Oleh : Muhammad Nurjihadi
Hari itu aku di ajak oleh kakak misanku untuk pergi ke sawah. Meski hanya untuk sekadar ikut-ikutan dan membantu sebisanya, aku sering ikut dengan Tamam. Dia anak dari bibikku. Ketika itu dia sudah kelas empat SD, satu kelas dengan kakakku, Dina. Dia sosok yang lugu, culun, dan penglihatannya kurang bagus, dia memang rabun. Saat itu, aku di ajaknya untuk mencabut sisa-sisa tanaman mentimun yang sudah habis masa produksinya. Bagiku pekerjaan ini tidak terlalu berat. Meskipun batang tanaman mentimun juga cukup gatal. Kami bekerja dari pagi sampai siang. Hari itu memang hari minggu, kami tidak masuk sekolah. Satu persatu pohon timun yang tua itu kami cabut dan kami kumpulkan lalu kami bakar. Itulah teknis yang di ajarkan kepada kami. Padahal sebenarnya batang timun itu tidak perlu di bakar, tapi di benamkan dalam tanah sebagai pupuk yang dapat menambah kesuburan tanah. Tapi tidak ada yang mengerti tentang itu. Sudah menjadi kebiasaan ketika itu bahwa semua sisa tanaman harus di bakar.
Saat terik mulai memaksa cairan tubuh kami keluar, letih pun menghantui kami yang sedang sibuk di tengah ladang terbuka itu. Tepat ketika sang surya ada di atas kepala, aku di ajak oleh Tamam untuk istirahat. Di masa istirahat ini aku kemudian di ajaknya ke sebuah sungai yang jaraknya sekitar 500 meter dari sawah itu. Sungai ini memang tempat kami biasa istirahat di kala siang saat kami pergi ke sawah, baik hanya untuk main atau untuk banti-bantu. Selain karena suasananya yang sejuk, lokasi ini juga tersedia tempat untuk salat. Tapi aku tak langsung salat. Aku sejenak merenung, mengingat ketika tiga tahun yang lalu ibuku datang jauh dari Mataram untuk menjenguk anak-anaknya. Ya, itulah aku, aku memang terbiasa merenung sejak masa kanak-kanakku. Yang ada dalam benakku ketika itu, tidak bisa kah bapak dan ibu kandungku rujuk kembali. Aku mau hidup bersama dengan mereka. Entah kenapa, air mataku menetes dan membasahi pipi. Aku larut dalam renungan dan terbuai dengan impian sederhana yang memaksa air mataku harus keluar tanpa ku niatkan.
Aku tidak tahu kalau ternyata Tamam memperhatikanku dari tadi. Tapi dia tidak menggangguku. Dia membiarkanku menikmati air mata anugerah ini. Aku pun semakin larut dalam lamunan. Tidak terasa air mata yang keluar semakin deras. Ku usap mataku dengan sarung yang ku kenakan dan tak pernah ku ganti bahkan lebih dari dua bulan. Sarung serba guna itu pun kuyup.
“ buarrrrrrrrrr...” sebuah suara menyadarkanku dari lamunan yang membuahkan air mata itu
“apa itu...??” tanyaku spontan
Tepat di sampingku satu buah mangga jatuh dari pohonnya. Ia langsung terbelah. Merah menyala, ah sepertinya sangat manis bila dimakan. Apa lagi aku dan Tamam belum sarapan dari pagi. Kami kemudian menikmati rezeki nomplok itu. MasyaAllah.... begitu lezat mangga itu. Meski agak kecut, tapi rasanya hampir tak bisa ku gambarkan lewat cerita ini, begitu lezat. Mungkin karena saat itu kami belum makan.
Aku teringat bahwa ternyata aku belum salat. Selesai menikmati buah mangga itu, aku kemudian mengambil air wudlu’ di sungai. Ketika berwudlu’ ku temukan sebuah pulpen di atas batu yang membelah aliran air di sungai itu. Selesai berwudlu’ ku sempatkan diri untuk mengambil pulpen itu.
“ Jihad, aku duluan ya, ibuku nunggu di sawah, Ga’ ada orang disana..” ucap Tamam
“ Iya sudah...” jawabku lemas. Aku tidak rela di tinggal sendiri di sungai itu
“ Kamu cepetan ya...!!” perintahnya sambil berlari meninggalkanku.
Akupun bergegas naik dari sungai menuju sebuah batu besar yang ada di pinggirnya. Batu ini lah yang kumaksud tempat salat yang tersedia disana. Ku rapikan sarung serbagunaku lalu ku angkat kedua tanganku seraya mengucapkan “ALLAHUAKBAR...”.
Dalam salat, pikiranku ku arahkan pada sosok seorang wanita yang pernah menemuiku 3 tahun yang lalu. Sedikit pun tidak ada Tuhan yang ku sembah dalam benakku ketika itu. Aku memang tidak bisa bahkan tidak mengerti bagaimana salat yang khusyu’. Ku tolehkan wajahku ke kanan dan ke kiri sambil mengucap salam, meskipun aku ragu apakah rakaat salatku sudah benar. Aku tidak langsung berdo’a. Tapi lagi-lagi aku merenung. Siswa kelas dua SD yang baru berusia lima tahun sepertiku tak cukup mampu untuk melaksanakan ibadah dengan baik. Ku tatap sebuah pohon besar yang ada di depanku. Di sekelilingnya tumbuh beberapa tanaman yang ukurannya lebih kecil darinya. Di bawahnya, berbagai binatang hidup berkeliaran, bahkan akarnya yang dalam tidak sedikit menyimpan dan menyuplai air untuk sungai yang ada di bawahnya. Yang ku pikirkan betapa beruntungnya binatang-binatang itu bisa berteduh di bawah pohon yang besar itu. Sementara di pucuk sana sang pohon harus menahan panasnya terik matahari siang itu. Bahkan ia harus rela membiarkan daun-daunnya rontok. Aku belum paham bahwa pohon itu juga memang membutuhkan sinar itu.
