Friday 10 February 2012

REFORMA AGRARIA INDONESIA, ANTARA WACANA, KEPENTINGAN DAN KONFLIK IDIOLOGIS

oleh : Muhammad Nurjihadi, SP

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Semangat reforma agraria selalu menjadi isu sentral yang mempengaruhi kondisi sosial – ekonomi – politik suatu bangsa sejak ribuan tahun silam. Sebagai contoh, dalam kitab perjanjian lama karya Leviticus diatur bahwa dalam setiap 50 tahun sekali terdapat tahun “jubilee” yang mana pada tahun ini dilakukan redistribusi penguasaan tanah. Dalam beberapa literatur cina kuno banyak disebut tentang redistribusi tanah tiga tahun sekali. Demikian juga dalam sejarah Yunani kuno, Romawi kuno, mesir kuno masa kejayaan Islam hingga masa modern saat ini, isu reforma agraria mendominasi pengaruh sosial politik suatu bangsa. Dari masa ke masa, tentu saja istilah, definisi, konsep serta makna reforma agraria itu berbeda – beda. Bahkan sampai saat ini, setelah ribuan tahun peradaban umat manusia belum ada kesepakatan para ahli tentang istilah, definisi, konsep serta makna reforma agraria. Sebagian ahli menyebutnya sebagai landreform, agrarian development, dan lain – lain (Komisi Agraria SBD, 2004).

Dalam pemaknaannya, sebagian ahli berpendapat bahwa kata agraria yang dimaksud dalam reforma agraria hanyalah sebatas pada masalah – masalah pertanian seperti penguasaan lahan pertanian, produksi pertanian, hingga pemanfaatan sarana prasarana pertanian. Disamping itu, beberapa ahli yang lain berpendapat bahwa agraria yang dimaksud dalam konsep reforma agraria adalah segala sesuatu yang menyangkut lahan, tumbuhan, kekayaan alam, dan lain sebagainya. Dengan kata lain agraria yang dimaksud adalah Sumber Daya Alam (SDA). Sebagian ahli yang lain lagi berpendapat bahwa makna agraria itu hanya sebatas pada redistribusi penguasaan tanah (KA SBD, 2004).
Sejarah reforma agraria di Indonesia telah dimulai sejak zaman kerajaan ratusan tahun lalu. Penguasaan lahan secara mutlak oleh Negara (raja) menjadi ciri khas kebijakan agraria saat itu. Rakyat secara sukarela bersedia untuk mengerjakan lahan Negara tersebut dengan memberikan sejumlah upeti berupa hasil panen kepada pemerintah (raja) sebagai sewa. Meski terkesan feodal, tapi tidak ada protes terhadap konsep tersebut, sebab rakyat memahami bahwa raja merupakan wakil dewa di bumi dan dewa merupakan pemilik seluruh bumi dan seisinya. Perubahan pola berpikir dalam sector agraria mulai terjadi setelah kolonial masuk untuk menguasai sumberdaya agraria Indonesia.

Pada masa kolonial, kekuasaan raja dalam mengeksploitasi sumberdaya alamnya kian terbatas. Hal ini karena pemerintah kolonial menggunakan kekuatan militer untuk memaksa rakyat dan raja - raja Indonesa ketika itu untuk tunduk kepada mereka, terutama dalam eksploitasi sumberdaya alam. Rakyat dijadikan sebagai budak yang harus menyerahkan seluruh hasil panennya kepada pemerintah. Sikap – sikap ketidakadilan ini melahirkan hasrat untuk merdeka. Itulah awal terkonsolidasikannya kekuatan rakyat untuk berperang melawan militer penjajah. Semangat untuk menguasai kembali sumber – sumber agraria menjadi factor paling dominan dalam mengerahkan kekuatan masa rakyat ketika itu.

