Oleh: Muhammad Nurjihadi
Adam smith adalah tokoh paling berjasa dalam melahirkan idiologi kapitalisme. Sebagai seorang ekonom, pilsuf dan sosiolog ia memiliki keyakinan bahwa “hukum alam’ juga terjadi dalam persoalan ekonomi. Ia menganggap setiap orang adalah hakim yang paling tahu akan kepentingannya sendiri. Oleh karenanya setiap orang harus diberikan kebebasan untuk mengejar kepentingannya itu demi keuntungannya sendiri. Dalam proses mengejar kepentingan pribadi itu, setiap orang akan membutuhkan serangkaian barang dan jasa yang kompleks yang akan membuat setiap orang berinteraksi satu sama lain untuk saling melengkapi kebutuhannya. Dalam melakukan ini, setiap orang akan dibimbing oleh suatu “kekuatan tidak terlihat” yang ia sebut sebagai ‘tangan tuhan’. Setiap orang jika dibiarkan bebas akan berusaha memaksimalkan kesejahteraannya sendiri, sehingga ketika semua orang dibiarkan bebas, maka akan tercipta kesejahteraan agregat tanpa ada campur tangan pemerintah (Jhingan, 1999).
Skousen (2006) merekam dengan jelas bagaimana Adam Smith mampu mengidentifikasi tiga unsur pembentuk kemakmuran dan kesejahteraan melalui kapitalisme pasar bebas, yakni: (1) kebebasan (freedom), hak untuk memproduksi dan memasarkan produk tanpa campur tangan pemerintah; (2) kepentingan diri (self interest), pengakuan atas hak individualis seseorang untuk melakukan usaha atau apapun, termasuk dalam menguasai sumber daya; (3) persaingan (competition), hak untuk bersaing dalam produksi dan perdagangan barang dan jasa. Adam Smith meyakini bahwa ketiga unsur diatas akan menghasilkan ‘harmoni alamiah’ dari kepentingan kapitalis (pemilik modal), tuan tanah dan juga buruh yang akhirnya akan menciptakan kesejahteraan agregat.
Adam Smith memberikan dasar yang penting untuk perkembangan kapitalisme di masa setelahnya. Gagasannya tentang kebebasan dan adanya kekuatan ‘tangan tuhan’ menjadi logika dasar yang melatar belakangi gagasan kapitalisme. David Ricardo adalah salah satu pendukung penting pemikiran Smith. Melalui teori the comparative advantage-nya, Ricardo menegaskan pentingnya perdagangan bebas tanpa campur tangan pemerintah (Laissez faire). Bahkan Ricardo memberikan penekanan khusus pada perdagangan bebas antar negara untuk mencapai efisiensi ekonomi dan kesejahteraan maksimum. Ricardo adalah tokoh penting yang membawa ilmu ekonomi pada titik kemapanannya. Ia adalah ekonom pertama yang memperkenalkan ekonomi dengan analisis matematis yang akurat namun syarat dengan asumsi-asumsi yang tidak realistis. Oleh karenanya banyak ekonom menyebut Ricardo sebagai ‘pengkhayal sia-sia yang membawa ilmu ekonomi ke jalur yang keliru dan membingungkan’ (Skousen, 2006).
Meski memberikan dukungan kepada gagasan perdagangan bebas ala Adam Smith, Ricardo memiliki pandangan yang berbeda secara substansial dengan Smith. Jika Smith berupaya membangun gagasan harmoni kepentingan alamiah lewat perdagangan bebas, Ricardo justeru berpandangan bahwa konflik kelas adalah cara efektif untuk mencapai kesejahteraan. Konflik kelas yang dimaksud Ricardo adalah persaingan antar kelas yakni kaum kapitalis, tuan tanah dan buruh. Dimana kue ekonomi didistribusikan atau dibagi-bagi kedalam kelompok-kelompok atau kelas itu dalam bentuk sewa, keuntungan dan upah. Dengan model ini, akan terjadi persaingan antara kapitalis dan buruh, dimana jika upah buruh naik maka keuntungan kapitalis akan menurun dan demikian pula sebaliknya. Sementara tuan tanah dalam model ini menjadi pihak yang paling diuntungkan sebab nilai sewa tanah tetap tanpa bergantung pada tingkat keuntungan maupun upah (Skousen, 2006).
Pemikiran-pemikiran ekonomi mengalami polarisasi pada masa-masa berikutnya. John Stuart Mill adalah salah seorang pendukung utama gagasan David Ricardo. Ia mendukung sepenuhnya azas laissez faire yang dipromosikan adam Smith dan David Ricardo, namun pada saat bersamaan ia juga menyebut diri sebagai seorang sosialis. Karl Marx kemudian hadir dengan kritik tajam terhadap kapitalisme. Kritiknya terhadap kapitalisme justeru dibangun dari kekagumannya pada teori distribusi pendapatan Ricardo yang sebenarnya ikut memapankan kapitalisme Smith. Selanjutnya hadir pemikir-pemikir ekonomi seperti Menger, Bohm-Bawek, Jeavon, Marshall dan sebagainya yang menghidupkan kembali teori ekonomi klasik kapitalisme Adam Smith dan menyempurnakannya dengan teori-teori baru. Lalu ketika dunia dilanda great depretion pada tahun 1930, dunia akademis pun mengalami great debate tentang efektifitas kapitalisme Smith. Gagasan Marxisme kembali hidup dan mewabah di kampus-kampus. Tepat disaat kapitalisme nyaris runtuh seperti itu, seorang ekonom datang sebagai penyelamat kapitalisme dan memaksa Marxisme untuk kembali dilupakan di mimbar intelektual. Dialah John Maynard Keyenes. Dialah orang pertama yang mengingatkan pentingnya integrasi kapitalisme dengan pemerintah. Dalam teori yang dikembangkannya, ia mengharuskan pemerintah untuk ikut campur tangan dalam urusan perekonomian sampai pada tertentu guna menjamin berlangsungnya prinsip-prinsip kapitalisme. Keynes adalah penyelamat kapitalisme sekaligus menjadikan dirinya pemimpin aliran ekonomi baru (Jhingan, 1999; Skousen, 2006).
Sejak dicetuskan oleh Adam Smith, gagasan kapitalisme terus mengalami perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian tanpa menghilangkan substansi pesan kapitalisme yakni kebebasan, individualisme dan persaingan sempurna. Bahkan dalam kurun waktu yang sama, implementasi kapitalisme dapat berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Hal inilah yang membuat kita sulit untuk membangun definisi tunggal tentang kapitalisme (Saidi, 2000). Bahkan praktek kapitalisme modern sering kali mewujud dalam bentuk pertentangan antar unsur pembanggun kapitalisme. Kasus monopoli perdagangan oleh perusahaan swasta misalnya. Dengan dalih kebebasan dan dalam rangka mewujudkan kepentingan pribadi atau individualisme (self interest), maka setiap orang berhak untuk mengakumulasi modal dalam jumlah besar yang pada gilirannya membuatnya memonopoli pasar. Dengan demikian terjadi pertentangan antara unsur kebebasan dan individualisme dengan unsur persaingan. Padahal sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kapitalisme dibangun atas tiga unsur itu.
Secara umum kapitalisme sering dicirikan dengan beberapa hal ini: (1) mendewakan hak-hak pribadi; (2) pemilikan alat-alat produksi di tangan individu; (3) setiap individu bebas memilih pekerjaan/usaha yang dipandang baik bagi dirinya; (4) perekonomian diatur oleh mekanisme pasar; (5) pasar berfungsi sebagai pemberi signal kepada produsen maupun konsumen dalam bentuk harga-harga; (6) campur tangan pemerintah diusahakan berada pada level paling minimum; (7) barang dan jasa dipasarkan di pasar bebas (free market) yang bersifat kompetitif; (8) modal (baik uang ataupun lainnya) diinvestasikan untuk mendapatkan laba (profit). Kapitalisme melegimasi individualisme dan persaingan dalam meraih profit sebagai sesuatu yang alamiah. Hal ini memungkinkan terjadinya motif-motif lain yang tidak wajar dalam praktek ekonomi (Peet and Hartwick, 2009).
Senada dengan itu, Yustika (2011) menyatakan bahwa kapitalisme tegak oleh empat pilar dasar yang melatarinya, yaitu; pertama, kegiatan ekonomi digerakkan dan dikoordinir oleh pasar (bebas) dengan harga sebagai penanda. Kedua; setiap individu memiliki kebebasan untuk mempunyai hak kepemilikan (property rights) untuk menjamin proses transaksi (exchange). Ketiga; kegiatan ekonomi dipisahkan oleh tiga pemilik faktor produksi yakni pemodal (kapitalis), tenaga kerja (labor) dan pemilik lahan (tuan tanah). Pemilik modal memperoleh pendapatan dari keuntungan, pekerja memperoleh pendapatan dari upah dan pemilik lahan memperoleh pendapatan dari biaya sewa lahan (rent). Keempat; tidak ada larangan bagi para pelaku ekonomi untuk keluar – masuk pasar (free entry and exit barriers). Kapitalisme dibangun dengan logika pasar bebas dimana urusan ekonomi diserahkan sepenuhnya ke mekanisme pasar. Oleh karenanya kapitalisme juga sering disebut sebagai ekonomi pasar.
Pada dasarnya, gagasan kapitalisme yang tegak diatas pilar kebebasan, individualisme dan persaingan dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya hak setiap orang untuk hidup sejahtera. Hanya dengan kebebasan seseorang bisa leluasa dalam memperjuangkan kepentingannya guna meraih sejahtera itu. Sementara itu persaingan merupakan suatu penjamin yang dapat membentuk keseimbangan pasar dalam bentuk harga. Tanpa persaingan, mekanisme pembentukan harga akan menjadi tidak adil karena di monopoli oleh pihak-pihak tertentu. Namun dalam praktek kapitalisme dewasa ini, individualisme lebih dikedepankan daripada prinsip kebebasan dan persaingan. Individualisme itu bahkan diperjuangkan dengan argumen-argumen kebebasan dan persaingan itu. Pola persaingan yang terjadi justeru lebih banyak melibatkan persaingan antara kaum kapitalis dan kelas pekerja yang tentu saja sering kali dimenangkan oleh kaum kapitalis mengingat kuatnya pengaruh kapial mereka. Persaingan dalam aktifitas ekonomi dewasa ini juga justeru banyak yang berwujud persaingan antar pekerja dan atau petani kecil. Sementara pada saat yang bersamaan para kaum kapitalis membangun kerjasama-kerjasama bisnis baik dalam bentuk kartel ataupun lainnya untuk membagi-bagi kue ekonomi antar kaum kapitalis.
Perlu diingat bahwa persaingan sempurna hanya akan menghadirkan kesejahteraan jika seluruh pelaku ekonomi berada pada level (pendidikan, struktur sosial dan ekonomi) yang sama. Sebab persaingan yang terjadi ketika seluruh pelaku ekonomi berada pada posisi atau level yang sama akan dipandu oleh sebuah kekuatan tak terlihat yang membentuk keseimbangan melalui harga. Faktanya, pelaku ekonomi selalu terbagi kedalam tiga kelompok atau kelas yang berbeda tingkat pengaruhnya yakni para pemilik modal (kapitalis), tuan tanah dan buruh. Jika persaingan terjadi antara kaum kapitalis yang memiliki posisi tawar lebih baik dengan kaum buruh yang lemah, maka tentu saja persaingan itu akan dimenangkan oleh kaum kapitalis. Kondisi semacam ini akan membuat distribusi pendapatan mejadi tidak adil dimana kaum kapitalis yang kaya menjadi semakin kaya dan kaum buruh yang lemah menjadi bertambah lemah.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, gotong royong dan kebersamaan adalah ciri khas sosiologis yang terbentuk sejak lama. Menyadari hal ini, para pendiri bangsa ini menyusun konsep perekonomian nasional yang menjadikan gotong royong dan kebersamaan sebagai modal utama. Konsep itu tertulis secara tegas dan jelas pada pasal 33 UUD 1945. Dalam aplikasinya, pemerintah membuat kebijakan ekonomi yang dikenal dengan koperasi. Istilah koperasi diambil dari istilah kooprasi yang berarti bekerjasama. Dengan demikian, para pendiri bangsa ini sesungguhnya berharap bahwa perekonomian nasional kita dijalankan atas dasar kerja sama dan kasih sayang, bukan atas dasar persaingan dan keserakahan individualisme yang menjadi ciri khas ekonomi kapitalis.
Kapitalisme memiliki asumsi yang ketat bahwa kesejahteraan agregat akan terbentuk melalui terciptanya kesejahteraan individual yang hanya dapat dicapai dengan kebebasan dan persaingan. Kesejahteraan dalam konteks ini dimaknai sebagai tersedianya segala kebutuhan ekonomi yang bersifat fisik (materialisme) [Skousen, 2006]. Karena dibangun atas dasar falsafah materialisme, kapitalisme sering kali mengabaikan faktor-faktor moral, etika dan hubungan sosial. Sikap individualisme yang didewa-dewakan kapitalisme cenderung akan memandang orang atau pihak lain sebagai pesaing yang harus dikalahkan. Kondisi semacam ini tentu dapat berdampak pada disharmoni sosial, melemahnya struktur kelembagaan sosial dan bahkan rentan menimbulkan konflik sosial.
Ketidaksesuaian kapitalisme dengan kondisi sosial budaya Indonesia sesungguhnya telah diungkap jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka. Boeke dalam Rahardjo (2011) bahkan membangun teori ‘dualisme ekonomi’ dari kondisi dualistis yang dilihatnya di Indonesia pra merdeka. Menurutnya, ekonomi lokal masyarakat Indonesia lebih digerakkan oleh upaya pemenuhan kebutuhan sosial yang berorientasi pada terciptanya kesejahteraan masyarakat secara bersama-sama. Oleh karenanya praktek ekonomi sosial Indonesia sering kali berwujud kerja bersama (gotong royong) untuk membantu aktifitas ekonomi anggota masyarakat tanpa mengharapkan upah. Namun di sisi lain, ekonomi yang dikembangkan pemerintah kolonial Belanda justeru sangat kapitalistik yang menuntut masyarakat lokal untuk berproduksi guna memenuhi kebutuhan pasar luar negeri. Disinilah terjadi apa yang disebut Boeke sebagai ‘dualisme ekonomi’. Lebih jauh Boeke juga menyebut fenomena dualisme ekonomi inilah yang selama ini menghambat tercapainya kesejahteraan masyarakat pribumi.
Saturday, 12 January 2013
Friday, 4 January 2013
COMMUNITY FOREST MANAGEMENT (CFM) IN LOMBOK ISLAND: KEEP SUSTAINABILITY AND CREATE PROSPERITY
Summary of Paper
By. Muhammad Nurjihadi
This paper told us about relation between poverty and environmental destruction, especially forest damage. As we know that there are positive relations between poverty and forest damage (Todaro, 2006). Local forest communities who life in poor condition will get survive with doing illegal logging. In their mind, all of the trees around them are their mine. So, they can manage the trees with their style, including with cutting the trees illegally. In the other side, this condition will threaten their life and the other societies who live far from the forest area. Floods, landslides, erosion and loss of forest biodiversity are the impact of forest damage. Moreover, this condition will decrease water supply from forest to farm area, household consumption and industrial need. So, there is a dilemma in this case, extreme poverty in forest communities who was live in the forest area for very long time in one hand and sustainability threat in the other hand.
Community Forest Management (CFM) or Hutan Kemasyarakatan (HKm) in bahasa is one of social forestry model that has become a government program. Aim of this program is to make a guarantee for forest ecosystem integration, create social prosperity, social justice and developing democracy (Munggoro et al, 2001). The principle of CFM is giving an authority to local communities to manage forest around them with supervision from government or Non Government Organization (NGO). Implementation of this program made local communities more safety to manage the forest. They can exploit forest resources to increase their life quality without damaging the forest.
Nurjannah (2009) who was get research about the role of social institution in forest area communities in Lombok Island showed us that local institution is the effective instrument to keep sustainability in one side and create local prosperity in the other side, especially in forest area communities. CFM is the program that is a strategy to build effective local institution in forest area community. With supervision from outside stakeholder of the community, forest area communities can build local institution in accordance with CFM principles.
By. Muhammad Nurjihadi
This paper told us about relation between poverty and environmental destruction, especially forest damage. As we know that there are positive relations between poverty and forest damage (Todaro, 2006). Local forest communities who life in poor condition will get survive with doing illegal logging. In their mind, all of the trees around them are their mine. So, they can manage the trees with their style, including with cutting the trees illegally. In the other side, this condition will threaten their life and the other societies who live far from the forest area. Floods, landslides, erosion and loss of forest biodiversity are the impact of forest damage. Moreover, this condition will decrease water supply from forest to farm area, household consumption and industrial need. So, there is a dilemma in this case, extreme poverty in forest communities who was live in the forest area for very long time in one hand and sustainability threat in the other hand.
Community Forest Management (CFM) or Hutan Kemasyarakatan (HKm) in bahasa is one of social forestry model that has become a government program. Aim of this program is to make a guarantee for forest ecosystem integration, create social prosperity, social justice and developing democracy (Munggoro et al, 2001). The principle of CFM is giving an authority to local communities to manage forest around them with supervision from government or Non Government Organization (NGO). Implementation of this program made local communities more safety to manage the forest. They can exploit forest resources to increase their life quality without damaging the forest.