Entah karena apa, aku jadi berpikir bahwa pohon yang besar itu adalah seorang ibu, dan binatang-binatang yang berteduh di bawahnya adalah anak-anaknya. Aku kembali menangis karena merasa tidak seberuntung binatang itu. Dalam benakku, bahkan binatang jauh lebih beruntung daripada aku. Hatiku galau, gundah tak karuan. Setiap pikiran dan imajinasiku tertuju pada sosok seorang wanita yang penuh wibawa di mataku. Dialah ibuku. Kerinduanku akan sosok sang ibu kembali mencuri energiku untuk memikirkannya. Tak terhitung sudah berapa banyak air mata yang harus ku buang sia-sia hanya untuk merenungkan seorang ibu. Seorang ibu yang bahkan memelukku untuk terakhir kalinya tiga tahun yang lalu.
Aku teringat polpen yang ku temukan tadi, lalu ku ambil sebuah daun kering yang di rontokkan oleh pohon besar di depanku. Di atas daun itu ku tulis sebuah prasasti sebagai untaian kalimat yang datang dari lubuk hati. Niatku tak lain adalah agar ia bisa di baca oleh ibuku di ujung barat sana. Ku pikir sungai-sungai yang ada saling sambung satu sama lain dan bermuara di Mataram. Kebetulan di tempat ibuku tinggal, dekat dengan sungai kecil. Dalam selembar daun kering itu aku menulis
“ Aku merindukanmu ibu...!!
Jihad...”
Dengan penuh harap ku dekati air yang mengalir di depanku, lalu ku hanyutkan selembar daun yang akan membawa isi hatiku itu kepada ibuku. Tidak ku sadari, Tamam ada di belakangku. Ketika daun itu sudah hanyut, ia berlari mengikuti arah aliran air. Dia seperti mengejar sesuatu. Setelah mengejarnya cukup jauh, ia dapatkan benda yang ia cari itu. Itulah goresan hatiku, sebuah lembaran dari daun kering yang rontok.
Ku lihat dari kejauhan, ia menangis. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Aku bahkan tidak tau, kalau benda yang di kejarnya itu adalah surat ku untuk bunda. Ia mendekatiku, lalu menatapku dalam dan mengatakan
“ ibumu sedang merindukanmu...!!”
Aku jadi terharu, ku lempar sebuah senyum has ku untuknya, lalu ia balas dengan memegang pundakku sambil memaksa bibirnya agar terlihat senyum, padahal dia sedang menangis. Ku kira, dia bisa membaca jalan pikiranku. Ternyata dia membawa surat yang ku hanyutkan tadi. Aku kemudian di ajaknya kembali ke sawah, karena di sana makanan sudah siap, iya, bibiku yang membawakannya, ibunya Tamam.
Aku makan dengan lahap, sementara itu, Tamam dan ibunya asyik ngobrol. Tamam menceritakan semua yang ku lakukan tadi kepada ibunya. Tak heran, bibikku itu kemudian ikut terharu dan menangis. Ia mendekatiku, lalu memelukku dengan hangat, ia kemudian berbisik di telingaku dengan lembut
“ sabar nak,,,,!!”
Ku lepas piring yang isinya sudah ku makan habis. Bibikku kemudian meminta Tamam untuk mengajakku pulang, padahal pekerjaan sebenarnya masih banyak. Rasa harunya berkembang menjadi rasa kasihan padaku. Sehingga aku di mintanya harus pulang.
“ini suratmu kan...?” tanya Tamam sembari menyodorkan daun kering yang bertuliskan isi hatiku tadi. Aku kaget,
“kenapa kamu ambil...?” tanyaku lantang
“maaf, aku Cuma mau tau apa yang kamu tulis” jawabnya lucu
“aku tidak terima, kamu harus kembalikan sekarang” pintaku dengan sedikit memaksa
“iya sudah....” jawabnya, ia lalu berbalik dan berlari kencang ke sungai
“tunggu.....!!!” teriakku,” aku ingin ikut...! ” sambungku. Aku berlari dengan kencang menyusul Tamam.
Sesampai di sungai aku kembali melepaskan surat itu di atas air yang sedang mengalir. Ku pandangi ia yang berjalan beriringan dengan aliran air. Aku tersenyum, yang di balik senyum itu tersimpan harapan bahwa surat itu akan sampai pada ibuku.
“kamu jangan cerita ke siapa-siapa lagi...!!!” pintaku ke Tamam
“ OK bos” jawabnya
Setelah itu kami langsung pulang berdua melewati pematang demi pematang di areal persawahan di desa kami. Kami saling kejar dan saling lempar bahkan saling ejek. Lelah tak kami rasakan. Keharuan sirna di bungkus kegembiraan. Biar bagaimanapun, aku hanya lah bocah lima tahun yang duniaku adalah bermain.
No comments:
Post a Comment