Setelah Indonesia meraih kemerdekaan pada pertengahan abad ke 20, pemerintah republik yang baru ini berusaha untuk mengatur ulang konsep penguasaan tanah dan sumber – sumber agraria lainnya oleh rakyat. Konflik idiologis yang berujung pada perang saudara dimasa pemerintahan Soekarno menjadi salah satu bukti bahwa negeri ini masih memiliki masalah tentang konsep kenegaraan dan penguasaan sumber – sumber agrarianya. Pecahnya konflik horizontal ketika itu salah satunya disebabkan juga oleh penguasaan tanah secara paksa oleh sebagian rakyat yang dimobilisasi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Sementara itu, mayoritas rakyat yang tanahnya dirampas adalah tanah wakaf masyarakat muslim. Konflik idiologis ini berakhir tragis dengan tewasnya ratusan ribu bahkan jutaan orang. Sejak saat itu, PKI tidak lagi memiliki tempat didalam hati masyarakat Indonesia.

Sebagian sejarawan berpendapat bahwa nekatnya para petani yang dimobilisasi PKI untuk melakukan perampasan tanah disebabkan oleh lambannya pemerintah dalam melakukan reforma agraria. Sementara itu disisi lain pemerintah sulit melakukan reforma agraria karena adanya perbedaan pendapat tentang konsep redistribusi lahan pertanian. Dua idiologi yang saling bertentangan dengan keras ketika itu adalah komunis dan Islam. Setelah melewati proses yang berliku dan menelan korban jiwa, PKI akhirnya dibubarkan. Istilah reforma agraria yang sebelumnya diusung oleh PKI menjadi stigma negatif bagi rakyat Indonesia. Reforma agraria selalu identik dengan PKI dan PKI dianggap sebagai musuh rakyat Indonesia.

Karena latar belakang historis yang kelam itulah, para pemimpin negeri ini pasca lengsernya Soekarno sangat berhati – hati dalam menggunakan istilah reforma agraria. Setiap orang atau instansi yang mengusung ide reforma agararia selalu dikait – kaitkan dengan komunis. Begitu sensitif rakyat negeri ini dengan kata komunis. Trauma historis, itulah penyebabnya. Sementara itu, sektor agraria yang merupakan mayoritas aktifitas ekonomi Indonesia harus dapat diatur sedemikian rupa dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, para pemimpin, politikus, dan tokon di negeri ini mencoba merumuskan istilah baru untuk dijual sebagai wacana kepada rakyat. Belakangan muncullah istilah redistribusi tanah yang dianggap memiliki pengertian sama dengan landreform serta pembangunan pertanian (agrarian development) sebagai pengganti reforma agraria.

Dalam perjalanannya, istilah redistribusi tanah dan pembangunan pertanian tak kunjung menemukan konsep yang ideal. Hal ini disebabkan karena terjadi konflik kepentingan dan idiologis dalam perumusan konsep tersebut. Dalam penyusunan konsepnya pemerintah dan parlemen harus mengakomodir kepentingan pengusaha (investor) yang cenderung kapitalistik, kepentingan kebutuhan ekonomi rakyat, kepentingan sosial rakyat serta eksistensi dan posisi Negara. Sangat sulit mencari formulasi ideal agar semua kepentingan itu terakomodir. Inilah akar konflik agraria yang terjadi saat ini di negeri tercinta Indonesia. Jadilah isu reforma agraria sebagai wacana belaka tanpa ujung.

1.2. Masalah
Sebagai Negara agraris, regulasi atas sektor agraria yang adil, memihak kepada rakyat kecil serta tidak bertentangan dengan karakter dan budaya rakyat mutlak diperlukan. Itulah sebabnya, isu redistribusi lahan ataupun reforma agraria menjadi isu strategis yang kerap diangkat ketika Pemilu tiba. Wacana reforma agraria ini tak kunjung berbuah dengan implementasi kebijakan yang real dan adil karena dihadapkan pada berbagai kepentingan dan perbedaan pandangan idiologis. Reforma agraria, sebuah kebutuhan yang hanya menjadi wacana sebagai korban kepentingan dan perbedaan pandangan idiologis. Sungguh ironis.

II. PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Reforma Agraria Indonesia
Pola pembagian wilayah yang menonjol pada masa awal kerajaan - kerajaan di Jawa adalah berupa pembagian tanah ke dalam beragam penguasaan atau pengawasan, yang diberikan ke tangan pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh raja atau yang berwenang di istana. Agaknya, pada masa itu konsep "pemilikan" menurut konsep Barat ("property", "eigendom") memang tidak dikenal, bahkan juga bagi penguasa. Karena itu tanah-tanah tersebut bukannya "dimiliki" oleh pejabat-pejabat atau penguasa, melainkan bahwa para penguasa itu dalam artian politik mempunyai hak jurisdiksi atas tanah-tanah dalam wilayahnya yang dengan kekuasaan dan pengaruhnya dapat mereka pertahankan, dan secara teoritis juga mempunyai hak untuk menguasai, menggunakan, ataupun menjual hasil-hasil buminya sesuai dengan adat yang berlaku. Kemudian ada juga tanah-tanah yang diperuntukkan bagi kepentingan keagamaan. Barulah sisanya diperkirakan merupakan wilayah pedesaan yang belum begitu jelas bagaimana organisasi di dalamnya.

Pada masa akhir kerajaan Mataram penguasaan tanah oleh para pejabat terutama dibagi atas dasar sistem appanage yaitu suatu bentuk penguasaan dimana penggunaan atas tanah itu dihadiahkan kepada para pejabat dengan syarat kewajiban membayar upeti kepada penguasa pusat, dalam bentuk sebagian hasil bumi yang dikumpulkan dari para petani. Ketika Belanda (VOC) datang di Indonesia dan terutama sejak tahun 1677 ketika Mataram menjadi daerah protektorat VOC, maka sejak itu peranan pejabat-pejabat daerah sedikit demi sedikit menjadi berubah. Pada masa pertengahan abad-18, ketika VOC memperoleh kekuasaan monopoli perdagangan, Belanda berfungsi sebagai perantara antara berbagai pejabat daerah dengan raja, karena para penguasa daerah itulah yang menjamin penyerahan hasil bumi dari rakyat. Dengan menarik para penguasa daerah ke dalam pengaruhnya maka pada hakekatnya Belanda berhasil membuat agar penyerahan hasil bumi dilakukan langsung kepada VOC, dan dengan demikian mengkonsolidasikan kekuasaannya.

Kebijakan agrara di Indonesia dimulai pada zaman Raffles dengan teori domein-nya yang menerapkan sistem penarikan pajak bumi (1811); kemudian dilanjutkan pada zaman kolonialisme Belanda yang dipelopori Gubernur Jenderal Van den Bosh yang menerapkan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa (1830); dan kemenangan kaum liberal di Belanda yang ingin mengubah sistem tanam paksa di negeri jajahannya menjadi dalam bentuk undang-undang yang disebut Regerings Reglement (1848). Selanjutnya yang terpenting adalah tahun 1870 ketika lahir Agrarische Wet 1870 yang di antaranya memuat agrarische besluit (keputusan tentang pertanahan) yang menyatakan domein verklaring (pernyataan tentang kepemilikan) yang mengalami legalisasi dominasi negara atas sumber-sumber agraria di Indonesia.

Kemudian, baru pada tahun 1960 Republik Indonesia sebagai negara merdeka berhasil memiliki undang-undang yang mengatur sumber-sumber agraria. Pada masa pemerintahan Soekarno telah lahir apa yang dikenal sebagai UUPA 1960 sebagai peraturan pokok agraria secara nasional. Dibuatnya UUPA 1960 ini didasari dengan semangat reforma agrarian pasca kemerdekaan politik Indonesia. Pada era Orde baru (orba), banyak pengamat menyimpulkan bahwa rezim Orba dengan sadar dan sistematis memandulkan semangat populisme yang dikandung UUPA 1960. Lebih jauhnya, penguasa Orba dengan sangat kasat mata mengkhianati semangat yang diamanatkan UUPA 1960 yakni "tanah untuk penggarap". Itu tampak dalam tindakan Orba mengeluarkan berbagai regulasi (UU dan peraturan pelaksanaannya) untuk memfasilitasi kaum pemodal besar ketimbang melindungi kepentingan rakyat kecil yang mati-hidupnya nyata-nyata dari hasil pengolahan tanah, seperti kaum tani, nelayan, dan masyarakat adat. Tanah mereka itulah justru yang digusur untuk kepentingan pemodal besar.

