Oleh: Muhammad Nurjihadi
Azan isya’ sedang berkumandang ketika aku terbaring di karpet hijau tanpa kasur di kamar kosku yang baru kutempati dua hari lalu. Kutatap langit – langit kosku sambil mengingat semua yang kualami hari ini. Tak kupedulikan azan itu. Bukankah itu adalah senandung yang biasa di Pulau Seribu Masjid ini ketika waktu shalat sudah tiba. Hatiku sedikitpun tak tergerak untuk bangkit menunaikan shalat isya’ berjemaah di masjid. Padahal masjid hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari kosku.
“Ayo ke Masjid gi’. shalat..!” Iman mengajakku
“Ntar disini aja dah, badan pegel ni, lagian waktu isya’ kan masih panjang” tolakku
“Hmmm” Iman hanya menggeleng dan berangkat ke Masjid tanpa aku.
Iman adalah sahabatku. Kami selalu bersama sejak SMA dulu. Bahkan aku satu kamar dengannya selama tiga tahun di asrama sekolahku dulu. Sekarang pun kami masih bersama. Satu kos. Masing – masing kami berat kalau harus berpisah.
Aku melanjutkan merenung. Entah, apa ini merenung atau apa. Aku mengingat ketika tadi seharian penuh, dari subuh sampai menjelang magrib mengikuti Karisma. Katanya sih kepanjangannya Keakraban dan Orientasi Mahasiswa Baru. ya semacam Ospek lah. Aku mengingat banyak hal. Teriakan, bentakan, ancaman, keharuan, semangat, teman – taman yang banyak, jilbab besar, wibawa, semuanya kuingat.
“Haiiiiiii,,,,, Nunduk kamu, nunduk…!!!” teriakan itu menjadi terbiasa ditelingaku. seharian tadi telingaku sudah bosan dan muak dengan teriakan itu. lagak sok galak panitia. Yang beraninya teriak kalau lagi rame – rame aja. “Coba diluar, aku tantang koe kelahi…” pikirku.
“Kalian adalah generasi harapan, orang pilihan, dan orang terbaik yang dimiliki oleh negeri ini. Di pundak kalian masa depan negeri ini terbebankan” itu secuil dari begitu banyak kalimat – kalimat indah yang kudengar selama dua hari terakhir saat Karisma.
Kepada para mahasiswa
Yang merindukan kejayaan
Kepada rakyat yang kebingungan
Di persimpangan jalan
Kepada pewaris peradaban
Yang ………………………..
Aku menyenandungkan lagu mars mahasiswa yang selama dua hari terakhir akrab kudengar. Aku memaksakan diri untuk menghafalnya selama dua hari terakhir agar tidak dihukum saat di arena Karisma.
“Assalamualaikum….” suara Iman mengagetkanku, sekaligus memaksaku berhenti bernyanyi sembari tersenyum kecil untuk menyembunyikan rasa malu.
“Udah shalat..?” Tanya Iman “Katanya badannya pegel , kok heboh sekali nyanyinya?” aku belum sempat menjawab, Iman nambah pertanyaan, atau ya komentar lah “Ini ni yang namanya bohongin Allah” ia menggantung peci di paku kecil yang tertancap di jendela kamar kos kami.
“He….” aku nyengir, malu.
Aku lalu pergi ke masjid. Shalat. Aneh ya, orang udah sepi baru aku ke masjid. Padahal apa ruginya coba kalau aku keluar dari tadi. Jadi kan aku bisa shalat berjamaah. Tapi emang dasar ya, pemalas. terus kalau diceramahi kenapa gitu, pasti aku dengan gampang menjawab, “Iya nih, syetannya ganggu terus”. Masak iya, semua kejelekan itu sumbernya dari syetan? padahal udah jelas, akunya yang malas.
“Assalamualaikum ustadz,,” suaraku sedikit meninggi. Salam yang tidak tulus.
Aku emang sering manggil Iman dengan sebutan Ustadz. Orang alim itu kan emang sering di panggil ustadz ya..?.
“Waalaikumsalam,,,” Iman tetap menjawab salamku dengan ikhlas.
“Kamu ngapain Man…?, ngeliat apa??” tanyaku. Iman refleks menyembunyikan selembar kertas yang ia pegang.
“Nggak, Cuma kertas biasa kok” jawabnya. Bahasa tubuhnya memberikan informasi bahwa dia menyembunyikan sesuatu dariku.
“Jadi, udah ga mau saling berbagi lagi nih…” godaku. Iman terdiam untuk sesaat dan akhirnya mengeluarkan kertas yang dia sembunyikan.
“Aku kangen gi” dengan mata sayu ia melanjutkan membaca tulisan tangan yang ada di kertas yang dia pegang. ia menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan. Seolah ada sesuatu yang ia keluarkan dari dalam hatinya bersama nafas itu.
Ku ambil kertas itu dari tangannya. Kertas warna warni yang disetiap pojoknya ada gambar – gambar kartun. Ada juga gambar bunga mawar, juga ada gambar jantung yang berwarna. Manis dah pokoknya.
“Aku tidak mau menjadi penghalang perjuangan kakak, tapi yakinlah, hati ini masih sangat mencintaimu kakak” aku membaca dengan keras bait terakhir dari surat itu. Surat cinta yang ditulis Zubaidah, teman kelasku yang tidak lain adalah pacarnya Iman.
“Jadi Ustad juga bisa kangen sama cewek nih..?” aku menggoda
“Ustad juga manusia gi” belanya.
