siap di manfaatkan petani sebagai benih timun pada musim tanam berikutnya. Aku hanya bisa memperhatikan dari tangga rumahku yang terbuat dari tanah yang berada di pinggir jalan tempat lalu lalangnya para generasi gemilang pelosok desa ini. Karena saat itu, usiaku memang belum cukup untuk dapat mengenakan seragam seperti mereka.
Ketika hari semakin siang, bintang-bintang kecil itu tak lagi menghiasi desa kami. Mereka sudah sibuk mendengarkan pelajaran dari guru-guru mereka di sekolah. Kini saatnya jalanan-jalanan desa kami di ramaikan oleh bapak-bapak tani yang menenteng cangkul dan sebuah kain di pundak pergi ke sawah mereka. Namun tidak bapakku. Kami memang tidak punya tanah yang bisa di garap. Setiap harinya bapakku menyibukkan diri dengan aktivitasnya sebagai tukang ojek. Berkali-kali aku melihatnya bolak-balik dengan menggonceng orang yang berbeda-beda. Sementara kakak-kakakku, semuanya pergi sekolah. Tinggallah aku dirumah seorang diri di temani sang ibu tiri. Tapi aku tak berani kalau harus ada di rumah sendiri dengan ibu tiriku. Jadi setiap hari aku pergi ke rumah bibikku untuk sekedar duduk di halaman rumahnya, meskipun rumah itu pun sepi. Tapi hari itu berbeda, rumah bi’ Semah tidak sepi. Disana aku melihat bi’ Semah sedang bermain dengan anaknya yang juga misanku yang sebaya denganku. Ya, aku biasa memanggilnya Oji. Sambil memakan sebuah apel besar yang berwarna merah, Oji di dorong oleh ibunya diatas sebuah sepeda plastik yang saat itu hanya bisa di miliki oleh orang kaya. Orangtua Oji memang kaya, ibunya adalah seorang pedagang yang lihai dan sukses. Sedangkan bapaknya adalah seorang kepala sekolah di desa lain. Ia setiap hari di suguhkan makanan-makanan yang mewah, yang biasanya di konsumsi orang kota.
Aku duduk di halaman rumah yang berupa tanah seperti biasa. Aku memandangi dua orang ibu dan anaknya begitu mesra dan bahagia. Sesekali bibir bi’ semah membasahi pipi Oji. Mereka tertawa dan terus saling menggoda. Kedua tanganku menopang beban wajahku, karena aku duduk bersila dengan ke dua tangan menopang dagu. Memandangi Oji yang begitu di manja ibunya. Terbersit Tanya dalam diriku, kapankah aku bisa merasakan hangatnya kasih sayang seorang Ibu seperti itu. Bi’ Semah beberapa kali melihatku. Tapi entahlah, hari ini sepertinya dia sedang tidak mau menegurku. Biasanya, setiap kali dia melihatku duduk di halaman rumahnya, dia akan memberiku, setidaknya sepotong pisang. Tapi hari ini tidak, bahkan seuntai senyum pun tak ku dapat darinya. Kemarin sore, dia memang ribut sama bapakku. Aku tak tahu persis apa sebabnya. Yang ku ingat, bi’ Semah sering kali menjadikan pemberian-pemberiannya kepadaku sebagai senjata untuk menyerang bapakku. Seolah bertaubat, hari ini bi’ Semah tidak mempedulikanku sama sekali. Bahkan sesekali aku melihat ia sengaja memamer-mamerkan makanan yang di makan Oji. Belum habis yang satu, makanan yang lain di keluarkan lagi dari dalam rumahnya, dan terus begitu, padahal Oji sendiri sudah kelihatan muak dengan makanan-makanan itu.
“ini nak, makan, biar kamu cepat besar dan pinter” kata bi’ Semah pada Oji Sambil menyodorkan sebuah apel merah besar.
“ngga’ bu’, Oji sudah kenyang, kasi Jihat aja ya…”jawab Oji
“ngga’ usah nak, dia kan punya bapak, nanti bapaknya yang kasih. Ia sudah kalo kamu ga’ mau makan, biar ibu buang aja ya”
Oji hanya mengangguk. Ya, dia sama sepertiku. Belum tahu apa-apa. Tapi dia semakin jauh dari tahu karena dia terlalu dimanja. Tidak sepertiku yang ketika itu merasa terhina. Terhina karena bibikku sendiri lebih memilih membuang makanan itu dari pada harus memberikannya padaku. Tapi bukan itu yang membuat aku menangis hari itu. Tapi aku menangis karena tidak bisa sekedar di dekap oleh ibuku. Setiap pagi aku harus pergi dari rumah, menghindar dari masalah. Kapankah di hari pagiku, aku merasakan hangatnya kasih sayang seorang ibu.