Bergulirnya era reformasi menghendaki juga reforma agraria sebagai salah satu prioritas untuk dilaksanakan. Hal ini ditegaskan dalam Ketetapan MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Namun sejak dikeluarkan tahun 2001, reforma agraria masih belum bisa diimplementasikan dengan segera karena berbagai kendala yang ada baik menyangkut kesiapan teknis pelaksanaan dilapangan maupun perangkat aturan yang cenderung masih saling tumpang tindih. Reforma Agraria sudah mendesak dilaksanakan untuk memotong laju kemiskinan yang makin mengkhawatirkan. Sebagian besar tanah di Indonesia kini dikuasai para pemilik modal, sementara kepemilikkan tanah para petani semakin menciut (Joyo Winoto, Tempo 10 Desember 2006).

2.2. Wacana Reforma Agraria
Lepasnya Indonesia dari belenggu penjajahan pada pertengahan abad ke – 21menyisakan berbagai permasalahan pelik. Salah satu permasalahan yang timbul adalah masalah agraria. Para pendahulu negeri ini memahami betul bahwa konsep dan pola agraria yang diberlakukan semasa pemerintahan kolonial sangat merugikan rakyat kecil di pedesaan. Oleh sebab itu, meski disibukkan oleh aktifitas militer untuk mempertahankan kemerdekaan, Soekarno dan para pendiri bangsa saat itu terus berupaya untuk merumuskan kebijakan agraria yang berkeadilan. Besarnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) ketika itu turut meramaikan wacana reforma agraria di negeri ini. Sejak awal berdirinya negara ini, semangat reforma agraria tidak pernah mati hingga saat ini.

Wacana reforma agraria dimasa orde lama disampaikan oleh Soekarno dalam berbagai kesempatan. Pada acara peringatan proklamasi kemerdekaan RI ke 15 tahun 1960, Soekarno berkata :
“Sesuai dengan hakekat revolusi yang menjebol dan membangun, apakah yang harus kita jebol dan bangun dewasa ini dan di masa datang! Djarek men-jawab bahwa apa yang kita jebol sekarang adalah imperialisme dan feodalisme untuk membangun Indonesia Merdeka penuh yang demokratis. Dan ini merupakan syarat pertama yang mutlak guna selanjutnya menjebol penghisapan atas manusia oleh manusia untuk membangunkan Sosialisme Indonesia. Revolusi Indonesia tanpa Landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi. Melaksanakan landreform berarti melak-sanakan satu bagian mutlak dari Revolusi Indonesia. Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan dari modal asing terhadap Rakyat Indonesia”

Pada tahun 1960 ini, untuk pertama kalinya Indonesia berhasil merumuskan dan mengesahkan undang – undang agraria yang dikenal dengan Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Lahirnya undang – undang ini diharapkan dapat menjadi undang – undang induk agraria di masa depan. Berbagai peristiwa kekisruhan politik saat itu membuat realisasi dari UUPA ini tersendat – sendat. PKI sebagai pengusung gagasan landreform berupaya untuk merebut paksa tanah – tanah milik yang selama ini dikuasai oleh individu atau golongan tertentu. Ironisnya, tanah yang dirampas PKI itu justru sebagian besar adalah tanah wakaf kaum muslimin. Sikap PKI yang memaksa ini kemudian mendapatkan reaksi keras dari kalangan kaum muslimin. Konflik horizontal pun tak dapat dihindarkan. Perang saudara ini menewaskan ratusan ribu bahkan jutaan orang dan berujung pada pembubaran PKI serta pengambilalihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto.