Nurjannah (2009) who was get research about the role of social institution in forest area communities in Lombok Island showed us that local institution is the effective instrument to keep sustainability in one side and create local prosperity in the other side, especially in forest area communities. CFM is the program that is a strategy to build effective local institution in forest area community. With supervision from outside stakeholder of the community, forest area communities can build local institution in accordance with CFM principles.
Blessing in Disguise: Karena Aku Ingin Layak Dihormati
By. Muhammad Nurjihadi
Letih memang. Tapi tak pernah kurasakan bahagia seperti yang kurasakan hari ini. Hari ketika aku dibanjiri pujian, hari ketika aku menjadi bahan perbincangan, hari ketika semua mata seolah memandangku takjub, hari ketika aku membuat setiap orang yang menyayangiku merasa bangga, dan hari ketika aku memaksa mereka yang membenciku takluk tak berdaya. Inilah hari kemenanganku. Rasanya tak ada yang sebahagia aku hari ini.
Ya,, hari ini adalah hari pengumuman kelulusan di sekolahku yang sekaligus dirangkai dengan hari perpisahan. Sekolah kami memang beda, kala itu sekolah kami punya kurikulum dan mekanisme ujian nasional sendiri, tidak ikut dengan ujian nasional seperti sekolah umum lainnya. Sekolah kami ada dibawah departemen pertanaian, bukan departemen pendidikan, jadi soal ujian pun tidak datang dari departemen pendidikan, melainkan dari departemen pertanian.
Sebagai ketua OSIS, aku bertanggungjawab menyiapkan acara ini. Dua bulan persiapan untuk acara setengah hari. Melelahkan, tapi juga menyenangkan. Hari ini aku benar-benar tampil sebagai bintang. Aku diumumkan menjadi lulusan terbaik sekolah, bahkan lulusan terbaik nasional dari sekolah-sekolah yang ada dibawah departemen pertanian. Karenanya aku juga diumumkan mendapatkan beasiswa kuliah di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia. Aku juga tampil dalam pidato perpisahan mewakili teman-teman kelas tiga yang lulus hari ini. aku pun tampil sebagai pelakon utama dalam sebuah drama yang aku sutradarai sendiri. juga tampil menerima penghargaan sebagai siswa penggerak kegiatan ekstrakurikuler. Dan terakhir aku juga tampil untuk menyerahkan jabatan ketua OSIS kepada ketua OSIS baru yang dipilih beberapa hari sebelumnya. Ketika video dokumenter acara ini diputar, wajahku benar-benar menjadi aktor utama didalamnya.
Tak cukup dengan itu, keesokan harinya pun wajahku tampil di sebuah media lokal. Wartawannya menulis soal prestasiku sebagai lulusan terbaik nasional dan soal jaminan beasiswa untukku. Semua kebanggaan datang menghampiriku saat itu. Tak terkecuali keluarga besar dan seluruh orang di kampung halamanku. Aku tenggelam dalam euphoria kebanggaan dan kebahagiaan.
Beberapa pekan setelahnya, semua terang itu seketika berubah gelap. Saat aku menanyakan soal beasiswa kuliah yang dijanjikan kepadaku. Entah bagaimana ceritanya, aku dianggap telat mengurus persyaratan administrasi yang membuatku gagal menerima beasiswa itu. Rasanya aku bagai jatuh dari puncak gunung,terpuruk dalam kesedihan. Bukan karena aku tidak bisa mendapatkan beasiswa itu, tapi karena aku membayangkan betapa kecewanya orang-orang terdekatku yang baru beberapa hari ini memujiku. Satu kampung sudah tau bahwa aku akan kuliah di Jawa dengan beasiswa dari pemerintah, bahwa aku adalah anak pintar yang membanggakan keluarganya, bahwa aku adalah harapan mereka. Apa jadinya jika aku tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
“Ah, aku pasti dikucilkan” pikirku.
Hari itu adalah hari terakhir pendaftaran Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) yang sekarang bernama SNMPTN. Tanpa pikir panjang aku langsung pergi mendaftar, meski dengan dana pinjaman yang dengan susah payah kudapatkan. Jika aku tidak dapat pergi kuliah di kampus favoritku di Jawa, setidaknya aku harus tetap kuliah di kampus negeri, pikirku. Aku lalu mengikuti tes SPMB. Hingga tiba masanya pengumuman hasil, aku kembali harus menelan pil pahit karena daftar nama calon mahasiswa yang lulus sedikitpun tidak memuat namaku. Kali ini bukan hanya sedih dan murung, aku juga harus menanggung malu yang tiada terkira. Bagaimana tidak, aku telah dinobatkan sebagai lulusan terbaik nasional, tapi aku tak mampu lulus tes seleksi mahasiswa. Sementara teman-temanku yang lulus ujian SMA dengan nilai seadanya justeru mendapatkan kehormatan untuk diterima sebagai mahasiswa.
“ini tidak adil” gumamku.
Benar saja, di kampung asalku, kegagalanku dalam tes seleksi itu diperbincangkan hangat. Ada yang prihatin dan ada pula yang memandangku sinis karena menganggap prestasiku dalam kelulusan SMA kemarin hanya kebetulan.
“sabar dik, yang penting kita udah usaha maksimal, ga usah dengerin kata orang” kata Heri, kakak kandungku. Meski aku melihat ia juga tidak bisa menyembunyikan rasa malu dan kecewanya.
“lalu bagaimana? Masak aku ga kuliah ?” tanyaku pada kak Heri dan bapak yang kala itu sedang menghiburku.
“mending cari kerja aja dulu, toh kalau pun kuliah, ujung-ujungnya juga nyari kerja” kata bapak menasehati.
Aku pasrah, marah dan malu. Aku tak berani keluar rumah. Aku tak sanggup jika ada yang menanyakan soal ketidak lulusan ini. Aku malu untuk menampakkan wajah bangga dan ceriaku yang kini berubah murung. Aku terjebak dalam tekanan batin yang tak mampu kuatasi.
Disaat semua tampak gelap dan suram, tiba-tiba salah seorang guruku datang ke rumah. Ia datang untuk menghibur sekaligus mengajakku untuk ikut tes sebuah perguruan tinggi dengan beasiswa ikatan dinas. Tak perlu pikir panjang untuk mengiyakan tawaran itu.
“mungkin inilah jalannya, ternyata Allah menyiapkan yang lebih baik untukku” kataku dengan penuh optimis.
“siapkan diri untuk ikut tes itu nak. Fisik, mental dan otak harus benar-benar disiapkan” kata pak Guru menasehatiku.
Lalu ku ikuti tes itu dengan penuh kesungguhan dan dengan persiapan terbaik. Ada lima rangkaian tes yang harus dilalui. Aku berhasil melewati 4 tahap sebelum akhirnya hasil akhir akan diumumkan beberapa hari setelahnya. Betapa shocknya aku ketika namaku kembali terlupakan dalam daftar peserta tes yang lulus. Entahlah, aku tak mengerti apa yang membuatku tak lulus pada tes tahap ke lima. Aku kembali terpuruk, putus asa dan kehilangan akal sehat. Gunjingan yang kuterima dari tetangga menjadi kian menjadi-jadi. Pamor sebagai anak pintar hilang sudah. Siang terasa pekat dan malam terasa penat. Ingin aku keluar dari kampung ini agar tak ada lagi yang menggunjingku.
*****
“ah,, sudahlah, mungkin ada baiknya aku keluar dari kampung halaman ini. Aku lebih memilih menderita di tempat orang daripada harus mendengar gunjingan orang di rumahku sendiri” kataku pada bapak di suatu malam.
“apa rencanamu ?” tanyanya
“aku ingin pergi ke luar daerah, aku tak akan mengatakan kemana, yang jelas aku mau keluar” jawabku
“nak, kenapa kamu harus pikirkan kata orang,, sudahlah, mending kamu cari kerja dulu disini, ga usah kemana-mana, tahun depan kamu kuliah” pintanya.
Aku diam tak bergeming. “kamu tidak boleh ke luar daerah…!!” sambung bapak lalu pergi meninggalkanku.
Aku berpikir keras malam itu. lalu aku sampai pada tekad kuat untuk tetap pergi. Aku ingin ke Bali. Disana aku punya teman yang sudah siap menerimaku. Tapi aku tidak ingin memberi tahu siapapun ketika aku berangkat nanti, aku pasti dilarang jika harus izin dulu.
Selepas subuh, aku tinggalkan rumah tanpa membawa bekal yang cukup. Hanya beberapa helai pakaian yang ku kemas dalam tas dan uang yang hanya cukup untuk ongkos ke Mataram. Tak ada yang boleh menghentikan tekad ini. Aku pergi tanpa pamit dengan tekad membaja.
Setelah sampai Mataram, aku menginap di sebuah kos teman. Rencananya aku mau tinggal beberapa hari disini untuk bekerja serabutan, mengumpulkan uang untuk ongkos ke Bali. Aku tak ingin pulang ataupun mengabarkan posisiku kepada keluarga sebelum ada kebanggaan yang kubawa.
Setelah lebih dari sepekan bekerja serabutan, menjadi tukang parkir, penjual tanaman hias, tukang kebun dan sebagainya akhirnya aku berhasil mengumpulkan uang yang cukup untuk bekal ke Bali. Ketika hendak membeli tiket bus untuk berangkat ke Bali, aku membaca sebuh poster pengumuman dibukanya pendaftaran penerimaan mahasiswa baru melalui jalur tes mandiri oleh Unram. Hari itu adalah hari terakhir pendaftaran dan esok paginya adalah hari tes. Kutunda rencana pembelian tiket lalu langsung berbalik menuju kampus Unram untuk mendaftar. Aku sampai di kampus itu tepat lima menit sebelum pendaftaran ditutup. Akupun menjadi pendaftar terakhir ketika itu. Uang yang tadinya ingin kugunakan membeli tiket bus kugunakan untuk membayar uang pendaftaran.
Aku tak punya cukup waktu untuk belajar dan menyiapkan diri untuk mengikuti tes besok pagi. Aku hanya pasrah dan berdo’a. Jika lulus tes, aku akan mengurungkan niat untuk hijrah ke Bali, tapi jika tidak lulus lagi, aku akan langsung berangkat. Kali ini aku sudah lebih siap secara mental untuk menerima apapun hasil tes. Ku ikuti tes dengan santai. Meski tanpa belajar, tapi aku menikmati menjawab soal tes kala itu.
Pengumuman hasil tes akan dilakukan seminggu setelah itu. sambil menunggu hasil tes, aku semakin giat bekerja serabutan. Karena semua hasil tabunganku seminggu kemarin telah kugunakan untuk mendaftar, maka aku harus mengumpulkan uang lagi untuk ongkos. Jika hasil tes nanti tidak lulus, maka aku sudah punya uang untuk membeli tiket.
Seminggu kemudian, saat-saat menegangkan itu akhirnya tiba. Semenjak subuh aku sudah nongkrong di perempatan lampu merah tempat biasa para penjual Koran menjajakan korannya. Seperti biasa, pengumuman kelulusan dilakukan melalui Koran. Dengan mengucap bismillah, kubuka Koran yang baru kubeli dan ternyata, namaku tercantum dalam daftar calon mahasiswa yang lulus tes mandiri.
‘alhamdulillah” ucapku lega.
Sesuai rencana, aku harus mengurungkan niatku untuk pergi ke Bali. Aku ingin kuliah, itu saja. Meski harus masuk melalui jalur yang ‘tidak terhormat’, tak mengapa, asal bisa melanjutkan pendidikan. Kini aku dihadapkan pada masalah lain. Karena harus mengejar jadwal akademik, maka pendaftaran ulang harus dilakukan selambat-lambatnya dua hari setelah pengumuman itu. Aku harus punya uang sejumlah lima juta dalam waktu dua hari.
“dari mana dapat uang lima juta” pikirku. Aku tak ingin minta ke bapak, karena aku tahu beliau juga sedang kesulitan keuangan. Lagipula aku sudah berani keluar dari rumah tanpa pamit, aku tidak mau minta ke beliau.
H-1 penutupan pendaftaran ulang, aku bergerak lincah menghubungi setiap orang yang kukenal untuk minjam uang, tapi tak sepeser pun kudapatkan. Entahlah, mungkin karena mereka tak bisa mempercayaiku akan bisa mengembalikan uang pinjaman itu, atau mungkin karena mereka memang tidak punya uang. Ketika tak ada lagi yang bisa diharapkan, saya terpaksa harus pulang ke rumah untuk minta bantuan orangtua.
Seperti dugaanku, bapak tidak punya uang itu.
“nampaknya aku memang harus ke Bali” pikirku.
“nak, datang ke alamat ini, saya sudah hubungi beliau dan beliau bersedia meminjamkan uangnya untuk daftar ulang kuliahmu !!” kata bapak sambil menyodorkan sebuah kertas berisi alamat rumah sahabat lamanya yang kini tinggal di Mataram.
Aku bergegas kembali ke Mataram. Karena aku sampai sudah larut malam, aku berencana untuk datang ke alamat yang dikasi bapak esok paginya di hari terakhir pendaftaran ulang. Mata tak bisa terpejam malam itu. Aku dihantui perasaan harap-harap cemas.
“Siapa yang bisa menjamin aku dapatkan uang itu besok” pikirku.
Keesokan harinya, aku berangkat menuju alamat itu. Setelah berputar-putar, akhirnya alamat itu aku temukan, sebuah rumah yang cukup megah. Ku pencet bel yang menempel di gerbang. Seorang perempuan paruh baya keluar dan membukakan gerbang.
“cari siapa mas ?” tanyanya.
“benar ini rumahnya pak Hilal bu ?”
“oya benar, ada apa ya ?”
“saya ada perlu sama beliau, udah janjian kemarin”
“wah,, tapi bapak sedang ngantor mas”
“pulangnya jam berapa buy a?”
“biasanya sih jam tiga atau jam empat mas”
Aku tarik nafas dalam-dalam. Tak mungkin kutunggu dia sampai jam empat. Pendaftaran ulang hari ini akan ditutup jam dua siang.
“dimana kantornya bu?” tanyaku lagi.
“di Unram mas, Fakultas Pertanian” jawabnya
“terimakasih bu, saya susul ke sana aja kalau gitu”
Ternyata sahabat bapakku ini adalah seorang dosen di fakultas tempatku akan kuliah. Segera aku cari beliau di kantornya, di kampus. Setelah sampai kampus, aku harus menunggu lama karena beliau punya jam ngajar yang cukup padat hari itu. Aku menunggu di depan ruangannya bersama beberapa orang yang juga sedang menunggunya untuk konsultasi skripsi. Mataku tak lepas dari jam. Aku sungguh khawatir dan tegang. Hanya ini harapan terakhirku. Jika aku gagal disini, maka pupuslah sudah harapanku untuk bisa kuliah. Tepat jam 12 siang beliau tiba di ruangannya.
“maaf ya, baru selesai ngajar” katanya menyapa kami semua yang menunggu didepan ruang kerjanya lalu langsung masuk ke dalam ruangannya. Tak lama kemudian dia keluar, “saya salat bentar ya” katanya dan pergi meninggalkan kami lagi untuk salat.
Hah,,, saya semakin tegang. Saya pun lalu mengikuti beliau ke Mushalla untuk salat.
Selesai salat, beliau bergegas kembali ke kantornya. Dia terlihat terburu-buru seperti sedang dikejar waktu. Tak enak rasanya menyampaikan maksud kedatanganku ditengah keterburuannya itu. Hushhhhh,,, tegang, takut, khawatir, malu, semua campur jadi satu. Saya ikuti beliau dari belakang.
Tiba di ruangannya, beliau langsung disambut oleh mahasiswa-mahasiswanya yang sudah menunggu dari tadi.
“kapan aku bisa ngomong,, ya Allah bantu hamba” ucapku dalam hati.
Jam sudah menunjuk angka satu. Satu jam lagi loket pendaftaran ulang akan ditutup. Setelah lima belas menit, mahasiswa-mahasiswa tadi keluar dari ruangan bersama beliau. Sambil tergesa-gesa beliau bilang
“aduhh,, saya ada jadwal ngajar lagi nih, yang belum konsultasi tunggu aja sampai jam tiga ya, udah telat saya ini” ucapnya dan langsung pergi berjalan dengan terburu-buru meninggalkan kami.
Seluruh bulu roma saya menegang. Nampaknya habis sudah perkara. Tak ada lagi yang bisa saya harapkan. Bagaimana mungkin saya akan menjegat beliau yang sudah mengaku telat.
“ya Allah,,, bantu hamba” jeritku dalam hati.
Aku lalu beranjak dari dudukku dan kukejar beliau
“maaf pak, sebentar” kataku
“nanti aja ya, saya telat ini” jawabnya
“maaf pak, saya anak dari pak Juli yang kemarin hubungi bapak, batas daftar ulang hari ini jam dua dan sekarang sudah hampir setengah dua, saya sudah nunggu bapak dari pagi, minta tolong pak bantu saya” ucapku tanpa henti dengan nada memelas. Malu sebenarnya, tapi apa mau dikata.
Beliau terdiam sejenak, menoleh kearahku dan menatap mataku dengan tajam. Aku jadi salah tingkah dibuatnya
“maaf pak kalau saya mengganggu, saya benar-benar tidak tau mau gimana lagi”
Beliau melihat jam tangannya lalu membuka isi dompetnya
“uang saya ada di ATM semua, tidak ada cash. Saya tidak mungkin ngasi kamu bawa ATM saya untuk ambil sendiri, sedangkan saya harus ngajar sekarang” katanya
Aku terdiam. Tampaknya aku sudah tidak punya harapan lagi. Ia lalu melangkah pergi meninggalkanku. Beberapa lama kemudian dia berbalik
“tunggu sebentar, jangan pergi dulu, tunggu saya disitu” pintanya. Aku pun mengangguk mengiyakan.
