Wednesday 25 September 2013

Agribisnis Tembakau Lombok = Eksploitasi Semu

Oleh: Muhammad Nurjihadi, M.Si

Bagi sebagian masyarakat Pulau Lombok, tembakau tidak sekedar menjadi komoditas ekonomi, tapi juga telah menjelma menjadi tradisi. Tidak peduli untung atau rugi, setiap tahun mereka selalu bergairah mengusahakan tembakau. Ironisnya, beberapa tahun belakangan ini kita lebih sering mendengar keluhan petani yang rugi atau menyisakan hutang di akhir musim tanam tembakau. Komoditas yang selama ini dianggap sebagai pencipta kesejahteraan masyarakat pedesaan Pulau Lombok justeru menjebak para petaninya ke dalam jeratan hutang yang semakin menumpuk dari tahun ke tahun.

Saya ditakdirkan untuk lahir dan besar di lingkungan petani tembakau. Orangtua dan sebagian besar tetangga saya adalah masyarakat pelaku ekonomi tembakau, baik sebagai petani, pengomprong, buruh maupun pemodal. Takdir ini memungkinkan saya untuk memahami dan merasakan segala keluh kesah petani tentang usaha musiman ini. Satu fakta yang sebenarnya tidak masuk akal adalah bahwa petani tembakau selalu mengeluhkan kerugian yang dialaminya pada akhir musim tanam sehingga berujung pada penumpukan hutang. Komoditas tembakau yang merupakan komoditas komersil bernilai tinggi (high value commodity) dan dibangga-banggakan oleh pemerintah daerah NTB sebagai komoditas unggulan ternyata menjebak para petani ke dalam jebakan hutang yang tidak disadarinya.

Rasa penasaran tentang ironi diatas membuat saya melakukan studi khusus untuk mengetahui kenapa komoditas unggulan yang juga dibanggakan masyarakat Lombok ini banyak menjerat petani ke dalam jebakan hutang. Dengan menggunakan 100 orang responden yang tersebar di 10 desa di dua kabupaten, yakni Lombok Timur dan Lombok Tengah, saya menelusuri jawaban untuk pertanyaan penelitian itu. 90% responden menyatakan keluhan yang sama dengan keluhan yang saya dengar di lingkungan tempat tinggal saya, yakni terus menumpuknya hutang produksi dari tahun ke tahun tanpa mampu dibayar. Secara umum saya menemukan setidaknya ada lima faktor yang menyebabkan hal itu terjadi, yakni: (1) Minimnya akses permodalan petani; (2) Kegagalan dalam kontrol pasar; (3) Lemahnya keberpihakan ekonomi politik pemerintah; (4) Maraknya bisnis gelap oknum perusahaan; dan (5) Inefisiensi penggunaan tenaga kerja.

Minimnya akses permodalan membuat petani yang memang miskin dan tidak punya modal itu harus meminjam modal kepada pihak lain dengan bunga tinggi. Modal itu umumnya tidak didapatkan dari lembaga keuangan resmi, melainkan dari pendonor perserorangan. Tidak ada bank yang berkenan meminjamkan modal langsung kepada petani. Akibatnya bunga pinjaman yang harus dibayar petani menjadi sangat tinggi. Sebagian besar responden mengaku meminjam modal dengan bunga hingga 50%. Mereka menyebutnya sebagai “bank 46”, artinya “minjam empat kembali enam” atau dengan kata lain berbunga 50%. Sebagian responden bahkan ada yang menyebut bunga pinjaman mencapai 100% yang mereka sebut sebagai “bank 12” atau “pinjam satu kembali dua”. Bunga pinjaman yang tinggi ini membuat total biaya usahatani menjadi sangat tinggi. Laporan-laporan analisis usahatani tembakau yang dibuat pemerintah maupun perusahaan selama ini mengabaikan fakta ini. Akibatnya menurut perhitungan dalam laporan itu, petani selalu untung dalam usahataninya. Hal inilah yang menyebabkan laporan usahatani itu selalu bertolak belakang dengan realitas sosial ekonomi petani tembakau.

Ekspektasi berlebihan masyarakat Pulau Lombok terhadap usahatani tembakau telah banyak mempengaruhi prilaku sosial ekonomi masyarakat. Setiap tahun semakin banyak masyarakat yang tertarik untuk ikut mengusahakan tembakau. Akibatnya kebutuhan lahan untuk budidaya tembakau semakin meningkat. Pasar merespon peningkatan permintaan lahan ini dengan meningkatnya harga sewa lahan. Peningkatan biaya sewa lahan itu kemudian berakibat pada peningkatan biaya produksi secara keseluruhan. Itu juga berarti penurunan tingkat keuntungan petani. Kegagalan dalam mengontrol pasar juga terjadi pada saat pemasaran hasil (tembakau krosok). Petani sering kali mendapatkan harga yang rendah ketika menjual tembakaunya karena alasan over supply, dan sebagainya. Kondisi itu membuat penerimaan petani menjadi rendah sementara biaya yang dikeluarkan dalam proses produksinya tinggi. Hal itu tentu saja membuat keuntungan petani menjadi rendah.

