Wednesday, 29 August 2012

POLITIK EKONOMI TEMBAKAU: PERSELINGKUHAN INDUSTRI ROKOK DAN FARMASI (Mengungkap Kebohongan dan Motif Terselubung Dibalik Kampanye Anti Tembakau Global)

Oleh: Muhammad Nurjihadi, SP*
Sejak berabad-abad yang lalu, tembakau menjadi komoditas strategis dalam memajukan ekonomi suatu negara. Tidak berlebihan jika komoditas ini disebut sebagai “emas hijau”. Pada tahun 2011, pasar tembakau global bernilai sekitar US$ 378 miliar atau setara dengan Rp 3.500 Triliun. Jika dianalogikan sebagai sebuah negara, maka berdasarkan data Bank Dunia tahun 2011 negara tembakau itu akan menjadi negara dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) terbesar ke 29 di dunia. Unggul dari si raja minyak Saudi Arabia. Sejak akhir dekade 1990-an, para pelaku kesehatan gencar mengkampanyekan bahaya merokok terhadap kesehatan. Akibatnya banyak negara mengambil kebijakan pengetatan bisnis rokok dan tembakau. Tapi ironisnya, ditengah semakin menurunnya produksi tembakau global, para pelaku industri rokok justeru mengalami peningkatan pendapatan. Disamping itu, mencuatnya kekhawatiran akan bahaya merokok berhasil mendongkrak popularitas dan pendapatan industri farmasi, terutama yang berkaitan dengan tembakau. Sampai disini, kesimpulan yang saya ambil adalah “it’s just about money”.

Tembakau mulai dikenal manusia sejak abad pertama sebelum masehi. Suku Indian di Amerika diketahui menggunakan tembakau untuk keperluan pengobatan dan religius pada masa itu. Pada abad-abad selanjutnya, tembakau berkembang dan menyebar ke seluruh penjuru dunia dan menjadi salah satu komoditas penting perdagangan global (Herjuno dkk, 2012). Dalam perkembangan selanjutnya, tembakau diolah menjadi rokok yang digemari oleh orang-orang di Eropa dan Asia. Dari sinilah bisnis tembakau untuk keperluan komersil (industri rokok) mulai berkembang.

Indonesia adalah salah satu negara dengan potensi yang luar biasa untuk pengembangan tembakau. Oleh karenanya, pemerintah Kolonial Belanda dalam kebijakan tanam paksanya meminta, atau tepatnya memaksa rakyat Indonesia untuk menanam tembakau guna memenuhi kebutuhan global dan meningkatkan pendapatan negara. Seiring perjalanan waktu, pemaksaan menanam tembakau ini berkembang menjadi kebiasaan yang menyebabkan para petani tembakau yang dipaksa itu tetap menanam tembakau setelah berakhirnya politik tanam paksa. Bahkan ketika pemerintah kolonial melakukan liberalisasi ekonomi secara ekstrem di wilayah Indonesia, agribisnis tembakau tetap berkembang tanpa campur tangan pemerintah kolonial.

Industri rokok mengalami masa kejayaan pada abad ke 20. Kebudayaan merokok pada masa itu menyebar ke seluruh dunia dengan berbagai bentuk. Di Indonesia berkembang rokok tradisional yang dikenal dunia dengan nama “kretek”. Rokok kretek ini merupakan racikan asli orang Indonesia yang membuat rokok dari bahan tembakau yang ditambah dengan cengkeh dan saus sebagai penyedap rasa. Pada tahun 1913, seorang tionghoa Indonesia bernama Liem Seeng Tee untuk pertama kalinya memproduksi rokok kretek untuk keperluan komersial. Setelah mendapat sambutan yang luas dari masyarakat, industri rumah tangga Liem ini terus berkembang dan diteruskan oleh anak-cucunya. Pada tahun 1930, industri rumah tangga ini diresmikan secara resmi dengan nama NVBM Handel Maatschapij Sampoerna yang menjadi cikal bakal H.M. Sampoerna yang kita kenal hari ini. Saat ini PT H.M Sampoerna merupakan penguasa pangsa pasar rokok Indonesia dengan menguasai 25% pasar rokok mengungguli PT Gudang Garam dan PT Djarum tbk yang masing-masing menguasai 21% dan 19% (Bursa Efek Indonesia, 25 Mei 2009).

Indonesia menikmati hasil cukup besar dari industri tembakau. Pada tahun 2005, industri tembakau dengan segala multiplier effect-nya menyumbang sekitar Rp 48 Triliun untuk PDB Indonesia. Jumlah ini terus meningkat setiap tahun seiring meningkatnya penerimaan cukai tembakau. Pada tahun 2011 saja, penerimaan negara dari cukai tembakau menembus angka Rp 60,7 Triliun. Jumlah ini meningkat secara berkala dari tahun-tahun sebelumnya. Sebagai perbandingan, pada tahun 2011 negara menerima pendapatan Rp 12,9 Triliun dari cukai SDA non migas (pertambangan umum, kehutanan, perikanan dan panas bumi). Artinya nilai cukai tembakau lima kali lebih besar dibanding cukai SDA non migas (diolah berdasarkan table I-O 2005-2011 dari BPS).