Tak lama kemudian ia keluar. Entah apa yang dikatakannya pada mahasiswanya. Beliau lalu mengajakku untuk pergi ke ATM centre yang ada di Unram. Karena jaraknya cukup jauh, kami menggunakan mobil beliau. Dalam perjalanan kami berbincang tentang banyak hal
“jadi kamu yang katanya lulusan terbaik nasional di sekolah pertanian itu?” tanyanya didalam mobil
“iya pak” jawabku singkat
“kenapa ga jadi dapat beasiswa ?”
“ndak tau lah pak, katanya saya telat ngurus administrasi, padahal sebelumnya pihak sekolah yang katanya akan mengurus semuanya”
“oohh.. terus kok bisa kamu ga lulus SPMB?”
Aku hanya diam, tak mampu menjawab pertanyaan ini.
“memang ya begitu lah, sekolahmu itu kan beda kurikulum, jadi kalaupun kamu terbaik disana, belum tentu kamu lebih baik dengan yang terburuk di sekolah lain” sambungnya.
Sesak dada ini mendengar pernyataan itu. aku tak mau menyahut apapun. Kutahan emosi yang membuncah, kuingat betapa dia sangat penting bagiku kali ini.
“besok kamu akan buktikan disini, kamu akan bersaing dengan siswa-siswa dari sekolah lain, dugaan saya kamu akan susah menyesuaikan diri dengan mereka, mereka pintar-pintar biasanya” lanjutnya.
Aku masih diam, meski dada ini panas dibuatnya.
“kamu harus giat belajar, kegagalanmu kemarin di SPMB membuktikan kalau kamu aja yang lulusan terbaik ga mampu bersaing, apalagi teman-temanmu yang lain dari sekolah itu” katanya lagi
Aku tetap tak bergeming.
“saya sampai ngorbanin waktu ngajar untuk bantu kamu, jangan sampai besok kamu bikin saya malu karena nilaimu jelek apalagi sampai DO” sambungnya..
Ingin kuumpat bapak ini. Tak adakah bahasa yang lebih baik dari itu?. Tapi sudahlah, aku sedang butuh dia.
Kami pun akhirnya tiba di ATM centre. Setelah mengambil uang, beliau mengantarku ke tempat pendaftaran ulang dan kemudian meninggalkanku disana. Aku bergegas ke loket pendaftaran ulang. Suasana sudah sepi, tak ada lagi yang antre seperti yang aku lihat tadi pagi ketika lewat didepan gedung registrasi ini. Ketika sampai didepan loket, para petugas sedang sibuk merapikan kertas-kertas pendaftaran ulang, bersiap untuk pulang. Beruntung mereka masih mau melayaniku. Aku menjadi peserta terakhir yang mendaftar ulang.
“Alhamdulillah, akhirnya… terimakasih ya Allah” ucapku lirih, tak terasa air mata mengalir di pipi. Haru rasanya.
*****
Aku sudah resmi menjadi mahasiswa di Unram. Meski masuk lewat jalur yang ‘tidak terhormat’, tapi aku bertekad untuk keluar dengan cara ‘terhormat’. Aku ingin membuktikan bahwa semua yang disampaikan pak Hilal di mobil ketika memberiku pinjaman uang adalah keliru. Aku ingin menjadi orang yang layak untuk dihormati, orang yang layak untuk dihargai, bukan dikasihani.
Kujalani hari-hariku sebagai mahasiswa dengan normal. Kusibukkan diri dalam berbagai aktifitas organisasi. Sampai akhirnya aku tampil sebagai salah seorang tokoh mahasiswa di kampus. Aku terlibat dalam berbagai organisasi bergengsi dan pada gilirannya menjadikanku sebagai pemimpin utama. Aktifitasku di organisasi ini memberikan pelajaran penting bagiku tentang bagaimana mengelola hidup. Disamping itu, peran-peran utama sebagai pimpinan membuatku punya akses terhadap pejabat-pejabat penting, baik di kampus maupun luar kampus. Secara tidak langsung semua proses situ membentuk karakter dan kepribadianku.
Meski disibukkan dengan urusan organisasi, aku tetap memelihara ambisiku untuk tampil sebagai yang terbaik secara akademis. Oleh karenanya, aku berusaha untuk menyeimbangkan segala aktifitas organisasi itu dengan aktifitas akademik. Bahkan selain sibuk dengan dua urusan itu, aku juga menyempatkan diri untuk melakukan berbagai aktifitas usaha untuk bisa membiayai kuliah sendiri. Do’a dan ikhtiar terus kulakukan. Sampai akhirnya aku tiba pada saat pembuktian.
Dalam perenungan kudapati sebuah hikmah besar dibalik kesulitan-kesulitan yang menderaku ketika hendak masuk menjadi mahasiswa. Kesombongan dan mendahului takdir Allah adalah kesalahan terbesar yang kulakukan kala itu. Andai saat itu beasiswa di kampus favoritku di Jawa itu kudapatkan, mungkin aku masih menyimpan sikap sombong dan angkuh itu. Lebih dari itu, aku mungkin tidak akan bisa mendapati diri pada posisi seperti yang kudapat di Unram.
Setelah empat tahun melanglang buana di kampus, aku akhirnya sampai pada hari ketika aku harus menanggalkan status kemahasiswaan dan menyandang gelar sebagai sarjana. Dengan penuh percaya diri, kugunakan toga wisuda yang berselendangkan tulisan ‘cum laude’. Lebih dari itu, aku mendapat kehormatan untuk duduk di kursi paling depan, memimpin semua mahasiswa yang diwisuda hari itu. Aku diumumkan sebagai wisudawan terbaik periode itu. Aku adalah salah satu wisudawan yang diwisuda langsung oleh Rektor sebagai penghormatan. Aku juga diminta untuk menyampaikan pidato wisuda mewakili seluruh wisudawan. Diluar sana, berbagai spanduk terpasang mengucapkan selamat kepadaku. Hampir semua organisasi yang pernah kupimpin memasang spanduk ucapan selamat, lengkap dengan foto-fotoku. Lalu di kursi keluarga, kusaksikan keluarga besarku datang untuk melihatku diwisuda. Kulihat beberapa diantara mereka mengusap air mata ketika aku berdiri gagah di atas mimbar ketika menyampaikan pidato wisuda. Sayang, diantara mereka tidak kulihat sang bapak, orang yang selama ini paling ingin melihatku berdiri di mimbar ini. Sumber inspirasi dan semangat juangku. Tepat sebulan sebelum acara wisuda ini beliau menghembuskan nafas terakhir. Mengingatnya membuatku meneteskan air mata di mimbar itu.
Setelah prosesi wisuda selesai, aku berbincang sederhana dengan beberapa orang pejabat kampus, termasuk Rektor dan ketua ikatan alumni. Ketika itu, aku mendapat setidaknya tiga tawaran beasiswa studi S2, baik dalam dan luar negeri. Bahkan ada pula yang memberiku bantuan langsung yang ia sebut sebagai beasiswa cash saat itu juga. Tapi aku tidak ingin mengulangi kesalahan empat tahun lalu. Aku tidak ingin lagi mendahului takdir Allah. Biarlah Allah yang memutuskan. Aku hanya berusaha untuk menagih tawaran-tawaran beasiswa itu, selebihnya semua urusan Allah. Sungguh, aku mengakhiri masa studi itu dengan sempurna. Aku lulus sebagai lulusan terbaik dan meninggalkan posisi terakhir sebagai ketua di lembaga paling tertinggi di kampus. Karena aku ingin layak dihormati, maka aku berjuang untuk layak dihormati.
Letih memang. Tapi tak pernah kurasakan bahagia seperti yang kurasakan hari ini. Hari ketika aku dibanjiri pujian, hari ketika aku menjadi bahan perbincangan, hari ketika semua mata seolah memandangku takjub, hari ketika aku membuat setiap orang yang menyayangiku merasa bangga, dan hari ketika aku memaksa mereka yang membenciku takluk tak berdaya. Inilah hari kemenanganku. Rasanya tak ada yang sebahagia aku hari ini.
Ya,, hari ini adalah hari pengumuman kelulusan di sekolahku yang sekaligus dirangkai dengan hari perpisahan. Sekolah kami memang beda, kala itu sekolah kami punya kurikulum dan mekanisme ujian nasional sendiri, tidak ikut dengan ujian nasional seperti sekolah umum lainnya. Sekolah kami ada dibawah departemen pertanaian, bukan departemen pendidikan, jadi soal ujian pun tidak datang dari departemen pendidikan, melainkan dari departemen pertanian.
Sebagai ketua OSIS, aku bertanggungjawab menyiapkan acara ini. Dua bulan persiapan untuk acara setengah hari. Melelahkan, tapi juga menyenangkan. Hari ini aku benar-benar tampil sebagai bintang. Aku diumumkan menjadi lulusan terbaik sekolah, bahkan lulusan terbaik nasional dari sekolah-sekolah yang ada dibawah departemen pertanian. Karenanya aku juga diumumkan mendapatkan beasiswa kuliah di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia. Aku juga tampil dalam pidato perpisahan mewakili teman-teman kelas tiga yang lulus hari ini. aku pun tampil sebagai pelakon utama dalam sebuah drama yang aku sutradarai sendiri. juga tampil menerima penghargaan sebagai siswa penggerak kegiatan ekstrakurikuler. Dan terakhir aku juga tampil untuk menyerahkan jabatan ketua OSIS kepada ketua OSIS baru yang dipilih beberapa hari sebelumnya. Ketika video dokumenter acara ini diputar, wajahku benar-benar menjadi aktor utama didalamnya.
Tak cukup dengan itu, keesokan harinya pun wajahku tampil di sebuah media lokal. Wartawannya menulis soal prestasiku sebagai lulusan terbaik nasional dan soal jaminan beasiswa untukku. Semua kebanggaan datang menghampiriku saat itu. Tak terkecuali keluarga besar dan seluruh orang di kampung halamanku. Aku tenggelam dalam euphoria kebanggaan dan kebahagiaan.
Beberapa pekan setelahnya, semua terang itu seketika berubah gelap. Saat aku menanyakan soal beasiswa kuliah yang dijanjikan kepadaku. Entah bagaimana ceritanya, aku dianggap telat mengurus persyaratan administrasi yang membuatku gagal menerima beasiswa itu. Rasanya aku bagai jatuh dari puncak gunung,terpuruk dalam kesedihan. Bukan karena aku tidak bisa mendapatkan beasiswa itu, tapi karena aku membayangkan betapa kecewanya orang-orang terdekatku yang baru beberapa hari ini memujiku. Satu kampung sudah tau bahwa aku akan kuliah di Jawa dengan beasiswa dari pemerintah, bahwa aku adalah anak pintar yang membanggakan keluarganya, bahwa aku adalah harapan mereka. Apa jadinya jika aku tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
“Ah, aku pasti dikucilkan” pikirku.
Hari itu adalah hari terakhir pendaftaran Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) yang sekarang bernama SNMPTN. Tanpa pikir panjang aku langsung pergi mendaftar, meski dengan dana pinjaman yang dengan susah payah kudapatkan. Jika aku tidak dapat pergi kuliah di kampus favoritku di Jawa, setidaknya aku harus tetap kuliah di kampus negeri, pikirku. Aku lalu mengikuti tes SPMB. Hingga tiba masanya pengumuman hasil, aku kembali harus menelan pil pahit karena daftar nama calon mahasiswa yang lulus sedikitpun tidak memuat namaku. Kali ini bukan hanya sedih dan murung, aku juga harus menanggung malu yang tiada terkira. Bagaimana tidak, aku telah dinobatkan sebagai lulusan terbaik nasional, tapi aku tak mampu lulus tes seleksi mahasiswa. Sementara teman-temanku yang lulus ujian SMA dengan nilai seadanya justeru mendapatkan kehormatan untuk diterima sebagai mahasiswa.
“ini tidak adil” gumamku.
Benar saja, di kampung asalku, kegagalanku dalam tes seleksi itu diperbincangkan hangat. Ada yang prihatin dan ada pula yang memandangku sinis karena menganggap prestasiku dalam kelulusan SMA kemarin hanya kebetulan.
“sabar dik, yang penting kita udah usaha maksimal, ga usah dengerin kata orang” kata Heri, kakak kandungku. Meski aku melihat ia juga tidak bisa menyembunyikan rasa malu dan kecewanya.
“lalu bagaimana? Masak aku ga kuliah ?” tanyaku pada kak Heri dan bapak yang kala itu sedang menghiburku.
“mending cari kerja aja dulu, toh kalau pun kuliah, ujung-ujungnya juga nyari kerja” kata bapak menasehati.
Aku pasrah, marah dan malu. Aku tak berani keluar rumah. Aku tak sanggup jika ada yang menanyakan soal ketidak lulusan ini. Aku malu untuk menampakkan wajah bangga dan ceriaku yang kini berubah murung. Aku terjebak dalam tekanan batin yang tak mampu kuatasi.
Disaat semua tampak gelap dan suram, tiba-tiba salah seorang guruku datang ke rumah. Ia datang untuk menghibur sekaligus mengajakku untuk ikut tes sebuah perguruan tinggi dengan beasiswa ikatan dinas. Tak perlu pikir panjang untuk mengiyakan tawaran itu.
“mungkin inilah jalannya, ternyata Allah menyiapkan yang lebih baik untukku” kataku dengan penuh optimis.
“siapkan diri untuk ikut tes itu nak. Fisik, mental dan otak harus benar-benar disiapkan” kata pak Guru menasehatiku.
Lalu ku ikuti tes itu dengan penuh kesungguhan dan dengan persiapan terbaik. Ada lima rangkaian tes yang harus dilalui. Aku berhasil melewati 4 tahap sebelum akhirnya hasil akhir akan diumumkan beberapa hari setelahnya. Betapa shocknya aku ketika namaku kembali terlupakan dalam daftar peserta tes yang lulus. Entahlah, aku tak mengerti apa yang membuatku tak lulus pada tes tahap ke lima. Aku kembali terpuruk, putus asa dan kehilangan akal sehat. Gunjingan yang kuterima dari tetangga menjadi kian menjadi-jadi. Pamor sebagai anak pintar hilang sudah. Siang terasa pekat dan malam terasa penat. Ingin aku keluar dari kampung ini agar tak ada lagi yang menggunjingku.
*****
“ah,, sudahlah, mungkin ada baiknya aku keluar dari kampung halaman ini. Aku lebih memilih menderita di tempat orang daripada harus mendengar gunjingan orang di rumahku sendiri” kataku pada bapak di suatu malam.
“apa rencanamu ?” tanyanya
“aku ingin pergi ke luar daerah, aku tak akan mengatakan kemana, yang jelas aku mau keluar” jawabku
“nak, kenapa kamu harus pikirkan kata orang,, sudahlah, mending kamu cari kerja dulu disini, ga usah kemana-mana, tahun depan kamu kuliah” pintanya.
Aku diam tak bergeming. “kamu tidak boleh ke luar daerah…!!” sambung bapak lalu pergi meninggalkanku.
Aku berpikir keras malam itu. lalu aku sampai pada tekad kuat untuk tetap pergi. Aku ingin ke Bali. Disana aku punya teman yang sudah siap menerimaku. Tapi aku tidak ingin memberi tahu siapapun ketika aku berangkat nanti, aku pasti dilarang jika harus izin dulu.
Selepas subuh, aku tinggalkan rumah tanpa membawa bekal yang cukup. Hanya beberapa helai pakaian yang ku kemas dalam tas dan uang yang hanya cukup untuk ongkos ke Mataram. Tak ada yang boleh menghentikan tekad ini. Aku pergi tanpa pamit dengan tekad membaja.
Setelah sampai Mataram, aku menginap di sebuah kos teman. Rencananya aku mau tinggal beberapa hari disini untuk bekerja serabutan, mengumpulkan uang untuk ongkos ke Bali. Aku tak ingin pulang ataupun mengabarkan posisiku kepada keluarga sebelum ada kebanggaan yang kubawa.
Setelah lebih dari sepekan bekerja serabutan, menjadi tukang parkir, penjual tanaman hias, tukang kebun dan sebagainya akhirnya aku berhasil mengumpulkan uang yang cukup untuk bekal ke Bali. Ketika hendak membeli tiket bus untuk berangkat ke Bali, aku membaca sebuh poster pengumuman dibukanya pendaftaran penerimaan mahasiswa baru melalui jalur tes mandiri oleh Unram. Hari itu adalah hari terakhir pendaftaran dan esok paginya adalah hari tes. Kutunda rencana pembelian tiket lalu langsung berbalik menuju kampus Unram untuk mendaftar. Aku sampai di kampus itu tepat lima menit sebelum pendaftaran ditutup. Akupun menjadi pendaftar terakhir ketika itu. Uang yang tadinya ingin kugunakan membeli tiket bus kugunakan untuk membayar uang pendaftaran.