Sikap PKI yang memaksa untuk melakukan landreform yang kemudian berujung perang saudara menyisakan stigma negatif terhadap PKI dan gagasannya dimasa orde baru. Gagasan reforma agraria dianggap sebagai gagasan PKI yang kemudian menyebabkan konflik. Kondisi ini diperparah dengan berbagai kampanye negatif pemerintah orde baru terhadap PKI dan orde lama. Hal ini menyebabkan UUPA 1960 benar – benar mandul dan tidak berfungsi. Gagasan reforma agraria yang terkandung dalam UUPA 1960 dialihkan dengan istilah pembangunan pertanian dibawah payung besar gagasan “pembangunan” Soeharto.

Tahun 1998 menjadi tahun menyakitkan bagi Soeharto. Saat itu, rakyat yang sudah ia pimpin selama lebih dari 30 tahun memaksanya untuk mundur dari kursi nyaman presiden. Sikap politik yang dikembangkan Soeharto semasa memerintah, terutama dalam hal agraria menumbuhkan struktur agraria yang tidak berkeadilan. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai gerakan rakyat yang mencoba merebut kembali tanah – tanahnya yang dirampas Soeharto dan investornya. Media massa ramai memberitakan tentang konflik agrarian itu. Semakin diberitakan media, semakin banyak kelompok masyarakat lain di seluruh Indonesia yang melakukan aksi serupa. Upaya perebutan kembali tanah miliknya oleh rakyat menjadi ciri khas masa transisi reformasi Indonesia.
Menyadari semakin meluasnya konflik agraria membuat pemerintah dan para politikus memberikan perhatian khusus terhadap isu ini. Istilah reforma agraria pun kembali ramai diucapkan oleh para politikus. Wacana reforma agraria kembali menggeliat dan menjadi isu strategis untuk dimainkan dalam upaya memenangkan pertarungan politik di kancah Pemilu. Rezim Gus dur, Megawati hingga rezim SBY yang berkuasa saat ini juga menggunakan isu reforma agraria sebagai senjata pemenangan meski dengan pengistilahan yang berbeda. Sampai saat ini, reforma agraria tidak pernah terjadi. Reforma agrarian tetap hanya menjadi wacana, wacana dan wacana untuk menghibur rakyat Indonesia yang sudah resah dengan permasalahan agraria.

2.3. Kepentingan Dalam Reforma Agraria
Reforma agraria menjadi sebuah wacana yang hangat diperbincangkan tidak kunjung terealisasi di negeri ini. Banyaknya kepentingan menjadi penghalang utama kenapa isu reforma agraria tidak juga dapat direalisasikan. Jangankan terealisasi, konsep yang jelas dan baku sebagai standar realisasi pun belum dapat dirumuskan oleh negeri ini. Terhalangnya perumusan konsep ini disebabkan karena terlalu banyaknya pihak yang berkepentingan dan berupaya mempengaruhi hasil konsep agraria yang dibuat. Tentu saja hal ini dilakukan untuk mengamankan posisi serta mempertahankan status quo kelompok tertentu. Beberapa kepentingan yang saya maksud diantaranya adalah :

1. Pengusaha / investor
Sebagai seorang pengusaha, tentu saja motivasi utamanya adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar – besarnya. Sektor agraria dengan pengertiannya yang luas merupakan sumber penghasilan para pengusaha. Jika gagasan reforma agraria sebagaimana yang tercantum dalam UUPA 1960 dilakukan tentu saja akan merugikan para pengusaha. Dengan demikian, para pengusaha tersebut berusaha melakukan segala daya dan upaya untuk mempengaruhi konsep agraria yang dirumuskan pemerintah maupun parlemen. Termasuk diantaranya adalah dengan memberikan uang sogokan kepada para perumus konsep agraria itu.

2. Politikus
Pada dasarnya para politikus itu menjadi politikus untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Dengan kata lain untuk mempertahankan status quo atau kepentingan individu dan kelompoknya. Panggung politik Indonesia diwarnai dengan berbagai idiologi politik. Mulai dari idiologi Islam, nasionalis sekuler, hingga sosialis dengan berbagai bentuknya. Untuk mengamankan posisi atau status quo golongan yang diwakilinya, para politikus (yang berperan dalam merancang konsep agraria) akan berusaha memasukkan kepentingannya dalam rumusan yang dibuat itu. Inilah yang menjadi penghalang terbentuknya rumusan reforma agraria di Indonesia. Meski demikian, perlu diketahui bahwa UUPA 1960 juga merupakan produk kepentingan dari PKI.


