Oleh : Muhammad Nurjihadi, SP
Ciri utama dari kolonialisme adalah eksploitasi sumber daya daerah jajahan untuk memenuhi kebutuhan penjajah. Selama 350 tahun Indonesia dijadikan sapi perah oleh Belanda untuk memenuhi kebutuhan hidup di Negara mereka yang miskin sumber daya alam. Setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia ternyata masih dicirikan oleh ciri kolonialisme itu. Bahkan hingga saat ini, setelah 67 tahun merdeka, pengelolaan Negara Indonesia masih dicirikan dengan kolonialisme. Entahlah, mungkin karena bangsa ini memang bermental bangsa jajahan.
Dalam interaksi ekonomi global, Indonesia dipaksa untuk menghasilkan bahan baku industri yang akan diolah di luar negeri untuk dijual kembali kepada penduduk pribumi. Sudah rahasia umum bahwa Indonesia adalah produsen sawit ekaligus eksportir sawit terbesar di dunia, namun kita juga adalah salah satu negara dengan konsumsi minyak sawit terbesar di dunia. Siapa yang menyangkal bahwa Indonesia adalah penghasil rotan terbesar di dunia, tapi sentra industri barang rotan terbesar di dunia justeru ada di China yang tidak memiliki hasil bumi rotan. Indonesia juga penghasil karet terbesar di dunia, tapi industri karet justeru terpusat di Yokohama. Serta masih banyak keunggulan komparatif lainnya yang patut kita banggakan sekaligus kita sesalkan karena kita hanya menjadi pengekspor barang mentah untuk dijual murah ke luar negeri, lalu membeli lagi dari luar negeri (impor) dengan harga yang sangat mahal. Dengan fakta ini, apa bedanya Indonesia hasil proklamasi 17 Agustus 1945 dengan Hindia Belanda sebelum proklamasi itu..??
Sesuatu yang lebih ironi dan memiris hati terjadi justeru dalam interaksi ekonomi dalam negeri kita sendiri. Sejak zaman kemerdekaan sampai hari ini, kita belum berhenti berdiskusi tentang disparitas, ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa. Jawa yang luas daratannya hanya 6% dari total daratan Indonesia menampung beban penduduk sebesar 60% dari total penduduk Indonesia. Secara ekonomis, kondisi ini menyebabkan perputaran uang, kekayaan dan hasil produksi terpusat di Jawa. Dampak lainnya adalah tersedianya infrastruktur memadai di Pulau Jawa karena alasan beban jumlah penduduk. Semua hal itu tentu menyebabkan anggaran negara lebih banyak teralokasikan untuk Pulau Jawa.
Sampai pada penjelasan itu, mungkin kita belum menemukan masalah berarti dalam tata kelola ekonomi negara kita. Tapi coba lihat dampak tragis lainnya dari fakta diatas. sistem ekonomi kapitalis liberal yang dianut pemerintah membuat investasi swasta berpusat di daerah Jawa karena alasan ketersediaan sumber daya manusia dan kemudahan akses pasar serta infrastruktur yang memadai. Padahal fakta lain menunjukkan bahwa produksi bahan mentah untuk keperluan industri di Jawa di suplai dari daerah-daerah luar jawa. Kalimantan dan Sulawesi misalnya yang memiliki bahan baku rotan yang melimpah, tapi industri rotan di Indonesia justeru terpusat di Cirebon dan sekitarnya yang bukan merupakan penghasil rotan. Demikian juga dengan industri logam dan pertambangan yang bahan bakunya banyak terdapat di Indonesia bagian timur, tapi sentra industrinya juga terpusat di Jawa. Dengan fakta ini, timbul pertanyaan apa bedanya Jawa dengan belanda yang menjajah Nusantara di masa lalu ?. Dengan fakta itu, salahkah jika saya mengambil kesimpulan bahwa organisasi (Negara) Indonesia bermakna “penjajahan Jawa atas luar Jawa ??”.
Keberpihakan ekonomi politik pemerintah terhadap sistem ekonomi kapitalis adalah akar dari permasalahan ketimpangan dan penjajahan Jawa atas luar Jawa ini. Dalam hitung-hitungan investor asing, yang ada hanyalah bagaimana mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa peduli keadilan dan keberimbangan pembangunan. Oleh sebab itu, Jawa dengan segala keunggulannya (terutama kepadatan penduduk) akan selalu menjadi daya tarik sebagai pusat investasi dengan melakukan eksploitasi kekayaan alam di daerah luar Jawa. Alasannya sederhana dan pragmatis, karena Jawa memiliki sumber daya manusia yang terampil, infrastruktur memadai, dan yang paling penting Jawa merupakan pasar yang paling potensial.
