Oleh: Muhammad Nurjihadi
Caporaso dan Levine (2008) menyatakan bahwa salah satu cara untuk memahami ekonomi politik adalah dengan memandang bahwa ekonomi terkait dengan urusan pribadi dan politik terkait dengan urusan publik. Interaksi antara urusan pribadi dan urusan publik inilah yang membentuk logika ekonomi politik. Ketika berbicara soal kepentingan publik, maka kita juga harus berbicara soal kekuasaan. Kekuasaan merupakan bentuk pengungkapan dari ide bahwa untuk mencapai tujuan kita, maka kita harus melakukan sesuatu untuk mempengaruhi dan merubah dunia di sekitar kita. Kekuasaan sangat dekat maknanya dengan kemampuan mempengaruhi dan merubah. Ketika kita melakukan sesuatu untuk mempengaruhi dan merubah dunia di sekitar kita, umumnya kita mendapatkan tantangan atau hambatan (constrain) baik dari alam, orang lain maupun institusi-institusi sosial. Oleh karenanya, Weber (1986) mendefinisikan kekuasaan sebagai kemungkinan seorang pelaku dalam hubungan sosial untuk mampu melaksanakan kehendaknya sendiri meskipun dihadapkan pada banyak hambatan.
Kekuasaan selalu berusaha untuk menyingkirkan atau paling tidak meminimalisir hambatan-hambatan kekuasaan itu, baik hambatan yang bersifat alamiah, hambatan yang datangnya dari orang lain maupun hambatan dari institusi-institusi sosial. Dengan demikian Caporaso dan Levine (2008) membagi kekuasaan itu menjadi tiga tipe, yaitu kekuasaan untuk mencapai tujuan dengan mengalahkan alam, kekuasaan terhadap orang lain dan kekuasaan bersama orang lain (menyangkut institusi-institusi sosial). Seseorang dikatakan memiliki kekuasaan terhadap alam jika orang itu mampu mencapai tujuannya meskipun ada hambatan dari alam seperti misalnya membajak tanah atau melakukan eksploitasi tambang. Pemahaman ini sejalan dengan doktrin Islam yang memandang manusia sebagai pemimpin (khalifah) atau pemegang kekuasaan terhadap alam. Adapun kekuasaan terhadap orang lain dapat diartikan sebagai pengendalian orang lain dengan cara mengendalikan insentifnya.
Karena ekonomi politik banyak berbicara soal pemenuhan kebutuhan publik, maka kekuasaan dalam ekonomi politik tentunya merujuk pada pemegang kekuasaan negara (pemerintah). Sejarah peradaban manusia mencatat bahwa kekuasaan lahir dari ketidakmungkinan individu mengatur diri sendiri akibat banyaknya kepentingan yang saling berbenturan (Hamzah, 2011). Benturan-benturan kepentingan itu menyadarkan manusia untuk mengkonsolidasi diri, membentuk sebuah negara dan memberikan kekuasaan kepada pihak tertentu untuk mengatur kehidupan dirinya dengan harapan pihak yang diberikan kekuasaan untuk mengatur hidupnya itu bisa menjamin kesejahteraan dan keamanan hidupnya.
Dalam konteks kekinian, kekuasaan yang dapat diartikan sebagai ‘kewenangan intervensi pemerintah’ bekerja dengan berbagai tipe. Evans dalam Yustika (2011) mengidentifikasi setidaknya ada empat tipe intervensi pemerintah yang bertujuan untuk mewujudkan peran pragmatis dan etisnya, yaitu custodian, demiurge, midwife, dan husbandry. Peran Custodian merujuk pada fungsi pemerintah dalam mengawasi, melindungi dan mencegah terjadinya prilaku ekonomi tertentu yang dipandang merugikan. Peran demiurge menginginkan negara berperan tidak hanya sebagai pengawas dan pelindung, tapi juga sebagai pelaku ekonomi. Peran ini banyak dimainkan pemerintah negara berkembang dengan menjalankan usaha seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia. Midwife merupakan bentuk peran pemerintah yang memposisikan diri sebagai mitra swasta, terutama terhadap perusahaan-perusahaan pemula agar tidak jatuh karena kekalahan dalam persaingan pada mekanisme pasar. Sedangkan husbandry merupakan merupakan bentuk campur tangan negara untuk menjamin keberlangsungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Bagi para pembela kapitalisme, kekuasaan tidak ada dan tidak boleh ada dalam pasar. Kemunculan kekuasaan dianggap sebagai musuh yang harus dihambat dan dilawan karena dinilai akan menghambat tercapainya kesejahteraan maksimum. Para kapitalis itu berlindung dibalik argumen tersebut untuk mempertahankan status quonya. Mereka seolah lupa bahwa didalam pasar sesungguhnya ada kekuasaan, bahkan pasar itu sendiri memiliki kekuasaan, namun kekuasaan itu bersifat samar, tembus pandang dan seolah tidak terlihat (Caporaso dan Levine, 2008). Galbraith (1983) dalam Caporaso dan Levine (2008) bahkan juga menyimpulkan bahwa pasar adalah sarana yang memperlancar fungsi dari kekuasaan kapitalisme industrial dan sekaligus menyembunyikan kekuasaan itu. Tidak terlihatnya kekuasaan dalam struktur pasar sesungguhnya bukanlah suatu yang kebetulan, melainkan merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan kondisi yang menguntungkan dan menjadi landasan idiologis dari kapitalisme.
