Oleh: Muhammad Nurjihadi
Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara terbesar produsen daun tembakau. Pada tahun 2007 total produksi tembakau dunia mencapai 6.311.103 ton. Dari total produksi tembakau dunia tersebut, Indonesia menyumbang 164.851 ton (2,6%). Jika diranking, Indonesia berada pada urutan ke 5 sebagai produsen daun tembakau terbesar dunia. Adapun produsen terbesar adalah China dengan 2.397.200 ton (38%), disusul Brasil dengan 919.393 ton (14,6%), India dengan produksi 555.000 ton (8,8%), dan Amerika Serikat yang memproduksi 353.177 ton (5,6%). Sedangkan sisanya tersebar di beberapa negara seperti Pakistan, Italia, Turki, Zimbabwe, Yunani, dan lain-lain (FAO, 2007).
Dalam sejarahnya tembakau mulai menjadi perhatian sebagai komoditas komersial (high value commodity) di Indonesia sejak zaman pemerintah Hindia Belanda. Tembakau merupakan salah satu komoditas penting dan wajib ditanam ketika sistem tanam paksa diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memenuhi pasar ekspor. Sebagai komoditas ekspor, tembakau menjadi tanaman yang komersial dan berbasis pasar. Bahkan karena usaha penanaman tembakau pada tahun 1841 dianggap gagal akibat risiko tinggi karena kerentanannya terhadap cuaca dan musim menyebabkan pemerintah menghentikan tanam paksa tembakau. Untuk selanjutnya pemerintah membiarkan petani mengusahakan sendiri tanaman tembakau seperti sedia kala, atau mengadakan kontrak penanaman atau penjualan dengan pihak swasta tanpa campur tangan pemerintah secara langsung (Suroyo, 2000).
Nusa Tenggara Barat merupakan penyumbang produksi tembakau terbesar ketiga di Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pada tahun 2009, produksi tembakau nasional mencapai 235.987 ton yang terdiri dari 172.450 ton tembakau rakyat dan 63.537 ton tembakau Virginia. Dari jumlah itu, provinsi NTB menyumbang 57.707,2 ton atau 24,5% dari total produksi nasional yang terdiri dari 51.353 ton tembakau Virginia (80,8% total produksi tembakau Virginia nasional) dan 6.354,2 ton tembakau rakyat (3,7% total produksi tembakau rakyat nasional). Dari data diatas didapat pula informasi bahwa 89% dari total produksi tembakau di NTB merupakan jenis tembakau Virginia dan sisanya merupakan jenis tembakau rakyat (Deptan, 2011). Daerah sebaran utama penanaman tembakau di Provinsi NTB adalah Kabupaten Lombok Timur. Basuki, at al (2003) menjelaskan bahwa pada tahun 2003 kabupaten Lombok Timur memproduksi 21.972 ton tembakau atau 76,81% dari total produksi tembakau di NTB saat itu.
Usahatani Tembakau Virginia mulai diusahakan di Pulau Lombok sejak tahun 1969 bersamaan dengan masuknya PT. Faroka Tbk. Langkah PT. Faroka ini kemudian diikuti oleh PT. BAT Indonesia pada tahun 1971 serta PTP.XXVII dan NV GIEB pada tahun 1974. Memperhatikan keberhasilan rintisan usahatani Tembakau Virginia di Pulau Lombok, maka secara bertahap hadir perusahaan-perusahaan lain untuk turut mengembangkan Tembakau Virginia. Perusahaan – perusahaan yang dimaksud adalah PT. Djarum pada tahun 1980, PT. Anugrah Alam Abadi, PT. Mangli Jaya Raya, PT. Cakrawala pada tahun 1987 serta PT. Tresno Bentoel pada tahun 1989. Pada tahun-tahun berikutnya langkah ini disusul oleh PT. Trisno Adi, PT. HM. Sampoerna, PT. Sadhana Arifnusa dan PT. Gelora Djaja dan UD. Nyoto Permadi pada tahun 1999. (Disbun Provinsi NTB, 2002).