Pada penghujung abad ke 20 berkembang isu bahaya merokok bagi kesehatan. Munculnya isu ini berbarengan dengan masa kejayaan industri farmasi global (obat-obatan kimia). Setelah berhasil mempengaruhi persepsi publik internasional tentang manfaat pengobatan kimia dan “tidak ilmiahnya” pengobatan tradisional, industri farmasi global menghasilkan keuntungan fantastis dari penjualan obat-obatan kimia. Atas nama “ilmu pengetahuan dan teknologi”, setiap obat yang tidak didasarkan atas penelitian di lembaga-lembaga riset formal dianggap berbahaya dan tidak bermanfaat. Akibatnya praktek-praktek pengobatan tradisional di seluruh dunia mengalami kemunduran, tak terkecuali di Indonesia. Masa kejayaan industri farmasi itu berlanjut dengan kampanye anti tembakau. Tujuannya tidak lain adalah untuk menyadarkan orang bahwa rokok mengandung nikotin yang berbahaya bagi kesehatan. Pada awalnya, isu ini mengagetkan publik dan menampar industri rokok global. Pertentangan antara industri rokok dan industri farmasi tidak dapat dihindarkan. Namun dalam perjalanan waktu, perseteruan kedua jenis industri ini menemui titik temu yang menguntungkan kedua belah pihak. Sejak itulah terjalin hubungan “perselingkuhan” antara industri rokok dan industri farmasi.

Dengan gencarnya kampanye anti tembakau global, industri farmasi meresponnya dengan memproduksi obat-obatan kimia yang bisa mengurangi dampak nikotin tembakau. Lebih dari itu, industri farmasi juga mengembangkan alat dan bahan bernilai tinggi untuk keperluan pengobatan sakit tenggorokan dan paru-paru yang disebabkan oleh aktifitas merokok. Bayangkan jumlah alat dan bahan yang dijual ke seluruh penjuru dunia untuk keperluan itu. Di Indonesia, akhir-akhir ini kita menemukan banyaknya produk baru yang berkaitan dengan aktifitas merokok. Anda tentu mengenal salah satu produk pasta gigi yang dikhususkan untuk para perokok yang sedang gencar diiklankan di media massa (saya tidak mau menyebut merek), lalu berbagai produk makanan lainnya yang diiklankan “sangat baik” untuk mengurangi bahaya merokok.

Selain keuntungan bagi industri farmasi, industri rokok juga mendapat keuntungan yang tidak kalah mengesankan dengan adanya isu anti rokok atau anti tembakau itu. Dengan adanya isu tersebut, banyak negara mengambil kebijakan khusus untuk industri rokok. Kebijakan yang diambil umumnya adalah meningkatkan pajak dan cukai tembakau dan melarang atau membatasi impor tembakau. Tingginya pajak dan cukai tembakau ini menjadi alasan industri rokok untuk membeli tembakau petani dengan harga murah. Sehingga industri rokok bisa mendapatkan bahan baku dengan harga yang murah dan menjualnya dengan harga yang tinggi. Dalam sebuah pertemuan perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak di bidang tembakau se-Asia di Jakarta pada tahun 2011 kemarin, salah seorang CEO dalam pidatonya mengatakan kita bisa memproduksi satu batang rokok dengan biaya 5 sen dan menjualnya dengan harga 1 dolar. Saya kira inilah yang menjadi alasan kenapa industri rokok terus mengalami peningkatan pendapatan ditengah terus menurunnya produksi tembakau.

Relevansi Dengan Perkembangan Tembakau Virginia Lombok
Pada sebagian masyarakat Pulau Lombok, utamanya di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah, tembakau bukan hanya sekedar komoditas. Bagi mereka tembakau adalah budaya, tradisi, cara pandang, cara hidup dan bisnis yang menjanjikan. Saya kira tidak berlebihan jika saya juga menyebut diri sebagai produk dari usahatani tembakau. Artinya tanpa usahatani tembakau, mungkin saya tidak akan mampu mengenyam pendidikan hingga sejauh ini. Meski sejak memasuki dunia mahasiswa saya menjadi salah seorang penganjur utama “Stop Usahatani Tembakau”, tapi saya tetap tidak bisa menutup mata pada fakta bahwa tembakau adalah tradisi dan cara hidup masyarakat di sebagian Pulau Lombok.