Jika kebijakan ekonomi politik yang seperti itu terus dipertahankan, pertanyaannya kapan daerah luar Jawa akan menjadi mandiri dan memiliki taraf hidup yang sama dengan masyarakat Jawa..?. Kita tidak bisa menyalahkan investor, sebab mereka berinvestasi dengan mengikuti insting bisnisnya. Seharusnya disinilah negara memainkan perannya sebagai pengatur, pengelola dan pengarah dalam kegiatan ekonomi. Kita bisa belajar banyak dari negeri China. Negeri yang dulunya pernah mengalami krisis kelaparan yang parah, kini menjelma menjadi kekuatan ekonomi dunia yang berpengaruh. Apa yang dilakukan Cina adalah membangun industri yang dekat dengan sumber bahan bakunya. Negara membangun infrastruktur yang memadai secara adil dan merata di seluruh negeri, bahkan hingga pelosok. Dengan di fasilitasi negara, Cina juga memberikan pelatihan dan pendidikan keterampilan kepada masyarakat yang disesuaikan dengan keunggulan komparatif daerah tempat tinggal penduduk. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi investor untuk menolak berinvestasi di daerah penghasil bahan baku. Bandingkan dengan Indonesia saat ini. Infrastruktur dibangun mengikuti pertumbuhan industri di suatu daerah, akibatnya infrastruktur itu hanya dibangun di daerah industri yang tidak lain adalah Jawa. Lalu lihat pula pola pendidikan dan pelatihan kerja yang dilakukan di Indonesia. Pelatihan kerja dilakukan tanpa mempertimbangkan keunggulan komparatif daerah. Akibatnya, tenaga-tenaga terampil dan terdidik hasil pelatihan itu harus mencari pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan yang didapatkan dalam pelatihan. Tentu saja lokasinya bukan di daerah tempat tinggalnya, tapi di daerah lain yang membutuhkan keterampilannya itu. Sekali lagi, pada umumnya daerah itu adalah Jawa.
Tanpa bermaksud memupuk sifat sentimental dan emosional terhadap Jawa, tulisan ini hanya ingin menyadarkan kita semua terutama pemerintah agar segera merubah haluan ekonomi politiknya. Era reformasi yang kita harap akan memutus mata rantai kapitalisme ekonomi Indonesia justeru melahirkan pemimpin yang lebih kapitalis dari rezim orde baru. Daerah-daerah miskin di luar Jawa itu tidak membutuhkan belas kasihan pemerintah yang hanya disampaikan lewat pidato politik yang retoris. Daerah-daerah itu hanya butuh keadilan dan keberpihakan, itu saja. Keadilan adalah satu-satunya harapan yang membuat mereka mau bergabung ke dalam NKRI. Jika keadilan itu tidak mereka dapatkan, jangan salahkan jika NKRI ke depan akan terpecah belah seperti Uni Soviet. Stop kolonialisme Jawa atas Luar Jawa yang di fasilitasi oleh pemerintah NKRI.
*Penulis adalah mahasiswa Perencanaan Pembangunan Wilayah IPB; aktifis KAMMI
5 comments:
ya juga sih,
central pembangunan emang di jawa. tawaran solusinya gimana nih bung
ya pemerataan pembangunan bung. infrastruktur memadai harus bisa dinikmati oleh semua kalangan di semua wilayah secara proporsional. selama infrastruktur itu tersedianya di Jawa, ya jelas investor hanya akan melirik Jawa untuk menanamkan modalnya. padahal bahan bakunya diambil dari non jawa.
GULINGKAN SBY
Indonesia adalah negara artifisial hasil dari konsiprasi jawa dan belanda. Menghimpunkan pulau-pulau lainnya untuk tunduk dan mempersembahkan hasil bumi di bawah nama "indonesia".
Jawa memang jahat!!! Mereka seenaknya sendiri membunuh bangsa Papua yang dijarah emasnya. Mereka hanya ingin hak mereka atas tanah leluhur mereka yang sekarang dijadikan tambang Freeport. Tapi malah dibunuh oleh Jawa bangsat. Mereka lebih meributkan isu komunis dan mendewakan si jawa bajingan yang bernama soeharto. Dan tutup mata atas pembantaian yang bernama domain di luar Jawa. Mereka tidak peduli, media Jawa yang munafik menyiarkan kekejaman pki tetapi mereka tidak pernah menayangkan kekejaman DOM. Mereka apatis dan tidak pantas disebut saudara. Lebih baik kita melaksanakan referendum ulang. Untuk membuktikan apakah Indonesia pantas untuk ada atau dibubarkan saja. Seperti yugoslavia. Mereka bermuka badak. Mereka membela soeharto sang pembantai Aceh dan Papua. Mereka egois dan jahat. Sudah saatnya mereka kita jajah balik!!!
Post a Comment