Aku berbaring disebelah Iman. Ia mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Ternyata Fotonya Zubaidah. Iman betul – betul kangen. Raut wajahnya memaksaku untuk berempati.
“Kamu putus ya dulu…?” tanyaku
“iya gi’, ya alasannya kayak yang kamu baca tadi. Padahal hubungan kita kan nggak ngaruh sama perjuanganku”
“Perjuangan…??” tanyaku
“Lho iya, kita kuliah ini kan berjuang gi” jawabnya
“Ooohh…”
“Pinter – pinter tapi bloon juga kamu ya..” jawabnya. Aku nyengir.
“Eh man, ingat mbak yang tadi gak?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan
“Mbak? yang mana?”
“Itu lho, Panitia Karisma tadi, waduh cantik banget ya. Tapi jilbabnya itu lho, kok besar sekali ya?” aku menjelaskan
“Kamu ini ngomong, kayak yang pake jilbab besar dan cantik Cuma satu orang aja. Lebih jelas yang mana?”
“Itu lho, yang negur kita waktu wudlu’ di tempat cewek pas shalat asar tadi…”
Tadi sore ketika jam shalat, aku sama Iman memang terlambat. Jadi kami mengambil air wudlu’ di tempat yang terdekat. Eh ternyata tempat itu, tempat wudlu’nya cewek. Nah disana tadi kita di tegur sama seorang panitia cewek. Subhanallah,,, cantiknya. Udah gitu cara negurnya sopannnnnnnnnn sekali. Meskipun terlihat malu dan matanya mencoba menghindar dari tatapan kami. Huh, mantap emang tu cewek.
“Oooo yang itu. Iya aku ingat. Emang sih cantik. Tapi kayaknya dia wahabi” Iman mulai mengerti yang kumaksud
“Wahabi? apaan tuh..? prasaan pernah denger” Aku pura – pura tidak tahu
“Itu lho, yang kalo shalat subuh ga kunut, terus pakeannya itu, wuh… kayak mbak tadi tu dah” Iman menjelaskan sederhana
“Kalo begitu kenapa dia jadi panitia Karisma? mbak – mbak yang lain juga, hampir semua jilbab besar, kok malah ikut nyanyi pas nyanyiin mars mahasiswa tu…?” aku bertanya penasaran
“Lho, emang kenapa kalo mereka jadi panitia dan ikut nyanyi?” Iman malah nanya balik
“Ya, biasanya kan cewek – cewek alim tu pemalu. Lagian aku pernah dengar ceramahnya Ustadz Salim waktu di sekolah dulu, katanya orang salaf itu mengharamkan nyanyi. Lah, wahabi itu salaf kan…?” meski aku tidak tahu banyak, tapi aku sok tahu menjelaskan.
“Hmmm…. Entahlah…!!” Iman menggeleng. “Udah ah, capek. Istirahat dulu biar besok bangunnya pas subuh” Iman menarik selimutnya lalu menutup pembicaraan kami.
*****
Hari ini adalah hari pertama aku masuk kampus tanpa menggunakan pakaian dan atribut aneh. Tidak ada yang teriak lagi. Tidak ada jalan tiarap. Juga tidak ada lagu – lagu kotor dan jorok seperti kemarin. Saat kami di Ospek. Dua hari di Karisma Unram, dan empat hari di Fakultas. Ospek di Fakultas emang lebih seru. Tapi jujur, aku ngerasa kehormatan dan harga diri kami sebagai manusia di lecehkan oleh senior – senior kami. Padahal setauku, mahasiswa paling sering berteriak tentang HAM dan Demokrasi. Inikah potrat HAM dan demokrasi itu?.
Hari pertama kami di kampus. Aku belum punya banyak teman. Sukiman beda fakultas denganku. Jadi kami ga’ bisa samaan. Hari ini semua sibuk mengisi Kartu Rencana Studi (KRS). Katanya sih itu syaratnya baru bisa ikut kuliah. Aku bingung. Form yang dikasi ribet dan membingungkan.
“Assalamualaikum….” seseorang mendekatiku
“Waalaikumsalam …” Jawabku sekenanya
“sedang ngisi KRS ya…?”
“Iya nih, tapi saya bingung mas, ga’ ngerti”
Rasanya aku kenal orang ini. Aku sering melihatnya ketika Ospek di fakultas kemarin. Yah, meskipun aku ga’ kenal sama dia. Tapi ga’ susah kok kalau mau ngenal dia. Dia punya ciri khas. Janggut yang tipis, selalu senyum, dan tentu saja, bermarkas di mushalla fakultas.
“Oooo… gini caranya mas….” dia menjelaskan panjang lebar. Aku suka gayanya. Dia tidak menggurui, ramah, dan aku betul – betul merasa di perhatikan olehnya. Kulihat di sekelilingku, Mahasiswa baru kumpul di beberapa titik. Lalu ada seorang senior yang menjelaskan tentang bagaimana ngisi KRS. Uniknya, orang – orang ini memiliki ciri dan gaya yang mirip. Yang cowok dengan janggut tipisnya. Ada juga lho yang tebal. Lalu yang perempuan dengan jilbabnya yang seperti jubah. Ah, jilbab besar. Dia mengingatkanku pada kakak senior yang dulu negur aku waktu wudlu’ di tempat cewek saat Karisma Unram. Cantik, anggun, sopan, betul – betul terlihat elegan. Kupikir, tidak aka nada cowok yang berani mengganggu dia.