Aku tak punya cukup waktu untuk belajar dan menyiapkan diri untuk mengikuti tes besok pagi. Aku hanya pasrah dan berdo’a. Jika lulus tes, aku akan mengurungkan niat untuk hijrah ke Bali, tapi jika tidak lulus lagi, aku akan langsung berangkat. Kali ini aku sudah lebih siap secara mental untuk menerima apapun hasil tes. Ku ikuti tes dengan santai. Meski tanpa belajar, tapi aku menikmati menjawab soal tes kala itu.
Pengumuman hasil tes akan dilakukan seminggu setelah itu. sambil menunggu hasil tes, aku semakin giat bekerja serabutan. Karena semua hasil tabunganku seminggu kemarin telah kugunakan untuk mendaftar, maka aku harus mengumpulkan uang lagi untuk ongkos. Jika hasil tes nanti tidak lulus, maka aku sudah punya uang untuk membeli tiket.
Seminggu kemudian, saat-saat menegangkan itu akhirnya tiba. Semenjak subuh aku sudah nongkrong di perempatan lampu merah tempat biasa para penjual Koran menjajakan korannya. Seperti biasa, pengumuman kelulusan dilakukan melalui Koran. Dengan mengucap bismillah, kubuka Koran yang baru kubeli dan ternyata, namaku tercantum dalam daftar calon mahasiswa yang lulus tes mandiri.
‘alhamdulillah” ucapku lega.
Sesuai rencana, aku harus mengurungkan niatku untuk pergi ke Bali. Aku ingin kuliah, itu saja. Meski harus masuk melalui jalur yang ‘tidak terhormat’, tak mengapa, asal bisa melanjutkan pendidikan. Kini aku dihadapkan pada masalah lain. Karena harus mengejar jadwal akademik, maka pendaftaran ulang harus dilakukan selambat-lambatnya dua hari setelah pengumuman itu. Aku harus punya uang sejumlah lima juta dalam waktu dua hari.
“dari mana dapat uang lima juta” pikirku. Aku tak ingin minta ke bapak, karena aku tahu beliau juga sedang kesulitan keuangan. Lagipula aku sudah berani keluar dari rumah tanpa pamit, aku tidak mau minta ke beliau.
H-1 penutupan pendaftaran ulang, aku bergerak lincah menghubungi setiap orang yang kukenal untuk minjam uang, tapi tak sepeser pun kudapatkan. Entahlah, mungkin karena mereka tak bisa mempercayaiku akan bisa mengembalikan uang pinjaman itu, atau mungkin karena mereka memang tidak punya uang. Ketika tak ada lagi yang bisa diharapkan, saya terpaksa harus pulang ke rumah untuk minta bantuan orangtua.
Seperti dugaanku, bapak tidak punya uang itu.
“nampaknya aku memang harus ke Bali” pikirku.
“nak, datang ke alamat ini, saya sudah hubungi beliau dan beliau bersedia meminjamkan uangnya untuk daftar ulang kuliahmu !!” kata bapak sambil menyodorkan sebuah kertas berisi alamat rumah sahabat lamanya yang kini tinggal di Mataram.
Aku bergegas kembali ke Mataram. Karena aku sampai sudah larut malam, aku berencana untuk datang ke alamat yang dikasi bapak esok paginya di hari terakhir pendaftaran ulang. Mata tak bisa terpejam malam itu. Aku dihantui perasaan harap-harap cemas.
“Siapa yang bisa menjamin aku dapatkan uang itu besok” pikirku.
Keesokan harinya, aku berangkat menuju alamat itu. Setelah berputar-putar, akhirnya alamat itu aku temukan, sebuah rumah yang cukup megah. Ku pencet bel yang menempel di gerbang. Seorang perempuan paruh baya keluar dan membukakan gerbang.
“cari siapa mas ?” tanyanya.
“benar ini rumahnya pak Hilal bu ?”
“oya benar, ada apa ya ?”
“saya ada perlu sama beliau, udah janjian kemarin”
“wah,, tapi bapak sedang ngantor mas”
“pulangnya jam berapa buy a?”
“biasanya sih jam tiga atau jam empat mas”
Aku tarik nafas dalam-dalam. Tak mungkin kutunggu dia sampai jam empat. Pendaftaran ulang hari ini akan ditutup jam dua siang.
“dimana kantornya bu?” tanyaku lagi.
“di Unram mas, Fakultas Pertanian” jawabnya
“terimakasih bu, saya susul ke sana aja kalau gitu”
Ternyata sahabat bapakku ini adalah seorang dosen di fakultas tempatku akan kuliah. Segera aku cari beliau di kantornya, di kampus. Setelah sampai kampus, aku harus menunggu lama karena beliau punya jam ngajar yang cukup padat hari itu. Aku menunggu di depan ruangannya bersama beberapa orang yang juga sedang menunggunya untuk konsultasi skripsi. Mataku tak lepas dari jam. Aku sungguh khawatir dan tegang. Hanya ini harapan terakhirku. Jika aku gagal disini, maka pupuslah sudah harapanku untuk bisa kuliah. Tepat jam 12 siang beliau tiba di ruangannya.
“maaf ya, baru selesai ngajar” katanya menyapa kami semua yang menunggu didepan ruang kerjanya lalu langsung masuk ke dalam ruangannya. Tak lama kemudian dia keluar, “saya salat bentar ya” katanya dan pergi meninggalkan kami lagi untuk salat.
Hah,,, saya semakin tegang. Saya pun lalu mengikuti beliau ke Mushalla untuk salat.
Selesai salat, beliau bergegas kembali ke kantornya. Dia terlihat terburu-buru seperti sedang dikejar waktu. Tak enak rasanya menyampaikan maksud kedatanganku ditengah keterburuannya itu. Hushhhhh,,, tegang, takut, khawatir, malu, semua campur jadi satu. Saya ikuti beliau dari belakang.
Tiba di ruangannya, beliau langsung disambut oleh mahasiswa-mahasiswanya yang sudah menunggu dari tadi.
“kapan aku bisa ngomong,, ya Allah bantu hamba” ucapku dalam hati.
Jam sudah menunjuk angka satu. Satu jam lagi loket pendaftaran ulang akan ditutup. Setelah lima belas menit, mahasiswa-mahasiswa tadi keluar dari ruangan bersama beliau. Sambil tergesa-gesa beliau bilang
“aduhh,, saya ada jadwal ngajar lagi nih, yang belum konsultasi tunggu aja sampai jam tiga ya, udah telat saya ini” ucapnya dan langsung pergi berjalan dengan terburu-buru meninggalkan kami.
Seluruh bulu roma saya menegang. Nampaknya habis sudah perkara. Tak ada lagi yang bisa saya harapkan. Bagaimana mungkin saya akan menjegat beliau yang sudah mengaku telat.
“ya Allah,,, bantu hamba” jeritku dalam hati.
Aku lalu beranjak dari dudukku dan kukejar beliau
“maaf pak, sebentar” kataku
“nanti aja ya, saya telat ini” jawabnya
“maaf pak, saya anak dari pak Juli yang kemarin hubungi bapak, batas daftar ulang hari ini jam dua dan sekarang sudah hampir setengah dua, saya sudah nunggu bapak dari pagi, minta tolong pak bantu saya” ucapku tanpa henti dengan nada memelas. Malu sebenarnya, tapi apa mau dikata.
Beliau terdiam sejenak, menoleh kearahku dan menatap mataku dengan tajam. Aku jadi salah tingkah dibuatnya
“maaf pak kalau saya mengganggu, saya benar-benar tidak tau mau gimana lagi”
Beliau melihat jam tangannya lalu membuka isi dompetnya
“uang saya ada di ATM semua, tidak ada cash. Saya tidak mungkin ngasi kamu bawa ATM saya untuk ambil sendiri, sedangkan saya harus ngajar sekarang” katanya
Aku terdiam. Tampaknya aku sudah tidak punya harapan lagi. Ia lalu melangkah pergi meninggalkanku. Beberapa lama kemudian dia berbalik
“tunggu sebentar, jangan pergi dulu, tunggu saya disitu” pintanya. Aku pun mengangguk mengiyakan.
Tak lama kemudian ia keluar. Entah apa yang dikatakannya pada mahasiswanya. Beliau lalu mengajakku untuk pergi ke ATM centre yang ada di Unram. Karena jaraknya cukup jauh, kami menggunakan mobil beliau. Dalam perjalanan kami berbincang tentang banyak hal
“jadi kamu yang katanya lulusan terbaik nasional di sekolah pertanian itu?” tanyanya didalam mobil
“iya pak” jawabku singkat
“kenapa ga jadi dapat beasiswa ?”
“ndak tau lah pak, katanya saya telat ngurus administrasi, padahal sebelumnya pihak sekolah yang katanya akan mengurus semuanya”
“oohh.. terus kok bisa kamu ga lulus SPMB?”
Aku hanya diam, tak mampu menjawab pertanyaan ini.
“memang ya begitu lah, sekolahmu itu kan beda kurikulum, jadi kalaupun kamu terbaik disana, belum tentu kamu lebih baik dengan yang terburuk di sekolah lain” sambungnya.
Sesak dada ini mendengar pernyataan itu. aku tak mau menyahut apapun. Kutahan emosi yang membuncah, kuingat betapa dia sangat penting bagiku kali ini.
“besok kamu akan buktikan disini, kamu akan bersaing dengan siswa-siswa dari sekolah lain, dugaan saya kamu akan susah menyesuaikan diri dengan mereka, mereka pintar-pintar biasanya” lanjutnya.
Aku masih diam, meski dada ini panas dibuatnya.
“kamu harus giat belajar, kegagalanmu kemarin di SPMB membuktikan kalau kamu aja yang lulusan terbaik ga mampu bersaing, apalagi teman-temanmu yang lain dari sekolah itu” katanya lagi
Aku tetap tak bergeming.
“saya sampai ngorbanin waktu ngajar untuk bantu kamu, jangan sampai besok kamu bikin saya malu karena nilaimu jelek apalagi sampai DO” sambungnya..
Ingin kuumpat bapak ini. Tak adakah bahasa yang lebih baik dari itu?. Tapi sudahlah, aku sedang butuh dia.
Kami pun akhirnya tiba di ATM centre. Setelah mengambil uang, beliau mengantarku ke tempat pendaftaran ulang dan kemudian meninggalkanku disana. Aku bergegas ke loket pendaftaran ulang. Suasana sudah sepi, tak ada lagi yang antre seperti yang aku lihat tadi pagi ketika lewat didepan gedung registrasi ini. Ketika sampai didepan loket, para petugas sedang sibuk merapikan kertas-kertas pendaftaran ulang, bersiap untuk pulang. Beruntung mereka masih mau melayaniku. Aku menjadi peserta terakhir yang mendaftar ulang.
“Alhamdulillah, akhirnya… terimakasih ya Allah” ucapku lirih, tak terasa air mata mengalir di pipi. Haru rasanya.
*****
Aku sudah resmi menjadi mahasiswa di Unram. Meski masuk lewat jalur yang ‘tidak terhormat’, tapi aku bertekad untuk keluar dengan cara ‘terhormat’. Aku ingin membuktikan bahwa semua yang disampaikan pak Hilal di mobil ketika memberiku pinjaman uang adalah keliru. Aku ingin menjadi orang yang layak untuk dihormati, orang yang layak untuk dihargai, bukan dikasihani.
Kujalani hari-hariku sebagai mahasiswa dengan normal. Kusibukkan diri dalam berbagai aktifitas organisasi. Sampai akhirnya aku tampil sebagai salah seorang tokoh mahasiswa di kampus. Aku terlibat dalam berbagai organisasi bergengsi dan pada gilirannya menjadikanku sebagai pemimpin utama. Aktifitasku di organisasi ini memberikan pelajaran penting bagiku tentang bagaimana mengelola hidup. Disamping itu, peran-peran utama sebagai pimpinan membuatku punya akses terhadap pejabat-pejabat penting, baik di kampus maupun luar kampus. Secara tidak langsung semua proses situ membentuk karakter dan kepribadianku.
Meski disibukkan dengan urusan organisasi, aku tetap memelihara ambisiku untuk tampil sebagai yang terbaik secara akademis. Oleh karenanya, aku berusaha untuk menyeimbangkan segala aktifitas organisasi itu dengan aktifitas akademik. Bahkan selain sibuk dengan dua urusan itu, aku juga menyempatkan diri untuk melakukan berbagai aktifitas usaha untuk bisa membiayai kuliah sendiri. Do’a dan ikhtiar terus kulakukan. Sampai akhirnya aku tiba pada saat pembuktian.
Dalam perenungan kudapati sebuah hikmah besar dibalik kesulitan-kesulitan yang menderaku ketika hendak masuk menjadi mahasiswa. Kesombongan dan mendahului takdir Allah adalah kesalahan terbesar yang kulakukan kala itu. Andai saat itu beasiswa di kampus favoritku di Jawa itu kudapatkan, mungkin aku masih menyimpan sikap sombong dan angkuh itu. Lebih dari itu, aku mungkin tidak akan bisa mendapati diri pada posisi seperti yang kudapat di Unram.
Setelah empat tahun melanglang buana di kampus, aku akhirnya sampai pada hari ketika aku harus menanggalkan status kemahasiswaan dan menyandang gelar sebagai sarjana. Dengan penuh percaya diri, kugunakan toga wisuda yang berselendangkan tulisan ‘cum laude’. Lebih dari itu, aku mendapat kehormatan untuk duduk di kursi paling depan, memimpin semua mahasiswa yang diwisuda hari itu. Aku diumumkan sebagai wisudawan terbaik periode itu. Aku adalah salah satu wisudawan yang diwisuda langsung oleh Rektor sebagai penghormatan. Aku juga diminta untuk menyampaikan pidato wisuda mewakili seluruh wisudawan. Diluar sana, berbagai spanduk terpasang mengucapkan selamat kepadaku. Hampir semua organisasi yang pernah kupimpin memasang spanduk ucapan selamat, lengkap dengan foto-fotoku. Lalu di kursi keluarga, kusaksikan keluarga besarku datang untuk melihatku diwisuda. Kulihat beberapa diantara mereka mengusap air mata ketika aku berdiri gagah di atas mimbar ketika menyampaikan pidato wisuda. Sayang, diantara mereka tidak kulihat sang bapak, orang yang selama ini paling ingin melihatku berdiri di mimbar ini. Sumber inspirasi dan semangat juangku. Tepat sebulan sebelum acara wisuda ini beliau menghembuskan nafas terakhir. Mengingatnya membuatku meneteskan air mata di mimbar itu.
Setelah prosesi wisuda selesai, aku berbincang sederhana dengan beberapa orang pejabat kampus, termasuk Rektor dan ketua ikatan alumni. Ketika itu, aku mendapat setidaknya tiga tawaran beasiswa studi S2, baik dalam dan luar negeri. Bahkan ada pula yang memberiku bantuan langsung yang ia sebut sebagai beasiswa cash saat itu juga. Tapi aku tidak ingin mengulangi kesalahan empat tahun lalu. Aku tidak ingin lagi mendahului takdir Allah. Biarlah Allah yang memutuskan. Aku hanya berusaha untuk menagih tawaran-tawaran beasiswa itu, selebihnya semua urusan Allah. Sungguh, aku mengakhiri masa studi itu dengan sempurna. Aku lulus sebagai lulusan terbaik dan meninggalkan posisi terakhir sebagai ketua di lembaga paling tertinggi di kampus. Karena aku ingin layak dihormati, maka aku berjuang untuk layak dihormati.
Saturday, 22 December 2012
FUTURE TAIWAN-ASEAN RELATIONSHIP, BLESSING OR DISASTER : THEORETICAL ANALYSIS
an Abstract of Paper
BY. Muhammad Nurjihadi
Political status of Taiwan was not clear until now. People’s Republic of China claimed that Taiwan is one of those regions. But in the other side, Taiwan claimed that they are an independent country. Because of China’s economic performance, most countries in the world give their support to China about this conflict. Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) are also give their support to China. More than a support, ASEAN and China make a good relationship in economic with China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA). Moreover, ASEAN also make a good relationship with some East Asian countries like Japan and South Korea. They call it ASEAN+3. This relationship make Taiwan become a marginalized country in the region.
More than marginalized, ASEAN bilateral relationship with other countries in the region make Taiwan suffered economic losses because of increasing transaction cost for accessing international market. This condition encourages Taiwan to build good relationship with ASEAN also. But China always obscured Taiwan’s effort. Many people or scientists believe that ASEAN-Taiwan Free Trade Agreement (ATFTA) will be realized in future. If this relationship will become true, how can this relationship influencing political, economic and social condition in both. Is it will be a blessing for both or exactly it will be a disaster.
Base on theoretical analysis, we make some simulation to show what will be haven if the relationship between ASEAN and Taiwan realized. First simulation is that the relationship will be a good influence for both. Minimization of economic barrier will increase economic interaction between Taiwan and ASEAN. So it will increase investment value from Taiwan in ASEAN and make Taiwan easy to access international market, especially in the region. The second simulation is the relationship will make some problem like political problem (pressuring from china for example, it will increase political tension in the region), economic problem like backwash effect of the relationship, it will make ASEAN suffered economic losses because of Taiwan exploitation in ASEAN resources. So, the relationship between Taiwan and ASEAN in the future is probably create a positive influence (blessing) or probably also create a negative influence (disaster).
BY. Muhammad Nurjihadi
Political status of Taiwan was not clear until now. People’s Republic of China claimed that Taiwan is one of those regions. But in the other side, Taiwan claimed that they are an independent country. Because of China’s economic performance, most countries in the world give their support to China about this conflict. Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) are also give their support to China. More than a support, ASEAN and China make a good relationship in economic with China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA). Moreover, ASEAN also make a good relationship with some East Asian countries like Japan and South Korea. They call it ASEAN+3. This relationship make Taiwan become a marginalized country in the region.