Pada masa 1990-an hingga awal 2000-an, tembakau menjadikan masyarakat di Pulau Lombok bertransformasi dari masyarakat miskin menjadi masyarakat kelas menengah. Secara mengesankan, tembakau mengantarkan orang-orang miskin pedalaman itu pada kehidupan baru. Tembakau bahkan disebut sebagai sarana penting untuk menunaikan ibadah Haji. Namun kondisi mulai berubah pada pertengahan dan akhir dekade 2000-an. Banyak petani mengalami kerugian dan menyebabkan terjadinya instabilitas sosial di masyarakat petani tembakau (Nurjihadi, 2011). Petani umumnya memahami fenomena ini sebagai sebuah fenomena biasa dalam berusaha dimana untung dan rugi adalah sesuatu yang wajar. Tapi luput dari pemahaman dan analisis mereka bahwa apa yang mereka alami adalah sebuah bagian dari sekenario ekonomi politik yang berlangsung secara global. Harapan petani untuk kembali menuai keuntungan pada tahun-tahun berikutnya nyatanya tidak terbukti. Mereka tetap rugi dan kian terjebak pada hutang yang tidak pernah mereka nikmati. Sebagian petani memang masih ada yang untung. Tapi sejauh pengamatan saya, keuntungan itu didapatkan karena kedekatan dengan “orang dalam” perusahaan. Dengan kata lain, nepotisme usaha menjadi hal wajib untuk bisa sukses dalam usahatani tembakau di Pulau Lombok. Kita tahu, sebagian besar petani tembakau itu adalah orang awam yang tidak punya jaringan cukup untuk bisa membuat mereka diuntungkan dalam usahatani tembakau.

Pada tanggal 21 April 2011, Harian Suara NTB mengatakan bahwa pemerintah menuntut agar produksi tembakau Virginia di Pulau Lombok terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan industri rokok nasional. Pasalnya sebagian besar kebutuhan bahan baku industri rokok nasional (yang berbahan tembakau Virginia) di impor dari luar. NTB hanya mampu mensuplai 40.000 ton tembakau Virginia setiap tahunnya dari total 180.000 ton kebutuhan nasional. Namun dalam pemberitaan di gomong.com tanggal 20 Agustus 2012 kemarin mengatakan bahwa telah terjadi over produksi tembakau Virginia di Lombok Timur. Dengan adanya isu over produksi ini, perusahaan membeli tembakau petani dengan harga murah (kalau tidak bisa disebut meminta tembakau petani secara Cuma-Cuma). Sungguh ironis, ketika NTB diminta meningkatkan produksinya karena dinilai produksi selama ini terlalu kecil, justeru ditingkat petani tersebar isu bahwa telah terjadi over produksi tembakau Virginia di Pulau Lombok. Sejatinya, tidak ada istilah over produksi. Kalaupun Lombok berhasil memproduksi tembakau lebih dari kebutuhan nasional, lebihnya itu bisa di ekspor ke luar negeri.

Tidak adanya harga dasar atau harga terendah yang ditetapkan oleh perusahaan mitra petani di Pulau Lombok membuat petani kian tersudut dan resah. Mereka harus bersedia menjual tembakau yang mereka produksi dengan tetesan keringat, air mata dan bahkan darah dengan harga yang ditetapkan secara sepihak oleh perusahaan. Sungguh tidak adil. Disaat harga rokok terus meningkat dan pasar tembakau global terus bergeliat, harga tembakau Virginia di Pulau Lombok justeru semakin jatuh. Sebagai putra sasak asli, sungguh saya merasa harga diri dan martabat saya dan masyarakat pulau Lombok telah diinjak-injak dan dihina oleh para perampok berkedok perusahaan itu. Tidak rela rasanya, derasnya keringat dan darah yang keluar untuk memproduksi tembakau dibayar hanya dengan harga seenaknya.

Kesimpulan
Pada dasarnya isu anti tembakau dan anti rokok yang sekarang sedang menggeliat merupakan bagian dari sekenario untuk mengeruk dan menumpuk kekayaan oleh segelintir orang kaya di dunia ini. Melalui perusahaan-perusahaan Multinasional Corporation (MNC), para penjajah ekonomi dunia itu menguasai dan mengeksploitasi sumber daya kita untuk kepentingan mereka. Di Indonesia, PT HM Sampoerna yang merupakan perusahaan rokok terbesar di Indonesia itu telah diakuisisi dan saham mayoritasnya telah dimiliki oleh perusahaan rokok multinasional bernama Philip Morris Internasional. Keuntungan industri rokok di Indonesia akan mereka bawa ke luar negeri untuk keperluan mereka. Dengan demikian, saat ini kita secara terang-terangan (namun kita tidak sadar) telah dijajah oleh mereka. Para petani diminta memproduksi tembakau dengan resiko yang besar, lalu mereka beli dengan harga murah dan dijual kembali dalam bentuk rokok dengan harga yang mahal.