3. Petani / rakyat kecil
Petani sebagai pelaku utama serta sasaran utama kebijakan agrarian tentu saja memiliki kepentingan dalam rumusan agraria. Sebagai golongan yang termarjinalkan, petani tidak punya akses untuk ikut merumuskan rumusan agraria itu. Sehingga para petani hanya mampu berharap agar kepentingan – kepentingan besar mau mengakomodir kepentingan mereka. Meski demikian, para petani umumnya memperjuangkan kepentingannya ini dengan melakukan aksi – aksi massa untuk memberikan pressure kepada pemerintah seperti dengan demonstrasi, mogok kerja buruh, dll.

2.4. Reforma Agraria dan Benturan Idiologis
Setelah Indonesia mendapat pengakuan kemerdekaan dari Belanda pada tahun 1949, Indonesia dihadapkan pada masalah politik baru. Front – front perjuangan rakyat yang sebelumnya berjuang untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan justru menjadi kekuatan politik pemberontak negara. Hal ini disebabkan karena kekecewaan kelompok – kelompok pemberontak tersebut terhadap pemerintah dibawah pimpinan Soekarno yang lebih dekat dengan PKI. Pada dekade tahun 1950-an, negara membentuk badan konstituante yang bertugas untuk merancang konstitusi baru Indonesia. Selama Sembilan tahun, badan ini tak kunjung menemui kesepakatan tentang konstitusi negara karena perbedaan pandangan idiologis. Masalah agraria, menjadi salah satu poin pembicaraan yang cukup alot ketika itu. Puncaknya, pada tanggal 17 agustus 1959 presiden mengeluarkan dekrit yang salah satu isinya adalah membubarkan badan konstituante tersebut.

Bubarnya badan konstituante semakin memperparah benturan idiologis antar golongan ketika itu. Masyumi sebagai golongan Islam terbesar dibubarkan Soekarno dengan alasan yang tidak begitu jelas. Dibubarkannya Masyumi menimbulkan pemberontakan baru dari golongan Islam kepada pemerintahan Soekarno. Sementara itu, disisi lain PKI semakin impresif melakukan upaya – upaya propokatif untuk berkuasa penuh di Indonesia. Salah satu langkah yang diambil PKI adalah dengan merampas tanah – tanah wakaf milik kaum muslimin untuk dimanfaatkan secara komunal. Seruan perlawanan atas nama “jihad” dikumandangkan oleh hampir seluruh organisasi massa Islam. Akibatnya perang saudara tidak dapat terhidarkan. Kondisi diperparah dengan pernyataan perang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) kepada PKI dibawah pimpinan Jenderal Soeharto. PKI dan massa-nya kian terpuruk, ratusan ribu PKI dilaporkan meninggal dalam tragedi itu. Bahkan laporan lain menyebutkan jumlah angka yang mengejutkan, 1.500.000 orang PKI meninggal. Secara struktur PKI pun dibubarkan dan menjadi partai dan idiologi terlarang di Indonesia.

Setelah Soeharto mengambilalih kekuasaan dari Soekarno yang dianggap komunis, Soeharto menerapkan asas tunggal idiologi bangsa yang disebut idiologi/asas pancasila. Dalam prakteknya, asas pancasila yang dimaksud Soeharto justeru lebih tepat disebut sebagai idiologi kapitalis. Dengan selogan pembangunan, Soeharto menipu rakyat Indonesia dengan menjual tanah – tanah dan sumber – sumber agraria lainnya kepada asing. Akibatnya terjadi ketimpangan kepemilikan tanah. Banyak rakyat kecil yang kehilangan tanahnya karena dirampas oleh Soeharto dan investornya dengan alasan pembangunan.