Agribisnis tembakau Virginia di pulau Lombok dikembangkan dengan sistem kemitraan melalui pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dimana perusahaan-perusahaan distributor hasil tembakau menjadi inti dan petani sebagai plasma. Dalam proses usahatani, perusahaan berkewajiban memberikan bantuan kepada petani baik bantuan teknis maupun non teknis. Dalam prakteknya, perusahaan umumnya memberikan bantuan hutang kepada petani dalam bentuk penyediaan sarana produksi seperti pupuk, pestisida, benih, dan lain-lain. Selain itu, perusahaan juga memberikan bantuan penyuluhan dan pembimbingan teknis kepada petani dalam menjalankan usahatani tembakau, baik pada saat ditanam (on farm) maupun pada proses pengolahan atau pengomprongan tembakau (off farm). Sebagai imbalan atas bantuan itu, perusahaan mewajibkan petani menjual hasil panennya hanya kepada perusahaan yang memberikan bantuan itu. Hutang sarana produksi yang sudah diberikan kepada petani secara otomatis akan dibayar saat petani menjual produk tembakaunya ke perusahaan dengan cara memotong atau mengurangi nilai pembayaran tembakau petani oleh perusahaan inti. Pada satu sisi, pola kemitraan ini memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak, dimana petani mendapatkan keuntungan karena mendapat bantuan, bimbingan dan sekaligus memiliki tujuan pasar yang jelas sehingga petani tidak perlu khawatir soal pemasaran, perusahaan juga diuntungkan karena dengan pola ini perusahaan dapat menghimpun hasil produksi tembakau petani yang sesuai dengan kebutuhannya. Tapi pada sisi lain, pola ini justeru merugikan petani karena dalam prakteknya, harga ditentukan secara sepihak oleh perusahaan, sementara petani kian tergantung pada perusahaan.
Berkembangnya agribisnis tembakau Virginia di pulau Lombok secara signifikan telah meningkatkan pendapatan petani. Studi yang dilakukan Nurjihadi (2011) membuktikan bahwa agribisnis tembakau telah berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat. Peningkatan taraf hidup itu terlihat pada peningkatan daya beli, perbaikan kondisi perumahan, peningkatan tingkat pendidikan dan perubahan gaya hidup. Namun masih menurut Nurjihadi, beberapa tahun terakhir ini petani tidak lagi merasakan peningkatan pendapatan yang signifikan dalam agribisnis tembakau Virginia sebagai akibat dari penentuan harga secara sepihak oleh perusahaan sebagai konsekuensi dari pola kemitraan yang diterapkan.
Karena tembakau merupakan komoditas komersial bernilai tinggi (High value commodity), maka tembakau merupakan salah satu komoditas yang tidak luput dari perhatian para pemilik modal. Artinya industri tembakau merupakan salah satu tujuan investasi para pemodal, baik pemodal asing maupun domestik untuk mengakumulasi modal dan menumpuk kekayaan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sistem ekonomi kapitalis yang mendasari perekonomian suatu negara atau wilayah dapat mengakibatkan meningkatnya ketimpangan ekonomi antara orang kaya (pemilik modal) dan orang miskin. Tabel Input-Output tahun 2004 menunjukkan bahwa share tembakau terhadap PDRB NTB adalah Rp 466,020 miliar atau setara dengan 1, 57%. Dari total share terhadap PDRB itu, Rp 348, 604 miliar diantaranya (74,80%) masuk ke kantong para pemilik modal dalam bentuk surplus usaha sedangkan sisanya yang hanya 115,621 miliar (24, 81%) terdistribusi kepada 57. 287 orang petani dan para pekerja perusahaan serta buruh tani (BPS NTB, 2004).
Ketimpangan ekonomi dalam agribisnis tembakau itu juga terlihat jelas dari data yang disampaikan TCSC IAKMI (2008) yang mengambil data dari statistik upah BPS tahun 2005. Data itu menunjukkan bahwa upah rata-rata petani tembakau adalah Rp 15.900 atau Rp 413.374 per bulan dengan rata-rata lama bekerja 7 jam per hari. Jumlah itu jauh lebih kecil dari pada rata-rata upah nasional yang mencapai Rp 883.693 (hanya 47%). Jika dibanding dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) di Kabupaten Lombok Timur maka rata-rata upah petani tembakau itu hanya 50% dari UMK Lombok Timur. Sementara pada saat yang bersamaan, perusahaan rokok mencatat nilai keuntungan yang fantastis. Pada triwulan ke tiga tahun 2008, PT Sampoerna mencatat keuntungan bersih sebesar Rp 3,1 Triliun, sementara PT Gudang Garam sampai pertengahan tahun 2008 merengguk keuntungan sebesar Rp 891,3 Miliar. Belum lagi keuntungan yang didapat oleh perusahaan rokok lainnya seperti PT Bentoel, British American Tobacco (BAT), Philip Morris Indonesia, dan sebagainya.
