Saturday, 22 December 2012

FUTURE TAIWAN-ASEAN RELATIONSHIP, BLESSING OR DISASTER : THEORETICAL ANALYSIS

an Abstract of Paper
BY. Muhammad Nurjihadi

Political status of Taiwan was not clear until now. People’s Republic of China claimed that Taiwan is one of those regions. But in the other side, Taiwan claimed that they are an independent country. Because of China’s economic performance, most countries in the world give their support to China about this conflict. Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) are also give their support to China. More than a support, ASEAN and China make a good relationship in economic with China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA). Moreover, ASEAN also make a good relationship with some East Asian countries like Japan and South Korea. They call it ASEAN+3. This relationship make Taiwan become a marginalized country in the region.

More than marginalized, ASEAN bilateral relationship with other countries in the region make Taiwan suffered economic losses because of increasing transaction cost for accessing international market. This condition encourages Taiwan to build good relationship with ASEAN also. But China always obscured Taiwan’s effort. Many people or scientists believe that ASEAN-Taiwan Free Trade Agreement (ATFTA) will be realized in future. If this relationship will become true, how can this relationship influencing political, economic and social condition in both. Is it will be a blessing for both or exactly it will be a disaster.

Base on theoretical analysis, we make some simulation to show what will be haven if the relationship between ASEAN and Taiwan realized. First simulation is that the relationship will be a good influence for both. Minimization of economic barrier will increase economic interaction between Taiwan and ASEAN. So it will increase investment value from Taiwan in ASEAN and make Taiwan easy to access international market, especially in the region. The second simulation is the relationship will make some problem like political problem (pressuring from china for example, it will increase political tension in the region), economic problem like backwash effect of the relationship, it will make ASEAN suffered economic losses because of Taiwan exploitation in ASEAN resources. So, the relationship between Taiwan and ASEAN in the future is probably create a positive influence (blessing) or probably also create a negative influence (disaster).

Monday, 10 December 2012

Globalisasi: Strategi Hegemoni Ekonomi Negara Maju

Oleh : Muhammad Nurjihadi
Keluarnya Amerika Serikat sebagai pemenang dalam perang melawan komunisme tidak hanya menyebabkan runtuhnya komunisme itu, atau tidak juga sekedar berdampak pada runtuhnya Uni Soviet, tapi juga membuat dunia memasuki periode Pax-Americana. Negara-negara didunia dipaksa untuk mengakui dan melakukan potical adjustment terhadap kekuatan politik dan militer AS dan sekutu-sekutunya. Lebih dari itu, fenomena ini juga membawa pengaruh terhadap bidang ekonomi. Dunia dipaksa untuk masuk secara monolitik kedalam sistem perekonomian neo-liberal yang terlembagakan ke dalam perjanjian-perjanjian internasional, khususnya kedalam organisasi World Trade Organization (WTO) [Damanhuri, 2012].

Secara tegas, Yustika (2011) menyebut globalisasi sebagai instrumen ekonomi politik negara-negara maju dibawah pimpinan AS dalam rangka memapankan posisinya sebagai aktor utama perekonomian global. Bahkan Petras dan Veltmeyer (1998) menyatakan bahwa globalisasi adalah bentuk imprialisme ekonomi baru. Sementara Kissinger (1998) menyebut globalisasi sebagai nama lain untuk dominasi barat (dalam Swasono, 2011). Ide utama dari globalisasi adalah membuat dunia menjadi seragam dimana peradaban barat sebagai acuan yang harus dicontoh dalam segala hal, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya maupun ilmu pengetahuan. Sehingga tidak salah juga jika Frieman (2001) dalam Swasono (2011) menyebut globalisasi sebagai Amerikanisasi.

Dalam perkembangannya, konsep globalisasi justeru mengalami polarisasi yang ditandai dengan lahirnya kelompok-kelompok perdagangan internasional berbasis wilayah atau region yang berprinsip pasar bebas sebagaimana globalisasi. Lahirnya Free Trade Agreement (FTA) antar berbagai negara yang memiliki kedekatan wilayah adalah contoh untuk kasus ini. Dengan demikian, globalisasi tidak lagi hanya menyediakan ruang untuk hegemoni barat (AS) tapi juga menjadi ruang untuk tumbuhnya kekuatan-kekuatan dunia lainnya (Yustika, 2011). Banyak komunitas internasional yang memanfaatkan fenomena dan semangat globalisasi untuk membangun hegemoni komunitasnya di dunia internasional. Meski untuk meraih tujuan itu, komunitas-komunitas internasional itu harus rela terjebak pada sistem ekonomi kapitalis yang menjiwai globalisasi.

Banyaknya kepentingan kelompok/komunitas/negara/peradaban tertentu untuk menjadi dominan dalam kancah dunia di era globalisasi ini melahirkan permasalahan lain. Huntington (2003) bahkan menyebut benturan antar peradaban (Clash of Civilization) tidak dapat dihindari di era globlisasi ini. Sementara Swasono (2011) menyebut fenomena ini sebagai perang idiologi. Perang ide ini untuk sementara memang dimenangkan oleh barat yang terlihat dari hegemoni barat dalam bidang ekonomi, militer, sosial, budaya dan bahkan hegemoni akademis. Di kampus-kampus kita dapat menjumpai pembelajaran ekonomi yang didominasi oleh pandangan-pandangan neoklasik (mainstream neoclassical economics) sebagai bagian dari strategi ekonomi politik global untuk menyebarkan neoliberalisme dan kapitalisme global.