Aku mulai paham bagaimana ngurus KRS. kami melanjutkan pembicaraan dengan tema lain. Aku beruntung mendapat tutotial sendiri. Ga’ berdesak – desakan seperti teman – teman lain disekitarku.
“Siapa saya bisa panggil mas…?” kakak itu bertanya sopan
“Egi…..” jawabku
“Aslinya dari mana.? kos ya disini…?”
“Lotim kak, disini saya memang nge kos, oya namanya kakak siapa ya?”
“Oh iya ya, maaf saya lupa. nama saya Ridho” dia menjabat tanganku sekali lagi. menatap mataku dengan dalam sambil tersenyum ikhlas.
Kami melanjutkan pembicaraan. Tidak ada topik khusus. Kami bahas apa saja yang terlintas di pikiran. Tapi dia selalu mengarahkan pembicaraan kami pada agama. Aku merasa begitu akrab dengan orang ini. Nyambung aja ngobrol dengannya. Aku baru saja punya teman baru dihari pertamaku. Olehnya, aku diminta ikut sebuah organisasi keislaman. Ya, semacam kelompok studi keislaman begitu. Aku tertarik juga.
“Egi….!!” Siti memanggilku, berteriak dari jauh. Aku menoleh, berbalik arah
“Eh Siti, kamu udah isi KRS?”
“Udah tak kumpulin malah, tadi dibantuin ma kakak yang itu” Siti menunjuk ke arah kerumanan mahasiswa – mahasiswa baru putri yang sedang diajari cara mengisi KRS oleh seorang gadis. Gadis berjilbab besar.
“Yang pake jilbab besar itu?”
“Persis” aku mengangguk. “Oya, nanti sore kamu diminta ke sekolah sama pak sulistyo, katanya kamu diminta ngelatih adik – adik itu LKBB”
“Insya Allah, aku udah ditelpon tadi sama beliau, kamu juga ikut kan?”
“Iya dong, iya sudah ya, aku mau pulang dulu, mau beres – beres. Kan kos baru…!” Siti tidak melanjutkan pembicaraan, dia langsung pergi meninggalkan kami.
Siti memang teman SMA ku. Kami dulu aktif di paskibraka. Organisasi yang dulu mengantarku menjadi Ketua OSIS di sekolah. Sampai sekarang kami sering diminta untuk ngajar adik – adik kelas kami di SMA. Pak Sulistyo adalah Wakil Kepala Sekolah bidang kesiswaan. Aku sangat akrab dengannya dulu.
“Punya banyak teman cewek ya…?” Ridho bertanya, antusias kali ini
“Teman SMA mas” jawabku
“Oooww, ya sudah. Eh, udah azan, salat yuk” Suara azan jelas terdengar dari mushalla fakultas. Tiap kali waktu salat, suara azan ramai terdengar di kampus kami. Soalnya, semua fakultas punya mushalla. Jadi, azannya bersahut – sahutan satu sama lain. Belum lagi yang dari masjid Unram. Ditambah lagi sama masjid warga di sekitar kampus kami. Ramai deh pokoknya. Kami kemudian pergi ke mushalla dengan niat ikhlas untuk shalat. Ibadah yang membedakan Muslim dengan umat lainnya.
*****
Sore itu, aku sedang berolahraga. Berlari mengitari kampus Unram yang cukup luas. Satu putaran saja seukuran dua kilo meter. Uh, jauh juga ya. Aku hanya bisa berlari setengah putaran, ga sanggup kalau sampai satu putaran. Aku bukanlah orang yang rajin olahraga, tapi entah kenapa hari ini aku pengen lari. Jadi ya ku ajak aja Iman untuk lari bersama.
Terengoh – engoh aku berlari melewati langkah demi langkah. Fiskikku memang tak sekuat Iman, dia biasa berlari hingga dua atau bahkan tiga kilo meter. Tapi aku tidak mampu seperti dia. Nafasku mulai keluar masuk dengan cepat, jantungku berdetak tidak normal. Wajar lah, orang sedang lari. Tepat di gerbang kampus, aku memelankan langkahku. Aku tidak lagi berlari, aku berjalan, tapi berjalan dengan cepat. Ku tundukkan wajahku sambil terus berjalan dengan cepat. Suasana sepi ketika itu, hari minggu disore hari. Hanya ada beberapa orang berseragam satpam.
“Boawrrrrrrrrrr…..” tepat di depanku seseorang yang sedang mengendarai motor skutermatic yang sedang ngetren itu jatuh. Aku melompat kebelakang, reflek menghindari motor yang jatuh.
Iman yang sudah jauh meninggalkanku berbalik arah dan menuju kearahku. Bukan untuk menjemputku, tapi untuk menolong orang yang jatuh itu. Motornya berhempas dengan keras memukul badan jalan. Kaki pengendara itu ditindih oleh tubuh berat motor sktermatic miliknya. Ia tak mampu bergerak. Aku belum bisa memastikan siapa orang ini. Kepalanya terlindungi oleh helm cantik berwarna pink. Tubuhnya juga sangat tertutup. Jlbab yang dikenakannya menjulur menutupi seluruh bagian tubuhnya yang bagian atas. Hanya sedikit saja bajunya yang terlihat. Tubuhnya juga diselimuti oleh jaket berwarna merah saga. Warna semangat yang mengandung berjuta harapan. Jaket yang pada lengannya menempel sebuah lambang. Tangan yang kokoh yang menggenggam dunia diatasnya dengan lima tangkai mawar merah menggelilingi tangan itu. Dibawahnya tertulis dengan jelas dan tebal dengan warna biru. KAMMI, itulah bunyi tulisan dibawah tangan yang kokoh itu.