Proses terbentuknya keseimbangan harga dalam mekanisme pasar dapat dijelaskan sebagai berikut. Setiap manusia diyakini memiliki kecenderungan untuk mementingkan diri pribadi. Sehingga segala aktifitas ekonomi setiap orang adalah untuk mendapatkan manfaat maksimum bagi dirinya. Seorang produsen misalnya memiliki kepentingan untuk mendapatkan laba (profit) maksimum, sementara konsumen memiliki kepentingan untuk mendapatkan kepuasan (utility) maksimum. Interaksi antara dua kepentingan untuk mendapatkan laba maksimum dan kepuasan maksimum inilah yang akan membentuk harga. Setiap orang dalam interaksi ini (baik produsen ataupun konsumen) bebas melakukan apa saja untuk memaksimumkan manfaat yang ia terima (Damanhuri, 2012). Karena setiap orang dalam interaksi ekonomi bebas melakukan apa saja untuk mendapatkan manfaat maksimum bagi dirinya, maka itu dapat mendorong setiap orang dalam interaksi ekonomi itu untuk memiliki (mendominasi) pengaruh dalam interaksi itu. Siapa yang berhasil mendominasi pengaruh dalam interaksi ekonomi itu, dialah yang menjadi penguasa dalam pasar itu. Memang kekuasaannya bersifat samar sebagaimana dikatakan Caporaso dan Levine, namun kesamaran kekuasaan itulah yang memungkinkan para penguasa tidak tampak itu untuk mendzalimi pihak lain yang lebih lemah. Jadi teori the invisible hand (tangan tuhan_tangan tak terlihat) juga berarti pembentukan kekuasaan tak terlihat. Dalam konteks ini, dominasi atau penguasaan pasar itu bisa dilakukan oleh pedagang (suplyer) ataupun pembeli (demander).
Dengan demikian, kekuasaan dalam ekonomi politik tidak hanya di monopoli oleh pemerintah di suatu negara, tapi juga oleh struktur pasar yang terbentuk melalui interaksi ekonomi dalam mekanisme pasar. Artinya, penguasa pasar juga merupakan penguasa lain dalam ekonomi politik. Dalam beberapa kasus, penguasa pasar itu bahkan menjadi penguasa tunggal dalam ekonomi politik yang perannya lebih besar dari pada peran negara (pemerintah) sendiri. Todaro dan Smith (2006) menjelaskan bahwa setelah sempat mendapat kritik-kritik tajam secara teoritis, fundamentalisme pasar (market fundamentalism) kembali menguat pada tahun 1980-an dengan lahirnya sebuah paham baru yang merupakan reinkarnasi dari aliran neoklasik yang disebut sebagai kontrarevolusi neoklasik (neoclassical counterrevolution). Aliran ini menghendaki negara-negara berkembang untuk mengembangkan pasar bebas, menanggalkan campur tangan pemerintah dalam perekonomian nasional dan melakukan swastanisasi (privatisasi) perusahaan-perusahaan negara. menurut aliran ini, hanya dengan cara itu negara berkembang bisa mencapai efisiensi serta pertumbuhan ekonomi optimal. Lebih jauh, para penganut paham ini berpendapat bahwa ketertinggalan negara-negara berkembang selama ini bukanlah disebabkan karena sikap predatoris negara-negara maju sebagaimana dikatakan dalam teori ketergantungan. Ketertinggalan negara berkembang menurut paham ini lebih disebabkan karena inefisiensi alokasi sumber daya, korupsi serta pengaturan yang berlebihan dalam bidang ekonomi. Jadi menurut pemikiran ini, satu-satunya solusi untuk mendorong kemajuan suatu negara adalah dengan memastikan bahwa pasar bebas bekerja secara sempurna tanpa ada campur tangan pemerintah di negara tersebut. Dalam bahasa yang lebih lugas, dapat dikatakan bahwa paham neoclassical counterrevolution ini menginginkan agar kekuasaan para penguasa pasar lebih besar daripada kekuasaan negara itu sendiri.
Dalam menjalankan hubungan kemitraan antara petani dan perusahaan mitra pada agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok, kita dapat mengidentifikasi siapa yang menjadi penguasa dalam interaksi ekonomi itu. Susrusa dan Zulkifli (2009) menyatakan bahwasanya kemitraan yang terjalin antara petani tembakau dan perusahaan mitra selama in terkesan menempatkan petani dalam posisi yang sangat lemah dimana petani diharuskan mengusahakan usahataninya berdasarkan analisa dan kepentingan perusahaan. Dalam hal ini, petani terlihat bukan sebagai petani mitra, tapi sebagai buruh tani perusahaan. Buruh tani yang bekerja diatas sawah miliknya sendiri dengan upah rendah. Kondisi ini menggambarkan betapa dalam interaksi ekonomi politik itu, kekuasaan utama berada di tangan perusahaan mitra. Pemerintah yang secara syah memegang kekuasaaan politik bahkan tidak pernah mampu melakukan intervensi agar petani menanam tanaman yang diinginkan pemerintah, tetapi kekuasaan yang terbentuk melalui mekanisme pasar sebagaimana yang terjadi dalam pelaksanaan agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok mampu melakukan itu.
No comments:
Post a Comment