More than marginalized, ASEAN bilateral relationship with other countries in the region make Taiwan suffered economic losses because of increasing transaction cost for accessing international market. This condition encourages Taiwan to build good relationship with ASEAN also. But China always obscured Taiwan’s effort. Many people or scientists believe that ASEAN-Taiwan Free Trade Agreement (ATFTA) will be realized in future. If this relationship will become true, how can this relationship influencing political, economic and social condition in both. Is it will be a blessing for both or exactly it will be a disaster.
Base on theoretical analysis, we make some simulation to show what will be haven if the relationship between ASEAN and Taiwan realized. First simulation is that the relationship will be a good influence for both. Minimization of economic barrier will increase economic interaction between Taiwan and ASEAN. So it will increase investment value from Taiwan in ASEAN and make Taiwan easy to access international market, especially in the region. The second simulation is the relationship will make some problem like political problem (pressuring from china for example, it will increase political tension in the region), economic problem like backwash effect of the relationship, it will make ASEAN suffered economic losses because of Taiwan exploitation in ASEAN resources. So, the relationship between Taiwan and ASEAN in the future is probably create a positive influence (blessing) or probably also create a negative influence (disaster).
Monday, 10 December 2012
Globalisasi: Strategi Hegemoni Ekonomi Negara Maju
Oleh : Muhammad Nurjihadi
Keluarnya Amerika Serikat sebagai pemenang dalam perang melawan komunisme tidak hanya menyebabkan runtuhnya komunisme itu, atau tidak juga sekedar berdampak pada runtuhnya Uni Soviet, tapi juga membuat dunia memasuki periode Pax-Americana. Negara-negara didunia dipaksa untuk mengakui dan melakukan potical adjustment terhadap kekuatan politik dan militer AS dan sekutu-sekutunya. Lebih dari itu, fenomena ini juga membawa pengaruh terhadap bidang ekonomi. Dunia dipaksa untuk masuk secara monolitik kedalam sistem perekonomian neo-liberal yang terlembagakan ke dalam perjanjian-perjanjian internasional, khususnya kedalam organisasi World Trade Organization (WTO) [Damanhuri, 2012].
Secara tegas, Yustika (2011) menyebut globalisasi sebagai instrumen ekonomi politik negara-negara maju dibawah pimpinan AS dalam rangka memapankan posisinya sebagai aktor utama perekonomian global. Bahkan Petras dan Veltmeyer (1998) menyatakan bahwa globalisasi adalah bentuk imprialisme ekonomi baru. Sementara Kissinger (1998) menyebut globalisasi sebagai nama lain untuk dominasi barat (dalam Swasono, 2011). Ide utama dari globalisasi adalah membuat dunia menjadi seragam dimana peradaban barat sebagai acuan yang harus dicontoh dalam segala hal, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya maupun ilmu pengetahuan. Sehingga tidak salah juga jika Frieman (2001) dalam Swasono (2011) menyebut globalisasi sebagai Amerikanisasi.
Dalam perkembangannya, konsep globalisasi justeru mengalami polarisasi yang ditandai dengan lahirnya kelompok-kelompok perdagangan internasional berbasis wilayah atau region yang berprinsip pasar bebas sebagaimana globalisasi. Lahirnya Free Trade Agreement (FTA) antar berbagai negara yang memiliki kedekatan wilayah adalah contoh untuk kasus ini. Dengan demikian, globalisasi tidak lagi hanya menyediakan ruang untuk hegemoni barat (AS) tapi juga menjadi ruang untuk tumbuhnya kekuatan-kekuatan dunia lainnya (Yustika, 2011). Banyak komunitas internasional yang memanfaatkan fenomena dan semangat globalisasi untuk membangun hegemoni komunitasnya di dunia internasional. Meski untuk meraih tujuan itu, komunitas-komunitas internasional itu harus rela terjebak pada sistem ekonomi kapitalis yang menjiwai globalisasi.
Banyaknya kepentingan kelompok/komunitas/negara/peradaban tertentu untuk menjadi dominan dalam kancah dunia di era globalisasi ini melahirkan permasalahan lain. Huntington (2003) bahkan menyebut benturan antar peradaban (Clash of Civilization) tidak dapat dihindari di era globlisasi ini. Sementara Swasono (2011) menyebut fenomena ini sebagai perang idiologi. Perang ide ini untuk sementara memang dimenangkan oleh barat yang terlihat dari hegemoni barat dalam bidang ekonomi, militer, sosial, budaya dan bahkan hegemoni akademis. Di kampus-kampus kita dapat menjumpai pembelajaran ekonomi yang didominasi oleh pandangan-pandangan neoklasik (mainstream neoclassical economics) sebagai bagian dari strategi ekonomi politik global untuk menyebarkan neoliberalisme dan kapitalisme global.
Karena globalisasi menghendaki penyeragaman dalam struktur ekonomi, sosial dan budaya, maka globalisasi berimplikasi pada memudarnya identitas-identitas kesukuan dan etnisitas. Huntington (2003) menyatkan bahwa dalam keadaan dunia yang semakin terglobalisasi, akan terjadi perusakan serius terhadap kesadaran diri pada tingkat peradaban, kemasyarakatan dan etnis. Apa yang dikatakan Huntington diatas dapat kita lihat dalam kehidupan masyarakat dunia saat ini. Sebagian orang di berbagai belahan dunia sudah mengalami kerusakan kesadaran terhadap nilai-nilai kemasyarakatan yang berlaku di komunitas tempatnya berada. Gaya hidup dan praktek ekonomi mereka digerakkan oleh prinsip kapitalisme yang tertanam kuat dalam diri mereka sebagai akibat dari bias neoclassical mainstream dalam pembelajaran ekonomi di sekolah-sekolah dan universitas-universitas.
Fenomena lain dari globalisasi adalah lahirnya Multinational Corporations (MNCs) atau perusahaan-perusahaan multinasional. Bahkan MNCs ini dipandang sebagai salah satu pilar utama dari globalisasi. Argumentasi ini berpijak pada fakta bahwa globalisasi merupakan sebuah konsep ekonomi yang berlandas pada teori ekonomi klasik/neoklasik dengan kebebasan individu sebagai pilar utama. Oleh karenanya, sektor privat (korporasi) dengan skala usaha global diharapkan dapat menjadi instrumen ekonomi yang bisa menjalankan mekanisme pasar dan globalisasi. Upaya tersebut menunjukkan bahwa globalisasi merupakan konsep ekonomi yang berusaha memapankan salah satu sistem ekonomi suatu negara dan menjadikan negara lain sebagai pecundang (Yustika, 2011).
Lebih jauh, Yustika (2011) menjelaskan strategi yang digunakan MNCs dalam menjalankan misinya adalah dengan membentuk pasar oligopoli global. Cara yang lazim dilakukan adalah mengakuisisi perusahaan-perusahaan asing sejenis yang ada di negara-negara miskin atau berkembang. Cara lain yang biasa dilakukan adalah dengan melakukan greenfield investment yang pelan tapi pasti akan mendominasi pasar di negara-negara berkembang atau miskin. greenfield investment ini menyebabkan terjadinya pencaplokan korporasi lokal oleh MNCs sehingga pangsa pasar yang ada di negara berkembang akan sangat mudah dikuasai.
Ide tentang perdagangan internasional sebetulnya diungkap pertama kali oleh David Ricardo melalui teorinya the comparative advantage theory (teori keunggulan komparatif) yang menjelaskan bahwa perdagangan internasional antar negara hanya akan terjadi jika suatu negara memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh negara lainnya. Untuk menjalankan transaksi internasional itu, maka pemerintah harus mendukung dengan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada para pelaku ekonomi untuk mengembangkan bisnisnya tanpa ada hambatan regulasi ataupun kebijakan pemerintah (Sraffa, 1976). Sementara itu, Omerold (1999) memberikan pandangan yang berbeda tentang teori keunggulan komparatif David Ricardo. Menurut Omerold semangat yang terkandung dalam teori keunggulan komparatif itu tidak hanya tentang kebebasan pelaku ekonomi (pasar bebas antar negara), tapi Ricardo menurut Omerold justeru lebih menekankan pada pasar bebas antar wilayah dalam negeri, bukan antar negara. Menurut Ricardo, perdagangan bebas antar negara rentan menimbulkan bubble economic (gelembung ekonomi).
Massifnya modal asing yang masuk dalam perekonomian suatu negara sangat rentan menimbulkan gelembung ekonomi (bubble economic). Investasi asing yang berorientasi jangka pendek menyebabkan proses pembangunan terjadi secara massif, namun setelah profit didapat semua modal yang terakumulasi segera ditarik oleh pemilik modal dan menyebabkan krisis ekonomi di negara tujuan investasi. Krisis ekonomi Indonesia tahun 1998 adalah bukti nyata dari bubble economic sebagai akibat dari sikap mementingkan diri sendiri oleh investor dalam sistem ekonomi pasar bebas. Katakanlah, dibutuhkan waktu hanya 5 menit oleh Warren Buffet ataupun George Soros untuk menarik seluruh modalnya melalui telepon seluler, kemudian dampaknya akan menjadi sistemik dan mengancam eksistensi suatu negara (Supiyanto, 2011).
Gelembung ekonomi dalam era globalisasi ini sangat sulit dihindari. Beberapa sebabnya adalah karena tidak seimbangnya perputaran uang dengan perputaran barang dan jasa. Hal ini terjadi karena maraknya bisnis spekulatif (di dunia pasar modal, pasar valas dan properti) yang tidak diimbangi dengan perputaran arus barang dan jasa. Dalam satu hari, peredaran moneter (uang) diperkirakan berkisar antara 2-3 Triliun dolar AS atau setara dengan sekitar 700 Triliun dolar AS dalam satu tahun. Bandingkan dengan arus perdagangan barang secara internasional dalam satu tahun yang hanya mencapai 7 triliun dolar AS. Jadi, arus peredaran uang 100 kali lebih cepat dari pada peredaran arus barang. Selain itu, gelembung ekonomi (bubble economic) juga sering terjadi karena ketergantungan negara-negara berkembang terhadap hutang luar negeri. Ketika hutang itu terus menumpuk dan tidak mampu dikelola dengan baik menyebabkan hegemoni negara industri maju terhadap negara berkembang (penerima hutang) menjadi semakin parah yang diikuti dengan semakin memburuknya ketimpangan ekonomi (Damanhuri, 2012).
Keluarnya Amerika Serikat sebagai pemenang dalam perang melawan komunisme tidak hanya menyebabkan runtuhnya komunisme itu, atau tidak juga sekedar berdampak pada runtuhnya Uni Soviet, tapi juga membuat dunia memasuki periode Pax-Americana. Negara-negara didunia dipaksa untuk mengakui dan melakukan potical adjustment terhadap kekuatan politik dan militer AS dan sekutu-sekutunya. Lebih dari itu, fenomena ini juga membawa pengaruh terhadap bidang ekonomi. Dunia dipaksa untuk masuk secara monolitik kedalam sistem perekonomian neo-liberal yang terlembagakan ke dalam perjanjian-perjanjian internasional, khususnya kedalam organisasi World Trade Organization (WTO) [Damanhuri, 2012].
Secara tegas, Yustika (2011) menyebut globalisasi sebagai instrumen ekonomi politik negara-negara maju dibawah pimpinan AS dalam rangka memapankan posisinya sebagai aktor utama perekonomian global. Bahkan Petras dan Veltmeyer (1998) menyatakan bahwa globalisasi adalah bentuk imprialisme ekonomi baru. Sementara Kissinger (1998) menyebut globalisasi sebagai nama lain untuk dominasi barat (dalam Swasono, 2011). Ide utama dari globalisasi adalah membuat dunia menjadi seragam dimana peradaban barat sebagai acuan yang harus dicontoh dalam segala hal, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya maupun ilmu pengetahuan. Sehingga tidak salah juga jika Frieman (2001) dalam Swasono (2011) menyebut globalisasi sebagai Amerikanisasi.
Dalam perkembangannya, konsep globalisasi justeru mengalami polarisasi yang ditandai dengan lahirnya kelompok-kelompok perdagangan internasional berbasis wilayah atau region yang berprinsip pasar bebas sebagaimana globalisasi. Lahirnya Free Trade Agreement (FTA) antar berbagai negara yang memiliki kedekatan wilayah adalah contoh untuk kasus ini. Dengan demikian, globalisasi tidak lagi hanya menyediakan ruang untuk hegemoni barat (AS) tapi juga menjadi ruang untuk tumbuhnya kekuatan-kekuatan dunia lainnya (Yustika, 2011). Banyak komunitas internasional yang memanfaatkan fenomena dan semangat globalisasi untuk membangun hegemoni komunitasnya di dunia internasional. Meski untuk meraih tujuan itu, komunitas-komunitas internasional itu harus rela terjebak pada sistem ekonomi kapitalis yang menjiwai globalisasi.
Banyaknya kepentingan kelompok/komunitas/negara/peradaban tertentu untuk menjadi dominan dalam kancah dunia di era globalisasi ini melahirkan permasalahan lain. Huntington (2003) bahkan menyebut benturan antar peradaban (Clash of Civilization) tidak dapat dihindari di era globlisasi ini. Sementara Swasono (2011) menyebut fenomena ini sebagai perang idiologi. Perang ide ini untuk sementara memang dimenangkan oleh barat yang terlihat dari hegemoni barat dalam bidang ekonomi, militer, sosial, budaya dan bahkan hegemoni akademis. Di kampus-kampus kita dapat menjumpai pembelajaran ekonomi yang didominasi oleh pandangan-pandangan neoklasik (mainstream neoclassical economics) sebagai bagian dari strategi ekonomi politik global untuk menyebarkan neoliberalisme dan kapitalisme global.
Karena globalisasi menghendaki penyeragaman dalam struktur ekonomi, sosial dan budaya, maka globalisasi berimplikasi pada memudarnya identitas-identitas kesukuan dan etnisitas. Huntington (2003) menyatkan bahwa dalam keadaan dunia yang semakin terglobalisasi, akan terjadi perusakan serius terhadap kesadaran diri pada tingkat peradaban, kemasyarakatan dan etnis. Apa yang dikatakan Huntington diatas dapat kita lihat dalam kehidupan masyarakat dunia saat ini. Sebagian orang di berbagai belahan dunia sudah mengalami kerusakan kesadaran terhadap nilai-nilai kemasyarakatan yang berlaku di komunitas tempatnya berada. Gaya hidup dan praktek ekonomi mereka digerakkan oleh prinsip kapitalisme yang tertanam kuat dalam diri mereka sebagai akibat dari bias neoclassical mainstream dalam pembelajaran ekonomi di sekolah-sekolah dan universitas-universitas.
Fenomena lain dari globalisasi adalah lahirnya Multinational Corporations (MNCs) atau perusahaan-perusahaan multinasional. Bahkan MNCs ini dipandang sebagai salah satu pilar utama dari globalisasi. Argumentasi ini berpijak pada fakta bahwa globalisasi merupakan sebuah konsep ekonomi yang berlandas pada teori ekonomi klasik/neoklasik dengan kebebasan individu sebagai pilar utama. Oleh karenanya, sektor privat (korporasi) dengan skala usaha global diharapkan dapat menjadi instrumen ekonomi yang bisa menjalankan mekanisme pasar dan globalisasi. Upaya tersebut menunjukkan bahwa globalisasi merupakan konsep ekonomi yang berusaha memapankan salah satu sistem ekonomi suatu negara dan menjadikan negara lain sebagai pecundang (Yustika, 2011).
Lebih jauh, Yustika (2011) menjelaskan strategi yang digunakan MNCs dalam menjalankan misinya adalah dengan membentuk pasar oligopoli global. Cara yang lazim dilakukan adalah mengakuisisi perusahaan-perusahaan asing sejenis yang ada di negara-negara miskin atau berkembang. Cara lain yang biasa dilakukan adalah dengan melakukan greenfield investment yang pelan tapi pasti akan mendominasi pasar di negara-negara berkembang atau miskin. greenfield investment ini menyebabkan terjadinya pencaplokan korporasi lokal oleh MNCs sehingga pangsa pasar yang ada di negara berkembang akan sangat mudah dikuasai.
Ide tentang perdagangan internasional sebetulnya diungkap pertama kali oleh David Ricardo melalui teorinya the comparative advantage theory (teori keunggulan komparatif) yang menjelaskan bahwa perdagangan internasional antar negara hanya akan terjadi jika suatu negara memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh negara lainnya. Untuk menjalankan transaksi internasional itu, maka pemerintah harus mendukung dengan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada para pelaku ekonomi untuk mengembangkan bisnisnya tanpa ada hambatan regulasi ataupun kebijakan pemerintah (Sraffa, 1976). Sementara itu, Omerold (1999) memberikan pandangan yang berbeda tentang teori keunggulan komparatif David Ricardo. Menurut Omerold semangat yang terkandung dalam teori keunggulan komparatif itu tidak hanya tentang kebebasan pelaku ekonomi (pasar bebas antar negara), tapi Ricardo menurut Omerold justeru lebih menekankan pada pasar bebas antar wilayah dalam negeri, bukan antar negara. Menurut Ricardo, perdagangan bebas antar negara rentan menimbulkan bubble economic (gelembung ekonomi).