Ketika upah rata-rata petani tembakau jauh dibawah rata-rata upah nasional dan perusahaan rokok meraup keuntungan dengan nilai yang fantastis, pertanyaannya kenapa petani tembakau (khususnya di Pulau Lombok) masih bertahan dan tetap bergantung pada agribisnis tembakau Virginia. Ahsan at al (2008) dalam laporan penelitiannya menyampaikan sebuah fakta yang tegas tentang hal itu. Menurutnya ketergantungan petani terhadap agribisnis tembakau Virginia di Pulau Lombok terjadi karena setiap awal musim tembakau perusahaan-perusahaan (gudang pengumpul tembakau yang bermitra dengan petani) menyebarkan informasi kepada petani bahwa harga tembakau akan dinaikkan untuk musim tersebut. Namun setelah petani berproduksi, perusahaan justeru menyebarkan isu lain seperti telah terjadi over produksi yang membuat harga tembakau “dengan sengaja diturunkan” secara sepihak oleh perusahaan. Dengan demikian perusahaan meraup untung yang besar sementara petani harus gigit jari dan rela menjual tembakaunya dengan harga murah jika tak mau dikatakan diserahkan secara cuma-cuma kepada perusahaan.
Kesimpulan lain yang disampaikan Ahsan at al (2008) dalam penelitiannya itu adalah bahwa petani tembakau selama beberapa tahun terakhir mengalami kerugian massal. Untuk kasus petani tembakau Virginia Lombok, Ahsan menyebut selama kurun waktu 2002-2008 hanya sekitar 10% petani yang memperoleh keuntungan sementara sisanya mengalami kerugian, kecuali pada tahun 2006. Selain karena pengaruh iklim (curah hujan yang terlalu tinggi atau justeru kekeringan yang panjang), kerugian itu juga terjadi karena petani tidak punya kuasa untuk menetapkan harga jual tembakaunya. Penetapan harga sepenuhnya berada di tangan perusahaan yang menggunakan sistim grading. Ironisnya, petani tidak pernah diinformasikan secara jelas tentang standar grade. Akibatnya tembakau petani yang seharusnya masuk dalam grade tiga misalnya, dibeli perusahaan dengan harga tembakau untuk grade 15.
Secara umum perekonomian wilayah di NTB digerakkan oleh sektor pertanian. Sebanyak 74% masyarakat NTB menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian (BPS, 2004). Basuki, at al (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “Kinerja Pembangunan Pertanian NTB” menyimpulkan bahwa kinerja pertanian di NTB masuk dalam kategori ‘baik’ berdasarkan indikator-indikator pembangunan pertanian. NTB dalam laporan itu dinilai berhasil dalam memenuhi kriteria indikator pembangunan pertanian seperti (1) nilai investasi PMA sektor pertanian; (2) peningkatan produksi pangan dan hortikultura; (3) peningkatan produksi tanaman perkebunan; (4) peningkatan produksi peternakan dan perikanan; (5) nilai PDRB sektor pertanian, 6) serapan tenaga kerja sektor pertanian; (7) ketahanan pangan; (8) tingkat keuntungan usahatani; (9) pendapatan rumah tangga petani dan tingkat kemiskinan. Semenatra itu indikator yang kinerjanya buruk adalah: (1) ekspor hasil pertanian; (2) nilai tukar petani; (3) produksi beberapa komoditas perkebunan, pertanian dan perikanan yang turun.
Pengaruh agribisnis tembakau dalam perekonomian wilayah NTB belum terlihat signifikan. Efek pengganda (Multiplier effect) yang ditimbulkannya berupa backward linkage (keterkaitan ke belakang) atau disebut juga drajat kepekaannya sebesar 1,75 sedangkan forward linkage (keterkaitan ke depan) atau disebut juga daya penyebarannya sebesar 1,18 (BPS NTB, 2004). Nilai drajat kepekaan (backward linkage) sebesar 1,75 berarti bahwa setiap Rp 1 permintaan akhir akan menyebabkan peningkatan output perekonomian sebesar Rp 1,75. Hal ini terjadi karena bergeraknya sektor lain untuk mendukung pelaksanaan agribisnis tembakau itu. Sedangkan forward likage yang hanya sebesar 1,18 menunjukkan bahwa agribisnis tembakau hanya mampu menggerakkan sedikit sektor di hilir. Dalam kasus ini, agribisnis tembakau hanya menggerakkan tumbuh dan berkembangnya industri rokok.