Aku dan Iman mengangkat motor yang menindih gadis itu. Lalu segera aku dekati gadis korban kecelakaan itu. Kupegang lengannya lalu ku tuntun dia untuk berdiri. Dia merintih kesakitan dengan rintihan “aduh…” ia tetap tak bisa berdiri. Kakinya sakit. Tangan kanannya pun tak bisa digerakkan. Kulepas lengan krinya yang tadi kupegang. Lalu kuambil tangan kanannya yang terlihat kaku. Aku memijatnya. Tangan kiriku menekan dengan keras bagian sikunya. Lalu tangan kananku menggenggam telapak tangannya lalu ku tarik dengan penuh perasaan. Harapanku tangannya bisa digerakkan. Sepi. Saat itu benar – benar sepi. Di depan rektorat kampus Unram. Hanya ada aku, Iman dan gadis itu.
“Aduh…” gadis itu terus merintih. Sementara tanganku terus bekerja. Berusaha mengobati tangan yang keseleo itu. Meskipun aku bukanlah ahli dibidang itu.
Iman sibuk menendang – nendang ban depan motor skutermatic milik gadis itu. Bengkok memang. Benturannya terlalu keras.
“Sudah mas, sudah…!!” gadis itu mulai menggerakkan tangannya sendiri. Aku bersyukur. Setidaknya bisa mengurangi rasa sakit pada gadis itu. Meskipun itu hanya perasaanku saja. Aku berniat membantu gadis itu untuk berdiri. Kudekatkan tubuhku, berniat untuk merangkulnya agar dia bisa berdiri.
“Ma’af mas, saya bisa sendiri” dia menghindar.
“Maaf mbak, saya tidak bermaksud….” Dengan terengah – engah dia berdiri. Aku tak melanjutkan apa yang ingin aku katakan. Betapa kagetnya aku, ketika gadis itu membuka helm pinknya. Aku kenal cukup baik wajah yang ada didepanku sekarang. Dialah seniorku dulu yang menegur aku dan Iman ketika wudlu’ di tempat perempuan pada saat Karisma Unram. Dialah gadis berjilbab besar yang sering kuingat ketika melihat gadis lain dengan busana muslimah sepertinya. Dia melihatku dengan raut yang agak kaget. Sepertinya dia masih mengenaliku. Setidaknya mengenali wajahku. Bukan saja karena dia pernah menegurku ditempat wudlu’, tapi juga karena memang aku adalah orang yang paling sering berkomentar dalam Karisma ketika itu. Jadi, kurasa wajahku tak begitu asing bagi semua panitia.
“Terimakasih,,,,” bibirnya merintih mengaduh seraya memagang lengan kanannya. Reflek aku ingin membantunya lagi. “Jangan…!” dia mencegahku. “lain kali, jangan gampang memegang perempuan” dia melanjutkan.
“Ma’af mbak” aku tahu apa yang dia maksudkan. Aku tak lagi berani mendekatinya. Jilbabnya yang besar mengisyaratkan bahwa dia tidak bisa dipegang oleh laki – laki yang bukan muhrimnya. Jelas aja, aku bukan muhrimnya.
“Boleh saya minta tolong lagi?” tanyanya
“InsyaAllah mbak.” Jawabku. Dia tersenyum.
“Maaf sebelumnya. Saya minta tolong panggilin taksi, saya ga bisa pakai motor, tangan saya sakit”
“Saya bisa ngantar kok mbak, nanti biar saya balik pakai bemo” sahutku semangat
“Nggak, seorang lelaki dan perempuan yang bukan muhrim, haram untuk duduk saling berdekatan, apalagi boncengan pakai motor” ia menjelaskan. Sederhana, tapi sangat mengena dihati. Aku teringat ketika dia menjauh saat aku hendak membantunya berdiri tadi. Lah, boncengan saja haram, apalagi dirangkul seperti yang hendak kulakukan tadi. Serta merta aku merasa bersalah. Karena tadi dengan lancang memagang tangannya. Bahkan aku menggenggamnya sangat erat. Sangat erat. Tangan yang halus itu. Tapi demi Allah, tidak ada niat apapun yang muncul ketika aku melakukannya kecuali niat untuk menolongnya.
“Terus motornya gimana mbak?’ Iman yang sedang berdiri disamping motor gadis itu menyahut
“Nah, itu dia. Saya juga minta tolong. Ntar tolong kalian ikuti taksi yang saya pakai, saya mau pulang. Nanti kalian balik kesini pakai taksi itu, saya yang bayar”
“Iya mbak, tunggu aja disini sebentar. Saya pakai motornya ya buat cari taksi” jawabku. Dia mengangguk, bibirnya dihiasi senyum. MasyaAllah, manis sekali. Kutunggangi motor skutermatic itu. Iman naik dibelakangku. Aku memasang helm pink milik gadis itu. Lucu memang, tapi aku harus pakai helm. Lalu kutancap gas, meninggalkan gadis itu, gadis berjilbab besar. Gadis yang sering kubicarakan sama Iman dikamar kosku. Sebuah kejadian yang betul – betul luar biasa.
Aku kembali dengan taksi biru dibelakangku. Taksi pesanan gadis itu.