Massifnya modal asing yang masuk dalam perekonomian suatu negara sangat rentan menimbulkan gelembung ekonomi (bubble economic). Investasi asing yang berorientasi jangka pendek menyebabkan proses pembangunan terjadi secara massif, namun setelah profit didapat semua modal yang terakumulasi segera ditarik oleh pemilik modal dan menyebabkan krisis ekonomi di negara tujuan investasi. Krisis ekonomi Indonesia tahun 1998 adalah bukti nyata dari bubble economic sebagai akibat dari sikap mementingkan diri sendiri oleh investor dalam sistem ekonomi pasar bebas. Katakanlah, dibutuhkan waktu hanya 5 menit oleh Warren Buffet ataupun George Soros untuk menarik seluruh modalnya melalui telepon seluler, kemudian dampaknya akan menjadi sistemik dan mengancam eksistensi suatu negara (Supiyanto, 2011).
Gelembung ekonomi dalam era globalisasi ini sangat sulit dihindari. Beberapa sebabnya adalah karena tidak seimbangnya perputaran uang dengan perputaran barang dan jasa. Hal ini terjadi karena maraknya bisnis spekulatif (di dunia pasar modal, pasar valas dan properti) yang tidak diimbangi dengan perputaran arus barang dan jasa. Dalam satu hari, peredaran moneter (uang) diperkirakan berkisar antara 2-3 Triliun dolar AS atau setara dengan sekitar 700 Triliun dolar AS dalam satu tahun. Bandingkan dengan arus perdagangan barang secara internasional dalam satu tahun yang hanya mencapai 7 triliun dolar AS. Jadi, arus peredaran uang 100 kali lebih cepat dari pada peredaran arus barang. Selain itu, gelembung ekonomi (bubble economic) juga sering terjadi karena ketergantungan negara-negara berkembang terhadap hutang luar negeri. Ketika hutang itu terus menumpuk dan tidak mampu dikelola dengan baik menyebabkan hegemoni negara industri maju terhadap negara berkembang (penerima hutang) menjadi semakin parah yang diikuti dengan semakin memburuknya ketimpangan ekonomi (Damanhuri, 2012).
Wednesday, 14 November 2012
Ironisme Agribisnis Tembakau Lombok
Oleh: Muhammad Nurjihadi
Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara terbesar produsen daun tembakau. Pada tahun 2007 total produksi tembakau dunia mencapai 6.311.103 ton. Dari total produksi tembakau dunia tersebut, Indonesia menyumbang 164.851 ton (2,6%). Jika diranking, Indonesia berada pada urutan ke 5 sebagai produsen daun tembakau terbesar dunia. Adapun produsen terbesar adalah China dengan 2.397.200 ton (38%), disusul Brasil dengan 919.393 ton (14,6%), India dengan produksi 555.000 ton (8,8%), dan Amerika Serikat yang memproduksi 353.177 ton (5,6%). Sedangkan sisanya tersebar di beberapa negara seperti Pakistan, Italia, Turki, Zimbabwe, Yunani, dan lain-lain (FAO, 2007).
Dalam sejarahnya tembakau mulai menjadi perhatian sebagai komoditas komersial (high value commodity) di Indonesia sejak zaman pemerintah Hindia Belanda. Tembakau merupakan salah satu komoditas penting dan wajib ditanam ketika sistem tanam paksa diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memenuhi pasar ekspor. Sebagai komoditas ekspor, tembakau menjadi tanaman yang komersial dan berbasis pasar. Bahkan karena usaha penanaman tembakau pada tahun 1841 dianggap gagal akibat risiko tinggi karena kerentanannya terhadap cuaca dan musim menyebabkan pemerintah menghentikan tanam paksa tembakau. Untuk selanjutnya pemerintah membiarkan petani mengusahakan sendiri tanaman tembakau seperti sedia kala, atau mengadakan kontrak penanaman atau penjualan dengan pihak swasta tanpa campur tangan pemerintah secara langsung (Suroyo, 2000).
Nusa Tenggara Barat merupakan penyumbang produksi tembakau terbesar ketiga di Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pada tahun 2009, produksi tembakau nasional mencapai 235.987 ton yang terdiri dari 172.450 ton tembakau rakyat dan 63.537 ton tembakau Virginia. Dari jumlah itu, provinsi NTB menyumbang 57.707,2 ton atau 24,5% dari total produksi nasional yang terdiri dari 51.353 ton tembakau Virginia (80,8% total produksi tembakau Virginia nasional) dan 6.354,2 ton tembakau rakyat (3,7% total produksi tembakau rakyat nasional). Dari data diatas didapat pula informasi bahwa 89% dari total produksi tembakau di NTB merupakan jenis tembakau Virginia dan sisanya merupakan jenis tembakau rakyat (Deptan, 2011). Daerah sebaran utama penanaman tembakau di Provinsi NTB adalah Kabupaten Lombok Timur. Basuki, at al (2003) menjelaskan bahwa pada tahun 2003 kabupaten Lombok Timur memproduksi 21.972 ton tembakau atau 76,81% dari total produksi tembakau di NTB saat itu.
Usahatani Tembakau Virginia mulai diusahakan di Pulau Lombok sejak tahun 1969 bersamaan dengan masuknya PT. Faroka Tbk. Langkah PT. Faroka ini kemudian diikuti oleh PT. BAT Indonesia pada tahun 1971 serta PTP.XXVII dan NV GIEB pada tahun 1974. Memperhatikan keberhasilan rintisan usahatani Tembakau Virginia di Pulau Lombok, maka secara bertahap hadir perusahaan-perusahaan lain untuk turut mengembangkan Tembakau Virginia. Perusahaan – perusahaan yang dimaksud adalah PT. Djarum pada tahun 1980, PT. Anugrah Alam Abadi, PT. Mangli Jaya Raya, PT. Cakrawala pada tahun 1987 serta PT. Tresno Bentoel pada tahun 1989. Pada tahun-tahun berikutnya langkah ini disusul oleh PT. Trisno Adi, PT. HM. Sampoerna, PT. Sadhana Arifnusa dan PT. Gelora Djaja dan UD. Nyoto Permadi pada tahun 1999. (Disbun Provinsi NTB, 2002).
Agribisnis tembakau Virginia di pulau Lombok dikembangkan dengan sistem kemitraan melalui pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dimana perusahaan-perusahaan distributor hasil tembakau menjadi inti dan petani sebagai plasma. Dalam proses usahatani, perusahaan berkewajiban memberikan bantuan kepada petani baik bantuan teknis maupun non teknis. Dalam prakteknya, perusahaan umumnya memberikan bantuan hutang kepada petani dalam bentuk penyediaan sarana produksi seperti pupuk, pestisida, benih, dan lain-lain. Selain itu, perusahaan juga memberikan bantuan penyuluhan dan pembimbingan teknis kepada petani dalam menjalankan usahatani tembakau, baik pada saat ditanam (on farm) maupun pada proses pengolahan atau pengomprongan tembakau (off farm). Sebagai imbalan atas bantuan itu, perusahaan mewajibkan petani menjual hasil panennya hanya kepada perusahaan yang memberikan bantuan itu. Hutang sarana produksi yang sudah diberikan kepada petani secara otomatis akan dibayar saat petani menjual produk tembakaunya ke perusahaan dengan cara memotong atau mengurangi nilai pembayaran tembakau petani oleh perusahaan inti. Pada satu sisi, pola kemitraan ini memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak, dimana petani mendapatkan keuntungan karena mendapat bantuan, bimbingan dan sekaligus memiliki tujuan pasar yang jelas sehingga petani tidak perlu khawatir soal pemasaran, perusahaan juga diuntungkan karena dengan pola ini perusahaan dapat menghimpun hasil produksi tembakau petani yang sesuai dengan kebutuhannya. Tapi pada sisi lain, pola ini justeru merugikan petani karena dalam prakteknya, harga ditentukan secara sepihak oleh perusahaan, sementara petani kian tergantung pada perusahaan.
Berkembangnya agribisnis tembakau Virginia di pulau Lombok secara signifikan telah meningkatkan pendapatan petani. Studi yang dilakukan Nurjihadi (2011) membuktikan bahwa agribisnis tembakau telah berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat. Peningkatan taraf hidup itu terlihat pada peningkatan daya beli, perbaikan kondisi perumahan, peningkatan tingkat pendidikan dan perubahan gaya hidup. Namun masih menurut Nurjihadi, beberapa tahun terakhir ini petani tidak lagi merasakan peningkatan pendapatan yang signifikan dalam agribisnis tembakau Virginia sebagai akibat dari penentuan harga secara sepihak oleh perusahaan sebagai konsekuensi dari pola kemitraan yang diterapkan.
Karena tembakau merupakan komoditas komersial bernilai tinggi (High value commodity), maka tembakau merupakan salah satu komoditas yang tidak luput dari perhatian para pemilik modal. Artinya industri tembakau merupakan salah satu tujuan investasi para pemodal, baik pemodal asing maupun domestik untuk mengakumulasi modal dan menumpuk kekayaan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sistem ekonomi kapitalis yang mendasari perekonomian suatu negara atau wilayah dapat mengakibatkan meningkatnya ketimpangan ekonomi antara orang kaya (pemilik modal) dan orang miskin. Tabel Input-Output tahun 2004 menunjukkan bahwa share tembakau terhadap PDRB NTB adalah Rp 466,020 miliar atau setara dengan 1, 57%. Dari total share terhadap PDRB itu, Rp 348, 604 miliar diantaranya (74,80%) masuk ke kantong para pemilik modal dalam bentuk surplus usaha sedangkan sisanya yang hanya 115,621 miliar (24, 81%) terdistribusi kepada 57. 287 orang petani dan para pekerja perusahaan serta buruh tani (BPS NTB, 2004).
Ketimpangan ekonomi dalam agribisnis tembakau itu juga terlihat jelas dari data yang disampaikan TCSC IAKMI (2008) yang mengambil data dari statistik upah BPS tahun 2005. Data itu menunjukkan bahwa upah rata-rata petani tembakau adalah Rp 15.900 atau Rp 413.374 per bulan dengan rata-rata lama bekerja 7 jam per hari. Jumlah itu jauh lebih kecil dari pada rata-rata upah nasional yang mencapai Rp 883.693 (hanya 47%). Jika dibanding dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) di Kabupaten Lombok Timur maka rata-rata upah petani tembakau itu hanya 50% dari UMK Lombok Timur. Sementara pada saat yang bersamaan, perusahaan rokok mencatat nilai keuntungan yang fantastis. Pada triwulan ke tiga tahun 2008, PT Sampoerna mencatat keuntungan bersih sebesar Rp 3,1 Triliun, sementara PT Gudang Garam sampai pertengahan tahun 2008 merengguk keuntungan sebesar Rp 891,3 Miliar. Belum lagi keuntungan yang didapat oleh perusahaan rokok lainnya seperti PT Bentoel, British American Tobacco (BAT), Philip Morris Indonesia, dan sebagainya.
Ketika upah rata-rata petani tembakau jauh dibawah rata-rata upah nasional dan perusahaan rokok meraup keuntungan dengan nilai yang fantastis, pertanyaannya kenapa petani tembakau (khususnya di Pulau Lombok) masih bertahan dan tetap bergantung pada agribisnis tembakau Virginia. Ahsan at al (2008) dalam laporan penelitiannya menyampaikan sebuah fakta yang tegas tentang hal itu. Menurutnya ketergantungan petani terhadap agribisnis tembakau Virginia di Pulau Lombok terjadi karena setiap awal musim tembakau perusahaan-perusahaan (gudang pengumpul tembakau yang bermitra dengan petani) menyebarkan informasi kepada petani bahwa harga tembakau akan dinaikkan untuk musim tersebut. Namun setelah petani berproduksi, perusahaan justeru menyebarkan isu lain seperti telah terjadi over produksi yang membuat harga tembakau “dengan sengaja diturunkan” secara sepihak oleh perusahaan. Dengan demikian perusahaan meraup untung yang besar sementara petani harus gigit jari dan rela menjual tembakaunya dengan harga murah jika tak mau dikatakan diserahkan secara cuma-cuma kepada perusahaan.
Kesimpulan lain yang disampaikan Ahsan at al (2008) dalam penelitiannya itu adalah bahwa petani tembakau selama beberapa tahun terakhir mengalami kerugian massal. Untuk kasus petani tembakau Virginia Lombok, Ahsan menyebut selama kurun waktu 2002-2008 hanya sekitar 10% petani yang memperoleh keuntungan sementara sisanya mengalami kerugian, kecuali pada tahun 2006. Selain karena pengaruh iklim (curah hujan yang terlalu tinggi atau justeru kekeringan yang panjang), kerugian itu juga terjadi karena petani tidak punya kuasa untuk menetapkan harga jual tembakaunya. Penetapan harga sepenuhnya berada di tangan perusahaan yang menggunakan sistim grading. Ironisnya, petani tidak pernah diinformasikan secara jelas tentang standar grade. Akibatnya tembakau petani yang seharusnya masuk dalam grade tiga misalnya, dibeli perusahaan dengan harga tembakau untuk grade 15.
Secara umum perekonomian wilayah di NTB digerakkan oleh sektor pertanian. Sebanyak 74% masyarakat NTB menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian (BPS, 2004). Basuki, at al (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “Kinerja Pembangunan Pertanian NTB” menyimpulkan bahwa kinerja pertanian di NTB masuk dalam kategori ‘baik’ berdasarkan indikator-indikator pembangunan pertanian. NTB dalam laporan itu dinilai berhasil dalam memenuhi kriteria indikator pembangunan pertanian seperti (1) nilai investasi PMA sektor pertanian; (2) peningkatan produksi pangan dan hortikultura; (3) peningkatan produksi tanaman perkebunan; (4) peningkatan produksi peternakan dan perikanan; (5) nilai PDRB sektor pertanian, 6) serapan tenaga kerja sektor pertanian; (7) ketahanan pangan; (8) tingkat keuntungan usahatani; (9) pendapatan rumah tangga petani dan tingkat kemiskinan. Semenatra itu indikator yang kinerjanya buruk adalah: (1) ekspor hasil pertanian; (2) nilai tukar petani; (3) produksi beberapa komoditas perkebunan, pertanian dan perikanan yang turun.
Pengaruh agribisnis tembakau dalam perekonomian wilayah NTB belum terlihat signifikan. Efek pengganda (Multiplier effect) yang ditimbulkannya berupa backward linkage (keterkaitan ke belakang) atau disebut juga drajat kepekaannya sebesar 1,75 sedangkan forward linkage (keterkaitan ke depan) atau disebut juga daya penyebarannya sebesar 1,18 (BPS NTB, 2004). Nilai drajat kepekaan (backward linkage) sebesar 1,75 berarti bahwa setiap Rp 1 permintaan akhir akan menyebabkan peningkatan output perekonomian sebesar Rp 1,75. Hal ini terjadi karena bergeraknya sektor lain untuk mendukung pelaksanaan agribisnis tembakau itu. Sedangkan forward likage yang hanya sebesar 1,18 menunjukkan bahwa agribisnis tembakau hanya mampu menggerakkan sedikit sektor di hilir. Dalam kasus ini, agribisnis tembakau hanya menggerakkan tumbuh dan berkembangnya industri rokok.
Sulit untuk mengatakan bahwa semua fakta diatas terjadi secara alami (natural). Ada sekenario yang dimainkan pihak-pihak tertentu untuk kepentingan sendiri. Dalam konteks inilah agribisnis tembakau menjadi sasaran praktek ekonomi politik. Ekonomi politik agribisnis tembakau tidak sekedar menyangkut serangkaian kebijakan pemerintah dalam mengatur agribisnis tembakau. Lebih dari itu, ekonomi politik agribisnis tembakau melibatkan multi pihak yang tidak lain tujuannya adalah untuk memaksimalkan keuntungan. Jelaslah bahwa agribisnis tembakau tidak sesederhana persoalan menyediakan lapangan pekerjaan bagi para petani yang ada di desa. Ada sebuah hubungan yang bersifat eksploitatif dan parasitik yang dilakukan oleh perusahaan terhadap petani. Oleh karenanya penting untuk melakukan penelitian tentang ekonomi politik dalam agribisnis tembakau dan dampaknya terhadap ekonomi wilayah.
Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara terbesar produsen daun tembakau. Pada tahun 2007 total produksi tembakau dunia mencapai 6.311.103 ton. Dari total produksi tembakau dunia tersebut, Indonesia menyumbang 164.851 ton (2,6%). Jika diranking, Indonesia berada pada urutan ke 5 sebagai produsen daun tembakau terbesar dunia. Adapun produsen terbesar adalah China dengan 2.397.200 ton (38%), disusul Brasil dengan 919.393 ton (14,6%), India dengan produksi 555.000 ton (8,8%), dan Amerika Serikat yang memproduksi 353.177 ton (5,6%). Sedangkan sisanya tersebar di beberapa negara seperti Pakistan, Italia, Turki, Zimbabwe, Yunani, dan lain-lain (FAO, 2007).