Iri. Mungkin kata itu tidak salah ditujukan padaku saat itu. Karena aku tidak seperti Oji yang setiap hari tidak pernah lepas dari dekapan sang bunda. Aku tidak tahu harus menuntut kepada siapa. Jangankan kasih sayang, yang sekedar mengawasiku setiap pagi pun tidak ada. Kakakku sibuk dengan sekolahnya. Dan bapakku sibuk mencari serpihan-serpihan logam untuk makan nanti siang. Sementara, ibu tiriku sibuk dengan dirinya sendiri dan menyiapkan makan siang untuk kami. Kalau pun aku harus diam di rumah, aku hanya akan menjadi sasaran kemarahan ibu tiriku apa bila ada kesalahan yang meskipun bukan aku yang membuat kesalahan itu.
“bu’ capek ah, Oji mau bobo’ …!!” kata Oji dengan nada memanja
“mmm… ia sudah, ayo turun..” kata Bi’ Semah sambil menawarkan kedua tangannya kearah Oji. Oji lalu menyambut tangan manis bundanya dan jadilah dia di gendong sang bunda untuk di tidurkan.
Aku belum beranjak dari tempat dudukku, bahkan posisiku pun tidak berubah sedikitpun. Aku berpikir jauh melebihi kapasitas kemampuan berpikir anak usia tiga tahun sepertiku. Aku tak tahu, apakah ini namanya merenung atau melamun. Yang ada dalam benakku adalah sosok sang bunda yang sedang memanjakanku persis seperti Oji di manja Ibunya. Atau, hanya sekedar menggendongku, lalu sesekali menciumku. Dalam benakku, kejadian dalam renungan ini bukanlah mimpi belaka, tapi adalah sebuah kepastian yang akan terjadi kelak. Meski aku tak tahu, kapan kata “kelak” itu berganti “sekarang”.
Puas melamun, aku berdiri dari tempat dudukku. Sudah cukup banyak air mata yang terurai hanya untuk merenung atau pun melamun di dekap bunda. Aku bangun dan meninggalkan rumah bi’ Semah. Lalu aku ke rumah Bi’ Aminah. Dia juga punya dua orang anak kecil yang sebaya denganku. Pipi, dan Rido. Sebenarnya Bi’ Aminah punya banyak anak, tapi semuanya sedah besar. Dan keadaan ekonomi Bi’ Aminah juga tak begitu baik. Saat aku kesana pagi itu, aku menyaksikan kisah lain yang jauh berbeda dari kisah Oji tadi. Rido sedang ngambek, lalu ia keluar dari dalam rumahnya dan kemudian melempari rumahnya sendiri dengan batu. Sementara ibunya mengomel dari dalam rumah. Aku tak tahu kenapa seperti ini. Ternyata hidup samaan dengan ibu tak selamanya menyenangkan. Buktinya Rido saja sampai melempari rumahnya sendiri, hanya gara-gara ia tidak dikasi uang belanja lebih oleh Ibunya. Aku jadi terpikir jika seandainya aku yang berkelahi dengan ibu. Tapi, cepat-cepat ku tepis pikiran jelek itu, karena ku tahu ibu sangat menyayangiku.
Saat matahari semakin perkasa. Setelah aku melewati pagi tanpa sarapan dan penuh pelajaran. Letih akhirnya menusuk tulang rusukku. Aku lalu memutuskan untuk pulang. Jam-jam siang seperti itu, biasanya ibu tiriku sudah tidur, jadi aku tidak perlu hawatir. Aku membaringkan tubuhku di atas karpet di teras tumahku, tempat biasa aku tidur. Ku usap keringatku dengan sarung yang ku kenakan dari pagi. Sarung yang selalu setia menemaniku. Yang ku gunakan duduk dan tidur di tanah, bahkan juga ku gunakan sebagai tempat membuang ludahku.
“woooooooiiiiiiiiiiiii” sebuah teriakan keras segera membuatku bergerak reflek bangkit dari baringku.
”gini ya, puas ngambar terus enak-enakan tidur” sambungnya masih dengan suara tinggi.
“mmm” aku hanya diam, tak tahu apa yang harus ku katakan
“udah, sekarang kamu masuk, bersihkan tempat tidurmu…!!”
Aku tak permasalahkan perintahnya, tapi yang ku permasalahkan adalah teriakannya. Meski aku belum mampu, bahkan belum ngerti apa itu “membersihkan”, tapi tetap ku jalankan perintahnya. Ku bersihkan tampat tidurku yang juga tempat tidur ke 3 kakakku, tempat tidur kami ber-empat yang hanya beralaskan sebuah karpet biru dan disekat oleh lemari. Ya, satu kamar yang bertembokkan lemari untuk kami ber-empat. Kamar kenangan dan sekaligus kamar perjuangan yang keberadaannya takkan pernah ku lupa sampai kapanpun. Penuh romantika dan luapan emosi. Tempat biasa ku teteskan air mata ketika aku sedang lara, atau ketika aku tak mampu membendung rasa rinduku kepada ibu. Seperti hari ini, air mata berjatuhan bagai Kristal dari mataku sambil membersihkan butir-butir debu yang masih menempel pada karpet dan bantal kami.