Sampai hari ini RUU Tembakau Indonesia tak kunjung mampu diselesaikan. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan karena besarnya pengaruh lobi-lobi asing untuk membuat UU itu. Para petani dikerahkan untuk berdemonstrasi dengan alasan ekonomi kerakyatan agar membatalkan RUU itu. Pada saat yang sama, para investor atau pengusaha asing yang saya anggap sebagai perampok dan penjahat ekonomi itu tertawa melihat kebodohan kita. Nilai ekonomi tembakau mungkin memang mengesankan bagi petani tembakau. Tapi sebagaimana penjelasan diatas bahwa usahatani tembakau ini sudah tidak lagi menguntungkan secara ekonomi. Kalaupun misal usahatani tembakau masih dianggap menguntungkan, cobalah dihitung dan dianalisa kembali. Keuntungan yang didapat dari usahatani tembakau itu tidak bernilai apa-apa jika dibanding pengeluaran yang kita gunakan untuk menanggulangi dampak dari usahatani tembakau itu. Sebut saja misal secara makro pendapatan negara dari agribisnis tembakau (dengan keterkaitan/linkage ke depan dan ke belakangnya) pada tahun 2005 mencapai Rp 48 Triliun. Nilai itu tidak seberapa dengan pengeluaran untuk mengatasi dampak dari usahatani tembakau itu seperti perbaikan kondisi lingkungan, investasi biaya kesehatan masyarakat melalui Jamkesmas, membeli alat-alat kesehatan canggih nan mahal milik asing untuk mengobati penyakit sebagai dampak merokok, dan lain-lain.

Sungguh adalah sebuah kebodohan dan sebuah mental terjajah ada pada diri orang yang merokok. Dengan merokok, mereka dengan suka rela telah menghabiskan uangnya untuk memperkaya para konglomerat asing yang perampok itu dengan membeli rokok setiap hari. Setelah mereka mengalami dampak negatif dari rokok, mereka juga harus mengeluarkan uang, sekali lagi untuk memperkaya para perampok asing dengan membeli obat yang diproduksi oleh industri farmasi asing. Proses pengobatan di Rumah Sakit pun merupakan proses penyerahan harta secara Cuma-Cuma kepada para investor yang tidak lain adalah penjahat ekonomi itu. Jadi wahai seluruh rakyat Indonesia, saya mohon berhentilah merokok demi tegaknya harga diri dan keselamatan kita.

*penulis adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Desa, Institut Pertanian Bogor, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Contact: 081 805 775 723

Monday, 27 August 2012

PERBAIKAN IPM, ORIENTASI KERJA YANG KELIRU

Oleh: Muhammad Nurjihadi, SP

Masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi resah ketika tau NTB berada pada urutan 32 dari 33 provinsi di Indonesia dalam hal Human Development Indeks (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Tak pelak, isu IPM kemudian menjadi komoditas politik yang seksi pada Pilkada 2008. Semua calon mengangkat isu ini untuk meraih simpati publik, termasuk sang pemenang Pilkada TGB-Badrul Munir. Seolah terjebak pada janji-janji politiknya, TGB-BM memfokuskan diri pada program perbaikan IPM. Dicetuskannya Adono, Absano dan Akino tidak lain adalah upaya untuk memperbaiki IPM NTB. Dalam prakteknya, Pemda NTB dibawah TGB-BM terjebak pada formalitas untuk memperbaiki angka statistik IPM dan menjauh dari substansi dan semangat yang membentuk IPM itu. Akibatnya, IPM NTB tak kunjung membaik , tapi kebocoran anggaran terjadi dalam jumlah besar yang justeru merugikan daerah.

Human Development Indeks (HDI) yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mulai digunakan sebagai alat ukur kemajuan suatu negara atau wilayah sejak awal tahun 1990-an. IPM dikemukakan oleh ekonom asal India dan Pakistan bernama Amartya Sen dan Mahbub ul Haq. Sebelumnya, alat ukur kemajuan suatu negara atau wilayah menggunakan pendapatan per kapita yang dihitung dengan membagi nilai PDRB/GNP dengan jumlah total populasi di suatu wilayah atau negara. Faktanya, alat ukur pendapatan per kapita itu tidak dapat menggambarkan kondisi real masyarakat di suatu wilayah atau negara. Ketimpangan pendapatan adalah dampak nyata dari penggunaan alat ukur itu. Pendapatan perkapita yang tinggi di suatu wilayah sering kali didapatkan dari nilai kekayaan sekelompok kecil orang yang menguasai sebagian besar nilai ekonomi di wilayah itu.

Munculnya gagasan alat ukur kemajuan dengan IPM menghadirkan paradigma baru dalam proses pembangunan ekonomi suatu negara, yaitu pemerataan dan kebijakan mensejahterakan (welfare policy). Dengan alat ukur kemajuan yang baru ini diharapkan proses pembangunan di suatu negara akan menjadi lebih adil dan mensejahterakan secara substansial. IPM diukur dengan tiga indikator utama yaitu pendidikan (angka buta huruf dan lama sekolah), kesehatan (angka kematian bayi dan ibu saat melahirkan), dan ekonomi (pendapatan perkapita dan daya beli masyarakat). Sejak akhir tahun 1990-an, pengukuran IPM digunakan untuk mengetahui tingkat kemajuan provinsi di Indonesia. Sejak saat itulah orang mengetahui bahwa banyak daerah yang pendapatan perkapitanya tinggi ternyata IPMnya rendah. Papua misalnya, provinsi ini memiliki nilai PDRB yang sangat tinggi dengan jumlah populasi yang kecil sehingga pendapatan per kapitanya sangat tinggi. Tetapi ketika diukur dengan IPM, Papua menempati urutan ke 25 dari 26 provinsi pada tahun 1996. Demikian halnya dengan NTB, meski pendapatan perkapita NTB cukup tinggi, tapi ternyata setelah diukur dengan IPM, NTB menempati urutan ke 26 dari 26 provinsi pada tahun 1996 (sebelum ada pemekaran) dan urutan ke 32 dari 33 provinsi setelah pemekaran. Artinya, NTB hanya lebih baik satu tingkat jika dibanding dengan provinsi Papua.