Dalam sejarahnya tembakau mulai menjadi perhatian sebagai komoditas komersial (high value commodity) di Indonesia sejak zaman pemerintah Hindia Belanda. Tembakau merupakan salah satu komoditas penting dan wajib ditanam ketika sistem tanam paksa diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memenuhi pasar ekspor. Sebagai komoditas ekspor, tembakau menjadi tanaman yang komersial dan berbasis pasar. Bahkan karena usaha penanaman tembakau pada tahun 1841 dianggap gagal akibat risiko tinggi karena kerentanannya terhadap cuaca dan musim menyebabkan pemerintah menghentikan tanam paksa tembakau. Untuk selanjutnya pemerintah membiarkan petani mengusahakan sendiri tanaman tembakau seperti sedia kala, atau mengadakan kontrak penanaman atau penjualan dengan pihak swasta tanpa campur tangan pemerintah secara langsung (Suroyo, 2000).
Nusa Tenggara Barat merupakan penyumbang produksi tembakau terbesar ketiga di Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pada tahun 2009, produksi tembakau nasional mencapai 235.987 ton yang terdiri dari 172.450 ton tembakau rakyat dan 63.537 ton tembakau Virginia. Dari jumlah itu, provinsi NTB menyumbang 57.707,2 ton atau 24,5% dari total produksi nasional yang terdiri dari 51.353 ton tembakau Virginia (80,8% total produksi tembakau Virginia nasional) dan 6.354,2 ton tembakau rakyat (3,7% total produksi tembakau rakyat nasional). Dari data diatas didapat pula informasi bahwa 89% dari total produksi tembakau di NTB merupakan jenis tembakau Virginia dan sisanya merupakan jenis tembakau rakyat (Deptan, 2011). Daerah sebaran utama penanaman tembakau di Provinsi NTB adalah Kabupaten Lombok Timur. Basuki, at al (2003) menjelaskan bahwa pada tahun 2003 kabupaten Lombok Timur memproduksi 21.972 ton tembakau atau 76,81% dari total produksi tembakau di NTB saat itu.
Usahatani Tembakau Virginia mulai diusahakan di Pulau Lombok sejak tahun 1969 bersamaan dengan masuknya PT. Faroka Tbk. Langkah PT. Faroka ini kemudian diikuti oleh PT. BAT Indonesia pada tahun 1971 serta PTP.XXVII dan NV GIEB pada tahun 1974. Memperhatikan keberhasilan rintisan usahatani Tembakau Virginia di Pulau Lombok, maka secara bertahap hadir perusahaan-perusahaan lain untuk turut mengembangkan Tembakau Virginia. Perusahaan – perusahaan yang dimaksud adalah PT. Djarum pada tahun 1980, PT. Anugrah Alam Abadi, PT. Mangli Jaya Raya, PT. Cakrawala pada tahun 1987 serta PT. Tresno Bentoel pada tahun 1989. Pada tahun-tahun berikutnya langkah ini disusul oleh PT. Trisno Adi, PT. HM. Sampoerna, PT. Sadhana Arifnusa dan PT. Gelora Djaja dan UD. Nyoto Permadi pada tahun 1999. (Disbun Provinsi NTB, 2002).
Agribisnis tembakau Virginia di pulau Lombok dikembangkan dengan sistem kemitraan melalui pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dimana perusahaan-perusahaan distributor hasil tembakau menjadi inti dan petani sebagai plasma. Dalam proses usahatani, perusahaan berkewajiban memberikan bantuan kepada petani baik bantuan teknis maupun non teknis. Dalam prakteknya, perusahaan umumnya memberikan bantuan hutang kepada petani dalam bentuk penyediaan sarana produksi seperti pupuk, pestisida, benih, dan lain-lain. Selain itu, perusahaan juga memberikan bantuan penyuluhan dan pembimbingan teknis kepada petani dalam menjalankan usahatani tembakau, baik pada saat ditanam (on farm) maupun pada proses pengolahan atau pengomprongan tembakau (off farm). Sebagai imbalan atas bantuan itu, perusahaan mewajibkan petani menjual hasil panennya hanya kepada perusahaan yang memberikan bantuan itu. Hutang sarana produksi yang sudah diberikan kepada petani secara otomatis akan dibayar saat petani menjual produk tembakaunya ke perusahaan dengan cara memotong atau mengurangi nilai pembayaran tembakau petani oleh perusahaan inti. Pada satu sisi, pola kemitraan ini memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak, dimana petani mendapatkan keuntungan karena mendapat bantuan, bimbingan dan sekaligus memiliki tujuan pasar yang jelas sehingga petani tidak perlu khawatir soal pemasaran, perusahaan juga diuntungkan karena dengan pola ini perusahaan dapat menghimpun hasil produksi tembakau petani yang sesuai dengan kebutuhannya. Tapi pada sisi lain, pola ini justeru merugikan petani karena dalam prakteknya, harga ditentukan secara sepihak oleh perusahaan, sementara petani kian tergantung pada perusahaan.
Berkembangnya agribisnis tembakau Virginia di pulau Lombok secara signifikan telah meningkatkan pendapatan petani. Studi yang dilakukan Nurjihadi (2011) membuktikan bahwa agribisnis tembakau telah berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat. Peningkatan taraf hidup itu terlihat pada peningkatan daya beli, perbaikan kondisi perumahan, peningkatan tingkat pendidikan dan perubahan gaya hidup. Namun masih menurut Nurjihadi, beberapa tahun terakhir ini petani tidak lagi merasakan peningkatan pendapatan yang signifikan dalam agribisnis tembakau Virginia sebagai akibat dari penentuan harga secara sepihak oleh perusahaan sebagai konsekuensi dari pola kemitraan yang diterapkan.
Karena tembakau merupakan komoditas komersial bernilai tinggi (High value commodity), maka tembakau merupakan salah satu komoditas yang tidak luput dari perhatian para pemilik modal. Artinya industri tembakau merupakan salah satu tujuan investasi para pemodal, baik pemodal asing maupun domestik untuk mengakumulasi modal dan menumpuk kekayaan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sistem ekonomi kapitalis yang mendasari perekonomian suatu negara atau wilayah dapat mengakibatkan meningkatnya ketimpangan ekonomi antara orang kaya (pemilik modal) dan orang miskin. Tabel Input-Output tahun 2004 menunjukkan bahwa share tembakau terhadap PDRB NTB adalah Rp 466,020 miliar atau setara dengan 1, 57%. Dari total share terhadap PDRB itu, Rp 348, 604 miliar diantaranya (74,80%) masuk ke kantong para pemilik modal dalam bentuk surplus usaha sedangkan sisanya yang hanya 115,621 miliar (24, 81%) terdistribusi kepada 57. 287 orang petani dan para pekerja perusahaan serta buruh tani (BPS NTB, 2004).
Ketimpangan ekonomi dalam agribisnis tembakau itu juga terlihat jelas dari data yang disampaikan TCSC IAKMI (2008) yang mengambil data dari statistik upah BPS tahun 2005. Data itu menunjukkan bahwa upah rata-rata petani tembakau adalah Rp 15.900 atau Rp 413.374 per bulan dengan rata-rata lama bekerja 7 jam per hari. Jumlah itu jauh lebih kecil dari pada rata-rata upah nasional yang mencapai Rp 883.693 (hanya 47%). Jika dibanding dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) di Kabupaten Lombok Timur maka rata-rata upah petani tembakau itu hanya 50% dari UMK Lombok Timur. Sementara pada saat yang bersamaan, perusahaan rokok mencatat nilai keuntungan yang fantastis. Pada triwulan ke tiga tahun 2008, PT Sampoerna mencatat keuntungan bersih sebesar Rp 3,1 Triliun, sementara PT Gudang Garam sampai pertengahan tahun 2008 merengguk keuntungan sebesar Rp 891,3 Miliar. Belum lagi keuntungan yang didapat oleh perusahaan rokok lainnya seperti PT Bentoel, British American Tobacco (BAT), Philip Morris Indonesia, dan sebagainya.
Ketika upah rata-rata petani tembakau jauh dibawah rata-rata upah nasional dan perusahaan rokok meraup keuntungan dengan nilai yang fantastis, pertanyaannya kenapa petani tembakau (khususnya di Pulau Lombok) masih bertahan dan tetap bergantung pada agribisnis tembakau Virginia. Ahsan at al (2008) dalam laporan penelitiannya menyampaikan sebuah fakta yang tegas tentang hal itu. Menurutnya ketergantungan petani terhadap agribisnis tembakau Virginia di Pulau Lombok terjadi karena setiap awal musim tembakau perusahaan-perusahaan (gudang pengumpul tembakau yang bermitra dengan petani) menyebarkan informasi kepada petani bahwa harga tembakau akan dinaikkan untuk musim tersebut. Namun setelah petani berproduksi, perusahaan justeru menyebarkan isu lain seperti telah terjadi over produksi yang membuat harga tembakau “dengan sengaja diturunkan” secara sepihak oleh perusahaan. Dengan demikian perusahaan meraup untung yang besar sementara petani harus gigit jari dan rela menjual tembakaunya dengan harga murah jika tak mau dikatakan diserahkan secara cuma-cuma kepada perusahaan.
Kesimpulan lain yang disampaikan Ahsan at al (2008) dalam penelitiannya itu adalah bahwa petani tembakau selama beberapa tahun terakhir mengalami kerugian massal. Untuk kasus petani tembakau Virginia Lombok, Ahsan menyebut selama kurun waktu 2002-2008 hanya sekitar 10% petani yang memperoleh keuntungan sementara sisanya mengalami kerugian, kecuali pada tahun 2006. Selain karena pengaruh iklim (curah hujan yang terlalu tinggi atau justeru kekeringan yang panjang), kerugian itu juga terjadi karena petani tidak punya kuasa untuk menetapkan harga jual tembakaunya. Penetapan harga sepenuhnya berada di tangan perusahaan yang menggunakan sistim grading. Ironisnya, petani tidak pernah diinformasikan secara jelas tentang standar grade. Akibatnya tembakau petani yang seharusnya masuk dalam grade tiga misalnya, dibeli perusahaan dengan harga tembakau untuk grade 15.
Secara umum perekonomian wilayah di NTB digerakkan oleh sektor pertanian. Sebanyak 74% masyarakat NTB menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian (BPS, 2004). Basuki, at al (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “Kinerja Pembangunan Pertanian NTB” menyimpulkan bahwa kinerja pertanian di NTB masuk dalam kategori ‘baik’ berdasarkan indikator-indikator pembangunan pertanian. NTB dalam laporan itu dinilai berhasil dalam memenuhi kriteria indikator pembangunan pertanian seperti (1) nilai investasi PMA sektor pertanian; (2) peningkatan produksi pangan dan hortikultura; (3) peningkatan produksi tanaman perkebunan; (4) peningkatan produksi peternakan dan perikanan; (5) nilai PDRB sektor pertanian, 6) serapan tenaga kerja sektor pertanian; (7) ketahanan pangan; (8) tingkat keuntungan usahatani; (9) pendapatan rumah tangga petani dan tingkat kemiskinan. Semenatra itu indikator yang kinerjanya buruk adalah: (1) ekspor hasil pertanian; (2) nilai tukar petani; (3) produksi beberapa komoditas perkebunan, pertanian dan perikanan yang turun.
Pengaruh agribisnis tembakau dalam perekonomian wilayah NTB belum terlihat signifikan. Efek pengganda (Multiplier effect) yang ditimbulkannya berupa backward linkage (keterkaitan ke belakang) atau disebut juga drajat kepekaannya sebesar 1,75 sedangkan forward linkage (keterkaitan ke depan) atau disebut juga daya penyebarannya sebesar 1,18 (BPS NTB, 2004). Nilai drajat kepekaan (backward linkage) sebesar 1,75 berarti bahwa setiap Rp 1 permintaan akhir akan menyebabkan peningkatan output perekonomian sebesar Rp 1,75. Hal ini terjadi karena bergeraknya sektor lain untuk mendukung pelaksanaan agribisnis tembakau itu. Sedangkan forward likage yang hanya sebesar 1,18 menunjukkan bahwa agribisnis tembakau hanya mampu menggerakkan sedikit sektor di hilir. Dalam kasus ini, agribisnis tembakau hanya menggerakkan tumbuh dan berkembangnya industri rokok.
Sulit untuk mengatakan bahwa semua fakta diatas terjadi secara alami (natural). Ada sekenario yang dimainkan pihak-pihak tertentu untuk kepentingan sendiri. Dalam konteks inilah agribisnis tembakau menjadi sasaran praktek ekonomi politik. Ekonomi politik agribisnis tembakau tidak sekedar menyangkut serangkaian kebijakan pemerintah dalam mengatur agribisnis tembakau. Lebih dari itu, ekonomi politik agribisnis tembakau melibatkan multi pihak yang tidak lain tujuannya adalah untuk memaksimalkan keuntungan. Jelaslah bahwa agribisnis tembakau tidak sesederhana persoalan menyediakan lapangan pekerjaan bagi para petani yang ada di desa. Ada sebuah hubungan yang bersifat eksploitatif dan parasitik yang dilakukan oleh perusahaan terhadap petani. Oleh karenanya penting untuk melakukan penelitian tentang ekonomi politik dalam agribisnis tembakau dan dampaknya terhadap ekonomi wilayah.
Sunday, 4 November 2012
Pedagang Kaki Lima (PKL) Dalam Pusaran Kegagalan Koordinasi Pembangunan
Oleh: Muhammad Nurjihadi
Istilah pembangunan merujuk pada makna upaya peningkatan kapasitas perekonomian nasional untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan pendapatan nasional bruto (Gross National Income-GNI). Pembangunan umumnya hanya dipandang sebagai fenomena ekonomi semata. Pertumbuhan GNI ataupun GNI per kapita diyakini akan menetes dengan sendirinya kebawah dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan menggerakkan tumbuhnya sektor-sektor usaha baru yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. Pandangan itulah yang dikenal sebagai efek menetes kebawah (trickle down effect). Dengan dmikian, pertumbuhan ekonomi merupakan unsur paling penting dan utama dalam pembangunan, sedangkan masalah-masalah kemiskinan, ketimpangan, pengangguran, diskriminasi ekonomi, pengangguran dan sebagainya cenderung diabaikan karena dianggap akan selesai dengan sendirinya seiring tingginya pertumbuhan ekonomi (Todaro dan Smith, 2006).
Namun fakta berbicara lain. Belajar dari pengalaman pembangunan Indonesia, meski pertumbuhan ekonomi meningkat dan pendapatan per kapita telah mencapai angka US$ 3.000 per tahun, namun ketimpangan distribusi pendapatan juga semakin lebar sebagaimana tecermin dari rasio gini yang meningkat dari 0,33 tahun 2002 menjadi 0,41 tahun 2011. Lebih ironis lagi, ketika total pendapatan nasional yang dinikmati kelompok 40 % penduduk termiskin megalami penurunan, 20 % kelompok terkaya justru mengalami penaikan jatah kue pendapatan nasional dari 42,2 % tahun 2002 menjadi 48,42 % tahun 2011. Dengan demikian, yang terjadi justeru bukan tricle down effect, tapi sebaliknya yang terjadi adalah trickle up effect atau efek muncrat ke atas dalam proses pembangunan (Kompas.com, 15 Juni 2012).
Selain itu, proses pembangunan yang berlangsung selama ini di Indonesia cenderung bias kota (urban bias). Akibatnya kota mengalami kemajuan yang semakin jauh yang ditopang oleh segala fasilitas dan infrastruktur publik memadai, sementara desa kian tertinggal dan terjebak dalam kemiskinannya. Rustiadi at al (2011) menyatakan bahwa pembangunan yang urban bias seperti itu mendorong masyarakat desa untuk melakukan migrasi dari desa ke kota. Sebenarnya, proses migrasi desa-kota ini dapat dipandang sebagai hal yang positif. Dengan mengacu pada teori Arthur Lewis tentang Theory of labor transfer, maka dapat disimpulkan bahwa migrasi masyarakat desa ke kota adalah fenomena yang positif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermigrasi itu sekaligus untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja oleh pabrik-pabrik yang ada di kota. Namun yang terjadi adalah over migration dimana lapangan pekerjaan yang ada di kota tidak mampu menampung besarnya jumlah migran. Akibatnya banyak migran yang tidak dapat diserap sebagai tenaga kerja oleh perusahaan. Alasan lain yang menyebabkan banyaknya migran tidak terserap dalam dunia usaha perkotaan adalah karena rendahnya keterampilan dan keahlian. Migran-migran yang tidak terserap atau terakomodasi oleh perusahaan-perusahaan kota inilah yang kemudian menjadi pengangguran kota dan bekerja semrawut (sektor informal perkotaan) seperti menjadi tukang ojek, pengemis, pemulung, preman dan termasuk Pedagang Kaki Lima (PKL). Selain itu keberadaan migran-migran tidak terampil yang bekerja di sektor informal dengan penghasilan minim ini membuat munculnya pemukiman-pemukiman liar yang kumuh (squatter settlement). Hal-hal semacam ini dapat terjadi karena disebabkan oleh kegagalan koordinasi dalam pembangunan. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang kompelementer antara desa dan kota merupakan penyebab fenomena ini.
Menjadi pedagang kaki lima adalah pilihan favorit para migran untuk bisa mempertahankan hidupnya (survive) di kota yang keras. Alasannya sederhana, cara ini dianggap lebih baik, halal dan lebih menjanjikan daripada sekedar menjadi tukang ojek, pemulung, apa lagi preman. Jarang ada yang memilih untuk pulang kembali ke desa. Mungkin karena mereka merasa bahwa desa tidak akan mampu menyediakan apa yang mereka butuhkan atau mungkin juga karena alasan yang lebih psikologis, ‘malu’. Sayangnya memilih sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL) pun tidak seenak yang dikira, mereka harus menghadapi berbagai persoalan, mulai dari persoalan premanisme, pungutan liar, hingga penggusuran. Penggusuran sering kali dilakukan oleh pemerintah kota karena alasan ketertiban publik, estetika kota dan untuk kepentingan investasi bisnis besar.