Ketika Soeharto mundur dari jabatan presiden, dia menginggalkan masalah pelik dalam sektor agraria, terutama dalam hal kepemilikan tanah. Akibatnya terjadi banyak konflik agraria di era reformasi. Munculnya konflik demi konflik agraria pasca runtuhnya rezim otoriter Soeharto membuat pemerintah membentuk suatu badan yang menangani masalah pertanahan yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN). Saat ini, meski BPN sudah berusia sekitar delapan tahun, konflik agraria yang menyangkut kepemilikan tanah tetap marak terjadi. Konflik demi konflik agraria ini akan terus terjadi sampai negeri ini mampu menjalankan reforma agraria. Adapun syarat suksesnya reforma agraria adalah :

1. Kemauan Politik Pemerintah yang kuat
Syarat dasar dan utama bagi berjalannya reforma agraria harus bertitik tolak dari kemauan politik pemerintah yang kuat sebagai pemegang otoritas. Pemerintah harus mampu menyediakan iklim dan infrastruktur pelaksanaan program yang melibatkan semua elemen birokrasi yaitu instansi-instansi teknis terkait, masyarakat petani dan pihak-pihak berkepentingan lainnya seperti lembaga keuangan yaitu bank, koperasi dan sebagainya. Siapapun yang memegang tampuk pemerintahan harus menempatkan reforma agraria sebagai suatu keharusan untuk dijalankan dan tidak memandangnya sebagai komoditas politik yang sarat kepentingan sesaat sehingga lemah dari sisi perencanaan maupun pelaksanaanya serta tidak memiliki kontinuitas yang memadai. Hal yang juga perlu digaris bahwahi adalah jangan sampai ada pertarungan kepentingan dan ego sektoral antar instansi teknis pemerintah yang masing-masing berjalan sesuai dengan kemauannya sendiri tanpa ada suatu garis koordinasi yang jelas sehingga tidak terdapat mata rantai yang solid dan kokoh dalam implementasi reforma agraria yang sudah diprioritaskan untuk dilaksanakan.

2. Dukungan Teknis bagi Modal dan Produksi
Departemen teknis dalam hal ini Departemen Pertanian harus lebih giat melakukan kompetensinya yaitu membantu petani tentang bagaimana menghasilakan produktivitas yang setinggi-tingginya pada satu bidang tanah/lahan dengan merekayasa segala bentuk input produksi mulai dari teknologi pertanian, kredit usaha, ketrampilan petani sampai kepada perbaikan pasar dan sistem informasi pasar. Land reform dengan redistribusi tanahnya hanya akan menjadi program yang sia-sia jika dukungan infrastruktur dan kelembagaan pertanian tidak tersedia.

3. Membuka Akses Pasar kepada Petani
Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah kemana petani akan membawa hasil produksinya. Maka akses kepada pasar harus benar-benar diberikan, sehingga petani tidak akan lagi dipermainkan oleh tidak adanya pasar dengan harga rasional yang bisa menampung produksinya sehingga kesejahteraan tidak tercapai. Dalam hal ini sekali lagi keseriusan dari pihak-pihak terkait akan sangat menentukan.

4. Penguatan kelembagaan Pengelola Reforma Agraria
Sebagai suatu program nasional yang membutuhkan 'kekuatan' dalam implementasinya, maka sudah seharusnya apabila lembaga teknis yang terkait didalamnya juga memiliki kekuatan didalam peranan, otoritas dan fungsi-fungsinya. Hal ini juga menunjuk kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) yang nantinya akan menjadi 'pemain kunci' dalam implementasi program reforma agraria. Status Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen harus segera ditingkatkan atau dikembalikan kepada Kementerian Agraria agar peranannya semakin kuat dan seimbang dengan Departemen lain dalam melakukan koordinasi. Revitalisasi fungsi BPN juga perlu digalakkan agar tidak hanya 'mengurusi' sertifikat tanah sebagai sebuah produk akhir, melainkan lebih luas dari itu, mampu memfasilitasi pencapaian sebuah tujuan yang lebih besar lagi yaitu kemakmuran rakyat dan pengelolaan sumber daya agraria yang berkeadilan.