Sulit untuk mengatakan bahwa semua fakta diatas terjadi secara alami (natural). Ada sekenario yang dimainkan pihak-pihak tertentu untuk kepentingan sendiri. Dalam konteks inilah agribisnis tembakau menjadi sasaran praktek ekonomi politik. Ekonomi politik agribisnis tembakau tidak sekedar menyangkut serangkaian kebijakan pemerintah dalam mengatur agribisnis tembakau. Lebih dari itu, ekonomi politik agribisnis tembakau melibatkan multi pihak yang tidak lain tujuannya adalah untuk memaksimalkan keuntungan. Jelaslah bahwa agribisnis tembakau tidak sesederhana persoalan menyediakan lapangan pekerjaan bagi para petani yang ada di desa. Ada sebuah hubungan yang bersifat eksploitatif dan parasitik yang dilakukan oleh perusahaan terhadap petani. Oleh karenanya penting untuk melakukan penelitian tentang ekonomi politik dalam agribisnis tembakau dan dampaknya terhadap ekonomi wilayah.
Wednesday, 14 November 2012
Sunday, 4 November 2012
Pedagang Kaki Lima (PKL) Dalam Pusaran Kegagalan Koordinasi Pembangunan
Oleh: Muhammad Nurjihadi
Istilah pembangunan merujuk pada makna upaya peningkatan kapasitas perekonomian nasional untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan pendapatan nasional bruto (Gross National Income-GNI). Pembangunan umumnya hanya dipandang sebagai fenomena ekonomi semata. Pertumbuhan GNI ataupun GNI per kapita diyakini akan menetes dengan sendirinya kebawah dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan menggerakkan tumbuhnya sektor-sektor usaha baru yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. Pandangan itulah yang dikenal sebagai efek menetes kebawah (trickle down effect). Dengan dmikian, pertumbuhan ekonomi merupakan unsur paling penting dan utama dalam pembangunan, sedangkan masalah-masalah kemiskinan, ketimpangan, pengangguran, diskriminasi ekonomi, pengangguran dan sebagainya cenderung diabaikan karena dianggap akan selesai dengan sendirinya seiring tingginya pertumbuhan ekonomi (Todaro dan Smith, 2006).
Namun fakta berbicara lain. Belajar dari pengalaman pembangunan Indonesia, meski pertumbuhan ekonomi meningkat dan pendapatan per kapita telah mencapai angka US$ 3.000 per tahun, namun ketimpangan distribusi pendapatan juga semakin lebar sebagaimana tecermin dari rasio gini yang meningkat dari 0,33 tahun 2002 menjadi 0,41 tahun 2011. Lebih ironis lagi, ketika total pendapatan nasional yang dinikmati kelompok 40 % penduduk termiskin megalami penurunan, 20 % kelompok terkaya justru mengalami penaikan jatah kue pendapatan nasional dari 42,2 % tahun 2002 menjadi 48,42 % tahun 2011. Dengan demikian, yang terjadi justeru bukan tricle down effect, tapi sebaliknya yang terjadi adalah trickle up effect atau efek muncrat ke atas dalam proses pembangunan (Kompas.com, 15 Juni 2012).
Selain itu, proses pembangunan yang berlangsung selama ini di Indonesia cenderung bias kota (urban bias). Akibatnya kota mengalami kemajuan yang semakin jauh yang ditopang oleh segala fasilitas dan infrastruktur publik memadai, sementara desa kian tertinggal dan terjebak dalam kemiskinannya. Rustiadi at al (2011) menyatakan bahwa pembangunan yang urban bias seperti itu mendorong masyarakat desa untuk melakukan migrasi dari desa ke kota. Sebenarnya, proses migrasi desa-kota ini dapat dipandang sebagai hal yang positif. Dengan mengacu pada teori Arthur Lewis tentang Theory of labor transfer, maka dapat disimpulkan bahwa migrasi masyarakat desa ke kota adalah fenomena yang positif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermigrasi itu sekaligus untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja oleh pabrik-pabrik yang ada di kota. Namun yang terjadi adalah over migration dimana lapangan pekerjaan yang ada di kota tidak mampu menampung besarnya jumlah migran. Akibatnya banyak migran yang tidak dapat diserap sebagai tenaga kerja oleh perusahaan. Alasan lain yang menyebabkan banyaknya migran tidak terserap dalam dunia usaha perkotaan adalah karena rendahnya keterampilan dan keahlian. Migran-migran yang tidak terserap atau terakomodasi oleh perusahaan-perusahaan kota inilah yang kemudian menjadi pengangguran kota dan bekerja semrawut (sektor informal perkotaan) seperti menjadi tukang ojek, pengemis, pemulung, preman dan termasuk Pedagang Kaki Lima (PKL). Selain itu keberadaan migran-migran tidak terampil yang bekerja di sektor informal dengan penghasilan minim ini membuat munculnya pemukiman-pemukiman liar yang kumuh (squatter settlement). Hal-hal semacam ini dapat terjadi karena disebabkan oleh kegagalan koordinasi dalam pembangunan. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang kompelementer antara desa dan kota merupakan penyebab fenomena ini.