Keterpurukan IPM NTB tidak mendapat perhatian yang berarti pada awal dekade 2000-an. Baru pada akhir dekade 2000-an, terutama menjelang Pilkada 2008, isu ini menjadi isu utama di masyarakat. Semua calon menjadikan isu IPM NTB ini sebagai alat politik untuk meraih simpati publik. Salah satu calon yang paling banyak mengangkat isu ini adalah pasangan TGB-Badrul Munir. Dalam kampanye - kampanyenya, TGB-BM tidak segan menjanjikan “pendidikan gratis dan kesehatan gratis”. Dengan perhitungan yang dianggap sudah matang, pasangan TGB-BM dengan percaya diri merasa mampu mewujudkan pendidikan dan kesehatan gratis untuk memperbaiki peringkat IPM NTB.

Setelah memenangkan Pilkada, TGB-BM segera menyusun rencana untuk menunaikan janji-janji politiknya. Secara mengesankan TGB-BM mencanangkan program-program prestisius yang bahkan mungkin tidak terpikirkan oleh para pemimpin pendahulunya di NTB. Program Adono, Absano dan Akino adalah sebuah program genius yang mampu menghidupkan harapan masyarakat NTB untuk menjadi lebih baik. Selanjutnya program itu diikuti pula dengan dicanangkannya program-program penting dibidang ekonomi seperti Bumi Sejuta Sapi (BSS), Sapi Jagung dan Rumput Laut (PIJAR), Sarjana Masuk Desa (SMD), Visit Lombok-Sumbawa 2012, dan lain-lain. Semua program itu harus diakui menjadi daya ungkit semangat dan mendorong meningkatnya aktifitas ekonomi masyarakat NTB.

Dalam prakteknya, pemerintahan TGB-BM nampaknya terjebak pada upaya perbaikan IPM dalam waktu singkat. Para birokrat yang membantu kerja pemerintahan TGB-BM dengan percaya diri merasa mampu memperbaiki IPM NTB setidaknya sampai pada urutan ke 21 pada akhir kepemimpinan TGB. Sebagai upaya untuk mewujudkan itu, Pemda NTB mengeluarkan dana secara besar-besaran. Untuk keperluan pemberantasan buta aksara misalnya, pemerintah bahkan bersedia membayar para penyandang buta aksara yang kebanyakan adalah para orang tua yang tidak produktif lagi agar mau belajar membaca. Harapannya, angka buta aksara yang menjadi momok dan penyebab utama keterpurukan IPM NTB dapat dikurangi dan dengan cepat mampu meningkatkan IPM NTB. Dalam perjalanannya, program ini digoyang isu korupsi yang dilakukan petugas di lapangan. Selain itu, untuk mengurangi angka kematian ibu saat melahirkan yang menjadi salah satu alat ukur penting IPM, Pemda juga memcanangkan program biaya persalinan gratis untuk keluarga miskin. Tidak ada yang salah dengan semua program jangka pendek itu. Tetapi berfokus pada program jangka pendek untuk keperluan “formalitas” perbaikan IPM itu dapat melalaikan kita dari program substansial jangka menengah.

Data yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sampai hari ini NTB masih berada pada urutan ke 32 dari 33 Provinsi. NTB hanya menang dari provinsi Papua. Data ini menunjukkan bahwa orientasi kerja pemerintah yang berfokus pada formalitas perbaikan IPM tidak bermanfaat sama sekali. Disamping gagal memperbaiki IPM NTB, program-program formalitas itu menghabiskan dana dalam jumlah besar. Program-program itu terkesan tidak memiliki prioritas yang jelas selain hanya ingin memperbaiki IPM NTB secara formalitas belaka, tidak menyentuh unsur pembentuk IPM secara substansial. Pengentasan buta aksara misalnya yang memakan biaya hingga lebih dari Rp 39 Miliar (Suara NTB, 23 september 2011) dilakukan dengan pendekatan membayar untuk belajar. Seandainya dana sebesar itu digunakan untuk mengentaskan buta aksara dengan pendekatan produktif seperti memfasilitasi pembentukan kelompok usaha mikro yang juga digunakan untuk mengajarkan membaca dan menulis, itu akan memiliki dampak ganda, memperbaiki kesejahteraan dan kemandirian di satu sisi dan memberantas buta aksara di sisi lain.