“Taksinya dibelakang mbak, bentar lagi nyampe”
“Iya, terimakasih ya!” dia tersenyum tipis, tipis sekali. Aku hanya mengangguk.
Taksi biru itu tiba. Supirnya membuka pintu belakang mobilnya.
“Masnya di taksi aja ya, biar motornya dibawa sama mas yag ini, ga apa – apa kan mas?” dia melihat ke arah Iman. Iman mengangguk, tersenyum.
Ia menunduk, mulai masuk dan mengatur duduknya di kursi belakang taksi itu. Aku hendak mengikutinya, duduk dibelakang.
“Eh, masnya didepan aja” pintanya. Aku mengangguk. Sungguh tak kupahami maksudnya. Kupikir aku dimintanya ikut di taksi untuk jagain dia, atau apalah yang mungkin sewaktu – waktu dia membutuhkanku ketika dalam perjalanan. Tapi kok aku diminta duduk didepan. Kenapa dia nggak sendiri aja pikirku.
“Maaf mas, mahasiswa baru kan? Boleh tau namanya siapa?” dia memecah keheninganku yang dalam kebingungan, duduk disamping supir taksi didepan.
“Eh, iya mbak. Nama saya Egi” jawabku
“Oooo. Sebenarnya saya inget sih wajahnya. Cuma kan ga’ tau namanya, masnya masih nanda saya kan?” dia bertanya lagi
“Iya mbak, sangat. Orang kan mbaknya panitia kemarin” kami tersenyum. Kulihat senyumnya dari sepion yang ada tepat didepnku. Sekali lagi, senyum itu manis sekali. Meskipun aku tidak tau apa ukurannya untuk menilai sebuah senyuman itu manis atau tidak. Yang pasti aku hanya merasa senyum itu menenangkan.
“Gini lho mas Egi,” sepertinya dia ingin menjelaskan sesuatu. “supaya nggak salah paham. Saya meminta mas untuk ikut di taksi ini, karena ya, seperti yang tadi saya katakan” dia mencoba menjelaskan pertanyaanku yang tidak pernah kuungkapkan, pertanyaan yang hanya ada didalam hati dan pikiranku. Tapi aku masih tidak mengerti. Apa maksudnya.
“maaf, yang mana mbak ya?”
“hmmm, gini aja. Ada sebuah hadits yang melarang kita untuk berdua – duaan dengan seorang yang bukan muhrim kita. Sebab yang ketiganyaadalah setan” jelasnya. Aku mulai paham, tentu saja tak sepaham dia.
“ooo gitu. Iya mbak saya paham” aku ingat penjelasannya tadi ketika aku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang dengan motornya. Bahwa dua orang laki – laki dan perempuan yang bukan muhrim, haram untuk berdekatan, apalagi boncengan. Pertanyaanku mulai terjawab.
“Kemana ini mbak?” tanya supir taksi. Sepertinya dia sudah paham bahwa yang dia antar adalah gadis itu. Bukan aku.
“Taman Baru pak ya” jawabnya. Supir itu hanya mengangguk. Aku melihat kearahnya. Kumisnya tebal, ditelinganya ada kembang yang sengaja dia selipkan. Tak sengaja kulihat papan nama yang terpasang tepat diatas sakunya. I Made Budiastra. Aku pastikan bahwa dia bukan muslim. Tapi dia harus mendengar pembicaraan – pembicaraan tentang hadits dan Islam didalam taksinya. Tapi kurasa dia cukup toleran. Setidaknya tak sepatah katapun keluar dari mulutnya untuk mengomentari perbincangan kami. Hanya pertanyaan yang sempat keluar tadi. Pertanyaan tentang tujuan taksi.
“Oya mas Egi, mas Egi kuliah di fakultas apa?” gadis itu kembali bertanya padaku
“Pertanian mbak, jawabku. Kalo mbaknya dari fakultas ekonomi kan?” aku bertanya balik
“Loh kok tau?”
“Kan udah di kenalin kemarin pas Karisma” jawabku. Tapi sungguh, tak terbersit sedikitpun dalam benakku untuk bertanya tentang nama. Sungguh na’if.
“Itu pak yang gerbang ijo” dia menunjuk sebuah rumah sekitar lima puluh meter didepan kami. Rumah megah dengan gerbang warna hijau.
Mobil taksi itu berhenti. Gadis itu menyodorkan sejumlah uang kepada sang supir. Lima puluh ribu. Lalu supir itu mengembalikan uangnya ya sekitar sepuluh ribuan.
“tolong anterin mas ini sampai ke tempat tadi pak ya!” pinta gadis itu
“Iya mbak, udah dikasi tau kok tadi”jawabnya santai. Ia menoleh ke arahku
“Oya mas Egi, ini nomor HP saya. Kapan – kapan kalau butuh sesuatu yang kira – kira bisa saya bantu, silahkan hubungi aja ke nomo itu” gadis itu menyodorkanku sebuah kertas bertuliskan nomor – nomor. “HP saya mati tadi, makanya ga’ bisa nelpon keluarga” lanjutnya. Ia membuka pintu taksi lalu keluar. Tak lupa dia ucapkan Assalamualaikum ketika kakinya melangkah keluar dari mobil.