Menjadi pedagang kaki lima adalah pilihan favorit para migran untuk bisa mempertahankan hidupnya (survive) di kota yang keras. Alasannya sederhana, cara ini dianggap lebih baik, halal dan lebih menjanjikan daripada sekedar menjadi tukang ojek, pemulung, apa lagi preman. Jarang ada yang memilih untuk pulang kembali ke desa. Mungkin karena mereka merasa bahwa desa tidak akan mampu menyediakan apa yang mereka butuhkan atau mungkin juga karena alasan yang lebih psikologis, ‘malu’. Sayangnya memilih sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL) pun tidak seenak yang dikira, mereka harus menghadapi berbagai persoalan, mulai dari persoalan premanisme, pungutan liar, hingga penggusuran. Penggusuran sering kali dilakukan oleh pemerintah kota karena alasan ketertiban publik, estetika kota dan untuk kepentingan investasi bisnis besar.
PKL umumnya memilih untuk berdagang di terotoar pinggir jalan dan bahkan tidak jarang sampai mengambil badan jalan. Tentu saja hal ini dapat mengganggu pihak lain, baik pejalan kaki, pengendara kendaraan bermotor maupun pedagang legal (pertokoan) yang ada di sekitar tempat berdagangnya PKL itu. Kondisi seperti ini sangat rentan menimbulkan konflik sosial, terutama antara PKL dengan pemilik toko legal kaitannya dengan persaingan ataupun keindahan (estetika). Studi yang dilakukan Arifianto (2006) mencoba untuk mengkaji interaksi antara aktifitas pertokoan dan pedagang kaki lima di kawasan pedagangan Banjaran Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Hasil studi memang tidak menunjukkan adanya konflik terbuka sebagai akibat dari adanya persaingan usaha antara PKL dan pemilik toko. Namun pertentangan-pertentangan kecil sering terjadi yang rata-rata berujung pada pengaduan kasus ke pemerintah kota. Adanya saling pengertian antara pemilik toko dan PKL mampu meredam potensi konflik terbuka. Bagi pemilik toko, keberadaan PKL memang dianggap mengganggu aktifitas usaha mereka, tapi biar bagaimanapun mereka adalah manusia yang sedang mencari nafkah untuk bertahan hidup, jadi para pemilik toko itu menganggap bahwa melarang mereka adalah sikap yang arogan dan memang bukan wewenang mereka.
Dengan segala permasalahan yang ditimbulkan sebagai akibat dari adanya PKL, pemerintah kota merasa perlu untuk mengatur dan menertibkan PKL ini. Sayangnya, upaya penertiban sering kali berujung dengan bentrok antara Polisi Pamong Praja (Pol PP) yang bermaksud menertibkan dengan para PKL itu. Pol PP yang ingin menertibkan biasanya melengkapi diri dengan pentungan untuk mengantisipasi penolakan PKL. Karena para PKL menganggap bahwa Pol PP itu hendak menyerang mereka (karena telah mempersenjatai diri dengan pentungan), maka para PKL itupun membekali diri dengan berbagai alat, mulai dari balok-balok kayu, batu hingga senjata tajam untuk melakukan perlawanan. Karena masing-masing sudah mempersenjatai diri seperti itu, upaya penertiban PKL sering kali terlihat seperti perang terbuka. Dalam konteks ini, kita bisa menyatakan bahwa telah terjadi kegagalan koordinasi antara satuan Pol PP dengan PKL dalam upaya penertiban itu. Pihak pemerintah kota melalui Pol PP sering kali beralasan bahwa teguran sudah diberikan secara tertulis sebanyak lebih dari satu kali namun tidak diindahkan oleh PKL, dengan demikian mereka merasa sudah selayaknya jika mereka melakukan penggusuran paksa dengan mempersenjatai diri menggunakan pentungan. Semetara pihak PKL yang menolak untuk digusur sering kali beralasan karena pemerintah kota yang menggusur mereka tidak menyediakan alternatif lain bagi mereka untuk berusaha dan bertahan hidup. Disinilah letak kegagalan koordinasi itu. Pemerintah kota gagal dalam memahami persoalan real, dan terjebak pada pendekatan-pendekatan administratif yang tidak memiliki kepekaan sosial.