Pengukuran IPM memang di setting oleh pencetusnya untuk keperluan pembangunan yang adil dan hanya dapat diraih dalam jangka menengah atau panjang. Penggunaan indikator lama sekolah dan angka melek huruf misalnya, tentu hanya bisa diwujudkan dalam waktu yang panjang, tidak dalam waktu dua atau tiga tahun. Sebab pendidikan formal memang hanya bisa ditempuh dalam waktu yang panjang, setidaknya 10-15 tahun. Dengan demikian, kebijakan Pemda untuk memperbaiki IPM NTB seharusnya difokuskan pada upaya untuk mensukseskan program wajib belajar 12 tahun misalnya yang diikuti dengan program pengentasan buta aksara dengan pendekatan produktif.

Mengharap hasil instan dari suatu program adalah kekeliruan. Kita sepakat untuk memperbaiki IPM NTB, tetapi memaksa untuk mewujudkannya dalam waktu pendek dengan berfokus pada program-program jangka pendek bisa menjebak kita pada formalitas yang jauh dari substansi. Program-program jangka pendek adalah penting, tapi berfokus pada program jangka pendek itu dan mengabaikan program jangka menengah dan panjang adalah kontraproduktif dengan tujuan kita untuk mensejahterakan masyarakat. Kita belajar dari pengalaman di NTB, terlalu banyak menghabiskan energi untuk program jangka pendek demi membangun citra positif bahwa sang gubernur berhasil memperbaiki IPM ternyata gagal mewujudkan visi itu. Tapi memang apa yang dilakukan oleh pemerintahan TGB-BM adalah gejala normal dan wajar dimana semua kepala daerah juga akan melakukan hal yang sama demi membangun citra positif pemerintahannya. Tapi sadar atau tidak, kebiasaan kita yang formalitas itu akan menjauhkan kita dari substansi dan semangat pengukuran IPM yaitu peningkatan kesejahteraan yang adil dan merata. Nilai Indeks Pembangunan Manusia yang baik sejatinya merupakan "penghargaan" karena keberhasilan mensejahterakan rakyat. Jadi jangan mengharapkan penghargaan jika belum berhasil mensejahterakan masyarakat. Pemerintah daerah harus berfokus pada kerja peningkatan kesejahteraan ini dengan indikator utama pendidikan, kesehatan dan ekonomi dan menutup mata pada rangking atau peringkat IPM untuk sementara, biarlah peringkat IPM itu menjadi hadiah atau penghargaan atas kemampuan Pemda meningkatkan kesejahteraan rakyat. Jangan terjebak pada formalitas statistik perbaikan IPM, tapi fokuskan kerja pada peningkatan kesejahteraan secara substansial.

*penulis adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Desa, Institut Pertanian Bogor. Contact: 081 805 775 723

Sunday, 26 August 2012

MENAKAR MANFAAT DAN MUDHARAT USAHATANI TEMBAKAU VIRGINIA LOMBOK

Oleh: Muhammad Nurjihadi, SP*

Usahatani tembakau di Pulau Lombok, utamanya di kabupaten Lombok Timur telah berubah menjadi tradisi. Pada awal kemuncululannya, usahatani ini membawa berkah dan harapan untuk petani, tapi kini usahatani tembakau Virginia di Pulau Lombok tidak lebih dari sekedar tradisi yang mengancam eksistensi. Bisnis rakyat ini tidak lagi menguntungkan secara ekonomi, sosial maupun lingkungan. Usahatani ini menguuras energi dan mengeksploitasi seluruh sumber daya yang kita punya tanpa hasil yang layak.

Tembakau mulai masuk di Pulau Lombok sejak awal tahun 1960-an. Namun baru menemukan momentum terbaiknya pada awal dekade 1990-an. Menjamurnya perusahaan-perusahaan pengumpul dan distributor hasil tembakau yang kemudian bermitra dengan petani untuk mengembangkan usahatani tembakau Virginia telah mendorong perkembangan usahatani ini dengan pesat. Perkembangannya menjadi semakin massif karena mendapat dukungan dari pemerintah dengan adanya program Intensifikasi Tembakau Virginia pada akhir 1980-an.

Berbagai studi tentang dampak perkembangan usahatani tembakau Virginia di Pulau Lombok menunjukkan bahwa usaha rakyat ini mampu meningkatkan pendapatan masyarakat secara signifikan. Nurjihadi (2011) bahkan menyebutkan berkembangnya usahatani tembakau Virginia di Pulau Lombok, terutama di Kabupaten Lombok Timur telah mampu merubah wajah masyarakat desa yang identik dengan kemiskinan kolektif menjadi masyarakat ekonomi menengah yang oportunis dan individualis. Peningkatan pendapatan ini kemudian berpengaruh positif pada tingkat pendidikan, akses terhadap layanan kesehatan, kepemilikan rumah dan asset lainnya. Lebih jauh, peningkatan pendapatan kolektif masyarakat ini juga mendorong tumbuhnya sektor-sektor ekonomi yang lain mengingat semakin meningkatnya daya beli masyarakat.