Iman masuk taksi setelah sebelumnya menyerahkan motornya kepada gadis itu. Aku menoleh kearah gadis yang mulai masuk kedalam rumahnya. Meninggalkan motor skutermatic miliknya diluar rumah. Jilbab besarnya yang berwarna putih bersih tak ternodai debu sedikitpun. Ketika jatuh tadi, tubuhnya dilindungi jaket. Jaket berwarna merah saga. Jadi, jilbabnya terlindungi dari kotor. Sungguh putih jilbab itu. Jilbab yang membuat gadis itu terlihat semakin santun, anggun, dan elegan. Dipunggungnya kulihat sebuah tulisan berwarna biru dengan font Monotype corsiva. Tulisan itu berbuny “Menyongsong Generasi Muslim Negarawan”. Taksi itu kemudian mengantarkan kami pulang. Bukan ketempat gadis itu jatuh tadi. Tapi kami meminta supirnya mengantar kami ke kos.
******
Malam ini aku tidak tenang. Aku memikirkan banyak hal. Tapi semuanya tentang kejadian tadi sore. Kejadian ketika gadis berjilbab besar itu jatuh tepat didepanku. Lalu aku mengantarnya pulang kerumahnya. Banyak ilmu baru yang kudapat darinya. Tentang tidak bolehnya dua orang laki – laki dan perempuan untuk saling berdekatan. Terlebih saling bergoncengan. Aku mengingat juga ketika aku memegang tangannya. Berniat untuk memberikan pertolongan pertama pada tangannya yang keseleo. Aku merasa dia sangat membenci apa yang kulakukan itu. Tapi tentu saja dia juga sadar bahwa jika itu tidak kulakukan, mungkin dia tidak bisa langsung pulang tadi sore, bisa saja kami mengantarnya ke Rumah Sakit. Kuingat betapa malunya aku ketika dia melarangku masuk di kursi belakang taksi, lalu memintaku untuk duduk didepan. Tapi tentu dia paham bahwa aku adalah orang baru yang belum paham apa – apa.
Satu hal yang tidak bisa kupahami darinya. Saat dia bangkit dari jatuhnya, dia melihatku dengan agak tercengang, kaget, dan entah kata apa yang pantas untuk mengatakannya. Sepertinya ada alasan lain yang membuatnya begitu. Tapi aku tidak mau GR menanggapinya. Mungkin saja karena dia mengingat wajahku. Dia kan panitia Karisma kemarin.
“Hmmm, mikirkan apa kamu gi’?” suara Iman memecah lamunanku di kos seukuran tiga kali empat meter itu.
“Hee…” aku nyengir kecil “inget kejadian tadi sore Man” lanjutku. Iman berbaring disampingku, menggoda – godaku kecil.
“Ga’ nyangka ya, bisa ketemu dia seperti tadi. Orang yang paling sering kamu sebut, jodoh kali ya”
“Jodoh? ngaca dong. Orang dia lebih tua begitu, udah gitu dia cantik, alim, lah kamu?” aku menggoda balik
“Bukan aku bodoh, tapi kamu”
“Haaaa, Haaaa, Haaaa” aku tertawa terbahak – bahak. Masak iya, aku yang jelas – jelas jauh rentang usianya dengan dia bisa jodoh sama dia. Lagian ga’ ada tu sedikitpun dalam hati ada menjurus kesana.
“Yah, bisa aja kan?” lanjut Iman
“Amin…!!” jawabku, meski tak ikhlas. Kuperhatikan kertas yang dikasi gadis itu sebelum keluar dari taksi tadi. Kertas yang bertuliskan nomor Hpnya.
“Apaan tuh?” Iman ngerebut kertas itu dari tanganku, aku berusaha merebut balik, tapi ia membalikkan tubuhnya, menyembunyikan kertas itu. Kami masih dalam posisi tidur.
“Balikin Man” pintaku
“Eh kenapa kamu ga’ SMS dia gi’?” Iman membalikkan tubuh dan memandang serius kearahku
“Ga’ berani ah, malu Man!”
“Loh kenapa?”
“Ya…… Malu aja!”
“Eh, gini. Kamu Cuma nanya aja, gimana kondisinya dia, mungkin aja kan dia masih sakit” Iman semakin semangat
“Iya dah” aku ngalah setelah cukup lama mempertimbangkan. Apa salahnya sekedar ngirim SMS. Waktu itu tepat pukul 21.00
“Assalamualaikum, apa kabar mbak? Udah sembuh ya? Oya, maaf, kalau boleh tau namanya mbak siapa ya? Tadi lupa nanya. Maaf mbak bila mengganggu. Egi”
*******
“Assalamualaikum, ada SMS masuk…” HP yang diletakkan diatas meja belajar itu bergetar, nadanya berdering dengan suara manusia seperti diatas. Memecahkan lamunan Zahra, gadis berjilbab besar yang sedang terbaring di springbed kamarnya.
Zahra mengambil handphone miliknya, dia baca SMS yang ternyata dari Egi. Ingin sekali dia membalasnya, bagaimana tidak, SMS itu datang ketika pikiran dan prasaannya tertuju pada sang pengirim SMS itu. Segera dia ngetik SMS, ketika hendak dikirim, dia mengingat sesuatu
“Astagfirlah, kalau aku kirim, nanti malah jadi fitnah” Ia mengurungkan niatnya untuk ngirim SMS itu. Ia letakkan HP itu kembali ditempatnya semula.