Persepsi pemerintah kota bahwa PKL adalah pengganggu, penyebab kemacetan, perusak pemandangan dan sebagainya membuat pemerintah kota menutup telinga dari teguran-teguran publik yang mengingatkan mereka tentang bagaimana menghadapi PKL. Padahal, jika pemerintah kota ‘melek’, seharusnya mereka bisa melihat PKL dari perspektif lain, yaitu perspektif potensi PKL itu sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di Solo misalnya, PKL mampu menyumbang hingga rata-rata Rp 20 Miliar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) setiap tahun. Jumlah itu lebih besar daripada sumbangan sektor perhotelan, restoran dan lainnya yang ada di Solo (Pikiran-rakyat.com, 4 Agustus 2012). Keberhasilan Kota Solo dalam mengelola PKL dan menjadikannya sebagai salah satu sumber PAD yang nilainya cukup besar seharusnya dapat dijadikan contoh oleh kota-kota lainnya di Indonesia. Kota Solo dengan demikian telah berhasil menciptakan hubungan yang komplementer (saling melengkapi dan saling mencukupi) antara Pemerintah Kota dengan PKL. Kota Solo membuktikan bahwa dengan koordinasi yang baik dapat mengatasi persoalan PKL. Berbagai kasus yang selama ini kita dengar di media massa tentang konflik antara Sat Pol PP dengan PKL merupakan akibat dari kegagalan koordinasi antara Pemerintah Kota dan stakeholder lain yang berkepentingan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pedagang Kaki Lima (PKL) terjebak dalam pusaran kegagalan koordinasi pembangunan pemerintah. PKL ada karena kegagalan pemerintah dalam mengkoordinasikan pembangunan dalam rangka menciptakan pembangunan yang balance (seimbang), adil dan mensejahterakan semua pihak. Konflik dalam upaya penertiban PKL juga tercipta karena kegagalan pemerintah, terutama Pemerintah Kota dalam melakukan koordinasi dengan berbagai stakeholder yang berkepentingan. Dengan kata lain, PKL merupakan korban dari kegagalan koordinasi pemerintah. Jadi, jika ingin PKL habis atau lebih tertib dan menjadi pedagang legal, maka yang harus dibenahi adalah koordinasi. Pemerintah punya tanggungjawab besar dalam hal ini.
Referensi
Rustiadi at al. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Crespent Press: Bogor
Todaro dan Smith. 2006. Economic Development, 09 edition. Pearson Education Limited: United Kingdom
Arifianto, Dessy. 2006. Kajian Interaksi Aktivitas Pertokoan Dan Pedagang Kaki Lima Pada Trotoar Di Kawasan Perdagangan Banjaran Kabupaten Tegal. Tesis Mahasiswa Program Magister Universitas Diponegoro: Semarang
Kompas.com. 15 Juni 2012. Kuatkah Fondasi Ekonomi Kita ?. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/06/15/Kuatkah.Fondasi.Ekonomi.Kita.
Pikiran-rakyat.com. 4 Agustus 2012. PKL Miliki Potensi PAD. http://www.pikiran-rakyat.com/node/154191
Istilah pembangunan merujuk pada makna upaya peningkatan kapasitas perekonomian nasional untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan pendapatan nasional bruto (Gross National Income-GNI). Pembangunan umumnya hanya dipandang sebagai fenomena ekonomi semata. Pertumbuhan GNI ataupun GNI per kapita diyakini akan menetes dengan sendirinya kebawah dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan menggerakkan tumbuhnya sektor-sektor usaha baru yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. Pandangan itulah yang dikenal sebagai efek menetes kebawah (trickle down effect). Dengan dmikian, pertumbuhan ekonomi merupakan unsur paling penting dan utama dalam pembangunan, sedangkan masalah-masalah kemiskinan, ketimpangan, pengangguran, diskriminasi ekonomi, pengangguran dan sebagainya cenderung diabaikan karena dianggap akan selesai dengan sendirinya seiring tingginya pertumbuhan ekonomi (Todaro dan Smith, 2006).
Namun fakta berbicara lain. Belajar dari pengalaman pembangunan Indonesia, meski pertumbuhan ekonomi meningkat dan pendapatan per kapita telah mencapai angka US$ 3.000 per tahun, namun ketimpangan distribusi pendapatan juga semakin lebar sebagaimana tecermin dari rasio gini yang meningkat dari 0,33 tahun 2002 menjadi 0,41 tahun 2011. Lebih ironis lagi, ketika total pendapatan nasional yang dinikmati kelompok 40 % penduduk termiskin megalami penurunan, 20 % kelompok terkaya justru mengalami penaikan jatah kue pendapatan nasional dari 42,2 % tahun 2002 menjadi 48,42 % tahun 2011. Dengan demikian, yang terjadi justeru bukan tricle down effect, tapi sebaliknya yang terjadi adalah trickle up effect atau efek muncrat ke atas dalam proses pembangunan (Kompas.com, 15 Juni 2012).