Keberhasilan demi keberhasilan yang diperoleh petani tembakau membuat mereka bergantung pada usahatani ini. Keberhasilan itu juga menginspirasi dan mendorong orang lain untuk ikut mengusahakan usahatani tembakau Virginia. Dari tahun ke tahun jumlah petani yang bermitra dengan perusahaan terus meningkat. Luas areal tanam, jumlah oven dan kapasitas produksi pun terus mengalami peningkatan. Data menunjukkan luas areal tanam tembakau di Pulau Lombok mencapai sekitar 25.000 Ha yang diomprong dengan sekitar 15.000 unit oven tembakau. Rata-rata hasil yang diperoleh setiap tahunnya adalah sekitar 40 ribu ton tembakau omprongan.

Pengembangan usahatani tembakau memang selalu menjadi dilema. Pendapatan dan kesejahteraan petani di satu sisi selalu berlawanan dengan dampak kesehatan yang ditimbulkannya pada sisi lain. Khusus untuk kasus pengembangan tembakau Virginia di Pulau Lombok, dilema itu tidak hanya menyangkaut pendapatan petani Vs aspek kesehatan masyarakat, tapi juga antara pendapatan petani Vs keberlangsungan hidup (life sustainability). Keberlanjutan (sustainability) diartikan sebagai upaya untuk menjaga hak-hak generasi yang akan datang untuk bisa hidup dengan layak atas dasar warisan sosial, budaya dan lingkungan yang ditinggalkan generasi saat ini. Secara sosial, usahatani tembakau secara nyata telah menyebabkan runtuhnya nilai-nilai sosial kolektif yang ada di masyarakat. Gotong royong dan semangat kebersamaan yang menjadi ciri khas masyarakat desa (terutama petani) sudah sulit ditemukan pada petani tembakau. Dalam beberapa kasus, usahatani ini justeru melahirkan instabilitas sosial seperti konflik dan kriminalitas. Studi yang saya lakukan menunjukkan bahwa konflik sering disebabkan karena adanya perkara hutang-piutang yang menjadi “tradisi” dalam berusahatani tembakau. Sementara kriminalitas muncul akhir-akhir ini sebagai respon dari kerugian besar yang dialami petani. Konflik dan kriminalitas tentu merupakan ancaman untuk generasi yang akan datang.

Setelah ditelurusuri lebih jauh, penurunan pendapatan petani pada usahatani tembakau Virginia di Pulau Lombok disebabkan karena setidaknya dua hal, pertama meningkatnya biaya produksi omprongan tembakau setelah dicabutnya subsidi minyak tanah dan kedua menurunnya kualitas hasil omprongan karena bahan bakar yang kurang baik ataupun karena cuaca dan kualitas tanah yang sudah tidak begitu baik. Dalam sedikit kasus yang lain, bahkan ada petani yang sampai bunuh diri karena dililit hutang yang terlalu besar pada saat mengusahakan usahatani tembakau. Dengan demikian, dari sudut pandang sosiologis, saya menyimpulkan bahwa usahatani tembakau sudah menjadi ancaman serius bagi masyarakat. Bagaimana tidak, disaat masyarakat sudah tidak memiliki ikatan sosiologis yang cukup kuat seperti dulu, masyarakat harus dihadapkan pula pada fakta kemiskinan dan ketidakramahan harga jual tembakau. Jika dulu kemiskinan direspon masyarakat desa dengan kolektifitas dan gotong royong, maka sekarang kemiskinan itu direspon dengan kriminalitas sebab kebersamaan dan gotong royong mereka sudah dicabik-cabik oleh budaya oportunis dan individualis yang tumbuh subur di masyarakat desa.

Disamping itu, kita juga perlu mentelaah aspek keberlanjutan (sustainability) dari sudut pandang lingkungan. Dulu, pengomprongan tembakau dilakukan dengan bahan bakar minyak yang disubsidi pemerintah. Pada satu sisi kebijakan ini sangat membantu petani karena dengan bahan bakar minyak yang disubsidi, biaya produksi menjadi rendah dan kualitas hasil omprongan menjadi lebih baik. Tapi pada sisi lain, kita dihadapkan pada fakta kelangkaan energi. Dengan alasan itu, pemerintah kemudian mencabut subsidi minyak tanah untuk keperluan omprongan tembakau. Lagipula, bisnis seperti tembakau sesungguhnya “tidak layak” mendapat subsidi pemerintah, bukan hanya karena dampak negatifnya, tapi juga karena sifat komoditas tembakau yang merupakan komoditas komersil (High Value Commodity), bukan komoditas pangan yang menjadi kebutuhan dasar (basic need) masyarakat.