Gadis itu kembali membaringkan tubuhnya. Dia ingin istirahat. Tangannya yang tadi keseleo, kini sembuh. Sudah normal kembali. Matanya terpejam, tapi hati dan pikirannya masih bekerja. Mengingat kejadian tadi sore. Sebuah kejadian yang mengingatkannya pada salah satu proses terpenting dalam hidupnya dimasa lalu. Egi bukan saja sekadar adik tingkatnya yang paling aktif ketika karisma. Dia baru tersadar bahwa adik tingkat yang pernah dia tegur ketika salah tempat mengambil wudlu’ itu sangat mirip orang yang sangat dia sayangi dimasa lalu.
Hatinya kembali hidup ketika menyaksikan wajah itu masih ada. Wajah itu terahir dilihatnya setahun yang lalu. Ketika kecelakaan maut merenggut nyawanya saat konvoi perayaan kelulusan SMA. Yah, Egi benar – benar mengingatkannya kepada adiknya. Adik kandung yang sangat dia cintai. Satu – satunya saudara kandung yang dia punya. Karena orangtua mereka lebih memilih hanya memiliki dua orang anak saja. Kini ibunya tidak mungkin lagi bisa melahirkan. Walaupun belum memasuki masa menopause, tapi dia telah mengikuti terapi KB secara rutin.
Matanya masih terpejam. Sedikit demi sedikit, mata itu mulai mengeluarkan air. Tak bisa dia lupakan kejadian tadi sore. Bukan Egi yang dia rindukan, bukan. Tapi adiknya yang kini dalam penantian di alam barzah. Namun Egi menjadi perantaranya. Kalau saja wajah itu tidak mirip dengan wajah adiknya, tentu saja tidak akan ada perenungan yang membuahkan air mata malam ini. Adik yang sangat dia cintai. Meskipun ketika dia hidup, tidak jarang keduanya terlibat pertengkaran. Termasuk dihari nyawa adiknya itu dicabut oleh malaikat pencabut nyawa. Tentu saja dia tidak akan pernah mengizinkan adiknya untuk ikut dalam konvoi yang sama sekali tidak ada manfaatnya itu. Tapi Ryan, adiknya ngotot. Itulah yang memancing perkelahian dahsyat ketika itu. Sampai kalimat terburuk keluar dari mulut Zahra. “silahkan pergi, saya do’akan kamu mati dilindas mobil hari ini”. Ryan tak gentar dengan do’a itu. Dia berangkat bersama teman – temannya dan bergabung dengan ribuan peserta konvoi tanpa tujuan yang jelas.
Seluruh badan jalan dipenuhi oleh kendaraan para peserta konvoi. Tentu saja konvoi ini sangat mengganggu pengguna jalan lain. Puluhan polisi berseragam lengkap mengejar kerumunan konvoi. Para peserta konvoi lari tunggang langgang. Dalam keadaan mabuk Ryan juga menancap gas dengan kencang. Ia tak mampu mengendalikan motornya, motor itu kepeleset ketika ia hendak menghindari lubang kecil didepannya. Kepalanya membentur aspal yang licin karena hujan. Belum sempat ia diselamatkan warga yang ada disekitarnya, sebuah Bus pariwisata melaju dengan kencang dari depan. Tanpa ampun bus pariwisata itu menggilas tubuh Ryan. Tubuhnya hancur, bahkan lengan kanannya terpotong tergilas ban bus pariwisata. Sungguh do’a sang kakak itu terkabulkan. Padahal do’a itu tidak ia panjatkan dengan tulus. Yang pasti ini bukan karena do’a itu. Tapi karena memang Allah SWT menghendaki Ryan untuk kembali dengan cara seperti itu.
Sangat mengenaskan tubuh Ryan ketika di evakuasi. Zahra tak kuasa menahan tangis melihat tubuh adiknya yang hancur. Bahkan dia tidak bisa mengenali lagi adiknya itu. Tapi baju yang dikenakannya sudah cukup untuk membuktikan bahwa dia memang Ryan. Seketika Zahra merasa sebagai orang yang paling bersalah ketika itu. Butuh waktu lama untuk mengobati traumanya. Zahra mengalami tekanan batin yang luar biasa. Namun, dia bersyukur karena Allah menuntunnya untuk mendapatkan hidayah dan bergaul dengan orang – orang yang tidak pernah redam semangatnya, menjadikan Allah sebagai muara segala urusan. Hanya kepada – Nya mereka menyerahkan diri.
Ketika dia mulai melupakan kejadian itu. Menyerahkan segalanya hanya kepada allah dan mempersibuk diri dengan aktivitas – aktivitas dakwah di kampus, Egi hadir membawa wajah Ryan. Inilah satu – satunya alasan kenapa Zahra memandang wajah itu cukup lama ketika dia bangkit saat kecelakaan tadi. Tapi ilmu agama yang dia dapat dari tarbiyahnya selama dua tahun meyakinkan dirinya bahwa yang didepannya bukanlah Ryan, tapi orang lain yang bukan mahramnya. Andai saja dia tidak pernah tersentuh tarbiyah, tentu saja saat itu tubuhnya akan memeluk erat tubuh Egi. Tubuh yang fosturnya persis sama dengan tubuh adik yang pernah dia do’akan kecelakaan untuknya. Tapi tidak, itulah karunia Allah kepada orang – orang yang Dia kehendaki.
*******
“Tirt……Tirt…….” HP Nokia tipe 3315 yang tidak lagi bisa mengeluarkan bunyi itu bergetar. Membuyarkan konsentrasiku yang sedang belajar, membaca ulang materi kuliah yang diberikan pekan lalu, bersiap untuk ke kampus. Kuambil HP kesayangan yang selama ini menemaniku melewati mozaik demi mozaik kehidupanku.