Karena globalisasi menghendaki penyeragaman dalam struktur ekonomi, sosial dan budaya, maka globalisasi berimplikasi pada memudarnya identitas-identitas kesukuan dan etnisitas. Huntington (2003) menyatkan bahwa dalam keadaan dunia yang semakin terglobalisasi, akan terjadi perusakan serius terhadap kesadaran diri pada tingkat peradaban, kemasyarakatan dan etnis. Apa yang dikatakan Huntington diatas dapat kita lihat dalam kehidupan masyarakat dunia saat ini. Sebagian orang di berbagai belahan dunia sudah mengalami kerusakan kesadaran terhadap nilai-nilai kemasyarakatan yang berlaku di komunitas tempatnya berada. Gaya hidup dan praktek ekonomi mereka digerakkan oleh prinsip kapitalisme yang tertanam kuat dalam diri mereka sebagai akibat dari bias neoclassical mainstream dalam pembelajaran ekonomi di sekolah-sekolah dan universitas-universitas.

Fenomena lain dari globalisasi adalah lahirnya Multinational Corporations (MNCs) atau perusahaan-perusahaan multinasional. Bahkan MNCs ini dipandang sebagai salah satu pilar utama dari globalisasi. Argumentasi ini berpijak pada fakta bahwa globalisasi merupakan sebuah konsep ekonomi yang berlandas pada teori ekonomi klasik/neoklasik dengan kebebasan individu sebagai pilar utama. Oleh karenanya, sektor privat (korporasi) dengan skala usaha global diharapkan dapat menjadi instrumen ekonomi yang bisa menjalankan mekanisme pasar dan globalisasi. Upaya tersebut menunjukkan bahwa globalisasi merupakan konsep ekonomi yang berusaha memapankan salah satu sistem ekonomi suatu negara dan menjadikan negara lain sebagai pecundang (Yustika, 2011).

Lebih jauh, Yustika (2011) menjelaskan strategi yang digunakan MNCs dalam menjalankan misinya adalah dengan membentuk pasar oligopoli global. Cara yang lazim dilakukan adalah mengakuisisi perusahaan-perusahaan asing sejenis yang ada di negara-negara miskin atau berkembang. Cara lain yang biasa dilakukan adalah dengan melakukan greenfield investment yang pelan tapi pasti akan mendominasi pasar di negara-negara berkembang atau miskin. greenfield investment ini menyebabkan terjadinya pencaplokan korporasi lokal oleh MNCs sehingga pangsa pasar yang ada di negara berkembang akan sangat mudah dikuasai.

Ide tentang perdagangan internasional sebetulnya diungkap pertama kali oleh David Ricardo melalui teorinya the comparative advantage theory (teori keunggulan komparatif) yang menjelaskan bahwa perdagangan internasional antar negara hanya akan terjadi jika suatu negara memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh negara lainnya. Untuk menjalankan transaksi internasional itu, maka pemerintah harus mendukung dengan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada para pelaku ekonomi untuk mengembangkan bisnisnya tanpa ada hambatan regulasi ataupun kebijakan pemerintah (Sraffa, 1976). Sementara itu, Omerold (1999) memberikan pandangan yang berbeda tentang teori keunggulan komparatif David Ricardo. Menurut Omerold semangat yang terkandung dalam teori keunggulan komparatif itu tidak hanya tentang kebebasan pelaku ekonomi (pasar bebas antar negara), tapi Ricardo menurut Omerold justeru lebih menekankan pada pasar bebas antar wilayah dalam negeri, bukan antar negara. Menurut Ricardo, perdagangan bebas antar negara rentan menimbulkan bubble economic (gelembung ekonomi).

Massifnya modal asing yang masuk dalam perekonomian suatu negara sangat rentan menimbulkan gelembung ekonomi (bubble economic). Investasi asing yang berorientasi jangka pendek menyebabkan proses pembangunan terjadi secara massif, namun setelah profit didapat semua modal yang terakumulasi segera ditarik oleh pemilik modal dan menyebabkan krisis ekonomi di negara tujuan investasi. Krisis ekonomi Indonesia tahun 1998 adalah bukti nyata dari bubble economic sebagai akibat dari sikap mementingkan diri sendiri oleh investor dalam sistem ekonomi pasar bebas. Katakanlah, dibutuhkan waktu hanya 5 menit oleh Warren Buffet ataupun George Soros untuk menarik seluruh modalnya melalui telepon seluler, kemudian dampaknya akan menjadi sistemik dan mengancam eksistensi suatu negara (Supiyanto, 2011).

Gelembung ekonomi dalam era globalisasi ini sangat sulit dihindari. Beberapa sebabnya adalah karena tidak seimbangnya perputaran uang dengan perputaran barang dan jasa. Hal ini terjadi karena maraknya bisnis spekulatif (di dunia pasar modal, pasar valas dan properti) yang tidak diimbangi dengan perputaran arus barang dan jasa. Dalam satu hari, peredaran moneter (uang) diperkirakan berkisar antara 2-3 Triliun dolar AS atau setara dengan sekitar 700 Triliun dolar AS dalam satu tahun. Bandingkan dengan arus perdagangan barang secara internasional dalam satu tahun yang hanya mencapai 7 triliun dolar AS. Jadi, arus peredaran uang 100 kali lebih cepat dari pada peredaran arus barang. Selain itu, gelembung ekonomi (bubble economic) juga sering terjadi karena ketergantungan negara-negara berkembang terhadap hutang luar negeri. Ketika hutang itu terus menumpuk dan tidak mampu dikelola dengan baik menyebabkan hegemoni negara industri maju terhadap negara berkembang (penerima hutang) menjadi semakin parah yang diikuti dengan semakin memburuknya ketimpangan ekonomi (Damanhuri, 2012).