“assalamualaikumwarahmatullahiwabarokatuh” sebuah suara merdu menyejukkan sedikit menenangkan hatiku. Aku menanda suara itu. Suara yang sangat sering aku dengar, bahkan ketika aku pertama kali terlahir ke muka bumi ini. Ibuku datang dari kota mencariku, sungguh tak bisa ku gambarkan betapa senangnya hatiku saat itu. Saat hati ini sangat merindukannya. Ia datang karena panggilan jiwa. Jiwa yang selalu menyatukan hati seorang ibu dan anaknya.
Aku berlari menuju bunda, lalu ia menengadahkan kedua tangannya dan menggendongku. Lalu beberapa kali ia mencium pipiku yang kembung kempes dan kumal ini. Tak ku sangka, lamunanku tadi pagi menjadi kenyataan siang ini. Air mata terurai makin deras dari kelopak mataku, juga dari mata ibuku. Ku lihat kerinduan yang begitu dalam telah memerahkan matanya. Tak sedikit pun ku lepas dekapannya. Sudah lama ku rindu dekapan ini, baru kali ini kudapatkan. Ibu tiriku lalu keluar dari dapur dan menyaksikan drama mengharukan itu. Tapi entah karena apa, dia masuk kembali ke dapur dan tidak keluar lagi.
“assalamuaaikum…!!” salam dari kakakku itu membuat aku di turunkan oleh ibuku dari gendongannya
“ibu……….!!!!” Teriak kakakku, Dina. Dia baru saja kelas 2 SD. Ia berlari kencang dan menabrak tubuh ibuku lalu di peluk erat. Ibuku menyambut pelukannya, juga dengan kecupan. Sepertinya air mata haru hari ini tidak mampu lagi kami tahan, ku biarkan dia terurai dengan deras dari mataku, begitu pula dengan kak Dina dan ibuku.
“kamu apa kabar nak…???” Tanya ibu pada Dina
“Alhamdulillah baik bu’…” jawab Dina, mereka masih saling dekap dengan erat.
“assalamualaikum,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ibu.!!!” Kini k’ Heri dan k’ Agus yang teriak. Mereka pulang sekolah samaan, ya mereka sudah SMP saat itu, k’ Agus kelas 2 dan k’ Heri kelas 1. Mereka juga dipeluk, juga dengan backround tangisan haru.
Sudah cukup lama kami tidak bertemu. Pertemuan hari ini benar-benar telah menyejukkan hati kami semua. Setelah puas melepas rindu dengan pelukan dan ciuman, kami lalu mengajak ibu untuk istirahat. Ia datang jauh dari Mataram ke Lombok Timur, tentu perjalanan yang melelahkan. Apa lagi harus menggunakan kendaraan umum yang baunya seperti racun yang siap menelan korban kapan saja. Tapi kami mengajaknya istirahat di rumah nenek yang kebetulan sangat dekat dengan rumah kami, karena di rumah kami yang juga mantan rumahnya itu tak cukup tempat untuk memberikannya layanan istirahat. Satu-satunya kamar yang menjadi kamarnya dulu kini di pake’ oleh ibu tiriku dengan anak-anaknya. Sambil istirahat, ibu menanyakan banyak hal tentangku. Namun aku tidak menceritakan semua dengan apa adanya, karena aku takut akan menjadi beban pikirannya.
“kapan ya, aku bisa kumpul ma ibu, ma bapak, terus ma kak Dina, kak Heri, dan kak Agus, ga’ usah ajak tu istrinya bapak yang sekarang tu…??” Tanyaku lugu.
“nak, percayalah, asal kita sering-sering berdo’a, itu pasti akan di kabulkan oleh Allah….” Kata ibu mencoba menenangkanku.
Sambil makan buah yang di bawa oleh ibu, kami larut dalam percakapan. Saat bapak pulang, ia cukup kaget melihat kedatangan ibuku. Ia lalu menyalaminya dan saling melempar senyum. Seandainya, aku bisa melihat ini setiap hari, pikirku. Bapak memahami kerinduan kami. Tak sedikitpun ia mengganggu pertemuan itu. Biasanya kami akan diminta untuk bekerja di siang hari, terutama kak Agus dan kak Heri. Tapi kali ini tidak, kami di biarkan memuaskan diri untuk bersama dengan ibu.
No comments:
Post a Comment