Selain itu, proses pembangunan yang berlangsung selama ini di Indonesia cenderung bias kota (urban bias). Akibatnya kota mengalami kemajuan yang semakin jauh yang ditopang oleh segala fasilitas dan infrastruktur publik memadai, sementara desa kian tertinggal dan terjebak dalam kemiskinannya. Rustiadi at al (2011) menyatakan bahwa pembangunan yang urban bias seperti itu mendorong masyarakat desa untuk melakukan migrasi dari desa ke kota. Sebenarnya, proses migrasi desa-kota ini dapat dipandang sebagai hal yang positif. Dengan mengacu pada teori Arthur Lewis tentang Theory of labor transfer, maka dapat disimpulkan bahwa migrasi masyarakat desa ke kota adalah fenomena yang positif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermigrasi itu sekaligus untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja oleh pabrik-pabrik yang ada di kota. Namun yang terjadi adalah over migration dimana lapangan pekerjaan yang ada di kota tidak mampu menampung besarnya jumlah migran. Akibatnya banyak migran yang tidak dapat diserap sebagai tenaga kerja oleh perusahaan. Alasan lain yang menyebabkan banyaknya migran tidak terserap dalam dunia usaha perkotaan adalah karena rendahnya keterampilan dan keahlian. Migran-migran yang tidak terserap atau terakomodasi oleh perusahaan-perusahaan kota inilah yang kemudian menjadi pengangguran kota dan bekerja semrawut (sektor informal perkotaan) seperti menjadi tukang ojek, pengemis, pemulung, preman dan termasuk Pedagang Kaki Lima (PKL). Selain itu keberadaan migran-migran tidak terampil yang bekerja di sektor informal dengan penghasilan minim ini membuat munculnya pemukiman-pemukiman liar yang kumuh (squatter settlement). Hal-hal semacam ini dapat terjadi karena disebabkan oleh kegagalan koordinasi dalam pembangunan. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang kompelementer antara desa dan kota merupakan penyebab fenomena ini.
Menjadi pedagang kaki lima adalah pilihan favorit para migran untuk bisa mempertahankan hidupnya (survive) di kota yang keras. Alasannya sederhana, cara ini dianggap lebih baik, halal dan lebih menjanjikan daripada sekedar menjadi tukang ojek, pemulung, apa lagi preman. Jarang ada yang memilih untuk pulang kembali ke desa. Mungkin karena mereka merasa bahwa desa tidak akan mampu menyediakan apa yang mereka butuhkan atau mungkin juga karena alasan yang lebih psikologis, ‘malu’. Sayangnya memilih sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL) pun tidak seenak yang dikira, mereka harus menghadapi berbagai persoalan, mulai dari persoalan premanisme, pungutan liar, hingga penggusuran. Penggusuran sering kali dilakukan oleh pemerintah kota karena alasan ketertiban publik, estetika kota dan untuk kepentingan investasi bisnis besar.
PKL umumnya memilih untuk berdagang di terotoar pinggir jalan dan bahkan tidak jarang sampai mengambil badan jalan. Tentu saja hal ini dapat mengganggu pihak lain, baik pejalan kaki, pengendara kendaraan bermotor maupun pedagang legal (pertokoan) yang ada di sekitar tempat berdagangnya PKL itu. Kondisi seperti ini sangat rentan menimbulkan konflik sosial, terutama antara PKL dengan pemilik toko legal kaitannya dengan persaingan ataupun keindahan (estetika). Studi yang dilakukan Arifianto (2006) mencoba untuk mengkaji interaksi antara aktifitas pertokoan dan pedagang kaki lima di kawasan pedagangan Banjaran Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Hasil studi memang tidak menunjukkan adanya konflik terbuka sebagai akibat dari adanya persaingan usaha antara PKL dan pemilik toko. Namun pertentangan-pertentangan kecil sering terjadi yang rata-rata berujung pada pengaduan kasus ke pemerintah kota. Adanya saling pengertian antara pemilik toko dan PKL mampu meredam potensi konflik terbuka. Bagi pemilik toko, keberadaan PKL memang dianggap mengganggu aktifitas usaha mereka, tapi biar bagaimanapun mereka adalah manusia yang sedang mencari nafkah untuk bertahan hidup, jadi para pemilik toko itu menganggap bahwa melarang mereka adalah sikap yang arogan dan memang bukan wewenang mereka.