“Waalaikumsalam.wr.wb. Alhamdulillah udah sembuh dek, oya ga’ apa – apa kan kalau saya panggil dek? Masalah nama, tak kirain adk udh tau. Maaf ya, saya sngaja ga’ bls smalem, ga’ baik kita SMS-an malem2”
Kutekan tombol atas pada keypad untuk membalas SMS itu. Ibu jari kananku menari dengan lincah, memilih satu demi satu huruf, merangkai kata membentuk kalimat. Aku lepas buku yang aku baca, berkonsentrasi pada SMS.
“Oww gitu ya kak? Kalo kakak manggil adk, adk juga manggil kakak dong, ya kan? Ga’ tau kak, btul. Waktu itu kan terlalu banyak yg di knalkn, jd ga’ ingt namanya kakak. Ayo, kasi tau dah”
“Boleh, boleh. Bahkan kakak anggp adk sndiri”
Jawaban itu singkat, ia belum menjawab siapa namanya
“ya, tapi namanya kakak siapa? Mask adk sama kakak ga’ saling kenal nama sih?”
“Iya ya, ma’af dek, lupa. Nama kakak Zahra”
“kalo blh tau, kakak smstr brapa ya?”
“Kayak diintrogasi rasanya. Iy dh, ga apa2. Smstr 5 dek! Adk ikut organisasi apa saja di kmpus?”
“blum kak,msh bngung. Trlalu banyak organisasinya. Mnrut mbak yag bgus apa ya?”
“Sbnrnya sih trgantung hobinya adk, tapi ada satu organisasi yg bagus disana. Namanya Kelompok Studi Islam (KSI), adk ga’ mau ikut itu?”
“oooo KSI? Emang udh niat sih, cma btuh myaknkan dri aja, takutnya ntr kta dibilangin bid’ah – bid’ahin gitu”
“Heee… stau kakak, itu bkn organisasi yg gampang membid’ah kan org. gini ja dh, coba aja adk masuk dulu disana. Nah ntr klo udh ga pas, ya kluar aja. Gemana?”
“gitu yach? Klo kakak yg bilang gitu, adk coba dh kak. Oya kak, adk mau kuliah dulu ya, 15 mnt lg msuk”
“Iya dh, slamat kuliah ya dk…”
“makasi kak…”
SMS itu menjadi SMS terakhirku untuknya pagi ini. Terkesan sangat manja rasanya. Aku memanggilnya kakak? Tidak ada yang salah memang, bukankah dia memang kakak tingkatku?. Dia adalah kakak tingkat pertama yang kurasa sangat dekat denganku. Ntah karena apa, aku merasa sangat dekat secara emosional dengannya.
*****
Pagi ini Zahra memang tidak ada kuliah. Jam kuliahnya kosong hari ini. Tapi dia ada jadwal rapat sekitar jam Sembilan nanti. Jadi, dia menikmati paginya dirumah sambil menunggu jam Sembilan. Ia tersenyum sendiri. Merasa menemukan kembali sesuatu yang telah lama hilang dari hidupnya. Tak sungkan ia memanggil Egi sebagai adik. Ungkapan itu bukan ungkapan buatan yang diselimuti syahwat seperti kebanyakan yang dialami para remaja. Tentu kita tau, bahwa begitu banyak hubungan adik kakak yang sebenarnya mereka bukanlah adik kakak. Adik ketemu gede, ya itulah realitanya. Hubungan itu kemudian dijadikan alasan untuk saling memanjakan satu sama lain dan membolehkan apa – apa yang Allah larang. Misalkan saja pegangan tangan, atau bahkan salaman dengan pipi. Tapi tidak dengan Zahra. Ungkapan itu lahir dari hati. Panggilan adik yang sudah lama tidak dia ucapkan. Iya sungguh merasa telah mengucapkan itu pada Ryan, adiknya. Ingin rasanya dia memberikan apa yang belum sempat ia berikan kepada Ryan. Ryan meninggal sebelum sempat dia mengenal agama dengan baik. Dia tidak ingin Egi yang menurutnya adalah fotocopi dari Ryan juga seperti itu. Iya ingin membimbing Egi ke jalan dakwah. Setidaknya sepertinya. Ungkapan adik akan membuat mereka jadi dekat, dengan itu dia berharap bisa memberikan kasih sayang kepada Egi. Kasih sayang yang belum sempat ia tunjukkan kepada Ryan, adik satu – satunya yang dia miliki.
“Zahra….!!” Suara itu menyadarkan Zahra dari lamunannya. Suara mama yang berdiri dipintu kamarnya sambil mengetuk pintu.
“Ya ma, bentar” Zahra bangun, membuka pintu kamarnya
“Zahra ga’ ke kampus sekarang?”
“Ke kampus sih ma, kenapa?”
“Oooo, ya dah kalo’ gitu. Tadi mama pikir ga’ kuliah, jadi bisa nemeni mama ke kantor. Ada acara disana” mama Zahra adalah seorang pejabat. Dia kepala Dinas Pertanian Provinsi NTB. Sementara bapaknya adalah seorang dosen, guru besar dibidang pembangunan masyarakat pedesaan.
Mama pergi meninggalkan kamar Zahra. Berangkat ke kantor bersama supir dinasnya. Zahra sendiri dirumah, ditemani pembantu keluarganya. Bapaknya sedang berada di Jakarta. Ada proyek yang harus diselesaikan disana. Wajar lah, namanya juga professor.
*******
BERSAMBUNG......................