Sebagai alternatif, Pemerintah Daerah NTB kemudian mengintruksikan penggunaan batu bara dan kayu bakar untuk mengomprong tembakau (Pergub NTB No.79 A/tahun 2008). Untuk keperluan ini, pemerintah daerah bahkan bersedia untuk membantu proses konversi dengan memberikan subsidi modifikasi oven. Kebijakan ini bagi saya adalah sebuah kekonyolan. Beban biaya konversi seharusnya ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan mitra, bukan oleh pemerintah, sebab yang mendapat manfaat paling banyak dari program ini adalah perusahaan-perusahaan itu, bukan petani.

Konversi bahan bakar untuk omprongan tembakau dari minyak tanah ke batu bara membawa masalah lain. Pencemaran udara yang berdampak kepada kesehatan masyarakat tidak dapat dihindarkan. Petani pengomprong tentu menjadi pihak yang paling dirugikan dengan kondisi ini. Sebab petani pengomprong adalah orang yang berinteraksi langsung dengan batu bara itu. Sementara itu, perusahaan seolah tidak mau ambil pusing dan hanya ingin mengambil untung. Bukan hanya menimbulkan masalah kesehatan, penggunaan batu bara juga menyebabkan menurunnya kualitas hasil omprongan tembakau, akibatnya perusahaan membeli tembakau omprongan petani dengan harga murah. Disinilah anehnya, ketika petani pengomprong dihadapkan pada resiko yang lebih besar, mereka justeru mendapatkan hasil yang lebih kecil.

Selanjutnya, konversi dilakukan ke kayu bakar. Masalah kesehatan mungkin tidak lagi separah ketika menggunakan batu bara, namun dampak lain dari penggunaan kayu bakar adalah peningkatan aktifitas fisik dan resiko kebakaran. Hasil omprongan masih tetap tidak berpihak pada petani pengomprong. Sekali lagi, ketika resiko semakin besar, penghasilan justeru semakin kecil. Selain itu, data menunjukkan bahwa untuk mengomprong tembakau dengan sekitar 15.ooo oven tembakau yang ada di Pulau Lombok dibutuhkan sekitar 50.500 meter kubik kayu bakar atau sekitar 43.000 pohon untuk satu kali omprongan (Media Indonesia, 8 Agustus 2012). Jika dalam satu musim tanam tembakau pengomprongan dilakukan 4-6 kali, maka dalam satu musim tanam, dibutuhkan 200.000 – 300.000 meter kubik kayu atau 120.000 – 230.000 pohon. Dari mana mendapatkan kayu sebanyak itu ? Dalam 3-5 tahun kedepan, hutan di Lombok akan habis untuk keperluan pengomprongan tembakau. Kita tau apa dampak dari ketiadaan hutan dalam suatu wilayah. Bencana mengintai kita. Itulah masa depan generasi yang akan datang (anak cucu kita) jika kondisi ini tidak segera kita perbaiki.

Kita tidak bisa menyalahkan petani pengomprong. Biar bagaimanapun, mereka sedang berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Bagi saya, perusahaan mitra adalah pihak yang paling bertanggungjawab untuk masalah ini. Tembakau sebagai komoditas komersil (High Value Commodity) seharusnya dihargai secara layak oleh perusahaan. Menurut hemat saya, petani pengomprong sebetulnya masih tetap bisa menggunakan bahan bakar minyak tanah asalkan hasil omprongannya dibeli dengan harga yang layak dan menguntungkan petani oleh perusahaan. Untuk mendapatkan untung, perusahaan dapat menjualnya dengan harga yang lebih tinggi ke produsen rokok dan produsen rokok pun bisa mendapat keuntungan dengan meningkatkan harga jual rokoknya. Dengan demikian, siklus ekonomi dalam usahatani tembakau akan berlangsung secara normal dan wajar serta disisi lain mampu mengurangi resiko kesehatan akibat budaya merokok. Bukankah dengan harga rokok yang tinggi setidaknya akan membuat para perokok berhemat dalam belanja rokok. Namun langkah ini harus diikuti dengan political will yang memihak dari pemerintah pusat maupun daerah. Konsep diatas tidak mungkin terwujud jika harga tembakau Virginia impor lebih rendah daripada harga tembakau Virginia Lombok. Maka untuk keperluan itu perlu diberlakukan kebijakan peningkatan bea masuk tembakau. Dengan demikian, tembakau Virginia Lombok masih dapat bersaing dengan tembakau Virginia impor. Kita harus menyelamatkan masyarakat petani tembakau di Pulau Lombok dari ancaman sosial dan lingkungan. Usahatani tembakau ini menjadi tradisi karena masyarakat menjadi sangat tergantung pada usahatani ini, seolah tidak ada alternatif ekonomi lain yang lebih menguntungkan dari tembakau. Usahatani tembakau menjadi ancaman eksistensi karena telah menunjukkan gejala yang negatif pada aspek sosiologis dan lingkungan yang dapat mengancam generasi yang akan datang.

*penulis adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Desa, Institut Pertanian Bogor, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Contact: 081 805 775 723