PKL umumnya memilih untuk berdagang di terotoar pinggir jalan dan bahkan tidak jarang sampai mengambil badan jalan. Tentu saja hal ini dapat mengganggu pihak lain, baik pejalan kaki, pengendara kendaraan bermotor maupun pedagang legal (pertokoan) yang ada di sekitar tempat berdagangnya PKL itu. Kondisi seperti ini sangat rentan menimbulkan konflik sosial, terutama antara PKL dengan pemilik toko legal kaitannya dengan persaingan ataupun keindahan (estetika). Studi yang dilakukan Arifianto (2006) mencoba untuk mengkaji interaksi antara aktifitas pertokoan dan pedagang kaki lima di kawasan pedagangan Banjaran Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Hasil studi memang tidak menunjukkan adanya konflik terbuka sebagai akibat dari adanya persaingan usaha antara PKL dan pemilik toko. Namun pertentangan-pertentangan kecil sering terjadi yang rata-rata berujung pada pengaduan kasus ke pemerintah kota. Adanya saling pengertian antara pemilik toko dan PKL mampu meredam potensi konflik terbuka. Bagi pemilik toko, keberadaan PKL memang dianggap mengganggu aktifitas usaha mereka, tapi biar bagaimanapun mereka adalah manusia yang sedang mencari nafkah untuk bertahan hidup, jadi para pemilik toko itu menganggap bahwa melarang mereka adalah sikap yang arogan dan memang bukan wewenang mereka.
Dengan segala permasalahan yang ditimbulkan sebagai akibat dari adanya PKL, pemerintah kota merasa perlu untuk mengatur dan menertibkan PKL ini. Sayangnya, upaya penertiban sering kali berujung dengan bentrok antara Polisi Pamong Praja (Pol PP) yang bermaksud menertibkan dengan para PKL itu. Pol PP yang ingin menertibkan biasanya melengkapi diri dengan pentungan untuk mengantisipasi penolakan PKL. Karena para PKL menganggap bahwa Pol PP itu hendak menyerang mereka (karena telah mempersenjatai diri dengan pentungan), maka para PKL itupun membekali diri dengan berbagai alat, mulai dari balok-balok kayu, batu hingga senjata tajam untuk melakukan perlawanan. Karena masing-masing sudah mempersenjatai diri seperti itu, upaya penertiban PKL sering kali terlihat seperti perang terbuka. Dalam konteks ini, kita bisa menyatakan bahwa telah terjadi kegagalan koordinasi antara satuan Pol PP dengan PKL dalam upaya penertiban itu. Pihak pemerintah kota melalui Pol PP sering kali beralasan bahwa teguran sudah diberikan secara tertulis sebanyak lebih dari satu kali namun tidak diindahkan oleh PKL, dengan demikian mereka merasa sudah selayaknya jika mereka melakukan penggusuran paksa dengan mempersenjatai diri menggunakan pentungan. Semetara pihak PKL yang menolak untuk digusur sering kali beralasan karena pemerintah kota yang menggusur mereka tidak menyediakan alternatif lain bagi mereka untuk berusaha dan bertahan hidup. Disinilah letak kegagalan koordinasi itu. Pemerintah kota gagal dalam memahami persoalan real, dan terjebak pada pendekatan-pendekatan administratif yang tidak memiliki kepekaan sosial.
Persepsi pemerintah kota bahwa PKL adalah pengganggu, penyebab kemacetan, perusak pemandangan dan sebagainya membuat pemerintah kota menutup telinga dari teguran-teguran publik yang mengingatkan mereka tentang bagaimana menghadapi PKL. Padahal, jika pemerintah kota ‘melek’, seharusnya mereka bisa melihat PKL dari perspektif lain, yaitu perspektif potensi PKL itu sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di Solo misalnya, PKL mampu menyumbang hingga rata-rata Rp 20 Miliar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) setiap tahun. Jumlah itu lebih besar daripada sumbangan sektor perhotelan, restoran dan lainnya yang ada di Solo (Pikiran-rakyat.com, 4 Agustus 2012). Keberhasilan Kota Solo dalam mengelola PKL dan menjadikannya sebagai salah satu sumber PAD yang nilainya cukup besar seharusnya dapat dijadikan contoh oleh kota-kota lainnya di Indonesia. Kota Solo dengan demikian telah berhasil menciptakan hubungan yang komplementer (saling melengkapi dan saling mencukupi) antara Pemerintah Kota dengan PKL. Kota Solo membuktikan bahwa dengan koordinasi yang baik dapat mengatasi persoalan PKL. Berbagai kasus yang selama ini kita dengar di media massa tentang konflik antara Sat Pol PP dengan PKL merupakan akibat dari kegagalan koordinasi antara Pemerintah Kota dan stakeholder lain yang berkepentingan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pedagang Kaki Lima (PKL) terjebak dalam pusaran kegagalan koordinasi pembangunan pemerintah. PKL ada karena kegagalan pemerintah dalam mengkoordinasikan pembangunan dalam rangka menciptakan pembangunan yang balance (seimbang), adil dan mensejahterakan semua pihak. Konflik dalam upaya penertiban PKL juga tercipta karena kegagalan pemerintah, terutama Pemerintah Kota dalam melakukan koordinasi dengan berbagai stakeholder yang berkepentingan. Dengan kata lain, PKL merupakan korban dari kegagalan koordinasi pemerintah. Jadi, jika ingin PKL habis atau lebih tertib dan menjadi pedagang legal, maka yang harus dibenahi adalah koordinasi. Pemerintah punya tanggungjawab besar dalam hal ini.
Referensi
Rustiadi at al. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Crespent Press: Bogor
Todaro dan Smith. 2006. Economic Development, 09 edition. Pearson Education Limited: United Kingdom
Arifianto, Dessy. 2006. Kajian Interaksi Aktivitas Pertokoan Dan Pedagang Kaki Lima Pada Trotoar Di Kawasan Perdagangan Banjaran Kabupaten Tegal. Tesis Mahasiswa Program Magister Universitas Diponegoro: Semarang
Kompas.com. 15 Juni 2012. Kuatkah Fondasi Ekonomi Kita ?. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/06/15/Kuatkah.Fondasi.Ekonomi.Kita.
Pikiran-rakyat.com. 4 Agustus 2012. PKL Miliki Potensi PAD. http://www.pikiran-rakyat.com/node/154191
Istilah pembangunan merujuk pada makna upaya peningkatan kapasitas perekonomian nasional untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan pendapatan nasional bruto (Gross National Income-GNI). Pembangunan umumnya hanya dipandang sebagai fenomena ekonomi semata. Pertumbuhan GNI ataupun GNI per kapita diyakini akan menetes dengan sendirinya kebawah dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan menggerakkan tumbuhnya sektor-sektor usaha baru yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. Pandangan itulah yang dikenal sebagai efek menetes kebawah (trickle down effect). Dengan dmikian, pertumbuhan ekonomi merupakan unsur paling penting dan utama dalam pembangunan, sedangkan masalah-masalah kemiskinan, ketimpangan, pengangguran, diskriminasi ekonomi, pengangguran dan sebagainya cenderung diabaikan karena dianggap akan selesai dengan sendirinya seiring tingginya pertumbuhan ekonomi (Todaro dan Smith, 2006).
Namun fakta berbicara lain. Belajar dari pengalaman pembangunan Indonesia, meski pertumbuhan ekonomi meningkat dan pendapatan per kapita telah mencapai angka US$ 3.000 per tahun, namun ketimpangan distribusi pendapatan juga semakin lebar sebagaimana tecermin dari rasio gini yang meningkat dari 0,33 tahun 2002 menjadi 0,41 tahun 2011. Lebih ironis lagi, ketika total pendapatan nasional yang dinikmati kelompok 40 % penduduk termiskin megalami penurunan, 20 % kelompok terkaya justru mengalami penaikan jatah kue pendapatan nasional dari 42,2 % tahun 2002 menjadi 48,42 % tahun 2011. Dengan demikian, yang terjadi justeru bukan tricle down effect, tapi sebaliknya yang terjadi adalah trickle up effect atau efek muncrat ke atas dalam proses pembangunan (Kompas.com, 15 Juni 2012).
Selain itu, proses pembangunan yang berlangsung selama ini di Indonesia cenderung bias kota (urban bias). Akibatnya kota mengalami kemajuan yang semakin jauh yang ditopang oleh segala fasilitas dan infrastruktur publik memadai, sementara desa kian tertinggal dan terjebak dalam kemiskinannya. Rustiadi at al (2011) menyatakan bahwa pembangunan yang urban bias seperti itu mendorong masyarakat desa untuk melakukan migrasi dari desa ke kota. Sebenarnya, proses migrasi desa-kota ini dapat dipandang sebagai hal yang positif. Dengan mengacu pada teori Arthur Lewis tentang Theory of labor transfer, maka dapat disimpulkan bahwa migrasi masyarakat desa ke kota adalah fenomena yang positif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermigrasi itu sekaligus untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja oleh pabrik-pabrik yang ada di kota. Namun yang terjadi adalah over migration dimana lapangan pekerjaan yang ada di kota tidak mampu menampung besarnya jumlah migran. Akibatnya banyak migran yang tidak dapat diserap sebagai tenaga kerja oleh perusahaan. Alasan lain yang menyebabkan banyaknya migran tidak terserap dalam dunia usaha perkotaan adalah karena rendahnya keterampilan dan keahlian. Migran-migran yang tidak terserap atau terakomodasi oleh perusahaan-perusahaan kota inilah yang kemudian menjadi pengangguran kota dan bekerja semrawut (sektor informal perkotaan) seperti menjadi tukang ojek, pengemis, pemulung, preman dan termasuk Pedagang Kaki Lima (PKL). Selain itu keberadaan migran-migran tidak terampil yang bekerja di sektor informal dengan penghasilan minim ini membuat munculnya pemukiman-pemukiman liar yang kumuh (squatter settlement). Hal-hal semacam ini dapat terjadi karena disebabkan oleh kegagalan koordinasi dalam pembangunan. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang kompelementer antara desa dan kota merupakan penyebab fenomena ini.
Menjadi pedagang kaki lima adalah pilihan favorit para migran untuk bisa mempertahankan hidupnya (survive) di kota yang keras. Alasannya sederhana, cara ini dianggap lebih baik, halal dan lebih menjanjikan daripada sekedar menjadi tukang ojek, pemulung, apa lagi preman. Jarang ada yang memilih untuk pulang kembali ke desa. Mungkin karena mereka merasa bahwa desa tidak akan mampu menyediakan apa yang mereka butuhkan atau mungkin juga karena alasan yang lebih psikologis, ‘malu’. Sayangnya memilih sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL) pun tidak seenak yang dikira, mereka harus menghadapi berbagai persoalan, mulai dari persoalan premanisme, pungutan liar, hingga penggusuran. Penggusuran sering kali dilakukan oleh pemerintah kota karena alasan ketertiban publik, estetika kota dan untuk kepentingan investasi bisnis besar.
PKL umumnya memilih untuk berdagang di terotoar pinggir jalan dan bahkan tidak jarang sampai mengambil badan jalan. Tentu saja hal ini dapat mengganggu pihak lain, baik pejalan kaki, pengendara kendaraan bermotor maupun pedagang legal (pertokoan) yang ada di sekitar tempat berdagangnya PKL itu. Kondisi seperti ini sangat rentan menimbulkan konflik sosial, terutama antara PKL dengan pemilik toko legal kaitannya dengan persaingan ataupun keindahan (estetika). Studi yang dilakukan Arifianto (2006) mencoba untuk mengkaji interaksi antara aktifitas pertokoan dan pedagang kaki lima di kawasan pedagangan Banjaran Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Hasil studi memang tidak menunjukkan adanya konflik terbuka sebagai akibat dari adanya persaingan usaha antara PKL dan pemilik toko. Namun pertentangan-pertentangan kecil sering terjadi yang rata-rata berujung pada pengaduan kasus ke pemerintah kota. Adanya saling pengertian antara pemilik toko dan PKL mampu meredam potensi konflik terbuka. Bagi pemilik toko, keberadaan PKL memang dianggap mengganggu aktifitas usaha mereka, tapi biar bagaimanapun mereka adalah manusia yang sedang mencari nafkah untuk bertahan hidup, jadi para pemilik toko itu menganggap bahwa melarang mereka adalah sikap yang arogan dan memang bukan wewenang mereka.
Dengan segala permasalahan yang ditimbulkan sebagai akibat dari adanya PKL, pemerintah kota merasa perlu untuk mengatur dan menertibkan PKL ini. Sayangnya, upaya penertiban sering kali berujung dengan bentrok antara Polisi Pamong Praja (Pol PP) yang bermaksud menertibkan dengan para PKL itu. Pol PP yang ingin menertibkan biasanya melengkapi diri dengan pentungan untuk mengantisipasi penolakan PKL. Karena para PKL menganggap bahwa Pol PP itu hendak menyerang mereka (karena telah mempersenjatai diri dengan pentungan), maka para PKL itupun membekali diri dengan berbagai alat, mulai dari balok-balok kayu, batu hingga senjata tajam untuk melakukan perlawanan. Karena masing-masing sudah mempersenjatai diri seperti itu, upaya penertiban PKL sering kali terlihat seperti perang terbuka. Dalam konteks ini, kita bisa menyatakan bahwa telah terjadi kegagalan koordinasi antara satuan Pol PP dengan PKL dalam upaya penertiban itu. Pihak pemerintah kota melalui Pol PP sering kali beralasan bahwa teguran sudah diberikan secara tertulis sebanyak lebih dari satu kali namun tidak diindahkan oleh PKL, dengan demikian mereka merasa sudah selayaknya jika mereka melakukan penggusuran paksa dengan mempersenjatai diri menggunakan pentungan. Semetara pihak PKL yang menolak untuk digusur sering kali beralasan karena pemerintah kota yang menggusur mereka tidak menyediakan alternatif lain bagi mereka untuk berusaha dan bertahan hidup. Disinilah letak kegagalan koordinasi itu. Pemerintah kota gagal dalam memahami persoalan real, dan terjebak pada pendekatan-pendekatan administratif yang tidak memiliki kepekaan sosial.
Persepsi pemerintah kota bahwa PKL adalah pengganggu, penyebab kemacetan, perusak pemandangan dan sebagainya membuat pemerintah kota menutup telinga dari teguran-teguran publik yang mengingatkan mereka tentang bagaimana menghadapi PKL. Padahal, jika pemerintah kota ‘melek’, seharusnya mereka bisa melihat PKL dari perspektif lain, yaitu perspektif potensi PKL itu sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di Solo misalnya, PKL mampu menyumbang hingga rata-rata Rp 20 Miliar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) setiap tahun. Jumlah itu lebih besar daripada sumbangan sektor perhotelan, restoran dan lainnya yang ada di Solo (Pikiran-rakyat.com, 4 Agustus 2012). Keberhasilan Kota Solo dalam mengelola PKL dan menjadikannya sebagai salah satu sumber PAD yang nilainya cukup besar seharusnya dapat dijadikan contoh oleh kota-kota lainnya di Indonesia. Kota Solo dengan demikian telah berhasil menciptakan hubungan yang komplementer (saling melengkapi dan saling mencukupi) antara Pemerintah Kota dengan PKL. Kota Solo membuktikan bahwa dengan koordinasi yang baik dapat mengatasi persoalan PKL. Berbagai kasus yang selama ini kita dengar di media massa tentang konflik antara Sat Pol PP dengan PKL merupakan akibat dari kegagalan koordinasi antara Pemerintah Kota dan stakeholder lain yang berkepentingan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pedagang Kaki Lima (PKL) terjebak dalam pusaran kegagalan koordinasi pembangunan pemerintah. PKL ada karena kegagalan pemerintah dalam mengkoordinasikan pembangunan dalam rangka menciptakan pembangunan yang balance (seimbang), adil dan mensejahterakan semua pihak. Konflik dalam upaya penertiban PKL juga tercipta karena kegagalan pemerintah, terutama Pemerintah Kota dalam melakukan koordinasi dengan berbagai stakeholder yang berkepentingan. Dengan kata lain, PKL merupakan korban dari kegagalan koordinasi pemerintah. Jadi, jika ingin PKL habis atau lebih tertib dan menjadi pedagang legal, maka yang harus dibenahi adalah koordinasi. Pemerintah punya tanggungjawab besar dalam hal ini.
Referensi
Rustiadi at al. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Crespent Press: Bogor
Todaro dan Smith. 2006. Economic Development, 09 edition. Pearson Education Limited: United Kingdom
Arifianto, Dessy. 2006. Kajian Interaksi Aktivitas Pertokoan Dan Pedagang Kaki Lima Pada Trotoar Di Kawasan Perdagangan Banjaran Kabupaten Tegal. Tesis Mahasiswa Program Magister Universitas Diponegoro: Semarang
Kompas.com. 15 Juni 2012. Kuatkah Fondasi Ekonomi Kita ?. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/06/15/Kuatkah.Fondasi.Ekonomi.Kita.
Pikiran-rakyat.com. 4 Agustus 2012. PKL Miliki Potensi PAD. http://www.pikiran-rakyat.com/node/154191
Subscribe to:
Posts (Atom)