Dengan segala permasalahan yang ditimbulkan sebagai akibat dari adanya PKL, pemerintah kota merasa perlu untuk mengatur dan menertibkan PKL ini. Sayangnya, upaya penertiban sering kali berujung dengan bentrok antara Polisi Pamong Praja (Pol PP) yang bermaksud menertibkan dengan para PKL itu. Pol PP yang ingin menertibkan biasanya melengkapi diri dengan pentungan untuk mengantisipasi penolakan PKL. Karena para PKL menganggap bahwa Pol PP itu hendak menyerang mereka (karena telah mempersenjatai diri dengan pentungan), maka para PKL itupun membekali diri dengan berbagai alat, mulai dari balok-balok kayu, batu hingga senjata tajam untuk melakukan perlawanan. Karena masing-masing sudah mempersenjatai diri seperti itu, upaya penertiban PKL sering kali terlihat seperti perang terbuka. Dalam konteks ini, kita bisa menyatakan bahwa telah terjadi kegagalan koordinasi antara satuan Pol PP dengan PKL dalam upaya penertiban itu. Pihak pemerintah kota melalui Pol PP sering kali beralasan bahwa teguran sudah diberikan secara tertulis sebanyak lebih dari satu kali namun tidak diindahkan oleh PKL, dengan demikian mereka merasa sudah selayaknya jika mereka melakukan penggusuran paksa dengan mempersenjatai diri menggunakan pentungan. Semetara pihak PKL yang menolak untuk digusur sering kali beralasan karena pemerintah kota yang menggusur mereka tidak menyediakan alternatif lain bagi mereka untuk berusaha dan bertahan hidup. Disinilah letak kegagalan koordinasi itu. Pemerintah kota gagal dalam memahami persoalan real, dan terjebak pada pendekatan-pendekatan administratif yang tidak memiliki kepekaan sosial.
Persepsi pemerintah kota bahwa PKL adalah pengganggu, penyebab kemacetan, perusak pemandangan dan sebagainya membuat pemerintah kota menutup telinga dari teguran-teguran publik yang mengingatkan mereka tentang bagaimana menghadapi PKL. Padahal, jika pemerintah kota ‘melek’, seharusnya mereka bisa melihat PKL dari perspektif lain, yaitu perspektif potensi PKL itu sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di Solo misalnya, PKL mampu menyumbang hingga rata-rata Rp 20 Miliar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) setiap tahun. Jumlah itu lebih besar daripada sumbangan sektor perhotelan, restoran dan lainnya yang ada di Solo (Pikiran-rakyat.com, 4 Agustus 2012). Keberhasilan Kota Solo dalam mengelola PKL dan menjadikannya sebagai salah satu sumber PAD yang nilainya cukup besar seharusnya dapat dijadikan contoh oleh kota-kota lainnya di Indonesia. Kota Solo dengan demikian telah berhasil menciptakan hubungan yang komplementer (saling melengkapi dan saling mencukupi) antara Pemerintah Kota dengan PKL. Kota Solo membuktikan bahwa dengan koordinasi yang baik dapat mengatasi persoalan PKL. Berbagai kasus yang selama ini kita dengar di media massa tentang konflik antara Sat Pol PP dengan PKL merupakan akibat dari kegagalan koordinasi antara Pemerintah Kota dan stakeholder lain yang berkepentingan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pedagang Kaki Lima (PKL) terjebak dalam pusaran kegagalan koordinasi pembangunan pemerintah. PKL ada karena kegagalan pemerintah dalam mengkoordinasikan pembangunan dalam rangka menciptakan pembangunan yang balance (seimbang), adil dan mensejahterakan semua pihak. Konflik dalam upaya penertiban PKL juga tercipta karena kegagalan pemerintah, terutama Pemerintah Kota dalam melakukan koordinasi dengan berbagai stakeholder yang berkepentingan. Dengan kata lain, PKL merupakan korban dari kegagalan koordinasi pemerintah. Jadi, jika ingin PKL habis atau lebih tertib dan menjadi pedagang legal, maka yang harus dibenahi adalah koordinasi. Pemerintah punya tanggungjawab besar dalam hal ini.
Referensi
Rustiadi at al. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Crespent Press: Bogor
Todaro dan Smith. 2006. Economic Development, 09 edition. Pearson Education Limited: United Kingdom
Arifianto, Dessy. 2006. Kajian Interaksi Aktivitas Pertokoan Dan Pedagang Kaki Lima Pada Trotoar Di Kawasan Perdagangan Banjaran Kabupaten Tegal. Tesis Mahasiswa Program Magister Universitas Diponegoro: Semarang
Kompas.com. 15 Juni 2012. Kuatkah Fondasi Ekonomi Kita ?. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/06/15/Kuatkah.Fondasi.Ekonomi.Kita.
Pikiran-rakyat.com. 4 Agustus 2012. PKL Miliki Potensi PAD. http://www.pikiran-rakyat.com/node/154191
Subscribe to:
Posts (Atom)