Secara global, komoditas tembakau merupakan salah satu komoditas penting yang nilai pangsa pasarnya mencapai US$ 378 Milliar. Negara-negara penghasil tembakau terbesar di dunia seperti China, Amerika, Brazil, Jepang, dan lainnya selalu berusaha untuk menguasai pangsa pasar tembakau di negara lain, termasuk di Indonesia. Untuk mewujudkan misi penguasaan pangsa pasar Indonesia itu, maka kekuatan ekonomi tembakau global itu harus mampu melemahkan atau bahkan mematikan produksi lokal. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan menjual produk tembakaunya dengan harga yang lebih rendah daripada harga tembakau lokal. Lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap petani tembakau lokal dalam bentuk pengetatan impor membuat misi asing dalam menguasai pangsa pasar tembakau lokal semakin mudah. Saat ini tembakau virginia yang berasal dari China merupakan pesaing utama tembakau virginia Lombok. Meski tembakau Lombok memiliki kualitas yang jauh lebih baik, namun harga tembakau China yang jauh lebih rendah membuat pasar tembakau virginia Lombok menjadi kian terbatas. Hal ini terbukti dengan semakin berkurangnya kuota pembelian perusahaan dari tahun ke tahun. Penurunan kuota pembelian tanpa pengurangan produksi oleh petani membuat kondisi “over supply” menjadi fenomena tahunan yang seolah mengabadi. Parahnya, setiap klaim over supply itu muncul akan selalu berakibat pada penurunan harga tembakau di level petani.

Tidak cukup dengan itu, petani tembakau sejauh ini banyak mengalami kerugian juga karena adanya praktek bisnis gelap yang dilakukan oleh oknum perusahaan. Oknum yang dimaksud disini adalah petugas perusahaan, baik Penyuluh Lapang (PL), grader, satpam atau bahkan lembaga perusahaan itu sendiri. Bisnis gelap itu dilakukan dengan ‘jual beli kuota’, sogok menyogok dalam aktifitas penjualan tembakau krosok dan atau kecurangan yang dilakukan dalam bentuk kebijakan resmi perusahaan. Semua responden yang bermitra dengan perusahaan mengeluhkan adanya jual beli kuota itu. Kuota penjualan yang mereka dapatkan dari perusahaan dijual ke pihak lain tanpa sepengetahuan mereka. Keluhan petani mitra ini dikuatkan dengan pengakuan petani-petani swadaya yang mengaku harus membayar sejumlah uang tertentu kepada oknum perusahaan jika ingin menjual tembakaunya langsung ke perusahaan. Karena pembelian tembakau dilakukan perusahaan dengan berbasis kuota yang telah disepakati diawal, seharusnya perusahaan hanya membeli tembakau dari petani mitranya dengan batasan kuota yang telah disepakati diawal. Namun penjualan kuota yang dilakukan oknum perusahaan memungkinkan petani swadaya untuk menjual tembakaunya ke perusahaan dengan konsekuensi harus membayar sejumlah uang tertentu kepada oknum perusahaan tempatnya menjual produk tembakaunya.

Terakhir, faktor yang menyebabkan rendahnya keuntungan petani itu adalah inefisiensi dalam penggunaan tenaga kerja. Kebanyakan petani mempekerjakan buruh tidak dengan seperangkat aturan profesional, melainkan dengan mengikuti tradisi atau kebiasaan masyarakat. Akibatnya buruh yang dipekerjakan petani sering kali datang terlambat dan pulang cepat. Selain itu, banyaknya petani juga membuat kebutuhan akan buruh meningkat tajam. Tidak mudah bagi petani untuk bisa mendatangkan buruh karena harus bersaing dengan petani lainnya. Persaingan dalam perebutan buruh ini membuat nilai upah buruh meningkat. Peningkatan nilai upah ini tentu meningkatkan biaya operasional petani.

Semua faktor diatas menunjukkan bahwa petani tembakau lemah (atau bahkan mungkin diperlemah) pada dua aspek sekaligus, yakni aspek produksi dan aspek pemasaran. Minimnya sumber permodalan, tingginya biaya sewa lahan dan upah buruh membuat biaya operasional petani menjadi tinggi. Sementara di sisi lain, gempuran tembakau impor dan adanya bisnis gelap oknum perusahaan membuat harga jual tembakau petani menjadi rendah. Akibatnya keuntungan yang diterima petani menjadi sangat rendah atau bahkan rugi. Hal inilah yang menyebabkan kenapa setiap tahun petani lebih sering menghitung hutang daripada menghitung untung dalam usaha agribisnis tembakaunya.

Pertanyaan lain yang muncul adalah, kenapa petani tetap mengusahakan tembakau jika ternyata setiap tahun mereka mengalami kerugian?. Hal ini disebabkan karena petani telah mengalami ketergantungan terhadap usahatani tembakau ini. Ketergantungan itulah yang membuat usahatani tembakau menjadi tradisi ekonomi bagi sebagian masyarakat Pulau Lombok. ketergantungan itu disebabkan karena tidak adanya alternatif usaha lain yang menjanjikan, adanya setting sosial budaya yang mendorong petani untuk terus mengusahakan tembakau, serta ekspektasi berlebihan masyarakat terhadap usahatani tembakau. Setting sosial budaya yang dimaksud dapat terjadi secara alamiah sebagai respon sosial atas fenomena ekonomi tembakau atau bisa juga terjadi dengan cara disengaja (by design) oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingannya. Ketergantungan inilah yang menyebabkan petani tetap mengusahakan tembakau meskipun mereka tau dengan pasti bahwa setiap tahun mereka lebih sering menghitung hutang daripada menghitung untung. Kondisi ini sama artinya dengan melakukan eksploitasi terhadap diri sendiri (self exploitation) yang bersifat tersembunyi (hidden exploitation). Bahkan jika terbukti bahwa setting sosial budaya yang dijelaskan diatas merupakan setting yang disengaja (by design), maka eksploitasi itu sesungguhnya dilakukan oleh pihak lain terhadap petani tembakau Pulau Lombok.